BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Teori Kebijakan Publik Kebijakan adalah sarana yang dengannya tujuan akan dicapai. Kebijakan meliputi pedoman, aturan dan prosedur yang ditetapkan untuk mendukung upayaupaya pencapaian tujuan yang tersurat.Kebijakan adalah panduan untuk mengambil keputusan dan menangani situasi-situasi yang repetitive atau berulang-ulang (Davis. 2011). Definisi Kebijakan Publik menurut Robert Eyestone (1971) dan Thomas R. Dye, (1984), yang
dirangkum
oleh
Budi Winarno (2007) dalam bukunya
“Kebijakan Publik” adalah : 1. Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Eyestone. R.(1971). 2. Apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Dye, Thomas R. (1984). Dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, Dan Revisi Kebijakan Publik Di lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, pengertian umum dari kebijakan adalah keputusan yang dibuat suatu lembaga pemerintah atau organisasi dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan lembaga tersebut.
2.2.Pengertian Implementasi Kebijakan Publik Grindle (1980) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran (Winarno. 2007). Implementasi kebijakan adalah suatu kegiatan atau proses pelaksanaan atau penerapan
kebijakan
publik
yang
telah
ditetapkan
(Permenpan
Nomor
PER/04/M.PAN/4/2007).
2.3.Perspektif Implementasi Kebijakan Dalam bukunya Public Policy, Nugroho (2009) memberi makna implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahkan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Sekuensi Implementasi Kebijakan (Nugroho R, 2009) Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpress, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan.Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi. Sebagian besar negara berkembang mempunyai masalah yang sama yaitu implementasi dilaksanakan tanpa pertimbangan waktu. Apabila kebijakan tersebut bersifat darurat, tidak diperlukan waktu untuk sosialisasinya. Namun, apabila tidak darurat, sebaiknya perlu melakukan proses yang wajar (Nugroho, 2009).
Sosialisasi Kebijakan
Penerapan kebijakan tanpa sanksi (6-1 tahun) disertai perbaikan kebijakan (policy refinement)
Penerapan dengan sanksi disertai pengawasan dan pengendalian
Evaluasi kebijakan (pada akhir tahun ke 3 dan/atau ke 5 sejak diterapkan dengan
Gambar 2.2. Proses PER/04/M.PAN/4/2007)
Implementasi
Kebijakan
(Permenpan
Nomor
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya (Winarno, 2007).
2.4.Model dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat di dalam implementasi, maka akan dikolaborasi beberapa model implementasi kebijakan di bawah ini : 2.4.1.Model Donal S. Van Meter & Carl E. Van Horn Ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni (1) Standar dan sasaran kebijakan; (2) Sumberdaya implementasi; (3) Komunikasi antar organisasi; (4) Karakteristik agen pelaksana; (5) Disposisi implementor; (6) Lingkungan kondisi sosial, ekonomi dan politik. 2.4.2.Model Danielle A.Mazmanian & Paul A. Sabatier Kebijakan publik dipengaruhi oleh tiga kelompok variabel, yaitu (1) Karakteristik masalah; (2) Karakteristik kebijakan / undang-undang; (3) Variabel lingkungan. 2.4.3.Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn Model implementasi kebijakan berdasarkan konsep manajemen strategis yang mengarah pada praktek manajemen yang sistematis dan tidak meninggalkan kaidahkaidah pokok.Kelemahannya, konsep ini tidak secara tegas menunjukkan mana yang bersifat politis, strategis dan teknis atau operasional. 2.4.4.Model Malcom Goggin, Ann Bowman dan James Lester Model ini mengembangkan apa yang disebut sebagai “Communication model” untuk implementasi kebijakan ini bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan
metode penelitian dengan adanya variabel independent, intervening dan dependent dan meletakkan faktor komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. 2.4.5.Model Marille S. Grindle Ada dua
variabel
kebijakan (content
yang
fundamental yang mempengaruhi, yakni isi
of policy)
dan lingkungan implementasi (context of
implementation). Variabel tersebut mencakup hal sebagai berikut, yaitu: (1) sejauh mana kepentingan kelompok atau sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan publik; (2) jenis manfaat yang diterima target group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh kebijakan. 2.4.6.Model Richard Elmore, Michael Lipsky dan Benny Hjern & David O`Porter Model ini dimulai dari mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka : tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang dimiliki. 2.4.7.Model G. Shabbir Cheema & Dennis A. Rondinelli Menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A Rondinelli ada empat kelompok variabel dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yaitu (1) kondisi lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumber daya organisasi untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen pelaksana. 2.4.8.Model David L. Wiener & Aidan R. Vinning Ada tiga kelompok variable besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi program kebijakan, yaitu (1) Logika dari suatu kebijakan; (2) Sebuah
kebijakan harus sesuai dengan tuntutan lingkungan; (3) Kemampuan implementor (Purwitasari, 2012). 2.4.9.Model George C. Edwards III Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1980). Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi.Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan (Mulyono. 2009). Empat faktor yang mempengaruhi model implementasi kebijakan yang berpekstif top down iniyaitu: a. Komunikasi Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. b. Sumber Daya Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumber daya, baik
sumber daya manusia, material dan metoda. c. Disposisi Karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan bersifat demokratis. d. Struktur Birokrasi Organisasi menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatannya
dan
jarak
dari
puncak
menunjukkan
status
relatifnya.Garis-garis interaksi formal yang ditetapkan (Mulyono. 2009).
