BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Kecemasan Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya. Juga ada segi-segi yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang tidak menyenangkan itu (Daradjat, 2001). Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia, gangguan obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, gangguan stres pasca traumatik. Onset awal gangguan panik pada lansia adalah jarang, tetapi dapat terjadi. Tanda dan gejala fobia pada lansia kurang serius daripada dewasa muda, tetapi efeknya sama, jika tidak lebih, menimbulkan debilitasi pada pasien lanjut usia (Hawari, 2001). Seseorang yang menderita gangguan kecemasan umum hidup tiap hari, dalam ketegangan yang tinggal secara samar-samar merasa takut atau cemas pada hampir sebagian besar waktunya dan cenderung bereaksi secara berlebihan terhadap stres yang ringan pun. Tidak mampu santai, mengalami gangguan tidur, kelelahan, nyeri kepala, pening, jantung berdebar-debar adalah keluhan fisik yang paling sering ditemukan (Lukluk dan Bandiyah, 2008)
Gejala-gejala kecemasan yang dialami oleh lansia seperti perasaan khawatir atau takut yang tidak rasional akan kejadian yang akan terjadi, sulit tidur sepanjang malam, rasa tegang dan cepat marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut/khawatir terhadap penyakit yang berat, misalnya kanker dan penyakit jantung yang sebenarnya tidak dideritanya, sering membayangkan halhal yang menakutkan, rasa panik terhadap masalah yang ringan (Maryam dkk., 2008).
2. Lansia 2.1. Defenisi lansia Menurut Setiawan (dalam buku Tamher & Noorkasiani) para ahli membedakan lanjut usia dalam dua macam usia, yaitu usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis dihitung dengan tahun kalender. Di Indonesia, dengan usia pensiun 56 tahun, barang kali dapat dipandang sebagai batas seseorang mulai memasuki usia lanjut, namun dalam perkembangan selanjutnya, menurut UndangUndang No. 13 Tahun 1998 dinyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas adalah yang paling layak disebut usia lanjut. Usia biologis adalah usia yang sebenarnya. Di mana biasanya diterapkan kondisi pematangan jaringan sebagai indeks usia biologis. Selain itu, menurut Departemen Kesehatan RI (Buku Pedoman Pembinaan, 2000) dikenal pula usia psikologis, yaitu yang dikaitkan dengan
kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian terhadap situasi yang dihadapinya. 2.2. Proses penuaan Berbagai perubahan pada usia lanjut merupakan konsekwensi yang tidak dapat dielakkan dari perubahan fisik (organo-biologik), dengan dampak pada aspek fungsi biologis, psikologis, maupun sosial (Marsetio dan Arjatmo, 1991). Proses tua merupakan suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan kehilangan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan yang diderita. 2.3. Batasan-batasan usia lanjut Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa usia lanjut meliputi: usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu kelompok usia 75-90 tahun, usia saat tua (very old) yaitu kelompok usia di atas 90 tahun. 2.4. Teori penuaan Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang sering terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi (Stanley dan Patricia, 2006).
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan yaitu teori biologi, teori psikologis, dan teori sosiologi. 2.4.1. Teori biologis Teori biologi mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Seiring dengan berkembangnya kemampuan kita untuk menyelidiki komponen-komponen yang kecil dan sangat kecil, suatu pemahaman tentang hubungan hal-hal yang mempengaruhi penuaan ataupun tentang penyebab penuaan
yang
sebelumnya
tidak
diketahui,
sekarang
telah
mengalami
peningkatan. Walaupun bukan merupakan suatu definisi penuaan, tetapi lima karakteristik penuaan telah dapat diidentifikasi oleh para ahli. Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur panjang, perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler. Suatu pemahaman tentang perspektif biologi dapat memberikan pengetahuan pada perawat tentang faktor risiko spesifik dihubungkan dengan penuaan dan bagaimana orang dapat dibantu untuk meminimalkan atau menghindari risiko dan memaksimalkan kesehatan (Stanley dan Patricia, 2006). 2.4.2. Teori psikologis Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula
dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan inteligensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi (Maryam dkk., 2008). 2.4.3. Teori sosiologi Terdapat tiga teori utama mengenai penuaan yang timbul dari studi ilmiah awal penuaan yang dilakukan empat atau lima dekade yang lalu: pembebasan, aktivitas, dan kesinambungan. Teori tersebut berusaha meramalkan dan menjelaskan interaksi dan peran sosial yang memberi pengaruh pada penyesuaian hidup yang berhasil bagi seseorang di usia lanjut. Teori pembebasan (Cummings & Henry, 1961) mengemukakan bahwa individu lansia, dengan menarik diri dari masyarakat pada saat yang sama dimana masyarakat menarik dukungannya dari kelompok usianya, mencapai moral dan kepuasan hidup yang tinggi. Teori ini telah disangkal oleh temuan riset yang menunjukkan bahwa individu yang terikat, aktif mencapai kepuasaan hidup yang lebih tinggi dibanding dengan individu yang tidak terikat, dan lebih pasif (Stanley dan Patricia, 2006). Teori aktivitas (Havighurst, 1968) mengemukakan bahwa kepuasan hidup pada individu lansia normal mencakup memelihara gaya hidup aktif saat usia pertengahan. Teori ini mencerminkan pemikiran mayoritas kelas menengah
Amerika. Teori ini berasumsi bahwa individu lansia akan menemukan penggantian aktivitas yang memuaskan (Smeltzer dan Brenda, 2001). Teori kesinambungan (Atchley, 1989; Neugarten, 1964) mengemukakan bahwa penyesuaian yang berhasil terhadap usia tua tergantung pada kemampuan individu untuk melnjutkan pola hidup sepanjang masa kehidupan. Penting artinya untuk memelihara kontuinitas atau koneksi pada masa lalu. Kebiasaan, nilai-nilai, dan minat masa lalu adalah bagian integral dari kehidupan individu saat ini (Smeltzer dan Brenda, 2001). 2.5. Tugas perkembangan lansia Menurut Erikson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut yang dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi bercocok tanam, dan lain-lain. Tugas perkembangan lansia adalah mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun, mempersiapkan diri untuk pensiun, membentuk hubungan baik dengan orang seusianya, mempersiapkan kehidupan baru, melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai, mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan (Maryam dkk., 2008).
2.6. Mitos dan realita pada lansia Banyak mitos-mitos yang berkaitan dengan proses lanjut usia (Mubarak dkk., 2009). 2.6.1. Mitos kedamaian dan ketenangan Pada usia lanjut, lansia dapat santai sambil menikmati hasil kerja dan jerih payahnya pada usia muda. Badai dan berbagai cobaan kehidupan seakanakan sudah dilewati. Kenyataannya malah sebaliknya, lansia penuh dengan stres, kemiskinan, berbagai keluhan, dan penderitaan karena penyakit. 2.6.2. Mitos konservatif dan kemunduran pandangan Usia lanjut pada umumnya bersifat konservatif, tidak kreatif, menolak inovasi, berorientasi ke masa silam, ketinggalan zaman, merindukan masa lalu, kembali ke masa anak-anak, sulit berubah, keras kepala, dan bawel. Kenyataannya tidak semua lansia bersifat dan berperilaku demikian. Sebagian tetap segar, berpandangan ke depan, inovatif, serta kreatif. 2.6.3. Mitos berpenyakitan Lansia dipandang sebagai masa degeneratif biologis yang disertai oleh berbagai penderitaan akibat berbagai proses penyakit. Kenyataannya memang proses penuaan disertai dengan menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme, sehingga rawan terhadap penyakit, tetapi masa sekarang banyak penyakit yang dapat dikontrol dan diobati. 2.6.4. Mitos senilitas Usia lanjut dipandang sebagai masa demensia (pikun) yang disebabkan oleh kerusakan bagian tertentu dari otak. Kenyataannya tidak semua lansia
dalam proses penuaan mengalami kerusakan otak. Mereka masih tetap sehat, segar, dan banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan daya ingat. 2.6.5. Mitos ketidakproduktifan Usia lanjut dipandang sebagai usia yang tidak produktif. Kenyataannya tidak demikian, masih banyak lansia yang mencapai kematangan dari produktivitas mental dan materialnya yang tinggi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada lansia Menurut Noorkasiani dan Tamher (2009), pada setiap stresor seseorang akan mengalami kecemasan, baik ringan, sedang, maupun berat. Pada lansia dalam pengalaman hidupnya tentu diwarnai oleh masalah psikologi. Banyak faktor yang mempengaruhi kecemasan pada lansia, antara lain: 3.1. Pekerjaan Pada umumnya setelah orang memasuki lansia, ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotor (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak, seperti gerakan, tindakan, dan koordinasi, yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto dan Cokro, 2009). Tuckman dan Lorge (dikutip dari Stieglitz, 1954) menemukan bahwa pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara orang-orang
tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan sisanya sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Pensiun setelah bertahun-tahun bekerja dapat membahagiakan dan memenuhi harapan, atau hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental. Setelah pensiun beberapa orang tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami hari yang panjang. Beberapa lansia tidak termotivasi untuk mempertahankan penampilan mereka ketika mereka tidak atau hanya sedikit melakukan kontak dengan orang lain diluar rumahnya (Stanley dan Patricia, 2006). Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi orang yang telah pensiun. Identitas biasanya berasal dari peran kerja, sehingga individu harus membangun identitas baru pada saat pensiun. Mereka juga kehilangan struktur pada kehidupan harian saat mereka tidak lagi memiliki jadwal kerja. Interaksi sosial dan interpersonal yang terjadi pada lingkungan kerja juga telah hilang. Sebagai penyesuaian, lansia harus menyusun jadwal yang bermakna dan jaringan soaial pendukung (Potter Perry, 2009). 3.2. Status kesehatan Menurut Kuntjoro (2002), setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersikap patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi
atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnaya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Meski kebanyakan individu lansia menganggap dirinya dalam keadaan sehat, namun empat dari lima mereka menderita paling tidak satu penyakit kronis. Pada periode kehidupan selanjutnya kondisi akut akan terjadi dengan frekuensi yang lebih jarang, sementara penyakit kronis lebih sering. Kemajuan proses penyakit mengancam kemandirian dan kualitas hidup dengan membebani kemampuan melakukan perawatan personal dan tugas sehari-hari (Smeltzer dan Brenda, 2001). Kecemasan bisa terjadi karena suatu kelainan medis atau pemakaian obat. Penyakit yang bisa menyebabkan kecemasan adalah kelainan neurologis (cedera kepala, infeksi otak, penyakit telinga bagian dalam), kelainan jantung & pembuluh darah (gagal jantung, aritmia), kelainan endokrin (kelenjar adrenal atau kelenjar tiroid yang hiperaktif), kelainan pernafasan (asma dan penyakit paru obstruktif menahun). Obat-obatan yang dapat menyebabkan kecemasan adalah alkohol, stimulan (perangsang), kafein, kokain dan obat-obat yang diresepkan lainnya. 3.3. Kehilangan pasangan Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya (Tarwoto, 2006). Pengalaman kehilangan melalui kematian kerabat dan teman merupakan bagian sejarah kehidupanyang dialami lansia. Termasuk pengalaman kehilangan keluarga yang lebih tua dan terkadang kehilangan anak (Potter Perry, 2009).
Salah satu dari kehilangan yang terberat yang dapat dialami individu adalah kematian pasangan. Jika kehilangan pasangan terjadi pada masa tua, seseorang
tersebut
memiliki
risiko
mengalami
depresi,
cemas,
dan
penyalahgunaan zat yang lebih tinggi dibandingkan individu yang yang lebih muda karena penurunan ketahanan terhadap kesulitan, insiden penyakit kronis yang lebih tinggi, dan kerusakan jaringan dukungan sosial. Lansia bahkan memiliki risiko mengalami penyakit fisik dan mental yang lebih tinggi dibandingkan individu yang lebih muda (Stockslager dan Liz, 2007). Kematian pasangan
lebih
banyak
dialami
wanita
lansia dibandingkan
pria dan
kecenderungan ini masih akan terus berlangsung (Potter Perry, 2009). 3.4. Keluarga Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam perawatan lansia antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia (Maryam dkk., 2008). Bagi para orang lanjut usia yang tinggal jauh dari anak cucu ataupun tinggal di rumah perawatan, ternyata kehadiran orang lain sangat berarti (Hadi, 2004). Lansia mungkin dapat mengalami pengasingan dari anggota keluarga karena banyak alasan, seperti penyalahgunaan obat atau alkohol dan ketidaksetujuan terhadap agama, orientasi seksual, pilihan terhadap pasangan pernikahan, masalah keturunan, atau masalah bisnis. Pengasingan dari cucu dan cicit dapat sangat menykitkan. Seiring dengan waktu, lansia dapat merindukan
untuk membina ikatan keluarga yang pecah tahun-tahun sebelumnya. Merujuk pasien tersebut ke terapi keluarga dapat sangat efektif (Stockslager dan Liz, 2007). Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang akan terjadi akan meningkat (Stuart dan Sundeen, 1995). 3.5. Dukungan sosial Komponen penting yang lain dari masa tua yang sukses dan kesehatan mental adalah adanya sistem pendukung yang efektif. Sumber pendukung pertama biasanya merupakan anggota keluarga seperti pasangan, anak-anak, saudara kandung, atau cucu. Namun, struktur keluarga akan mengalami perubahan jika ada anggota yang meninggal dunia, pindah ke daerah lain, atau menjadi sakit. Oleh karena itu, kelompok pendukung yang lain sangat penting. Beberapa dari kelompok ini adalah tetangga, teman dekat, kolega sebelumnya dari tempat kerja atau organisasi, dan anggota lansia di tempat ibadah (Stanley dan Patricia, 2006). Ketika individu dewasa mencapai usia lanjut, jaringan pendukung sosial mereka mulai terpecah ketika teman meninggal atau pindah. Kekuatan dan kenyamanan yang diberikan oleh teman-temannya ini, yang membantu individu menahan atau mengatasi kehilangan, tidak ada lagi. Kehilangan tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya penyakit fisik dan mental pada masa tua (Stanley dan Patricia, 2006).