BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertumbuhan Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di ukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat disimpilkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik ( Soetjiningsih, 1995).
2.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ada dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan seks, yang termasuk faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-obatan dan penyakit (Supariasa,2002).
1. Genetik. Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis.
Namun gen tidak secara
langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang
Universitas Sumatera Utara
diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa sistem biologis yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia(Bogin, 1988). Bock pada tahun 1986 (cit Bogin 1988), melakukan penelitian secara longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major genetik component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang. Rogol, Clark, and Roemmich (2000) mengatakan bahwa pertumbuhan pada beberapa dimensi menunjukkan sebuah gabungan kemiripan keluarga yang signifikan. Bentuk tubuh orang dewasa, kecepatan pertumbuhan, waktu dan rata-rata perkembangan seksual, kematangan tulang belulang dan perkembangan gigi geligi kesemuanya dipengaruhi oleh faktor genetik. Estimasi kemiripan faktor genetik berkisar antara 41 % sampai 71 %. Bentuk tubuh
orang dewasa paling baik
berkorelasi dengan perhitungan tinggi tubuh midparental (perbedaan dalam rata-rata
Universitas Sumatera Utara
tinggi badan dari orang tua), namun model polygenic dari pewarisan tinggi tubuh mengahasilkan variasi yang semakin banyak terhadap ukuran anak-anak yang lahir dari orang tua yang mempunyai tinggi tubuh tidak mirip dibandingkan pada anak dari orang tua yang keduanya bertinggi tubuh medium. Tinggi maksimal dapat diprediksi berdasarkan tinggi midparental. Tinggi midparental yang telah disetel (ditargetkan) dapat dihitung dengan rumus dengan menambahkan 13 cm (perbedaan antara persentil ke – 50 untuk dewasa laki-laki dan perempuan) terhadap tinggi tubuh ibu (untuk anak laki-laki) atau mengurangi 13 cm dari tubuh ayah(untuk anak perempuan) lalu ambil rata-rata selisih tinggi tubuh orang dewasa. Penambahan 8,5 cm diatas dan dibawah titik tengah target tinggi badan(akan mengarahkan tentang tinggi badan target dari presentil ke -3 sampai ke – 97 untuk tinggi tubuh orang dewasa yang akan diprediksi untuk anak yang disetel dengan bentuk tubuh midparental nya (potensial genetik). Ada juga model lain untuk memprediksi bentuk tubuh dewasa seseorang berdasarkan rumus matematis yang diturunkan dari riwayat pertumbuhan anak atau dari pencapaian ’height and bone age’ anak itu dari hasil perhitungan tabel spesifik (Rogol et al,2000). Perkiraan tinggi akhir sesuai potensial genetik berdasarkan TB orang tua dengan asumsi semua tumbuh optimal sesuai dengan potensinya juga dapat dihitung dengan rumus berikut : TB anak perempuan =
(TBayah − 13cm) + TBibu ) ± 8,5cm 2
Universitas Sumatera Utara
TB anak laki-laki =
(TBibu − 13cm) + TBayah ± 8,5cm 2
(13 cm adalah rata-rata selisih tinggi badan antara orang dewasa laki-laki dan perempuan di Inggris, dan 8,5 cm adalah nilai absolut tentang tinggi badan)(Soetjiningsih,1995).
2.Lingkungan.
Yang termasuk dalam faktor lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan biofisik dan psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari dan sangat berperan dalam menentukan tercapainya potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (1995) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal. a. Lingkungan Pra-Natal.
Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir seperti gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain
dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan
pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan selanjutnya akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu faktor lingkungan pada masa pra natal lainnya yang berpengaruh adalah mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor toksin atau zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah. Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada pertumbuhan janin adalah somatotropin(growth hormon), yang disebut juga hormon pertumbuhan. Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatic terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi oleh hormon ini. Growth hormon merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan, dan aktivitasnya meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya. Hal lainnya yang dapat mempengaruhi kehidupan pada masa pra natal adalah stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga dapat menyebabkan
kurang
gizi
dan
berat
badan
bayi
lahir
rendah
(BBLR)
(Soetjiningsih,1995).
b. Lingkungan Post-Natal
Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi,
Universitas Sumatera Utara
perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh (Soetjiningsih, 1995). 3. Penyakit Infeksi.
Pada kondisi status gizi yang baik, tubuh mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Namun jika keadaan gizi memburuk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Oleh karena itu setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi tingkat ringan merupakan pertanda awal bagi terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi.(Aritonang, 1996). Sebaliknya status gizi yang buruk berdampak terhadap menurunnya produksi zat anti bodi dalam tubuh. Penurunanan zat anti ini mengakibatkan mudahnya bibit penyakit masuk kedalam dinding usus dan mengganggu produksi beberapa enzim pencernaan makanan dan selanjutnya penyerapan zat-zat gizi yang penting menjadi terganggu, keadaan ini dapat memperburuk status gizi anak. Seperti penyakit infeksi dan kurang energi protein (KEP) adalah dua hal yang mempunyai hubungan sinergis atau saling berhubungan. Walaupun sulit untuk mengatakan apakah terjadinya gizi buruk akibat adanya diare ataukah kejadian diare yang disebabkan gizi buruk (Aritonang,1996).
Universitas Sumatera Utara
Seorang anak yang mengalami kekurangan gizi mempunyai daya tahan tubuh yang rendah dan mudah terkena penyakit, suhu tubuh meningkat sebagai akibat adanya infeksi dan terjadi pembakaran jaringan tubuh yang berlebihan, anak mengalami kesulitan makan dan nafsu makananya akan menurun. Kemampuan fungsi pencernaandan penyerapan zat-zat gizi yang dibutuhkan selama masa pertumbuhan menurun selanjutnya anak akan mengalami malnutrisi (King and Burgees, 1993). Jika selama masa tersebut anak tidak mendapatkan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dan memulihkan kesehatan serta status gizinya maka dampaknya akan terjadi penurunan jaringan otot dan lemak. Anak akan kehilangan BB, kurus dan pertumbuhannya akan terhenti. Diantara penyakit infeksi, diare merupakan penyebab utama gangguan pertumbuhan anak balita. Penelitian di Bangladesh dan Guatemala menunjukkan bahwa diare menyebabkan berkurangnya konsumsi makanan anak sekitar 20 – 40 %. Disamping itu kebiasaan orang tua mencegah pemberian makanan pada anak yang menderita diare ikut memeperjelek keadaan dan setiap episode diare berhubungan dengan 0,56 cm reduksi pertumbuhan linier. Di Northeas Brazil, anak-anak umur 1 hinga 2 tahun yang rata-rata menderita diare selama 3 bulan dan kenaikan panjang badannya 41 % kurang jika dibandingkan dengan anak-anak tanpa diare pada periode yang sama (Jalal dan Soekirman, 1990.