Komunikasi
Sumberdaya Implementasi Disposisi
Struktur Birokrasi
Gambar 2.3. Empat Faktor yang Memengaruhi Implementasi (Edwards III, 1980)
Setelah mengetahui model-model implementasi kebijakan, masalah penting adalah model mana yang terbaik yang hendak dipakai?Jawabannya adalah tidak ada model terbaik.Setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Namun sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijkan publik yang partisipasitif, artinya bersifat top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan dan murah (Nugroho R. 2009).
2.5.Qanun KIBBLA Kota Banda Aceh Pemerintah Kota Banda Aceh telah menerbitkan peraturan daerah atau qanun nomor 17 tahun 2011 Tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak Balita (KIBBLA) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi melalui peningkatan kualitas pelayanan. Tujuan diterbitkan qanun ini dapat dilihat sesuai dengan pasal 3 dijelaskan yaitu : “Tujuan penyelenggaraan pelayanan KIBBLA adalah : a) Terwujudnya peningkatan kualitas KIBBLA; b) Tercapainya penurunan angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dan anak balita melalui peningkatan kualitas pelayanan; c) Terbangunnya partisipasi masyarakat dalam pelayanan KIBBLA; dan d) Terjadinya perubahan perilaku masyarakat, pemerintah dan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang kurang menguntungkan KIBBLA.” Sosialisasi Qanun KIBBLA ini harus dapat disampaikan kepada masyarakat sebagai pengguna layanan, dimana masyarakat harus tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Hal ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut :
Pada pasal 7 dijelaskan bahwa : “Setiap Ibu berhak : a) Mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik selama masa kehamilan; b) Mendapatkan bantuan persalinan dari tenaga kesehatan yang terampil dan terlatih sesuai standar pelayanan kesehatan kebidanan; c) Mendapatkan pelayanan kesehatan masa nifas; dan d) Menolak pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga dan sarana kesehatan yang tidak memiliki kompetensi dan sertifikasi.” Pemerintah Kota Banda Aceh mempunyai tanggung jawab dalam upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 6 yaitu : “Pemerintah Kota bertanggungjawab untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang dilaksanakan melalui optimalisasi pelayanan KIBBLA” Pada pasal 9 dijelaskan bahwa, Pemerintah Kota Banda Aceh mempunyai kewajiban sebagai berikut : “Pemerintah Kota wajib : a) Melakukan perencanaan dan penganggaran terhadap pelayanan KIBBLA; b) Memberikan bimbingan, penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya KIBBLA; c) Menyediakan pelayanan KIBBLA yang terjangkau dan berkualitas bagi ibu, bayi baru lahir dan anak balita secara berjenjang dan berkesinambungan; d) Menyediakan kebutuhan tenaga, alat dan lainnya terutama untuk sarana pelayanan kesehatan Pemerintah Kota sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah; e) Melakukan pengaturan, pembinaan dan pengawasan dalam bidang pelayanan KIBBLA; f) Mengupayakan pembebasan pembiayaan pelayanan KIBBLA untuk penduduk miskin dan tidak mampu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan g) Melakukan kemitraan dengan pihak swasta guna meningkatkan derajat KIBBLA.” Pemerintah Kota Banda Aceh juga berkewajiban untuk memberikan pelayanan KIBBLA yang berkualitas, ini jelaskan pada pasal 22 yaitu :
“Jaminan Pelayanan KIBBLA 1) Pemerintah Kota memberikan jaminan pelayanan KIBBLA yang berkualitas meliputi: a. Pelayanan KIBBLA di Puskesmas dan jaringannya; b. Pelayanan kegawatdaruratan dasar kebidanan dan bayi di Puskesmas PONED; dan c. Pelayanan kegawatdaruratan komprehensif kebidanan dan bayi di RSU PONEK. 2) Pelaksanaan jaminan pelayanan KIBBLA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan partisipasi aktif masyarakat.“ Pemerintah Kota Banda Aceh juga bertanggung jawab terhadap penyediaan anggaran, dan pemenuhan serta peningkatan kapasitas SDM pelayanan, seperti yang dijelaskan pada pasal berikut. Pasal 35 menjelaskan tentang pembiayaan : “Penyelenggaraan pelayanan KIBBLA yang merupakan tanggungjawab Pemerintah Kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota dan sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.”
