BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Aktivitas Aktivitas adalah keaktifan atau kegiatan berupa usaha, pekerjaan, kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003). Aktivitas yang dimaksudkan di sini adalah pada pasien asma. Aktivitas pencegahan kekambuhan asma adalah usaha yang dilakukan oleh pasien asma sebagai upaya untuk mencegah kekambuhan asma. Aktivitas pencegahan kekambuhan asma yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan, menghindarkan faktor pencetus serangan asma dan menggunakan obat-obat antiasma (Sundaru, 2007). 2. Asma 2.1 Defenisi Asma Kata “asthma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernapas” (Sundaru,2007). Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Mangunnegoro, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma berbeda dari penyakit obstruktif dalam hal bahwa asma adalah proses reversibel. Eksaserbasi akut dapat saja terjadi, yang berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam, diselingi oleh periode bebas gejala. (Smelter, 2001) Asma merupakan kondisi pernapasan kronis yang ditandai dengan gejala pernapasan dengan frekuensi dan intensitas yang bervariasi. (Plottel, 2010) 2.2 Jenis-jenis Asma Asma sering dicirikan sebagai alergi, idiopatik atau nonalergi atau gabungan. (1) Asma alergi disebabkan oleh alergen misalnya serbuk sari, binatang, amarah, makanan, dan jamur. Pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma; (2) Asma idiopatik atau nonalergi tidak berhubungan tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, sepert aspirin dan agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik, dan agen sulfit (pengawet makanan), juga mungkin menjadi faktor. Serangan asma idiopatik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema; (3) asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun nonalergi. (Smeltzer, 2001)
Universitas Sumatera Utara
2.3 Etiologi Sebenarnya telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidang asma untuk menerangkan sebab terjadinya asma, namun belum satupun teori atau hipotesis yang dapat diterima atau disepakati semua ahli. Meskipun demikian ada beberapa hal yang dapat disebut sebagai penyebabnya antara lain kepekaan saluran napas yang berlebihan dan peranan faktor keturunan dan lingkungan. Saluran napas penderita asma memiliki sifat yang khas yaitu, sangat peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial hyperreactivity = hiperaktivitas saluran napas = kepekaan saluran napas yang berlebihan). Asap rokok, tekanan jiwa, alergen pada orang normal tidak menimbulkan asma, tetapi pada penderita asma rangsangan tadi dapat menimbulkan serangan. Lebih kurang seperempat penderita asma, keluarga dekatnya juga menderita asma, meskipun kadang-kadang asmanya sudah tidak aktif lagi, dan seperempatnya lagi mempunyai penyakit alergi lain. Diantara keluarga penderita asma, dua per tiganya memperlihatkan tes alergi yang positif. Keterangan di atas menunjukkan adanya hubungan antara asma, alergi dan keturunan. Selain itu asma juga terjadi karena adanya rangsangan yang cukup kuat pada saluran napas yang telah peka tersebut. Rangsangan ini pada asma lebih populer disebut dengan nama faktor pencetus. Dan masih terdapat kemungkinan ada juga hal-hal lain yang belum diketahui (Smeltzer, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Manifestasi Klinis Asma dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari yang ringan sampai yang parah. Gejala-gejala asma mungkin berbeda pada setiap orang dan mungkin berbeda pada orang yang sama dari waktu ke waktu. Gejala asma biasanya episodik, gejala dapat datang dan pergi, dan tidak harus ada terus menerus. Gejala klasik asma ada tiga yaitu mengi, batuk, dan sensasi napas tak normal atau dispnea. Gejala-gejala asma yang terjadi adalah variasi dari tiga gejala besar di atas. Tanda dan gejala serius asma antara lain (a) tanda sesak napas dimana penderita sulit untuk berbicara dalam kalimat yang penuh, sulit berjalan, dada terasa sesak, dan mudah letih, (b) bernapas dengan berusaha, bahu naik dengan bernapas, leher dan tulang rusuk bergerak ke dalam dengan bernapas, cepat, pernapasan tidak nyaman,batuk, siang dan/ malam hari, mengi, (c) pikiran berubah-ubah, penderita sulit berpikir dengan jelas, bingung, kehilangan kewaspadaan, (d) oksigen yang rendah, yang membuat bibir abu-abu atau biru, jari telunjuk biru atau abu-abu, (e) nilai PEF (Arus puncak respirasi) rendah, PEF <60% terbaik personal, (f) obat-obatan “tidak bekerja” PEF gagal naik setelah menggunakan obat yang bekerja untuk melegakan pernapasan, dan gejala berlanjut. Asma dapat terjadi pada sembarang golongan usia; sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak, dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Hampir 17% dari semua rakyat Amerika mengalami asma dalam suatu kurun waktu tertentu dalam kehidupan mereka. Meskipun asma dapat berakibat fatal,