Universitas Sumatera Utara
4. Pertumbuhan dan Status Sosial Ekonomi.
Beberapa hal yang juga sebagai penyebab timbulnya masalah gizi yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang adalah faktor sosial ekonomi yang meliputi : pendidikan orang tua, pekerjaan dan pendapatan, teknologi, budaya dan lain-lain. Keterbatasan sosial ekonomi ini juga berpengaruh langsung terhadap pendapatan keluarga untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, berpengaruh pada praktek pemberian makanan pada bayi berpengaruh pula pada praktek pemeliharaan kesehatan dan sanitasi lingkungan yang akhirnya mempengaruhi daya beli dan asupan makanan untuk memenuhi kebutuhan akan pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta pencegahan terhadap penyakit infeksi yang kesemuanya berakibat pada gangguan pertumbuhan (Aritonang, 1994). Penelitian di India Selatan, bahwa pola pembelanjaan makanan pada masyarakat yang miskin dan kaya tercermin dari kebiasaan pengeluaran mereka. Masyarakat miskin akan menghabiskan 80 % uangnya untuk membeli makanan dan apabila ada peningkatan pendapatan maka makanan yang akan dipilih adalah yang kaya akan protein. Sedangkan di negara-negara maju hanya 45 % uangnya dibelanjakan untuk makanan dan uang yang berlebih biasanya susunan hidangan menjadi lebih baik. Dengan demikian tingkat pendapatan menentukan pola makan dan apa yang akan dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Jadi jelas bahwa ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan gizi keluarga (Berg dan Sayogo, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Matrolell et al.(cit Thaha,2000), melaporkan hasil studi longitudinal terhadap 1000 anak dibawah usia 7 tahun di Honduras dan menemukan adanya korelasi yang positif antara ukuran antropometri z-score tinggi badan, z-score berat badan, area otot lengan atas dan lingkar lengan atas (LLA) dengan indikator sosial ekonomi keluarga. Makin tinggi skor sosial ekonomi, maka makin baik ukuran antropometri tersebut. Analisa lebih lanjut menyimpulkan bahwa populasi yang tingkat sosial ekonominya rendah dan gambaran keadaan lingkungan lebih jelas menerangkan adanya perbedaan ukuran antropometri dalam populasi tersebut dibanding faktor genetik. Matrorell et al.(cit. Jalal dan Soekirman, 1990), membandingkan peran faktor genetik dengan sosial ekonomi keluarga terhadap rata-rata kenaikan tinggi badan pada anak laki-laki usia 7 tahun dari berbagai bangsa dengan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, ternyata bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga kaya pertumbuhannya berkisar pada presentil ke 50 referensi international (WHO-NCHS). Namun jika dibedakan pola pertumbuhan anak-anak pada keluarga kaya dan miskin dari bangsa yang sama terlihat ada perbedaan. Perbedaan tinggi badan anak dari keluarga kaya kerana faktor genetik berkisar 2 – 3 cm, sedangkan perbedaan yang disebabkan karena faktor sosial ekonomi adalah sekitar 10 – 12 cm.
5. Faktor Gizi.
Beberapa faktor gizi yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi badan adalah : kalori, protein, Iodium dan zat gizi mikro seperti vitamin A, zink (zn).
Universitas Sumatera Utara
a.Kalori.
Jumlah intake kalori berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Intake kalori yang cukup akan menjamin pertumbuhan yang normal, namun sebaliknya intake yang kurang dan terjadi pada masa pertumbuhan serta berlangsung lama, akan berdampak pada pertumbuhan fisik dan kerentanan terhadap penyakit infeksi. Manifestasi dalam jangka panjang akan nampak pada tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang intake kalorinya cukup. Bailey, et al.(19840 (CIT.Bogin, 1988) melakukan studi pertumbuhan terhadap anak-anak di bagian utara Thailand di mana anak-anak yang tinggal di desa mengalami hambatan pertumbuhan, namun kejadian penyakit dan infestasi parasit dan kematian tidak berhubungan secara signifikan terhadap pertumbuhan. Bailey menyimpulkan bahwa terhambatnya pertumbuhan bukan disebabkan oleh penyakit atau kekurangan zat gizi spesifik seperti vitamin A atau besi melainkan karena defisiensi dalam jumlah total asupan kalori.
b. Protein
Somatotropin berperan dalam mempertahankan tingkat sintesa protein dalam tubuh dan menghalangi sintesa lemak dan oksidasi karbohidrat pada pertumbuhan tinggi badan yaitu terhadap perkembang biakan sel-sel tulang rawan, sedang pada perkembangan kesempurnaan tulang pengaruhnya kecil.
Universitas Sumatera Utara
Rendahnya sintesis protein karena rendahnya pengaruh somatotropin yang berakibat berkurangnya protein, kekurangan protein ini merupakan masalah yang serius di seluruh dunia, dan menjadi faktor utama terjadinya kwashiorkor. Golden (1988) (cit. Hadju,1998) mempelajari studi-studi terdahulu tentang efek suplementasi makanan terhadap pertumbuhan TB. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa protein dan faktor yang berhubungan dengan protein dalam makanan perlu untuk pertumbuhan TB. c. Iodium
Telah banyak disebutkan bahwa iodium merupakan unsur essensill sangat berperan terhadap pembentukan hormon pertumbuhan dan perkembangan yaitu thyroid, thyroxine (T 4 ) dan Triodothyronine (T 3 ). Peranan thyroxine sebagai permissive dalam arti kadar thyroxine yang cukup menjadikan sel-sel tubuh berfungsi secara normal dan sebaliknya bila kadar thyroxine kurang, maka sebagian besar dari sel-sel tubuh menjadi tidak efektif (Jalal dan Atmojo, 1998). Kekurangan Iodium yang dikenal dengan GAKI mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar thyroid. Dan dalam spektrum yang telah luas dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan, baik pertumbuhan fisik maupun mental dan kecerdasan. Gangguan pertumbuhan fisik tampak pada ukuran tinggi badan yang tidak normal jika dibandingkan dengan umur. Hasil penelitian di Guatemala menyimpulkan bahwa anak yang ukuran tinggi badan per umur (TB/U) lebih rendah dari normal, memiliki kompetensi ’intersensori integratif’ yang rendah pula dalam
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan test geometri, kekurangan kapasitas ini bersifat permanen, (Kodyat, 1998).