2.6.Kebijakan Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak Program Kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia.Program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal.Salah satu tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit pada ibu dan anak melalui peningkatan mutu pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan dasar dan pelayanan rujukan primer (Sistiarani et.al. 2014). Indonesia sebelumnya merupakan negara yang agresif melakukan kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).Sejak WHO meluncurkan Safe Motherhood
Iniatiative pada tahun 1987, pemerintah Indonesia langsung merespon agenda WHO dalam kebijakan pembangunan KIA melalui strategi Making Pregnancy Safer (MPS) (Kemenkes,
2001).Indonesia
juga
merespon
cepat
inisiatif
pembangunan
kependudukan global (International Conference Population and Development/ICPD) yang pertama kali diadakan di Kairo, Mesir tahun 1994.Salah satu poin yang menjadi rujukan bagi pemerintah Indonesia adalah mengenai hak remaja untuk memperoleh pelayanan reproduksi termasuk juga mendapatkan pelayanan konseling yang benar. Selama dua dekade 1980 - 2000 Indonesia merupakan negara yang sukses dalam menata program KIA. (Nurizka dan Saputra, 2013). Upaya untuk mempercepat penurunan AKI telah dimulai sejak akhir tahun 1980-an melalui program Safe Motherhood Initiative yang mendapat perhatian besar dan dukungan dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri (Kementerian Kesehatan. 2010). Di Indonesia Safe Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden yang melibatkan berbagi sektor pemerintahan di samping sektor kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat (Kementerian Kesehatan, 2013). Kemudian pada tahun 2000 pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York lahirlah suatu kebijakan tingkat internasional yang disebut dengan Target Pembangunan Millenium 2015 atau yang sering disebut sekarang “Millenium
Development Goals 2015”. Saat itu Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan 189 negara lain, berkumpul untuk menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York dan menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi berisi sebagai komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDGs), sebagai satu paket tujuan terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Dalam upaya pencapaian target MDGs tersebut, Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy Safer dengan menetapkan target pencapaian MDGs 4 dan 5 untuk Indonesia pada tahun 2015 yaitu AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup dan AKABA sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2010). Pada tahun 2008, Departemen Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang bertujuan untuk memenuhi pelayanan kesehatan yang paling mendasar dan esensial pada tingkat yang paling minimal secara nasional, sehingga dapat mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan yang termasuk didalamnya pelayanan kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 2012, diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif untuk mendukung upaya menurunkan angka kematian bayi. Untuk mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif diharapkan dapat tercapai maka salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan menerapkan program inisiasi menyusu dini. Inisiasi menyusu dini atau IMD merupakan program yang sedang gencar dianjurkan pemerintah Indonesia. WHO dan UNICEF telah merekomendasikan inisiasi menyusu dini sebagai tindakan penyelamatan kehidupan, karena inisiasi menyusu dini dapat menyelamatkan 22% nyawa bayi sebelum usia 28 hari (Raharjo, 2014). Ditahun 2012 ini juga diluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dicanangkan oleh Kemeterian Kesehatan bekerja sama dengan USAID selama 5 tahun (2012 s/d 2016), program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi-provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan (Kementerian Kesehatan, 2013). Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan anak dari mulai dalam kandungan sampai usia
remaja
dan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
97
Tahun
2014
TentangPelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan
Kesehatan Seksual. Kemudian yang terakhir adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Dari lingkup pelayanan kesehatan reproduksi tersebut, masalah kesehatan ibu, infertilitas dan aborsi menjadi isu yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan reproduksi terutama pada kesehatan reproduksi perempuan. Permasalahan kesehatan ibu menjadi penting karena angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi dan memerlukan perhatian serta upaya khusus untuk menurunkannya. Sedangkan infertilitas dan aborsi menjadi isu penting karena sangat terkait dengan aspek etikolegal. Beberapa kabupaten lainnya di Indonesia juga telah memiliki regulasi daerah yang spesifik mengatur tentang penurunan AKI, antara lain Kabupaten Pasuruan di Jawa Timur, Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Pasuruan menurunkan Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Desa (Perdes) mengenai KIBBLA (Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir) pada tahun 2008, dan berhasil menurunkan berbagai angka indikator kesehatan ibu, anak dan balita, bahkan mendapatkan MDGs Award pada tahun 2012 dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs. Kabupaten
Takalar
berupaya
menurunkan
Angka
Kematian
Ibu
dengan
mengeluarkan Perda No 2 Tahun 2010 tentang Kemitraan Bidan dan Dukun dan telah mencapai nol angka kematian ibu, sehingga menjadi daerah percontohan bagi daerah lain (Nurizka dan Saputra, 2013).