Universitas Sumatera Utara
lebih sering lagi, asma sangat mengganggu, mempengaruhi kehadiran di sekolah, pilihan pekerjaan, aktivitas fisik, dan banyak aspek kehidupan lainnya. (Smeltzer, 2011). 2.5 Patofisiologi Menurut Smeltzer (2001) asma adalah obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstuksi disebabakan oleh salah satu atau lebih dari yang berikut ini: (1) kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas; (2) pembengkakan membran yang melapisi bronki; dan (3) pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf otonom. Beberapa individu dengan asma mengalami respons imuns yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (Ig E) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produkproduk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikidin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansiyang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Universitas Sumatera Utara
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan
asetilkolin
ini
secara
langsung
menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis. Selain itu , reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α-adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi
terjadi
ketika
reseptor
β-adrenergik
yang
dirangsang.
Keseimbangan antara α- dan β-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan konstriksi otot polos. 2.6 Diagnosis Asma Penegakan diagnosis asma didasarkan pada : (a) Pemeriksaan riwayat kesehatan yang lenkap, termasuk keluarga, lingkungan, dan riwayat pekerjaan, dapat mengungkapkan faktor-faktor atau substansi yang mencetuskan serangan
Universitas Sumatera Utara
asma. (b) Pemeriksaan fisik, dengan penekanan khusus pada saluran pernapasan bagian atas (hidung, tenggorokan,sinus), paru-paru dan kulit. (c) Tes fungsi paru dengan spirometri (d) Tes darah untuk penilaian fungsi imun dan alergi (e) Tes radiografi, foto sinar X dan CT scan memberikan informasi tentang anatomi dan struktur paru-paru dan saluran napas yang lebih besar. Pada keadaan asma terkendali seharusnya foto sinar X dada normal, begitu juga gambar pencitraan dada yang dihasilkan CT scan. Namun selama eksaserbasi, tampilan paru pada sinar X dapat memperlihatkan apa yang disebut ahliradiologi sebagai hiperinflasi, dan CT scan mungkin menunjukkan udara yang terkurung. Kedua temuan ini mencerminkan pengisian dan pengosongan paru yang tidak merata saat bernapas karena inflamasi dan penyempitan saluran udara. (Smeltzer, 2001) 2.7 Pencegahan Asma Menurut Sundaru (2007), usaha-usaha pencegahan asma antara lain: menjaga kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan, menghindarkan faktor pencetus serangan asma dan menggunakan obat-obat antiasma. Menurut Mangunnegoro (2006), pencegahan berlaku untuk semua penderita asma meskipun ditekankan kepada penderita yang pernah mendapat serangan asma berat dan asma kronik di mana gejala asmanya sering sekali timbul. Pencegahan asma meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
Universitas Sumatera Utara
asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma. Menghindari alergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari sensitisasi atau pencegahan primer. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik dari pada menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik dikemudian hari. Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok bedampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan atau penyakit dengan mengi.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaiman penjelasan di atas bahwa pencegahan sekunder dilakukan untuk mencegah yang sudah tersensitisasimuntuk tidak berkembang menjadi asma. Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan/resolusi total dari gejala darpada jika pajanan terus berlangsung. Pencegahan tersier dilakukan bagi penderita yang sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menhindari pajanan pencetus akan memperbaikikondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi atau obat. 2.8 Edukasi mengenai asma Menurut Mangunnegoro (2006), edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga penderita agar tetap masuk sekolah atau kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena kurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat atau perawatan rumah sakit. Edukasi kepada penderita atau keluarga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri, meningkatkan keterampilan atau kemampuan dalam penanganan asma, meningkatkan kepuasan, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan kepatuhan dan penanganan mandiri. Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan maupun berkelompok dengan berbagai metode. Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu
Universitas Sumatera Utara
pengguanaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma. Bentuk edukasi yang dapat dilakukan antara lain dengan komunikasi atau nasehat saat berobat, ceramah, latihan atau training, supervisi, diskusi, tukar menukar informasi (sharing of information group), film atau video presentasi, leaflet, brosur, buku bacaan, dan lain-lain. 3. Aktivitas pencegahan kekambuhan asma Menurut Sundaru (2007), menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan asma. Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan makanan yang bernilai gizi baik, minum yang banyak, istirahat yang cukup, rekreasi dan olahraga yang sesuai. Semua penderita asma bronkial dianjurkan banyak minum kecuali bila selain menderita asma bronkial, ia juga mengalami penyakit jantung atau ginjal yang berat. Banyak minum akan mengencerkan dahak, sehingga dahak mudah dikeluarkan. Sebaliknya bila penderita kurang minum, dahak akan menjadi semakin kental, liat dan sukar dikeluarkan. Selain itu juga sebagai pengganti cairan karena pengeluaran keringat yang berlebihan, kurang minum dan penguapan cairan yang berlebihan dari saluran napas akibat bernapas cepat dan dalam. Lingkungan di mana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya serangan asma. Keadaan rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari, saluran pembuangan air harus lancar, kamar tidur sedikit mungkin berisi barang-barang. Hewan peliharaan, asap rokok, semprotan nyamuk atau semprotan rambut, juga dapat mencetuskan asma bronkial.
Universitas Sumatera Utara
Faktor pencetus bermacam-macam dan tiap-tiap penderita mungkin mempunyai faktor pencetus yang berlain-lainan. Faktor pencetus yang sering dijumpai antara lain alergen, infeksi saluran napas, tekanan jiwa, olahraga dan kegiatan jasmani, obat-obatan, polusi udara, dan lingkungan kerja. Zat yang menimbulkan reaksi alergi dinamakan alergen, yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman, hirupan, suntikan atau tempelan. Contoh-contoh alergen yang berupa makanan yaitu: susu, telor, kacangkacangan, coklat, ikan laut dan lain-lain. Yang berupa suntikan umumnya berupa obat-obatan, sedangkan alergen tempel dapat berupa salep atau kosmetik. Alergen hirupan tersebut berupa debu yang sangat halus sehingga mudah terhirup bila kita bernapas, contoh alergi hirupan yaitu kotoran kecoak, tungau debu rumah, spora jamur, tepung sari rumput, serpih kulit berbagai binatang seperti anjing, kucing, burung dan kuda, wool, kapuk, serta bahan-bahan untuk keperluan industri. Penderita asma dianjurkan untuk bekerja pada lingkungan yang tidak mengandung bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan asma. Apabila serangan asma sering terjadi pada saat kerja perlu dipertimbangkan untuk pindah pekerjaan. Lingkungan kerja diusahakan bebas dari polusi udara dan asap rokok serta bahan-bahan iritan lainnya. (Mangunnegoro, 2006) Menurut Sundaru (2007), diperkirakan dua pertiga pencetus asma bronkial dewasa serangan asma bronkialnya ditimbulkan oleh infeksi saluran napas. Berbagai macam virus, seperti virus influenza sangat sering dijumpai pada penderita yang sedang mendapat asma bronkial. Kemungkinan mendapat
Universitas Sumatera Utara