d. Zat Gizi Mikro
Zat gizi mikro yang sering dihubungkan dengan pertumbuhan fisik adalah vitamin A, seng dan besi. Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat memperlihatkan hasil intervensi salah satu atau ketiga zat gizi tersebut terhadap pertumbuhan fisik. Penelitian lain yang dilakukan pada anak-anak prasekolah di Indonesia memperlihatkan adanya kenaikan tinggi dan berat badan pada anak yang pernah menerima kapsul vitamin A dibanding anak yang hanya menerima plasebo (Hadinet et al, 1997). Umur, status vitamin dan musim terlihat berpengaruh terhadap hubungan ini. Pada anak yang mempunyai serum retinol < 10 meg/dl, mereka menerima kapsul vitamin A, mempunyai kenaikan tinggi dan berat badan yang lebih besar secara nyata dibanding anak yang hanya menerima plasebo. Dan pada penelitian itu kenaikan tinggi badan anak sangat tinggi pada akhir musim kering di mana pada saat ini konsumsi vitamin A dan prevalensi infeksi pernafasan akut dan diare rendah. Pemberian seng (12,5 mg/hr) dan besi (12 mg/hr Fe) memperlihatkan kenaikan tinggi badan secara nyata dibanding anak yang anya menerima seng dan plasebo. Di lain pihak pemberian seng dan besi akan mempengaruhi status vitamin A pada anak balita di Meksiko (Munoz, et al.,1997). Terlihat bahwa zat gizi mikro sangat diperlukan untuk pertumbuhan fisik yang maksimal.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) 2.2.1. Arti dan manfaat pengukuran TBABS
Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). Dengan penilaian pencapaian tinggi badan secara periodik khususnya pada anak baru masuk sekolah, akan memberikan informasi yang sangat penting bagi para penentu kebijakan setempat, dalam perencanaan dan intervensi upaya peningkatan status gizi, juga sebagai indikator pembangunan (Depkes, 1999). Manfaat pengukuran TBABS menurut Abunain (1988) antara lain : 1) cukup teliti digunakan sebagai suatu alat untuk memperoleh gambaran status gizi pada tingkat kabupaten /kota dan tingkat kecamatan; 2) Data TBABS dapat digunakan sebagai dasar untuk pemetaan daerah menurut status gizi dan sekaligus juga memberi gambaran perbedaan sosial ekonomi antar wilayah; 3) Pengukuran TBABS dapat merupakan alternatif alat pemantau status gizi masyarakat dengan biaya relatif murah dan sederhana, sehingga dapat dikembangkan secara luas (nasional, atau regional). TBABS dapat memberi gambaran tentang pertumbuhan yang diderita anak bersangkutan pada umur-umur sebelumnya. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah 7 tahun dapat menggambarkan status gizi pada masa balita mereka (Atmarita, 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada penderita kurang kalori protein (KKP) terutama KKP berat yang bersifat menahun selalu terlihat gangguan pertumbuhan, yang dapat diamati pada tinggi badan. Anak-anak tersebut sulit untuk
Universitas Sumatera Utara
mengejar ketinggalan pertumbuhannya dalam waktu singkat guna mencapai tinggi normal sesuai dengan umurnya (Desmita, 2005). TBABS di suatu wilayah yang ada di bawah baku pada tingkat tertentu dapat memberi petunjuk adanya gangguan pertumbuhan pada anak sebagai gambaran taraf kesehatan dan gizi penduduk di wilayah bersangkutan. Ada korelasi yang baik antara tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat daerah yang bersangkutan. TBABS tersebut merupakan refleksi pertumbuhan anak pada umur di bawah lima tahun dan sekaligus menjadi petunjuk bagi perbaikan kesehatan dan gizi dalam masa tersebut (Abunain, 1988). TBABS dapat merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan masyarakat suatu daerah, yang erat pula hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perubahan dalam status gizi dan kesehatan berkaitan erat dengan perubahan dalam tingkat sosial ekonomi penduduk. Oleh karena itu pengukuran TBABS sebaiknya dilakukan secara berkala, misalnya setiap 3 – 5 tahun sekali, sehingga perubahan-perubahan kualitas fisik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di berbagai daerah dapat dipantau secara berkesinambungan (Jahari, 1999).
2.2.2. Alasan Pengukuran TBABS
Abunain (1988) menyebutkan beberapa alasan digunakannya pengukuran tinggi badan anak baru sekolah (TBABS) adalah atas dasar :
Universitas Sumatera Utara
1. Tinggi badan merupakan indikator yang paling baik untuk pertumbuhan tubuh dan juga tidak terbatas hanya pada golongan masa kanak-kanak saja. 2. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penderita KKP, terutama KKP berat dan yang bersifat menahun, selalu ditandai oleh gangguan pertumbuhan. 3. Tinggi badan pada umur tertentu merupakan hasil kumulatif pertumbuhan semenjak lahir, sehingga menggambarkan riwayat status gizi di masa lalu. 4. Tinggi badan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan keadaan-keadaan yang terjadi dalam waktu singkat seperti halnya ukuran-ukuran yang berhubungan dengan massa jaringan. 5. Tinggi badan pada umur masuk sekolah dasar dapat merupakan refleksi status gizi pada umur-umur sebelumnya atau pada masa balita. Anak-anak dengan riwayat KKP berat dan menahun sukar mengejar ketinggalan pertumbuhan guna mencapai tinggi normal sesuai dengan umur mereka. Karena itu TBABS di suatu daerah dapat memberi gambaran prevalensi gangguan pertumbuhan yang dialami anakanak di daerah tersebut. 6. Anak baru masuk Sekolah Dasar relatif mudah dicapai dibandingkan dengan anak balita atau golongan rawan gizi lain. Dengan demikian pengukuran dalam skala luas dapat dilakukan serentak di semua tempat. 7. Anak sekolah merupakan sasaran penduduk, yang dapat memberi gambaran status kesehatan dan gizi penduduk, yang secara operasional dapat dicapai dengan mudah dalam jumlah besar dan dapat mencakup wilayah luas dalam waktu relatif singkat.