Dikabupaten Sampang, kebijakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi dicanangkan program yaitu Lima Bebas dan Dua Plus (LIBAS 2+) mencakup (1) Bebas Kematian Ibu Melahirkan (2) Bebas Kematian Bayi (3) Bebas Gizi Buruk (4) Bebas Tuberculosis (TBC), dan (5) Bebas bayi yang tidak terimunisasi lengkap, sedangkan 2+ terdiri dari (1) Pelayanan gratis masyarakat miskin (2) Tuntas penanganan kusta. Program ini telah disahkan melalui Peraturan Bupati No.24/2011 Tentang LIBAS 2+ dan dibiayai oleh dana bagi hasil cukai tembakau Kabupaten Sampang tahun 2011 (Imron, 2013). Di Kabupaten Flores Timur, kebijakan untuk menurunkan kasus kematian ibu dan bayi dimulai pada akhir tahun 2010melalui Program 2H2 (2 hari sebelum perkiraan persalinan dan 2 hari sesudah ibu bersalin).Sejak program 2H2 diterapkan, terlihat kemajuan nyata.Di tahun 2009, terdapat 14 kasus kematian ibu melahirkan. Angka itu mengalami penurunan signifikan dua tahun setelah adanya 2H2 Center yakni 10 kasus di tahun 2010 dan 6 kasus di tahun 2011 (Mardiyanti H.I. dkk, 2013). Pendekatan lainnya yang dapat dilakukan dalam upaya menurunkan kasus kematian ibu dan bayi melalui pendekatan kebijakan yang mencakup dari hulu ke hilir dari Perencanaan Program KIA berbasis bukti sampai dengan Kebijakan menggunakan DAK untuk KIA (Marthias dkk, 2013)
2.7.Teori Kendala atau Theory of Constraint Teori Kendala atau Theory Of Constraints (TOC) merupakan sebuah filosofi manajemen yang mula-mula dikembangkan oleh Eliyahu M. Goldratt dan dikenalkan
dalam bukunya, The Goal. Dapat diartikan bahwa TOC adalah suatu pendekatan ke arah peningkatan proses yang berfokus pada elemen-elemen yang dibatasi untuk meningkatkan output. Hal ini berdasarkan fakta bahwa, seperti sebuah rantai dengan link yang paling lemah, dalam beberapa system yang kompleks pada waktu tertentu, sering terdapat satu aspek dalam system yang membatasi kemampuannya untuk mencapai lebih banyak tujuannya. Usaha yang berfokus pada masalah dapat meningkatkan atau memaksimumkan kembali inisiatif yang ada.agar system tersebut mencapai kemajuan yang signifikan, hambatannya perlu untuk diidentifikasi dan keseluruhan system perlu diatur. Sesekali elemen proses yang dibatasi diperbaiki, jaringan paling lemah yang berikutnya dapat ditujukan dalam suatu pendekatan interaktif (Pujianto A. 2014).
2.8.Landasan Teori Menurut Davis (2011) Kebijakan adalah sarana yang dengannya tujuan akan dicapai. Kebijakan meliputi pedoman, aturan dan prosedur yang ditetapkan untuk mendukung upaya-upaya pencapaian tujuan yang tersurat. Kebijakan adalah panduan untuk mengambil keputusan dan menangani situasi-situasi yang repetitive atau berulang-ulang. Menurut Winarno (2007), Kebijakan Publik adalah : 1. Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Eyestone (1971). 2. Apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Dye dan Thomas (1984).
Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/4/2007, Kebijakan Publik adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi masalah tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak. Implementasi adalah suatu kegiatan atau proses pelaksanaan atau penerapan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Menurut Goerge C. Edwards yang dikutip oleh Winarno (2007), implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Adaempat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpress, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain. Dari penjelasan diatas maka dapat kita tarik benang merah bahwa Qanun Kota Banda Aceh Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak Balita adalah kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Implementasi qanun ini harus dimulai dengan sosialisasi selama 6 bulan sebelum diterapkan dengan sanksi setelah 1 tahun berjalan.Qanun ini juga memerlukan kebijakan publik penjelas dalam bentuk Peraturan Walikota sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya. Dalam
proses implementasinya juga dapat dipengaruhi empat faktor yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Pelaksanaan implementasi Qanun Kota Banda Aceh Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak Balita dalam tiga tahun ini masih menunjukkan tingginya angka kematian ibu dan bayi bahkan ada kecenderungan meningkat dari tahun tahun sebelum adanya Qanun tersebut. Hal ini menjadi dasar pertimbangan untuk dilakukan penelitian implementasi kebijakan dari Qanun tersebut di atas. 2.9.Kerangka Pikir Dari landasan teori yang telah dipaparkan diatas, maka penelitian ini berfokus pada analisis implementasi Qanun Kota Banda Aceh nomor 17 tahun 2011 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru dan Anak Balita di Kota Banda Aceh Tahun 2015. Variabel dalam penelitian ini mengunakan metode implementasi menurut pandangan George C. Edward III (1980) yang dipengaruhi empat variabel yaitu : 1. Komunikasi Dalam variabel ini, yang akan dilihat adalah sebagai berikut : a. Sosialisasi ; Bagaimana sosialisasi qanun ini dilakukan. b. Kejelasan isi/content ; Penelitian ini ingin melihat kejelasan dari isi atau pasal-pasal yang ada, apakah sudah jelas dan dapat langsung diterapkan oleh pelaksana kebijakan (implementor) dan masyarakat sebagai sasaran pengguna layanan.
c. Metode Pelaksanaan ; Dalam penelitian ini, ingin diketahui apakah ada metode pelaksanaan atau peraturan pelaksanaan dalam implementasi kebijakan Qanun ini untuk mencapai tujuannya. 2. Sumber Daya Dari segi sumber daya, yang ingin diketahui dalam penelitian ini yaitu a. Anggaran ; Bagaimana dukungan anggaran terhadap pelaksanaan Qanun ini. b. SDM : Bagaimana kesiapan baik dari kualitas maupun kuantitas dari SDM sebagai pelaksana kebijakan dari Qanun ini. c. Sistem Pelayanan dan Rujukan ; Bagaimana mekanisme sistem pelayanan untuk mendukung tercapainya tujuan dari qanun ini. 3. Disposisi Pada variabel ini, yang ingin diketahui adalah : a. Sikap Pelaksana ; Bagaimanakah sikap pelaksana / implementor untuk mewujudkan tujuan dari kebijakan Qanun ini. b. Monitoring Evaluasi ; Bagaimana pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap Qanun ini. 4. Struktur Birokrasi Dalam penelitian ini, ingin diketahui juga bagaimana koordinasi yang telah dilakukan, yaitu a. Koordinasi Berjenjang ; bagaimanakah koordinasi yang telah dilakukan baik itu lintas program atau pun lintas sektor untuk mencapai tujuan dari qanun ini. b. SOP Kebijakan ; apakah ada SOP kebijakan/kegiatan lainnya yang mendukung tercapai tujuan dari qanun ini.
Penelitian ini juga ingin mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan implementasi Qanun KIBBLA di Kota Banda Aceh Tahun 2015 dengan menggunakan metode analisis theory of constraint.
Komunikasi : 1. Sosialisasi 2. Kejelasan isi/content 3. Metode Sumber Daya 1. Anggaran 2. SDM 3. Sistem Pelayanan dan rujukan Disposisi 1. Sikap Pelaksana 2. Monitoring Evaluasi Struktur Birokrasi 1. Koordinasi berjenjang 2 SOP Kebijakan Gambar 2.4. Kerangka Pikir
Implementasi