serangan asma bronkial makin besar bila infeksi tadi cukup berat. Bila pada orang normal infeksi saluran napas hanya menyebabkan batuk, pilek dan demam, pada penderita asma bronkial gejala tadi akan diikuti serangan asma bronkial. Tekanan jiwa selain menjadi pencetus asma bronkial, dapat juga memperberat serangan asma bronkial yang sudah ada. Sebaliknya asma bronkial yang berat bisa membawa masalah kejiwaan bagi penderita dan keluarganya. Dalam hal ini sangat diperlukan pengertian seluruh keluarga untuk menolong penderita. Olahraga atau kegiatan jasmani dapat meningkatkan kebugaran fisis secara umum, menambah rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh. Walaupun terdapat salah satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah exercise(exercise-induced asthma/EIA), akan tetapi tidak berarti penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Bila dikhawatirkan terjadi serangan asma akibat olahraga, maka dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan olahraga. Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan khususnya, selain manfaaat lain pada olahraga umumnya. Manfaat senam asma telah diteliti baik manfaat subyektif (kuesioner) maupun obyektif (faal paru); didapatkan manfaat yang bermakna setelah melakukan senam asma secara teratur dalam waktu 3-6 bulan, terutama manfaat subjektif dan peningkatan VO2max. (Mangunnegoro, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sundaru (2007), obat-obatan juga sering mencetuskan serangan asma bronkial. Yang paling sering yaitu obat-obat yang termasuk golongan penyekat reseptor-beta atau lebih populer dengan nama “beta-blocker”. Golongan obat ini sangat sering dipakai untuk pengobatan penyakit jantung koroner dan darah tinggi. Pada penderita asma bronkial yang berat, bahkan obat tetes mata yang mengandung “beta-blocker” dalam dosis yang kecil pernah dilaporkan menimbulkan serangan asma bronkial. Aspirin dan obat-obat antirematik dapat mencetuskan serangan pada 2 sampai 10% penderita asma bronkial. Penderita asma bronkial sangat peka terhadap udara yang tercemar, apalagi asap yang mengandung hasil pembakaran yang berupa sulfur dioksida dan oksida fotokemikal. Polusi udara didalam rumah pun seringkali terjadi, seperti asap rokok, semprotan obat nyamuk, semprotan rambut. (Sundaru, 2007) Penderita asma yang merokok akan mempercepat perburukan fungsi paru dan mempunyai risiko mendapatkan bronkitis kronik dan atau emfisema sebagaimana perokok lainnya dengan gambaran perburukan gejala klinis, berisiko mendapatkan kecacatan, semakin tidak produktif dan menurunkan kualitas hidup (Mangunnegoro, 2006). Diperkirakan 2 sampai 15 % penderita asma bronkial pencetusnya adalah lingkungan kerja dan hal ini harus segera diketahui agar tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan. Keluhan yang terjadi setelah penderita berkontak (terpapar) dengan zat-zat yang sering terjadi seperti bulu dan serpih kulit binatang, enzim bakteri subtilis, debu kopi dan teh, debu kapas, garam
Universitas Sumatera Utara
platina, dan lain-lain, namun ada kalanya gejalanya baru akan timbul setelah 6 sampai 12 jam terpapar. Sehingga bila penderita bekerja dipagi hari, gejala baru timbul sore atau malam hari, setelah penderita di rumah. Jika dengan berbagai cara pencegahan gejala masih tetap timbul maka barulah kita menggunakan obat-obat anti asma bronkial. Menurut Mangunnegoro (2006), medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri dari pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik, Sodium kromiglikat, Nedokromil sodium, Metilsantin, Agonis beta-2 kerja lama inhalasi, Agonis beta-2 kerja lama oral, Leukotrien modifiers, Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1) dan lain-lain. Pelega pada prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki da atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Yang termasuk obat pelega adalah Agonis beta2 kerja singkat, Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain), Antikolinergik, Aminofillin, dan Adrenalin.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sundaru (2007), pada asma yang ringan apalagi frekwensinya jarang, penderita boleh memakai obat bronkodilator, baik bentuk tablet, kapsul maupun sirupnya. Tetapi bila ingin gejala asma bronkialnya cepat hilang dan sedikit efek sampingnya jelas aerosol lebih baik. Pada serangan yang lebih berat, bila masih mengkin dapat menambah dosis obat, seperti sering lebih baik mengkombinasikan dua atau tiga macam obat. Misalnya mula-mula dengan aerosol atau tablet/sirup simpatomimetik kemudian dikombinasi dengan teofilin dan kalau tidak juga menghilang baru ditambahkan kortikosteroid. Pada asma bronkial kronik atau asma bronkial yang sering timbul diperlukan pengobatan jangka waktu yang lama bahkan mungkin sampai bertahun-tahun. Sehingga sering timbul kekuatiran apakah obat-obat tadi tidak berbahaya bagi tubuh penderita. Setiap obat memang mempunyai efek samping, tetapi efek samping ini dapat dikendalikan atau dikurangi jika pemakaiannya di bawah pengawasan dokter.
Universitas Sumatera Utara