Universitas Sumatera Utara
8. Pengukuran tinggi badan di sekolah-sekolah bukanlah merupakan hal baru di Indonesia, sudah banyak dilakukan baik melalui UKS atau kegiatan lain. 9. Alat ukur tinggi badan relatif cukup teliti, dapat diperoleh dengan mudah dalam jumlah banyak dengan harga relatif murah dibanding harga timbangan berat badan. 10. Pengukuran dapat dilakukan oleh guru dan dapat dilakukan dengan menggunakan buku petunjuk yang sudah diuji tanpa melakukan pelatihan secara khusus. 11. Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang baik antara tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi penduduk daerah yang bersangkutan. 12. Jika pengukuran tinggi badan anak baru masuk SD dilakukan secara periodik, akan dapat diamati perubahan-perubahan dalam tinggi badan anak pada umur yang sama dan perbaikan pertumbuhan anak juga merupakan petunjuk peningkatan status kesehatan dan gizi serta sekaligus memberi gambaran perbaikan dalam bidang sosial ekonomi masyarakat setempat.
2.2.3. Survei Nasional TBABS
Di Indonesia pengukuran TBABS pertama kali dilakukan pada tahun 1986/1987 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta di tiga Propinsi : Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, meliputi 3450 sekolah dasar (652 kecamatan). Pengukuran tinggi badan dilakukan guru sekolah yang bersangkutan berdasarkan buku pedoman. Hasil penelitian menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
pengukuran TBABS dengan cara tersebut memberi harapan untuk dilaksanakan secara luas, dapat digunakan untuk pemetaan gangguan pertumbuhan anak, status gizi, dan pencapaian tinggi pada umur tertentu. Dari penelitian ini berdasarkan analisis data potensi desa bahwa TBABS dapat digunakan sebagai indikator tingkat sosial ekonomi penduduk antar wilayah (Abunain, 1988). Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya dilaksanakan pemantauan TBABS di seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Secara nasional rata-rata TBABS adalah 114,9 cm (91,0% terhadap standar WHO – NCHS) untuk laki-laki, sementara untuk anak perempuan 114,0 cm (90,6 % terhadap standar WHO-NCHS). Adapun n prevalensi gangguan pertumbuhan adalah 32% untuk wilayah pedesaan, dan 18% untuk wilayah perkotaan. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6 – 9 tahun anak pendek adalah 38,8 %. Informasi ini dapat dijadikan sebagai data dasar evaluasi kecenderungan pertumbuhan berikutnya (Depkes, 1999). Pada tahun 1999 pengukuran TBABS secara nasional kedua dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Prevalensi hasil pengukuran TBABS menjadi 36,1 % Rata-rata TBABS hasil survey tahun 1999 adalah : 1. umur 6 tahun, laki-laki 108,9 cm; perempuan 107,8cm 2. umur 7 tahun, laki-laki 111,0 cm; perempuan 110,0 cm 3. umur 8 tahun, laki-laki 113,2; perempuan 112,1 cm 4. umur 9 tahun, laki-laki 116,1 cm; perempuan 115,2 cm (LIPI, 2004)
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian TBABS tahun 1999 menyimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30 – 40 % anak dikategorikan pendek, dan masih dijumpai sekitar 9 – 10 % anak dikategorikan sangat pendek. Hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi (Atmarita, 2004) Rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah (umur 7 – 9 tahun) hasil perhitungan 2003 yang dilakukan Abbas Basuni Jahari dan Idrus Jus’at dari berbagai literatur dan hasil penelitian TBABS untuk penentuan AKG 2004 adalah perempuan 118,1 cm (SD : 4,86); laki-laki 119,2 cm (SD : 3,95) (Jahari, 2004). Dalam menginterpretasikan hasil pengukuran TBABS,dipakai baku rujukan WHO-NCHS yang membedakan jenis kelamin. Cutt off point (ambang batas) untuk klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U adalah:Baku rujukan WHO-NCHS , dengan cara % dari median. Klasifikasi : Normal jika ≥ 90 % median; Stunted/malnutrisi kronis jika ≤ 90 % median. Dengan cara Standar Deviasi (SD) : Klasifikasi : Normal jika ≥-2 SD TB/U; Stunted/pendek jika < -2 SD TB/U.
2.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah
Di seluruh dunia, penyebab tersering dari postur tubuh pendek adalah kemiskinan dan efek-efeknya. Jadi nutrisi
yang buruk, higiene yang buruk dan
kesehatan yang buruk berefek pada pertumbuhan, baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Sering terdapat perbedaan postur tubuh antara kelas-kelas sosial dari kelompok etnis yang sama di area geografi yang sama akibat pengaruh-pengaruh
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Prinsip-prinsip ini telah dibuktikan pada tinggi badan orang-orang Jepang di Amerika yang bertinggi badan lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badan orangorang Jepang yang lahir di Jepang. Sebaliknya, jika keadaan sosial ekonomi sama, perbedaan tinggi rata-rata antara bermacam-macam kelompok etnik hanya disebabkan genetik (Styne, 2000). Faktor sosial ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan antara lain pendapatan atau penghasilan, pendidikan, dan pekerjaan orang tua.Ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Tingkat pendapatan menentukan pola makan dan apa yang dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Pendapatan yang meningkat mendorong pengaruh yang menguntungkan bagi perbaikan gizi keluarga.Martorell et al.cit dalam Soekirman (2000),Sosial ekonomi ini berpengaruh langsung terhadap kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan makanan, sehingga memengaruhi pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mencegah penyakit infeksi (Sediaoetama, 2004). Penyebab utama GAKI adalah kekurangan yodium. Yodium merupakan unsur zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan manusia, walaupun relatif sedikit (normal 100-150 μ g/h) untuk mensintesis hormon tiroksin (WHO,2001). Hormon tiroksin berfungsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh; berperan pada metabolisme umum (metabolisme: energi,lemak, protein, kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan saraf pusat dan hormon pertumbuhan (Granner, 2003)
Universitas Sumatera Utara
Asupan iodium dalam makanan sehari-hari kurang dari 50 µg/hari dan berlangsung lama, akan menyebabkan kandungan iodium dalam intratiroid rendah, akibatnya hipotalamus merangsang pituari anterior mensekresi TSH, sehingga terjadi peningkatan TSH untuk merangsang kelenjar tiroid mensekresi T 4 , akibatnya timbul hipertrofi pada kelenjar tiroid, kelenjar gondok membesar (gondoken/goiter) dan hipotiroidisme. Dampak dari penurunan fungsi tiroid, bila terjadi pada ibu hamil maka akan melahirkan anak kretin, ditandai dengan gangguan pertumbuhan fisik, bayi lahir dengan panjang dan berat badan lahir rendah, anak cebol (Hetzel, 1996). Di sisi lain, kekurangan iodium tersebut menyebabkan
gangguan fungsi
hormon tiroksin dalam metabolisme zat-zat gizi, menyebabkan pembentukan organ dan fungsi organ-organ penting terganggu, akibatnya proses tumbuh kembang terganggu, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan fisik dan kretin (Grannspan, 2000). Pada bayi melahirkan BBLR dan PB Lahir rendah, pada balita anak menjadi cebol, dan pada anak ditandai dengan anak pendek/stunted pada usia masuk sekolah (Almatsier, 2004). Mekanisme hubungan defisiensi iodium dengan pertumbuhan seperti pada gambar 1.
Universitas Sumatera Utara
Daerah Endemis GAKY
Defisiensi Yodium ( < 50 μ g/hari )
Produksi hormon thyroid kurang Kandungan Iodium intratiroid rendah Meningkatkan TSH Serum Menurunkan sekresi T 4 Fungsi Thyroid menurun
Terjadi gondok
Metabolisme zat terganggu Terjadi Hipotiroidisme Pembentukan Organ terganggu
Fungsi organ-organ penting terganggu
Proses tumbuh kembang terganggu Hambatan Pertumbuhan Fisik dan kretin Bayi : BBLR, PB lahirRendah : Balita : Cebol
Anak Baru Sekolah : TBABS Pendek/ Stunted
Sumber : Hetzel (1996), Greenspan, (2000); Almatsier, (2004).
Gambar 1 : Bagan Hubungan Defisiensi Yodium dengan Pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
2.3. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) 2.3.1. Pengertian GAKI dan faktor penyebabnya
Istilah GAKI adalah singkatan dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium, sejak tahun 1970-an disepakati untuk menggantikan istilah Gondok Endemik (GE), dan digunakan untuk mencakup semua akibat kekurangan yodium terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang dapat dicegah dengan pemulihan kekurangan yodium (Djokomoeljanto, 2002). GAKI adalah sekumpulan gejala klinis yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan (defisiensi) unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (WHO, 2001). Pengertian defisiensi yodium saat ini tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi defisiensi yodium berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak. Defisiensi yodium dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan yodium (GAKI) yang menunjukkan luasnya pengaruh defisiensi yodium tersebut (Almatsier, 2004). Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang dibutuhkan manusia relatif sedikit (kebutuhan normal : 100 – 150 μ g/hari) untuk mensintesis hormone tiroksin. Hormon tiroksin berfungsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh; berperan pada metabolisme umum (metabolisme: energi, lemak, protein, kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan saraf pusat dan hormon pertumbuhan (Granner, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Penyebab utama GAKI adalah kekurangan Iodium. Kekurangan iodium dalam makanan sehari-hari (< 50 μ g/hari) akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid, sehingga fungsi tiroksin dalam metabolisme zat-zat gizi akan terganggu, efeknya terhadap pertumbuhan lebih nyata terutama pada masa pertumbuhan anak-anak. Penderita hipotiroidisme, kecepatan pertumbuhannya menjadi sangat tertinggal (Djokomoeljanto, 2001). Kadar iodium dalam bahan makanan bervariasi dan dipengaruhi oleh letak geografis, musim, dan cara memasaknya. Bahan makanan laut mengandung kadar iodium lebih banyak. Kadar iodium berbagai bahan makanan misalnya ikan tawar (basah) 30 µg/kg bahan, ikan tawar (kering) 116 µg/kg, ikan laut (basah) 812 µg/kg, ikan laut (kering) 3.715 µg/kg, cumi-cumi (basah) 798 µg/kg, cumi-cumi (kering) 3.866 µg/kg, daging (basah) 50 µg/kg, susu 47 µg/kg, telur 93 µg/kg, sayur 29 µg/kg, cereal 47 µg/kg, (Harsono, 1994) Kadar iodium pada pengelolaan makanan akan berkurang tergantung cara memasaknya. Ikan yang digoreng kadar iodiumnya berkurang 25 %, bila di bakar berkurang 25 % dan bila di rebus (tanpa ditutupi) akan berkurang hingga 56 . Sebaliknya iodium bisa disenyawakan dengan berbagai zat misalnya dengan NaCl pada iodisasi garam dapur, dilarutkan dalam air dalam senyawa Kl, dilarutkan dalam minyak (lipiodol) dll. (Harsono, 1994). Kandungan rata-rata iodium dalam bahan makanan disajikan pada tabel.1
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Rata-rata kandungan Iodium dalam Bahan Makanan (mg/kg) Bahan Makanan Ikan air tawar Ikan laut Minyak ikan Daging Susu Telur Padi-padian Buah-buahan Kacang-kacangan Sayuran Sumber : WHO, 1996
Segar Rata-rata (mg) 30 832 798 50 47 93 47 18 30 29
Kering Range (mg) 17 - 40 163 -3180 308 -1300 27 - 97 35 - 56 22 - 72 10 – 29 23 - 36 12 - 201
Rata-rata (mg) 116 3715 3866 65 154 234 385
Range (mg) 68 – 194 4781 - 4591 1292 – 4987 34 – 92 62 – 277 23 – 245 204 – 1636
2.3.2. Goitrogenik
Goitrogenik adalah suatu zat yang menghambat produksi atau penggunaan hormon tiroid. Keberadaan zat goitrogenik akan menjadi nyata jika terjadi kekurangan iodium (Kartono, 2004). Berdasarkan sumbernya goitrogenik terdiri dari goitrogenik alami dan goitrogenik non alami. Goitrogenik alami seperti pada singkong, rebung, kol, ubi jalar, buncis besar, kacang-kacangan, bawang merah dan bawang putih. Sedangkan yang non alami seperti bahan polutan akibat kelebihan pupuk urea, pestisida dan bakteri coli (Thaha, 2002). Berdasarkan mekanisme kerjanya zat goitrogenik alami dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : 1) kelompok tiosianat atau senyawa mirip tiosianat bekerja menghambat mekanisme transport aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid. Bahan makanan yang kaya sumber tiosianat antara lain ubi kayu, hasil olah ubi kayu, lobak, kol, rebung, ubi jalar dan buncis besar, 2) kelompok tioure bekerja
Universitas Sumatera Utara
menghambat prosesorganifikasi iodium dan penggabungan iodotirosin dalam pembentukan hormon tiroid aktif. Bahan makanan yang mengandung tiourea seperti sorgum, kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah, dan bawang putih. Bahan makanan goitrogen yang populer dan banyak dikonsumsi di banyak negara berkembang adalah singkong. Kadar sianida dalam singkong bervariasi sekitar 70 mg-400 mg/kg. Bila kadar sianida singkong sekitar 400 mg/kg, singkong itu disebut singkong pahit, sedang bila 70 mg/kg disebut singkong manis. Menurut FAO/WHO batas aman sianida adalah 10 mg/kg berat kering (Murdiana,2001). Bahan makanan lain yang mengandung goitrogenik adalah kol, kedelai mentah (Setiadi,1980). Salah satu jenis goitrogenik ini adalah golongan tiosianat (SCN) Goitrogenik tiosianat berasal dari prekusor tiosianat yaitu sianogenik glikosida, sianohidrin dan asam sianida (sianida bebas). Perubahan sianida menjadi tiosianat terjadi ketika bahan makanan goitrogen dicerna dengan bantuan enzim glikosidase serta enzim sulfur transferase. Tiosianat merupakan hasil detoksifikasi sianida makanan di dalam tubuh yang diekskresikan dalam urin. Murdiana, dkk (2001) melakukan penelitian untuk mengurangi kadar goitrogenik jenis tiosianat di daerah gondok endemik yaitu Pundong Yogyakarta dan Srumbung Magelang. Rata-rata kadar sianida bahan makanan mentah bekisar 2 – 18 mg/100 gram bahan mentah. Setelah dilakukan pengolahan pada jenis sayuran dengan cara rebus dan tumis kadar sianida masih berkisar 50 %. Sedangkan pada umbiumbian setelah direbus berkisar 2 – 38 % dan bila ditumis masih berkisar 40 – 70 %.
Universitas Sumatera Utara
Selain cara diatas penurunan kadar sianida juga bisa dilakukan dengan fermentasi dan perendaman. Kadar sianida pada bahan makanan disajikan pada tabel 2. Tabel 2.2 Kadar sianida (CN) dalam sayuran dan umbi-umbian dengan berbagai cara Pengolahan (mg/100 gr bahan)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Nama Bahan Bayam Bunga kol Sawi hijau Cabe hijau Daun kacang panjang Daun bawang merah Daun bawang bakung Daun melinjo Daun singkong Daun pepaya Jagung muda Kulit tangkil Kol Kangkung Koro Sawi putih Seledri Buncis Gambas Pare Slada air Terong ungu Ubi Singkong Ganyong Gatot Talas
Mentah 3,84 5,64 2,52 3,99 9,32 5,45 8,47 12,97 1,64 9,18 5,89 19,58 12,09 6,85 2,54 4,75 3,66 6,42 5,11 6,15 18,54 4,09 3,88 7,8 5,58 5,22 4,68
Kadar Cianida Rebus 1,87 4,50 0,41 0,62 0,0 2,24 5,40 6,67 0,0 0,0 0,73 14,90 3,95 0,0 1,35 1,96 0,0 3,70 0,0 0,37 6,74 1,09 1,04 0,20 1,75 2,02 0,37
Tumis 0,65 4,03 2,41 0,55 0,78 3,33 8,09 7,83 0,90 8,69 3,54 14,90 4,28 0,97 0,67 0,36 3,27 2,11 0,0 2,99 8,58 3,56 2,80 1,38 2,28 2,57 2,54
Sumber : Murdiana dan Sukati (2001) : PGM, Kadar Sianida dalam sayuran dan umbi-umbian di daerah GAKI.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Hubungan Goitrogenik dengan GAKI
Goitrogenik pada umumnya berperan sebagai penghambat transpor aktif ion iodida (I) ke dalam kelenjar tiroid sehingga menghambat fungsi tiroid. Salah satu jenis goitrogenik ini adalah golongan tiosianat (SCN). Tiosianat ini akan berkompetisi dengan iodida ketika memasuki sel tiroid karena volume molekul dan muatannya sama. Tiosianat masuk ke dalam darah dan membentuk ion-ion goitrogen dan akan mengikat ion-ion iodium. Akibatnya iodida yang akan digunakan untuk pembentukan hormon-hormon mono (T 1 ) dan diiodothyronine (T 2 ) sebagai precursor hormon triiodothyronine (T 3 ) dan tyroksin (T 4 ) berkurang, sehingga pembentukan hormon T 3 dan T 4 akan menurun. Karena iodium kurang atau tidak sesuai dengan kebutuhan, untuk memenuhi kebutuhan hormon maka kelenjar tiroid akan bekerja keras, mengakibatkan sel-sel akan membesar dan secara visual leher akan membesar yang disebut dengan GAKI Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan goitrogenik yaitu di Nigeria Timur dan Ubangi Zaire Barat yang makanan pokoknya adalah singkong diperoleh hasil terjadi peningkatan kadar tiosianat serum dan urine. Hasil percobaan pada tikus dan kelinci yang diberi singkong dan kol, terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan penurunan
kadar
monoiodotirosin
(MIT)
dan
diiodotirosin
(DIT)
dalam
darah.(Setiadi, 1980). Van der Laan menemukan efek tiosianat terhadap kelenjar tiroid bahwa tiosianat menghambat uptake iodium oleh kelenjar tiroid dan mempercepat
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran iodida dari kelenjar tiroid. Jika kadar tiosianat darah melebihi 1 mg %, maka akan terjadi hambatan pompa iodium (iodine pump) pada intake iodium yang normal, sedangkan pada kadar tiosianat darah yang lebih tinggi lagi akan terjadi pula penghambatan pembentukan MIT, DIT, T 3 dan T 4 . Aritonang (2000) melakukan penelitian di Kabupaten Dairi yang TGR nya tinggi diperoleh hasil bahwa bahan makanan yang sering dikonsumsi adalah ubi kayu, daun singkong, kol. Beberapa penelitian bahan makanan ini bisa menyebabkan pembesaran kelenjar gondok. Bourdouk, dkk (1980) melakukan penelitian di Ubangi Zaire Barat Laut yang makanan pokoknya adalah singkong, terjadi peningkatan kadar tiosianat serum dan urine tetapi bila singkong diganti beras maka akan terjadi penurunan kadar tiosianat serum dan urine (Setiadi, 1980). Zaleha, et al. (1996) cit Ali (1999) melakukan penelitian di Malaysia dengan pemberian pucuk ubi kayu rebus selama dua minggu, terjadi perubahan fungsi hormon tiroksin dan triiodotironin. Chesney menemukan bahwa kelinci yang diberi kol selama beberapa bulan menunjukkan pembesaran kelenjar tiroid ( Setiadi, 1980). Hubungan
metabolisme
iodium,
goitrogenik
dengan
status
GAKI
digambarkan di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
DIIT IODIUM (I) rendah
Gastrointestinal : IODIDA (I − )
Tiosianat (SCN − )
Transpor Iodium MIT
DIT
Tiroglobulin T3
T4
THYROID : I − rendah Kandungan iodium intratiroid rendah
Meningkatkan TSH Serum Menurunkan sekresi T 4
Fungsi thyroid menurun Terjadi gondok, hipotiroidism, kretinisme, gangguan pertumbuhan Sumber : Ganong (1999), Greenspan (2000), Gand (1980), WHO (1996) Gambar 2 : Metabolisme Iodium dan Goitrogen dalam thiroid
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Dampak GAKI
Kekurangan iodium yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid. Sintesa hormon tiroid berkurang, akan menguras cadangan iodium serta mengurangi produksi tiroksin (T 4 dan T 3 ) bebas dalam plasma darah berkurang. Pengurangan produksi T 4 dan T 3 didalam darah memicu sekresi Tiroid Stimulating Hormon (TSH) yang selanjutnya menyebabkan kelenjar tiroid bekerja lebih giat, sehingga secara perlahan kelenjar ini membesar (hiperplasi) disebut gondok. Kekurangan yodium yang berlangsung lama pada masa kehamilan dapat menyebabkan abortus, lahir mati, cacat bawaan, gangguan perkembangan otak, melahirkan anak kretin dengan gejala gangguan pertumbuhan badan, cebol, perkembangan mental terganggu, perut buncit karena tonus abdominal yang kurang, lidahnya besar. Demikian juga jika terjadi kekurangan yodium pada anak dan remaja dapat menyebabkan gondok, hipotiroidisme, gangguan fungsi mental, pertumbuhan terhambat (Hetzel, 1996). Kretin merupakan dampak terberat pada anak yang timbul manakala asupan yodium kurang dari 25 μ g/hari dan berlangsung lama. Kretin ditandai dengan keterbelakangan mental disertai : a) satu atau lebih kelainan saraf seperti gangguan pendengaran, gangguan bicara, serta gangguan sikap tubuh dalam berdiri dan berjalan; atau b) gangguan pertumbuhan/cebol (Djokomoelyanto, 1996). Kretin dapat diderita oleh anak-anak dalam usia akil baliq (0 – 12 tahun ), dan tinggal di daerah endemik gondok; atau anak yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan yodium.
Universitas Sumatera Utara
Makin muda usia anak makin rentan terhadap kretin jika menderita hipotiroid. Adanya satu saja penderita kretin di salah satu wilayah merupakan indikator beratnya masalah GAKY, dan dapat diasumsikan pada wilayah tersebut kualitas SDM rendah (Depkes, 2003). Pengaruh
defisiensi/kekurangan
yodium
nyata
sekali
terlihat
pada
perkembangan otak selama pertumbuhan berlangsung dengan cepat, yaitu masa janin, bayi, dan balita. Bila kekurangan yodium terjadi pada anak dan remaja akan menyebabkan pertumbuhan terhambat, ditandai dengan tubuh pendek/stunted. Pada saat baru masuk sekolah anak terlihat pendek (Sediaoetama, 2004). Dampak yang ditimbulkan GAKI cukup luas mulai pada masa janin sampai dewasa. Spektrum GAKI menurut WHO (2001), adalah sebagai berikut : 1. Bila kekurangan yodium terjadi pada janin, maka dampak kemungkinan yang terjadi: abortus, lahir mati, cacat bawaan, kematian, perinatal, kematian bayi, kretin neurologi (keterbelakangan mental, bisu tuli, mata juling, lumpuh spastic pada kedua tungkai), kretin myxoedematus (keterbelakangan mental, cebolan), hambatan psikomotor. 2. Bila kekurangan yodium terjadi pada neonatal, maka dampak kemungkinan yang terjadi : gondok neonatus, hipotiroidisme neonatus, penurunan IQ. 3. Bila kekurangan yodium terjadi pada anak dan remaja, maka dampak kemungkinan yang terjadi : gondok, hypotiroid (juvenile hipotiroidisme), gangguan fungsi mental, pertumbuhan terhambat.
Universitas Sumatera Utara
4. Bila kekurangan yodium terjadi pada dewasa, maka dampak kemungkinan yang terjadi : gondok dan komplikasinya, hipotiroidisme, gangguan fungsi mental, Iodine Induced Hipotiroidism (IIH). Pada tingkat ringan kekurangan iodium akan berakibat menurunnya produktivitas, libido, kesuburan dan immunitas. 5. Bila kekurangan yodium terjadi pada semua umur, maka dampak yang terjadi adalah : Gondok, Hypothyroidisme, gangguan fungsi mental dan pertumbuhan, bertambahnya kerentanan terhadap radiasi nuklir.
2.3.5. Endemisitas GAKI
Tingkat endemisitas GAKI memengaruhi defisiensi iodium. Suatu daerah disebut daerah endemik kekurangan iodium bila tanah dan airnya sangat kekurangan iodium. Daerah-daerah pegunungan merupakan daerah endemik GAKI. Hal ini terjadi karena daerah-daerah ini sering mengalami kekurangan iodium disebabkan sering terjadinya erosi, banjir, hujan lebat yang membawa yodium hanyut ke laut. Akibatnya tanah, air, tanaman dan binatang yang hidup di wilayah tersebut sedikit mengandung yodium sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemik ini berisiko mengalami kekurangan iodium jika hanya tergantung pada hasil tanaman daerah tersebut (Hetzel, 1996). Indikator yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat endemisitas GAKI pada suatu daerah adalah TGR. Menurut WHO (2001) apabila di suatu daerah ditemukan jumlah penderita gondok/TGR ≥ 5% dari jumlah penduduk, maka daerah tersebut disebut daerah endemis. Kriteria epidemiologis untuk menilai endemisitas
Universitas Sumatera Utara
GAKI suatu daerah berdasarkan indikator TGR adalah non endemis jika TGR < 5% ; endemis ringan jika TGR 5,0 – 19,9 % ; endemis sedang jika TGR 20,0 – 29,9% ; dan endemis berat jika TGR ≥ 30 %. Daerah endemis GAKI masih banyak di Indonesia. Dari 28 Propinsi ,7 propinsi (25%) merupakan daerah non endemis, 17 propinsi (60,8%) endemis ringan, 2 propinsi (&,1%) endemis sedang, dan 2 propinsi (7,1%) endemis berat. Dari 342 Kabupaten/kota 148(43,3%) Kabupaten non endemis, 122 (35,7%) Kabupaten endemis ringan, 42(12,2%) endemis sedang, dan 30 (8,8%) endemis berat.
2.3.6. Upaya Penanggulangan GAKI
Di Indonesia upaya penanggulangan GAKI sudah dilakukan sejak tahun 1970-an berupa program “Iodisasi garam”. Iodisasi garam merupakan strategi jangka panjang, yaitu fortifikasi garam dengan KIO 3 , tujuannya semua garam konsumsi harus mengandung iodium minimal 30 – 80 ppm Kalium Yodat tersedia di pasar/masyarakat. Program garam beryodium ini bertujuan Universal Salt Iodisation (USI) di mana 90 % masyarakat mengkonsumsi garam mengandung cukup yodium (30 ppm). Program jangka panjang lainnya adalah Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), merupakan strategi memberdayakan masyarakat dan seluruh komponen terkait agar satu visi dan misi untuk menanggulangi GAKI melalui kegiatan pemasyarakatan informasi, advokasi, pendidikan / penyuluhan tentang ancaman GAKI bagi kualitas SDM, pentingnya mengkonsumsi garam beryodium, loew inforcement dan sosial
Universitas Sumatera Utara
inforcement, hak memperoleh kapsul iodium bagi daerah endemik, dan penganeka ragaman konsumsi pangan (Depkes, 2004). Tahun 1980 dilakukan program pengobatan dengan suntikan “lipiodol”. Pada tahun 1990-an suntikan ini diganti dengan suplemen “kapsul minyak beryodium”, dengan sasaran khusus ibu hamil, ibu menyusui, wanita usia subur, dan anak sekolah didaerah rawan GAKI. Pemberian kapsul minyak beryodium merupakan strategi jangka pendek untuk penanggulangan GAKI. Program ini dilakukan dalam rangka mempercepat perbaikan status iodium masyarakat khususnya daerah endemik sedang dan berat pada kelompok rawan. Kapsul minyak beryodium 200 mg diberikan pada kelompok sasaran wanita usia subur 2 kapsul/tahun ; 1 kapsul pertahun untuk ibu hamil, ibu meneteki, dan anak SD/MI (Depkes, 2000). Sejak tahun 1997 dilakukan program penanggulangan GAKI secara intensif yang dibiayai oleh Bank Dunia melalui Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKI (IP-GAKI) yaitu iodisasi garam, pemberian kapsul minyak beryodium, komunikasi informasi edukasi (KIE), Monitoring dan Evaluasi. Namun masalah GAKI belum dapat dikatakan tuntas, karena secara nasional TGR masih di atas 5 % yaitu 11 % (sesuai ketentuan WHO, GAKI tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat apabila TGR dalam populasi < 5 % ) (Depkes, 2003) Hasil yang dicapai dalam program yodisasi garam menurut survey GAKI tahun 2003 adalah proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi garam mengandung cukup yodium baru 61,4 % ; cakupan distribusi kapsul beryodium pada wanita usia subur (WUS) di daerah endemik sedang dan berat masih rendah (33%) dan pada anak
Universitas Sumatera Utara
sekolah di daerah endemis berat juga rendah (48%). Jumlah produsen garam beryodium tahun 2003 sebanyak 376 tetapi baru 236 produsen yang memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) (Depkes, 2003).
2.4. Landasan Teori
Daerah endemis GAKI
Sosial Ekonomi Keluarga
Defisiensi Yodium
Intake zat Gizi : - Konsumsi Energi - Konsumsi Protein - Konsumsi Yodium rendah Dalam bahan makanan - Konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik
Gangguan Pertumbuhan
Infeksi
TBABS Sumber : Greenspan, (2000); Guyton (1997); Soekirman, (2000); Atmarita, (20004); Styne, (2000)
Gambar 3. Bagan Kerangka Teori Penelitian
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep Variabel Independen
Sosial Ekonomi Keluarga - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan
Intake Zat Gizi : 1. Energi 2. Protein 3.Iodium
Variabel Dependen Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) - Stunted
Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) - Tidak stunted
Gambar 4 : Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara