BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar – dasar Proses Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan Pengawasan dapat di definisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Hal ini berkaitan dengan caracara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan (Muninjaya, 2004). Pengawasan adalah memantau atau memonitor pelaksanaan rencana apakah telah dikerjakan dengan benar atau tidak atau seuatu proses yang menjamin bahwa tindakan telah sesuai dengan rencana. Menurut Robert J, yang dikutip oleh Imam, (2007), menyatakan bahwa Pengawasan manajemen adalah suatu usaha untuk menerapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya,
menentukan
dan
mengukur
penyimpangan-
penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efesien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.1.2. Tipe – Tipe Pengawasan Ada tiga tipe dasar pengawasan, yaitu : 1. Pengawasan pendahuluan (feedforward control) atau sering disebut steering controls,
dirancang
untuk
mengantisipasi
masalah-masalah
atau
penyimpangan-penyimpangan dan standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap kegiatan tertentu diselesaikan. Pendekatan pengawasan ini lebih aktif dan agresif, dengan mendeteksi masalah-masalah dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum suatu masalah terjadi. 2. Pengawasan yang dilakukan bersamaaan dengan pelaksanaan kegiatan (concurrent control), sering disebut pengawasan ”Ya-Tidak”, screening control berhenti-terus” dilakukan selama kegiatan berlangsung, tipe pengawasan ini merupakan proses di mana aspek tertentu dari suatu prosedur harus disetujui dulu, atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan ”doublecheck” yang lebih menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan. 3. Pengawasan umpan balik (feedback control). Pengawasan umpan balik juga dikenal sebagai past-action controls, mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar ditentukan dan penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-kegiatan serupa di masa yang akan datang. Pengawasan ini bersifat historis, pengukuran dilakukan setelah kegiatan terjadi (Adikoesoemo, 2003).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.1.3. Tahap - tahap dalam Proses Pengawasan Proses pengawasan biasanya terdiri paling sedikit 5 tahap (langkah), seperti pada gambar 2.1.3. Tahap-tahap pengawasan sebagai berikut : 1.
Penetapan Standar Pelaksanaan (Perencanaan) Tahap pertama dalam pengawasan adalah penetapan standar pelaksanaan.
Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan. Untuk penilaian hasil-hasil. Tujuan, sasaran kuota dan target pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar. Tiga bentuk standar yang umum adalah : a) Standar-standar fisik, meliputi kuantitas barang atau jasa, jumlah langganan, atau kualitas produk. b) Standar-standar moneter, yang ditujukan dalam rupiah dan mencakup biaya tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor, pendapatan penjualan, dan sejenisnya. c) Standar-standar waktu, meliputi kecepatan produksi atau batas waktu suatu pekerjaan harus diselesaikan. Setiap tipe standar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk-bentuk hasil yang dapat dihitung. Ini memungkinkan manajer untuk mengkomunikasikan pelaksanaan kerja yang diharapkan kepada para bawahan secara lebih jelas dan tahapan-tahapan lain dalam proses perencanaan dapat ditangani dengan lebih efektif. Standar harus ditetapkan secara akurat dan diterima mereka yang bersangkutan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Standar-standar yang tidak dapat dihitung juga memainkan peranan penting dalam proses pengawasan. Pengawasan dengan standar kualitatif lebih sulit dicapai tetapi hal ini tetap penting untuk mencoba mengawasinya. Misal, standar kesehatan personalia, promosi karyawan yang terbaik, sikap kerjasama, berpakaian yang pantas dalam bekerja dan sebagainya. 2.
Penentuan Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan Penetapan stsandar adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk
mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat. 3.
Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan Setelah frekuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan,
pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang - ulang dan terus-menerus. Ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu: a. Pengamatan (observasi) b. Laporan-laporan, baik lisan dan tertulis, c. Metode-metode otomatis dan, d. Inspeksi, pengujian (test), atau dengan pengambilan sampel. Banyak perusahaan sekarang mempergunakan pemeriksa intern (internal auditor) sebagai pelaksana pengukuran.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4.
Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisis Penyimpangan Tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan. Walaupun tahap ini paling mudah dilakukan, tetapi kompleksitas dapat terjadi pada saat menginterpretasikan adanya penyimpangan (deviasi). Penyimpangan-penyimpangan harus dianalisis untuk menentukan standar tidak dapat dicapai.
5.
Pengambilan Tindakan Koreksi Bila Diperlukan Bila hasil analisis menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan bersamaan. Tindakan koreksi berupa :
1. Mengubah standar mula-mula (barangkali terlalu tinggi atau terlalu rendah). 2. Mengubah pengukuran pelaksanaan (inspeksi terlalu sering frekuensinya atau kurang atau bahkan mengganti sistem pengukuran itu sendiri). 3. Mungubah cara dalam menganalisis dan menginterpretasikan penyimpanganpenyimpangan (Imam dan Siswandi, 2007).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Penetapan standar pelaksanaan
Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
Pengukuran pelaksanaan kegiatan
Perbandingan dengan standar evaluasi
Pengambilan tindakan koreksi bila perlu
Gambar 2.1. Tahap-Tahap Pengawasan 2.1.4. Karakteristik – karakteristik Pengawasan yang Efektif Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria – kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya : 1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, 2. Tepat waktu, 3. Dengan biaya yang efektif, 4. Tepat-akurat, dan 5. Dapat diterima oleh yang bersangkutan. Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif sistem pengawasan. Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif dan lebih diperinci sebagai berikut : a. Akurat. Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
tindakan koreksi yang keliru atau bahkan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada. b. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera. c. Objektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah dipahami dan bersifat objektif serta lengkap. d. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik. Sistem pengawasan harus memusatkan perhatian pada bidang-bidang dimana penyimpangan dari standar paling sering terjadi atau yang mengakibatkan kerusakan paling fatal. e. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan sistem pengawasan harus lebih rendah, atau sama dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut. f. Realistik secara organisasional. Sistem pengawasan harus cocok atau harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi. g. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan harus terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, karena (1) setiap tahap dari proses pekerjaan dapat memengaruhi sukses atau kegagalan keseluruhan operasi, dan (2) informasi pengawasan harus sampai pada seluruh personalia yang memerlukannya. h. Fleksibel. Pengawasan harus mempunyai fleksibilitas untuk memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun kesempatan dari lingkungan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
i. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan efektif harus menunjukkan, baik deteksi atau deviasi dari standar, tindakan koreksi apa yang seharusnya diambil. j. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota dengan mendorong perasaan otonomi, tanggung jawab dan berprestasi (Imam dan Siswandi, 2007).
2.2. Proses Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) 1. Proses Pengawasan Langkah umum yang diikuti dalam proses pengawasan yang dikutip dan dikemukakan oleh Harahap (2001) adalah : a. Penyusunan tujuan. b. Penetapan standar. c. Pengukuran hasil kerja. d. Perbandingan fakta dengan standar. e. Perbaikan tindakan. Kelima tahap ini bisa juga diringkas dalam bentuk 5P. Dari sudut lain pengawasan dapat dirumuskan sebagai ERMC yaitu: Expectation (tujuan atau standar), Recording (pencatatan kinerja), Monitoring (perbandingan antara expectation dan catatan), dan correction (tindakan koreksi) terhadap penyimpanan yang ada. 2. Standar Pengawasan dan Pengendalian
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Standar bisa bermacam-macam. Misalnya tujuan, budget perusahaan dapat dijadikan sebagai standar atau indikator yang akan dituju dicapai oleh manajemen. Untuk dapat melaksanakan pengawasan maka harus ada standar atau yardstick yang akan dibandingkan dengan hasil kerja. Standar ini memang sebaiknya dapat dikuantitatifkan agar mudah mengukurnya dan menghitung “varience” nya secara objektif. 3. Tujuan Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) Tujuan dan manfaat pengawasan dan pengendalian menurut Usman, (2006) antara lain : a. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan. b. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan. c. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik. d. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas organisasi. e. Meningkatkan kelancaran operasi organisasi. f. Meningkatkan kinerja organisasi. g. Memberikan opini atas kinerja organisasi. h. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada. i. Menciptakan terwujudnya pemerintahan yang bersih.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4. Pelaksanaan Pengawasan dan Kegunaan Mulanya dan bahkan sementara pihak saat ini menganggap bahwa fungsi pengawasan itu tidak perlu, dilupakan, dan disalah artikan. Namun, dalam organisasi modern dan dalam perusahaan besar dan kompleks semakin disadari pentingnya fungsi kontrol ini yang sebenarnya bermaksud baik yaitu sebagai fungsi manajemen untuk menjamin bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan organisasi dapat dicapai dengan semestinya. Perkembangan organisasi modern dan karena semakin kompleksnya dimensi yang berkaitan dengan kontrol ini menyebabkan fungsi kontrol juga berkmbang dari segi teori maupun penerapannya. Mulanya kontrol ini dianggap sebagai kegiatan yang sifatnya pemaksaan kekuasaan sampai akhirnya merupakan fungsi yang difokuskan pada sikap perilaku individu yang mempunyai multidimensi dan berbagai sifat. Teknik kontrol semakin diperjelas dan di sederhanakan. 5. Keuntungan Pelaksanaan Kontrol yang Baik Apabila sistem pengawasan berjalan baik maka akan diperoleh bebagai keuntungan sebagai berikut: a. Tujuan akan diwujudkan lebih cepat, murah dan mudah dicapai. b. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran. c. Menimbulkan saling percaya dan menghilangkan rasa curiga dalam organisasi. d. Menumbuhkan perasaan aman dihati setiap orang dalam organisasi sehingga mendorong kondisi jiwa yang sehat.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
e. Menumpuk perasaan memiliki atas perusahaan/organisasi f. Meningkatkan rasa tanggung jawab personil. g. Meningkatkan iklim persaingan yang sehat sehingga mereka yang beprestasi akan lebih dihargai. h. Meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan produktivitas yang akhirnya meningkatkan laba perusahaan. i. Top pimpinan dapat lebih mudah memfokuskan perhatian kepada masalah lain yang lebih besar untuk kepentingan jangka panjang perusahaan karena operasi kegiatan perusahaan diasumsikan sudah dalam pngawasan yang baik. j. Akan memperlancar operasi, komunikasi dan kegiatan perusahaan karena semua serba terbuka, jelas, lurus dan tidak ada yang disembunyikan (transparan). k. Merupakan persyaratan dalam “good corporate governance”.
2.3. Konsep Kepatuhan 2.3.1. Definisi Kepatuhan Kepatuhan adalah ketaatan seseorang pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan merupakan suatu permasalahan bagi semua disiplin kesehatan, salah satunya pelayanan perawatan di rumah sakit. Menurut Ali Mukti dalam Ley, (1999). Patuh adalah suka menurut perintah, taat kepada pemerintah dan disiplin sedangkan menurut Aditama (1998),
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Patuh adalah suatu sifat yang berfungsi untuk mendorong seseorang taat terhadap suatu ketentuan atau aturan.
2.3.2. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Ketidak Patuhan Faktor – faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan Niven (2008) antara lain : 1. Pemahaman tentang Intruksi Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya. 2. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan bersikap ramah dan
memberikan informasi dengan
singkat dan jelas. 3. Isolasi Sosial dan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. 4. Motivasi Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman, petugas kesehatan, dan lingkungan sekitarnya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.3.3. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan Menurut Smet (1994) dalam Niven (2008) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah: 1. Dukungan Profesional Kesehatan Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien. 2. Dukungan Sosial Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidak patuhan dapat dikurangi. 3. Perilaku Sehat Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi. 4. Pemberian Informasi Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang di deritanya serta cara pengobatannya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.4. Determinan Perilaku Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respons (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan kata lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan. Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green (1980) membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non-behavioral faktor atau non-perilaku. Selanjutnya Green (1980) menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu : 1) Faktor predisposisi (disposing factors), yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai, tradisi dan sebagainya. 2) Faktor-faktor
pemungkin
(enabling
factors),
adalah
faktor
yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, rumah sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan bergizi, uang dan sebagainya. 3) Faktor – faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang–kadang, meskipun seseorang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
tahu dan mampu untuk berperilaku sehat tetapi tidak melakukannya. (Notoatmodjo, 2005).
2.5. Alat Pelindung Diri Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekrjaan dan fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya tempat kerja. Alat pelindung diri (APD) dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maksimum (Depnakertrans RI, 2004). Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakan kerja. Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki. Perlengkapan ini terdiri dari tutup kepala, masker sampai dengan alas kaki. Perlengkapanperlengkapan ini tidak harus digunakan/dipakai semuanya bersamaan, tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan. Tiga hal penting yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu : a. Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas dari kemungkinan “menularkan” penyakit;
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
b. Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan higiene lainnya. c. Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan cara yang tepat. Menurut Suardi (2005), pemakaian alat pelindung diri dibagi atas: 1. Sisi pekerja tidak mau memakai dengan alasan : a) Tidak sadar/ tidak dimengerti. b) Panas c) Sesak d) Tidak enak dipakai dan tidak enak dipandang e) Berat f) Mengganggu pekerjaan g) Tidak sesuai dengan bahan yang ada h) Tidak ada sanksi jika tidak menggunakannya i) Atasan juga tidak memakai 2. Sisi instansi a. Ketidakmengertian dari instansi tentang alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis resiko yang ada. b. Sikap dari instansi yang mengabaikan alat pelindung diri. c. Dianggap sia-sia (karena pekerja tidak mau memakai). d. Pengadaan alat pelindung diri yang asal beli.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial Menurut Tiedjen (2004) bahwa prosedur standar kewaspadaan universal bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari pasien kepada perawat, terdiri dari : 1. Mencuci Tangan Sejalan dengan alat bantu untuk pengendalian infeksi perawat harus mengingat bahwa mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting dan mendasar dalam mencegah dan mengendalikan infeksi karena dapat melindungi perawat dan pasien dari mikroorganisme. Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mencuci tangan yaitu menggunakan air mengalir / tersedianya wastafel melakukan proses membasuh, menggosok dan membilas tangan menggunakan sabun atau cairan antiseptik sekurang-kurangnya 10 detik, mengeringkan tangan dengan handuk yang bersih dengan tujuan agar terhindar dari infeksi silang antar pasien dengan perawat serta menjaga tangan yang sudah dicuci agar tidak terkontaminasi. Cuci tangan harus dilakukan pada saat melakukan tindakan dan setelah melakukan tindakan, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan. 2. Memakai Masker Masker digunakan untuk melindungi perawat dari penyakit infeksi saluran pernapasan seperti tuberkolosis. Perawat harus memakai masker dengan menutup area sekitar wajah dan hidung, hal ini di lakukan dengan efektif kalau tidak maka masker tidak dapat mengontrol nuklai doplet udara. Masker digunakan bila berada
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dalam jarak 1 meter dari pasien, sehingga petugas dapat melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya seperti tindakan membersihkan luka, membalut luka, mengganti kateter serta dekomentasi alat bekas pakai (Tiedjen, 2004). 3. Memakai Sarung Tangan Sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung tubuh yang digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Apabila sarung tangan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, dan benda-benda yang terkontaminasi hendaknya perawat atau petugas kesehatan segera melepaskan sarung tangan dengan cepat setelah digunakan, sebelum menyentuh benda-benda yang tidak terkontaminasi dan permukaan lingkungan, dan sebelum ke pasien lainnya. Cuci tangan dengan segera bertujuan untuk menghindari pemindahan mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain (Goul, 2003). 4. Memakai Celemek/ Gaun Pemakaian celemek / gaun pelindung bertujuan untuk melindungi kulit dan mencegah pakaian basah selama tindakan perawat terhadap pasien seperti : perawat terkena semburan atau percikan darah, cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi yang menyebabkan pakaian menjadi basah. Secepat mungkin perawat dapat melepaskan celemek dan cuci tangan sehingga dapat terhindar dari kontaminasi mikroorganisme dari pasien atau lingkungan. Indikasi dari pemakaian celemek
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
yaitu saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan ataupun menangani pasien dengan pendarahan.
2.6.1. Prosedur Tetap Pencegahan Infeksi Nosokomial 1. Cuci Tangan Cuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk menyentuh pasien, memegang alat, perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan pribadi seperti makan. Ada dua macam mikroorganisme yang ada pada tangan yaitu transien dan residen (Simajuntak, 2001). 1. Jenis transien berupa mikroorganisme yang ada pada tangan tetapi tidak terus-menerus, misalnya escheria coli. Bakteri transien penting diperhatikan karena mudah menular melalui tangan tetapi juga mudah dihilangkan dengan menggosok tangan dengan air dan sabun atau dengan antiseptik. 2. Jenis residen berupa mikroorganisme yang ada terus-menerus pada kulit, seperti species acinetobacter, dan tidak bisa dihilangkan hanya dengan friksi mekanik. Bahan-bahan pencuci tangan, jenis bahan pencuci tangan ada dua, yaitu : 1. Sabun, cleanser dan deterjen Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat pertumbuhan dan mengurangi jumlah mikroorganisme. Jumlah bakteri berkurang seiring
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, tetapi hanya sampai titik tertentu karena hilangnya lemak dari kulit karena terlalu sering cuci tangan diduga meningkatkan daya tahan mikro organism tertentu. Kulit yang kering dan retak karena penggunaan sabun / deterjen yang terus menerus juga bias menyebabkan jumlah bakteri ditangan meningkat. 2. Larutan antiseptik Jenis ini digunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat : a. Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko tinggi, seperti dalam unit perawatan khusus dan ruang gawat darurat. b. Sebelum tindakan/kontak dengan pasien yang mengenakan peralatan seperti kateter. c. Sebelum memasang peralatan seperti kateter. d. Cuci tangan bedah. e. Sebelum memegang bayi. f. Personil ruang operasi sebelum merawat pasien. g. Sebelum dan selama perawatan pasien yang immunocompromised. Larutan antiseptik atau juga diesebut antimikroba topikal adalah produk yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri pada kulit. Sementara, desinfeksi adalah bahan kimia yang ditujukan untuk membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati, seperti peralatan, instrumen, meja atau lantai.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit, luka dan membran mukosa. Antiseptik beragam dalam aktivitasnya, efektifitasnya, efek setelah pakai dan rasa pada kulit. Dalam keadaan biasa, pemakaian sabun biasa dan air digabung dengan pembilasan dan ppengeringan secara bersama bias membersihkan tangan dari mikroorganisme tetapi untuk menghindari infeksi nosokomial, dibutuhkan antiseptik yang secara kimia berinteraksi dengan mikroba, sehingga membunuh serta menurunkan pertumbuhan dan aktivitasnya. Antisieptik biasa digunakan untuk : 1. Larutan cuci tangan (ketika merawat pasien yang beresiko tinggi). 2. Larutan cuci tangan bedah yang digunakan untuk tim operasi pada tangan dan lengan. 3. Larutan skin prep untuk menyiapkan kulit pasien sebelum dimasukkan alat atau perlakuan lain. 4. Larutan antiseptik untuk perawatan luka dan untuk bagian tubuh lain. Mikroorganisme yang paling rentan terhadap antiseptik antara lain bakteri gram positif dan negatif, fungi dan virus hidrofili seperti polivirus dan rhinovirus. Banyak antiseptik yang efektif terhadap virus hipofili seperti virus influenza, cytomegalovirus, HIV dan penyebab virus hepatitis A dan B. Spora adalah yang paling resisten dari semua mikroorganisme dan kadang tidak bisa dibunuh dengan antiseptik. Tetapi antiseptik cukup efektif dalam mencegah pertumbuhan selanjutnya dan bisa menghilangkannya dari kulit.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Kulit manusia tidak bisa disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit terutama pada kuman transien. Antiseptik berinteraksi dengan mikroorganisme dengan cara : a. Masuk kedalam metabolisme sel sehingga kemampuan sel untuk bertahan dan memperbanyak diri terhambat. b. Merubah struktur protein sel, biasanya dengan koagulasi protein dan penghancuran sel c. Meningkatkan permeabilitas membran plasma sel dan tidak merusak komponen sel dengan cara lisis. Kriteria untuk memilih antiseptik : 1. Aksi yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram negatif, virus lipofili dan hidrofili, bachilus dan tuberkulosa, fungi, endospora). 2. Efektivitas. 3. Kecepatan aktifitas awal. 4. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan 5. Tidak mengakibatkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan alergi. 6. Efektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang. 7. Dapat diterima secara visual maupun estetik. A. Cuci Tangan Medis Cuci tangan medis dibagi menjadi tiga jenis :
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
1. Cuci tangan sosial ; untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme transien dari tangan, dilakukan dengan sabun atau deterjen paling tidak selama 10 sampai 15 detik. 2. Cuci
tangan
prosedural
;
untuk
menghilangkan
atau
mematikan
mikroorganisme transien, disebut juga antisepsi tangan, dilakukan dengan sabun antiseptik atau alkohol paling tidak selama 10 sampai 15 detik. 3. Cuci tangan bedah ; proses menghilangkan atau mematikan mikroorganisme transien dan mengurangi mikroorganisme residen, dilakukan dengan larutan antiseptik dan diawali dengan menyikat paling tidak 120 detik. B. Hal–hal Pokok yang Perlu Diperhatikan Saat Mencuci Tangan Medis a) Membersihkan jari, kuku, telapak tangan hingga pergelangan tangan ; untuk cuci tangan bedah harus dilakukan hingga siku. b) Idealnya menggunakan air yang mengalir, hangat, air yang tidak tercemar, sabun yang bersih, kikir kuku (tidak harus) dan handuk / tissue tebal bersih dan kering. c) Menghilangkan kotoran dan mikroorganisme dengan friksi, larutan antiseptik, dan pengeringan. d) Menggunakan larutan antiseptik atau subsitusinya untuk membersihkan dan menghilangkan kontaminasi. Ditempat yang tidak tersedia fasilitas cuci tangan yang cukup boleh digunakan bahan yang seperti handrub, tissue antimikrobia, atau foam antiseptik,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
setelah itu biarkan kering di udara. Tetapi cara tersebut bukan substitusi dari cuci tangan, hanya berupa suplemen. C. Masker dalam Pengendalian Infeksi Menurut Darmadi (2008) menyatakan bahwa masker diapakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang dapat ditularkan melalui udara dan droplet, atau pada saat adanya kemungkinan terkena cipratan cairan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar, atau merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui udara atau droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang penularannya melalui udara, terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin dan bayi. Masker yang baik, menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali pakai jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam mencegah transmisi mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet. Seharusnya masker diganti bila akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantungkan dileher dan kemudian dipakai kembali. Teknik yang tepat dalam memakai dan melepas masker merupakan bagian penting dari pengendalian infeksi. Masker dipakai sebagai bagian dari usaha kewaspadaan isolasi. Beberapa prinsip penting dalam pemakaian yang harus dipatuhi:
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
a. Pasang dulu masker sebelum memakai gaun atau sarung tangan, juga sebelum melakukan cuci tangan bedah. b. Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu tertentu (misalnya tiap menangani satu pasien) kemudian dibuang dalam tempat pembuangan yang disediakan untuk itu. 1. Teknik Memakai Masker a. Cuci tangan dan ambil masker dari kontainer, tekuk bagian logam yang akan mengenai hidung sesuai dengan bentuk hidung pemakai (hal ini penting untuk mencegah mengalirnya udara nafas lewat bagian samping hidung dan mencegah pengembunan kaca mata). b. Hindarkan memegang-megang masker sebelum dipasang di wajah. c. Pasang masker sehingga menutupi wajah dan hidung. d. Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala, dan pastikan bahwa tali lewat di atas telinga. e. Ikat tali bawah dibelakang kepala sejajar dengan bagian atas leher / dagu. f. Begitu masker lembab harus segera diganti. g. Jangan membuka masker dari hidung dan mulut dan membiarkan bergelantungan di leher. 2. Teknik Melepas Masker a. Ingat selalu untuk membuka sarung tangan lebih dahulu (jika memakai) dan cuci tangan, untuk mencegah kontaminasi dari tangan ke muka.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
b. Lepaskan tali bawah dahulu, baru kemudian yang atas. Tangan harus dalam keadaan sebersih mungkin bila menyentuh leher. c. Lepas masker, gulung talinya mengelilingi masker dan buang ketempat yang telah disediakan. d. Cuci tangan. D. Gaun dalam Pengendalian Infeksi 1. Tipe Gaun Pada prinsipnya ada dua macam gaun , yaitu yang steril dan non-steril. Gaun steril biasanya dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya di kamar bedah saat melakukan pembedahan, sedangkan gaun non-steril dipakai diberbagai unit beresiko tinggi, misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di kamar operasi, ICU, rawat darurat dan kamar rawat bayi (Schaffer dkk, 2000). Gaun dapat dibuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang (kain), tetapi dapat juga dibuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat dipakai sekali saja (disposable). Gaun sekali pakai biasanya dipakai dalam kamar bedah, karena lebih banyak terpapar cairan tubuh yang dapat menyebarkan infeksi. Ada beberapa bentuk gaun yang saat ini dipakai. Gaun konvensional kancingnya berada dipunggung pemakai dan biasanya memakai tali.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Prinsip Pemakain Gaun Pelindung Pada prinsipnya, hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun adalah untuk melindungi pemakai dari infeksi. Khusus gaun bedah, hanya bagian depan atas (di atas pinggang) saja yang dianggap steril dan boleh bersinggungan dengan lapangan pembedahan. 3. Teknik Memakai Gaun Bedah Dalam memakai gaun bedah, teknik yang digunakan adalah teknik tanpa singgung. Yaitu dengan mengusakan agar bagian luar gaun tidak bersinggungan langsung dengan kulit tubuh pemakai. Gaun bedah dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain. E. Sarung Tangan dalam Pengendalian Infeksi Ada dua jenis sarung tangan yaitu steril dan non-steril. Sarung steril lebih mahal dari sarung tangan non-steril (examination gloves), karena itu hanya dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang dianggap asepsis bedah. Sedangkan sarung tangan non-steril dipakai pada prosedur-prosedur lainnya (Darmadi, 2008). Pemakaian sarung tangan non-steril. 1. Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh lapisan mukosa atau kulit pasien yang luka, dan juga untuk memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh, 2. Sarung tangan juga harus dipakai bila seorang tenaga medis memiliki luka terbuka pada tangannya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
3. Sarung tangan harus diganti bila merawat pasien berbeda bila bersentuhan dengan ekskresi atau sekresi pasien (walaupun menyentuh pasien yang sama). 4. Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung tangan bukan pengganti cuci tangan. Sarung tangan steril. 1. Sesuai prinsip – prinsip asepsis bedah, sarung tangan steril wajib dipakai dalam prosedur pembedahan baik besar maupun kecil. 2. Sarung tangan steril harus dikenakan sebelum melaksanakan prosedur seperti pemakaian kateter, intra vena dan kateter uretral, penggantian pembalut. 3. Sarung tangan steril juga harus dipakai dalam melakukan perawatan terhadap pasien yang immune suppressed atau dirawat di ruang isolasi ketat.
2.7. Kerangka Konsep Variabel independen
-
-
PENGAWASAN : Tipe Pengawasan Tahap-tahap pengawasan Karakteristik Pengawasan
KEPATUHAN : Intruksi Interaksi Isolasi Sosial Motivasi
Variabel dependen
PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PERAWAT - Masker - Sarung tangan - Kemeja/gaun - Antiseptik
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Penggunaan APD yang seharusnya digunakan oleh perawat terkadang tidak terlaksana dengan baik, adapun penggunaan alat pelindung diri seperti : masker, sarung tangan, kemeja/gaun dan antiseptik dengan baik diharapkan dapat mengurangi dan mengantisipasi terjadinya infeksi nosokomial pada perawat, oleh karena itu diperlukan pengawasan dari pihak rumah sakit sehingga perlu dilihat tipe pengawasan, tahap-tahap pengawasan dan karakteristik pengawasan dalam penggunaan APD dan konsep ini disebut sebagai variabel independen. Disisi lain perlu ada komitmen dari perawat untuk mematuhi prosedur yang ditetapkan (SOP) dalam penggunaan APD, konsep kepatuhan ini terdiri dari intruksi, interaksi, isolasi sosial dan motivasi, hal ini disebut sebagai variabel dependen. Dengan adanya pengawasan dan pengendalian (wasdal) pihak RSUD Kisaran serta kepatuhan perawat dalam penggunaan APD, dapat terhindar terjadinya infeksi nosokomial.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA