BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koordinasi Koordinasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur (Alwi, et al., 2003). Dalam pengertian lain, koordinasi merupakan usaha untuk mengharmoniskan atau menserasikan seluruh kegiatan sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Keharmonisan dan keserasian selalu diciptakan baik terhadap tugas-tugas yang bersifat teknis, komersial, finansial, personalia maupun administrasi (Argadiredja, 2001). Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang bencana bahwa kegiatan koordinasi merupakan salah satu fungsi Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana. Unsur pelaksana juga melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Fungsi komando diperlukan dalam saat tahap tanggap darurat, dimana tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan perdebatan atau argumentasi yang berlarut-larut selain hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh komando atasan. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 bahwa penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
bertujuan
untuk
menjamin
terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada
13
14
masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana. Kata terpadu dalam penanggulangan bencana penting karena masalah yang ditimbulkan terkait dengan berbagai sektor yang multi kompleks. Koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang sesuai dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara anggota (Hasibuan, 2007). Tunggal (2002), mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian sasaran-sasaran dan aktivitas dari unit kerja yang terpisah (departemen atau area fungsional) agar dapat merealisasikan sasaran organisasi secara efektif. Kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Griffin (2008), memberikan suatu definisi yang lebih singkat tentang koodinasi yaitu suatu proses menghubungkan (linking) semua kegiatan dari berbagaibagai bagian kerja (departement) pada lingkup organisasi. Linking diperlukan karena bermakna mengaitkan semua departemen untuk selalu saling membantu dalam koordinasi yang efektif. Thompson (Handoko, 2003) menyatakan 3 (tiga) jenis ketergantungan antara organisasi, yaitu :
15
a.
Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuansatuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.
b.
Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependence), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.
c.
Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi. Handoko (2003), menyebutkan derajat koordinasi yang tinggi sangat
bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktorfaktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi. Peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi, semakin
besar
derajat
spesialisasi,
semakin
sulit
bagi
manajer
untuk
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Lawrence dan Lorch (Handoko, 2003) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu : 1.
Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu. Anggota dari departemen yang berbeda mengembangkan pandangan tentang bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. Bagian penjualan misalnya menganggap
16
bahwa diversifikasi produk harus lebih diutamakan daripada kualitas produk. Bagian akuntansi melihat pengendalian biaya sebagai faktor paling penting sukses organisasi. 2.
Perbedaan dalam orientasi waktu. Manajer produksi akan lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera atau dalam periode waktu pendek. Biasanya bagian penelitian dan pengembangan lebih terlibat dengan masalah-masalah jangka panjang.
3.
Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi. Kegiatan produksi memerlukan komunikasi dan pembuatan keputusan yang cepat agar prosesnya lancar, sedang bagian penelitian dan pengembangan mungkin dapat lebih santai dan setiap orang dapat mengemukakan pendapat serta berdiskusi satu dengan yang lain.
4.
Perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkin mempunyai metode-metode dan standar yang berbeda untuk mengevaluasi program terhadap tujuan dan untuk balas jasa bagi karyawan.
Menurut Hasibuan (2007), terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu: 1.
Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya.
2.
Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatankegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
17
Menurut Hasibuan (2007), terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu: 1.
Koordinasi adalah dinamis bukan statis.
2.
Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer) dalam rangka mencapai sasaran.
3.
Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan. Asas koordinasi adalah asas skala (hierarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjangjenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Tegasnya, asas hirarki bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya.
Menurut Hasibuan (2007), terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu: 1.
Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang.
2.
Rivalry, dalam perusahaan-perusahaan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan.
3.
Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai.
4.
Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.
Menurut Handayaningrat (2005), koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering disamakan dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Pimpinan tidak
18
mungkin mengadakan koordinasi apabila tidak melakukan kerjasama. Kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi. 2.
Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik.
3.
Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Koordinasi adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, sejumlah individu yang bekerjasama, dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi.
4.
Konsep kesatuan tindakan adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat keserasian di dalam mencapai hasil.
5.
Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok kerja. Koordinasi adalah proses pengintegrasian (penggabungan yang padu) dari
semua tujuan dan kegiatan anggota satuan-satuan letaknya boleh terpisah berjauhan di lingkup organisasi masing-masing, dapat menghasilkan suatu hasil optimal yang disetujui bersama (Rowland, 2004). Koordinasi disimpulkan sebagai berikut :
19
1.
Koordinasi dari usaha meliputi penyesuaian dari kegiatan-kegiatan untuk memperoleh suatu atau sekelompok tujuan. Pekerja diberikan kebebasan melakukan pekerjaan menurut cara sendiri-sendiri, masing-masing akan dipandu oleh ide masing-masing tentang yang harus dilakukan. Semua memiliki keinginan untuk kooperatif, hasil akhir dapat menghasilkan pemborosan waktu, daya upaya, dan sumber daya uang karena tidak ada petunjuk yang jelas memandu usaha tersebut. Konsekuen koordinasi dibutuhkan dan menjadi suatu tanggung jawab utama dari pemimpin-pemimpin (manejer-manejer).
2.
Koordinasi adalah berbeda sikap kooperatif. Kooperatif boleh terjadi secara spontan di lingkungan kelompok pekerja koordinasi terjadi hanya bila ada kepemimpinan yang efektif (effective leadership). Arti praktis koordinasi berarti konsentrasi dan penggunaan usaha yang kooperatif diseluruh anggota tim untuk menyelesaikan suatu tugas secara ekonomis dan efektif.
3.
Untuk dapat memperoleh kualitas koordinasi yang ideal seharusnya manajemen telah memulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian yang baik. Koordinasi (Coordination) adalah salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan
dalam “manajemen bencana” yang dikenal dengan empat C yaitu Command (komando), Control (Pengendalian); Coordination (Koordinasi) dan Communication (Komunikasi). Dilakukan karena melibatkan multi sektor yang terkait dalam penanganan bencana. Komando adalah fungsi perintah didasarkan atas sistem hirarki suatu organisasi yang dilakukan secara vertikal. Pengendalian adalah fungsi
20
mengarahkan dan dilakukan pada suatu situasi yang menyangkut lintas organisasi. Koordinasi adalah fungsi keduanya yang diarahkan pada penggunaan sumber daya secara sistematis dan efektif (Rowland, 2004). Penanggulangan bencana terutama pada saat tanggap darurat harus ada satu kesatuan perintah (unity of command) dari seseorang kepada orang lain yang bertanggung
jawab
kepadanya,
sehingga
dilaksanakan
jelas
dan
tidak
membingungkan (Rowland, 2004). Koordinasi adalah proses perpaduan kegiatan lintas sektoral baik dalam pemerintahan maupun stake holders dalam upaya penanggulangan bencana agar dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Fungsi koordinasi dilakukan secara terintegrasi dengan sektor terkait pada (1) tahap pra dan (2) pasca bencana pada tanggap darurat fungsi yang dilaksanakan adalah dominan fungsi komando karena fungsi koordinasi telah lebih dahulu dilaksanakan pada tahap pra bencana (Depkes RI, 2002). Koordinasi yang baik akan menghasilkan upaya yang terpadu dan terarah dalam memberdayakan semua potensi yang ada, dengan tujuan : 1.
Mencegah duplikasi program. Masing-masing unit pelaksana terkait memiliki program penanggulangan bencana sesuai dengan tugas dan fungsi dan kemampuan yang sebelumnya telah diinventarisasi dan dilaporkan pada bagian pengurusan database di dinas kesehatan.
2.
Menjawab pertanyaan “siapa mengerjakan? Apa? Bagaimana? dan di mana?” Dalam situasi darurat bencana selalu terjadi kebingungan dalam siapa yang mengerjakan, apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.
21
3.
Jaminan skala prioritas. Dengan koordinasi yang baik akan diperoleh skala prioritas tindakan yang dijamin dapat dilaksanakan oleh semua pihak.
4.
Adanya pelayanan sesuai “standar”. Pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar minimal pelayanan kesehatan. Untuk kepastian standar diperlukan SOP (Standard Operating Procedure).
5.
Tingkat Efektivitas yang tinggi. Tingkat efektivitas adalah terutama dalam kegiatan penanggulangan bencana. Aspek efisiensi adalah aspek yang berikutnya karena dalam kasus bencana selalu harus ditanggulangi dengan biaya tak terduga. Setiap pelaksana penanggulangan bencana, perlu mengurangi pemborosan tenaga dan waktu dalam melaksanakan kegiatan. Pendapat tentang Prosedur Operasi Standar dalam melaksanakan koordinasi
antara lain : Menurut Pusat Penanggulangan masalah kesehatan Depkes RI (2002), Prosedur Operasi Standar dalam melaksanakan koordinasi adalah : a.
Adanya media untuk berkoordinasi
b.
Adanya tempat dan waktu untuk melaksanakan koordinasi
c.
Adanya unit atau pihak yang dikoordinasikan. Unit yang dimaksud adalah organisasi kesehatan baik instansi maupun tim kesehatan lapangan
d.
Pertemuan reguler. Pertemuan reguler dapat dilaksanakan secara periodik dalam waktu perbulan, pertriwulan, persemester atau bersifat insidentil apabila diperlukan
e.
Tugas pokok dan tanggung jawab organisasi sektor kesehatan yang jelas
f.
Informasi dan laporan
22
g.
Kerjasama pelayanan dan sarana
h.
Aturan (Code of conduct) organisasi kesehatan yang jelas Menurut Rapat koordinasi Satkorlak PB, Prosedur Operasi Standar dalam melaksanakan koordinasi adalah sebagai berikut : (1) Tentukan pola koordinasinya (berbagi informasi,
kegiatan
bersama,
program
terpadu),
(2)
Tunjuk
penanggungjawabnya, (3) Jadwalkan titik pertemuan koordinasi dan (4) Tentukan mekanisme pertanggungjawaban. Terciptanya suatu koordinasi kerja menyebabkan beban-beban antar bagian akan menjadi seimbang, dan dengan adanya keseimbangan beban keadaan atau suasana organisasi sebagai keseluruhan akan menjadi selaras. Keselarasan tersebut akan menyebabkan terjadinya kewajiban melaksanakan tugas serta mencapai tujuannya. Koordinasi merupakan usaha untuk menciptakan lima keadaan; serasi, selaras, seimbang, seragam dan serempak. Sebanyak-banyaknya Korban Selamat
Korban Massal
Masalah : 1. Jumlah Korban 2. Keadaan Korban 3. Keadaan Geografis 4. Fasilitas yang tersedia 5. SDM di lokasi
Tergantung : 1. Organisasi 2. Fasilitas 3. Komunikasi 4. Dokumentasi/data 5. Tata Kerja
Hasil yang diharapkan angka morbiditas dan Mortalitas rendah
Gambar 2.1. Pencapaian Koordinasi dalam Penanggulangan Masalah Kesehatan
23
Sumber : Argadiredja (2001) Koordinasi memerlukan
yaitu;
manajemen
penanggulangan
masalah
kesehatan yang baik, tujuan peran dan tanggung jawab yang jelas dari organisasi, sumber daya dan waktu yang akan membuat koordinasi berjalan, dan jalannya kordinasi berdasarkan adanya informasi dari berbagai tingkatan sumber informasi yang berbeda. Komunikasi Berbagai Arah Perencanaan
Kepemimpinan Motivasi
Pengendalian
Efektivitas Sumber Daya Penanggulan gan Masalah Kesehatan (PMK)
Pengorganisasian
Kerjasama
Evaluasi
Koordinasi Gambar 2.2. Kerangka Konsep Koordinasi Sumber : Argadiredja (2001) Menurut Argadiredja, 2001 masalah khusus dalam koordinasi terdiri dari; penundaan inisiatif, keikutsertaan pemerintah yang sangat minim sehingga tidak ada prioritas, (adanya konflik pemerintah dengan pihak lain, badan internasional tidak sefaham dengan pemerintah, terdapat perbedan tujuan karena konflik internal dalam
24
sektor pemerintah), pembagian tugas tidak berjalan, kerangka waktu tidak disepakati, dan pengalihan tugas.
2.2 Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Menurut Undang-Undang RI/No.24/2007, penanggulangan bencana di Indonesia berlandaskan pada dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan berasaskan pada kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan keselarasan keserasian, ketertiban dan kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup dan ilmu pengetahuan teknologi. Pihak yang bekerja sama dalam melakukan usaha-usaha penanganan di setiap kejadian bencana di Indonesia, terdiri dari berbagai instansi terkait hak masyarakat untuk menghubungi instansi terkait karena keberadaan instansi adalah untuk mendampingi masyarakat dalam usaha penanggulangan bencana. Hubungan diantara instansi sebaiknya dirintis dalam tahap persiapan sebelum bencana untuk memperkuat kesiap-siagaan, masyarakat bisa mendapatkan pelatihan-pelatihan dari instansiinstansi berikut. Untuk tiap daerah sebaiknya terbentuk BPBD agar koordinasi lintas sektor dapat berjalan selaras dan seimbang. Lembaga pemerintahan yang terkait ditunjukkan oleh Skema 3.
25
Tk. Nasional
Tk. Propinsi
Tk. Kabupaten
BNPB
*Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan *Bencana dan Penanganan Pengungsi
BPBD Provinsi
*Bencana dan Penanganan Pengungsi *Badan Penanggulangan Bencana Daerah
BPBD Kab/Kota
*Satuan Pelaksana Penanggulangan *Bencana dan Penanganan Pengungsi
SATGAS
Tk. Kecamatan
LINMAS/KMP Tk. Kelurahan
*Satuan Tugas *Linmas *Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana
Gambar 2.3. Kerangka Kerja dalam Penanggulangan Bencana Sumber : Adiputro (2002) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terkait dalam tim yaitu : 1.
Kodim 0205 yaitu institusi yang memberikan pelatihan kepada masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam bidang operasi di lapangan.
2.
Polres yaitu institusi yang mengendalikan situasi keamanan sejak kesiapsiagaan hingga tanggap darurat selesai.
3.
Dinas Sosial, yaitu institusi Pemerintah yang menangani bidang kesejahteraan dalam membantu masyakakat yang dilanda bencana.
26
4.
Dinas Kesehatan: melakukan upaya penanganan krisis kesehatan yang meliputi pelayanan kesehaan di pos kesehatan, puskesmas, pustu, RS rujukan dan lainlain.
5.
Dinas PU yaitu institusi yang menyediakan sarana dan perhubungan guna membantu upaya penanganan bencana dan kedaruratan
6.
Kesbang Linmas sebagai lembaga terkait
7.
Dinas Komunikasi PDE adalah memberikan informasi situasi keadaan bencana.
8.
Search and Rescue (SAR), adalah lembaga yang bertugas dalam hal melakukan pencarian, pertolongan dan penyelamatan terhadap orang yang mengalami musibah atau diperkirakan hilang dalam suatu bencana.
9.
Palang Merah Indonesia (PMI), adalah lembaga yang bertugas untuk membantu masyarakat dalam meringankan penderitaan masyarakat yang dilanda bencana.
10. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), adalah institusi Pemerintah yang memberikan informasi tentang perkembangan cuaca, gempa bumi dan aktivitas gunung berapi. 2.3 Penanggulangan Bencana Penanggulangan Bencana merupakan upaya sistematis dan komperhensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat dan akurat untuk meminimalisasi korban dan kerugian yang ditimbulkan. 2.3.1
Pengertian Bencana Menurut United Nation Development Program (UNDP), bencana adalah suatu
kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan
27
mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana. Menurut National Fire Protection Association (NFPA) 1600 : Standard on Disaster / Emergency Management and Business Continuity Programs. 1.
A Disaster Is an Incident where the resources, personel, and materials of the Affected Facility cannot control an abnormal situation (free, explosion, leak, well blowout etc) threaten the loss of human or physical resources of the facility and environment.
2.
Bencana adalah kejadian dimana sumberdaya, personel atau material yang tersedia di daerah bencana tidak dapat mengendalikan kejadian luar biasa yang dapat mengancam nyawa atau sumberdaya fisik dan lingkungan.
3.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam, menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
2.3.2 Tujuan Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana bertujuan sebagai berikut: 1.
Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.
2.
Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana atau kejadian
28
3.
Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi tentang bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana.
4.
Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana sehingga korban dan penderitaan yang dialami dapat diminimalisasi.
2.3.3
Asas Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang sangat penting bagi
masyarakat di Indonesia termasuk juga untuk kalangan industri beresiko tinggi. Pelaksanaan penanggulangan bencana dilakukan berasaskan sebagai berikut : 1.
Kemanusiaan Aspek penanggulangan bencana memiliki dimensi kemanusiaan yang tinggi. Korban bencana khususnya bencana alam akan mengalami penderitaan baik fisik, moral maupun materi sehingga memerlukan dukungan tangan dari pihak lain agar bisa bangkit kembali. Penerapan manajemen bencana merupakan usaha mulia yang menyangkut aspek kemanusiaan untuk melindungi sesama.
2.
Keadilan Penerapan penanggulangan bencana mengandung asas keadilan, yang berarti bahwa penanggulangan bencana tidak ada diskriminasi atau berpihak kepada unsur tertentu. Pertolongan harus diberikan dengan asas keadilan bagi semua pihak.
29
3.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Penanggulangan bencana mengandung asas kesamaan dalam hukum dan juga dalam pemerintahan, semua pihak harus tunduk kepada perundangan yang berlaku dan taat asas yang ditetapkan.
4.
Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian Penanganan bencana harus berasaskan keseimbangan, keselarasan dan keserasian program
yang
dikerjakan
untuk
mengatasi
bencana
memperhatikan
keseimbangan alam, ekologis, sosial, budaya dan lingkungan hidup. Upaya penanggulangan bencana tidak berarti harus mengorbankan kepentingan yang lain atau aspek kehidupan yang telah dijalankan sehari-hari, menempatkannya sebagai kekuatan untuk membangun penanggulangan bencana. 5.
Ketertiban dan kepastian hukum Penanggulangan bencana harus mempertimbangkan aspek ketertiban dan kepastian hukum. Program dan penerapan penanggulangan bencana harus berlandaskan hukum yang berlaku dan ketertiban anggota masyarakat lainnya.
6.
Kebersamaan Salah satu asas penting dalam penanggulangan bencana adalah kebersamaan. Masalah bencana tidak bisa diselesaikan secara partial atau hanya oleh satu pihak saja, harus melibatkan seluruh anggota masyarakat atau komunitas yang ada. Tanpa keterlibatan dan peran serta, program penanggulangan bencana tidak akan berhasil dengan baik.
30
7.
Kelestarian lingkungan hidup Penanggulangan bencana harus memperhatikan aspek lingkungan hidup di sekitarnya, benturan yang akan terjadi dalam menjalankan penanggulangan bencana dengan aspek lingkungan. Untuk mencapai keberhasilan, kelestarian lingkungan harus tetap terjaga dan terpelihara.
8.
Ilmu pengetahuan dan teknologi Penerapan peanggulangan bencana dilakukan secara ilmiah dan memanfaatkan ilmu pengetahuan. Bencana sangat erat kaitannya dengan berbagai disiplin keilmuan seperti geologi, geografi, linkungan, ekonomi, budaya, teknologi, dan lainnya. Harus dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.
2.3.4
Perundangan Bencana di Indonesia Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai perundangan dan
peraturan mengenai bencana dengan harapan bahwa upaya penanggulangan bencana akan memiliki landasan hukum yang pasti. Beberapa perundangan yang menyangkut penanggulangan bencana sebagai berikut: 1.
Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undangundang mengatur berbagai hal mengenai penanganan bencana di Indonesia.
2.
Peraturan
Pemerintah
No.
21
tahun
2008
tentang
penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana. PP ini memuat antara lain tentang kriteria bencana, perencanaan penanggulangan bencana, dan analisa resiko bencana.
31
3.
Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2008, tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.
4.
Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2008, tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah Dalam Penanggulangan Bencana.
5.
Peraturan Presiden No. 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
6.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Pedoman memuat bagaimana cara menyusun suatu rencana penanggulangan bencana, bagaimana menentukan tingkat resiko bencana dan prosedur penyusunannya.
7.
Peraturan pemerintah dalam negeri No. 46 tahun 2008 tentang pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
8.
Peraturan kepala Badan Penanggulangan Bencana No. 3 tahun 2008 tentang pedoman pembentukan Badan Penaggulangan Bencana Daerah.
9.
Peraturan Pemerintah No. 131 tahun 2003 tentang pedoman penanggulangan bencana dan pengungsi di daerah.
2.3.5
Proses Penanggulangan Bencana Penanggulanan bencana dapat dibagi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkat
lokasi disebut manajemen insiden, tingkat unit atau daerah disebut manajemen darurat, dan tingkat nasional atau korporat disebut manajemen krisis.
32
1.
Manajemen insiden adalah penanggulangan kejadian di lokasi atau langsung di tempat kejadian. Dilakukan oleh tim tanggap darurat yang dibentuk atau petugas lapangan sesuai dengan keahliannya masing-masing. Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat teknis.
2.
Manjemen darurat adalah upaya penanggulangan bencana di tingkat yang lebih tinggi yang mengkoordinir lokasi kejadian.
3.
Manajemen krisis berada di tingkat yang lebih tinggi misalnya di tingkat nasional atau tingkat korporat bagi suatu perusahaan yang mengalami bencana. Perbedaan tugas dan tanggung jawab pada ketiga tingkatan adalah
berdasarkan fungsinya yaitu taktis dan strategis. Tingkat manajemen insiden, tugas dan tanggung jawab lebih banyak bersifat taktis dan semakin keatas tugasnya akan lebih banyak menangani hal yang strategis. Pengaturan fungsi dan peran sangat penting dilakukan dalam mengembangkan suatu penanggulangan bencana. Hambatan di lapangan pada dasarnya terjadi karena pengaturan tugas dan peran tidak jelas. Siapa yang bertanggung jawab mengkoordinir bantuan dari pihak luar dan siapa yang mengelola bantuan tersebut setelah berada di lapangan. Siapa penentu
kebijakan
penanggulangan
bencana
dan
siapa
yang
melakukan
penerapannya di lapangan. 2.3.6
Tahapan Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana suatu proses terencana yang dilakukan untuk
mengelola bencana dengan baik dan aman melalui tiga tahapan sebagai berikut :
33
1.
Prabencana Tahapan penanggulangan bencana pada kondisi sebelum kejadian meliputi: a. Kesiapsiagaan Kesiapsiagaaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Membangun kesiapsiagaan merupakan unsur penting, tidak mudah dilakukan karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat. Kesiapsiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana. b. Peringatan dini Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan terjadi sebelum kejadian. Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya mereka yang potensi terkena bencana akan kemungkinan datangnya suatu bencana di daerahnya masing-masing. c. Mitigasi bencana Menurut peraturan pemerintah (PP) No.21 tahun 2008, mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
34
2.
Saat kejadian bencana Tahapan paling krusial dalam sistem penanggulangan bencana adalah saat bencana sesungguhnya terjadi. Telah melalui proses peringatan dini, tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tiba. Diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
3.
Pasca bencana Bencana setelah terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. a. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek layanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. b. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, pada tingkat pemerintahan masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
35
Kesiapsiagaan
Mitigasi Pencegahan
Tanggap Darurat
Pra Bencana Bencana
Saat
Rekonstruksi
Pemulihan Pasca Bencana
Gambar 2.4. Siklus Bencana Sumber : Ramli S. (2010) 2.3.7
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) BPBD Provinsi Sumatera Utara adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah
Daerah dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melaksanakan penanggulangan bencana di wilayah Provinsi Sumatera Utara (Permendagri No. 46 tahun 2008). BPBD Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari atas unsur pengarah dan unsur pelaksana berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Kepala Badan secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah (Permendagri No. 46 tahun 2008). BPBD Provinsi mempunyai fungsi : (1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; (2) pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
36
bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas: (1) menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi serta rekonstruksi secara adil dan setara, (2) menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan, (3) menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana, (4) menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana, (5) melaporkan penyelenggaraan penanggulangn bencana kepada Kepala Daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (6) mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang, (7) mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, (8) mempertangggung jawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBD, (9) melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan BPBD mempunyai unsur pengarah fungsi yaitu: (1) menyusun konsep pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana daerah, (2) memantau mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah. Unsur pelaksana BPBD mempunyai fungsi : (1) koordinasi, (2) komando, dan (3) pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya. Di Kabupaten Karo BPBD belum terbentuk,ketika terjadi bencana erupsi gunung Sinabung kepala daerah membentuk satuan tugas penanganan bencan sinabung dengan SK Bupati Karo nomor 800/174/kesbang Tahun 2010 tanggal 31
37
Agustus 2010 dan berakhir sampai dengan keadaan gunung Sinabung dinyatakan aman. Ir. Taufan Agung Ginting, MSP anggota DPRD Sumut mendesak pemerintah Kabupaten Karo melakukan langkah kongkrit untuk segera melakukan antisipasi dalam penanganan masalah bencana alam sebab hingga saat ini cuaca ekstrim, akibat cuaca ekstrim menimbulkan bencana alam seperti banjir dan longsor di sejumlah tempat di Kabupaten Karo. Kerusakan areal pertanian dan peternakan serta gagal panen dan gagal tanam menimbulkan kerugian material yang sangat besar sehingga memerlukan perhatian serius bagi masyarakat untuk itu pemerintah Kabupaten Karo agar segera membentuk BPBD karena Karo rawan bencana alam agar penanganan bencana semakin cepat dan tepat. Hal senada disampaikan anggota DPRD Karo Masdin Ginting mengatakan: “Penanganan bencana lambat karena proses birokrasi satlak penanganan bencana masih berada dibawah Kesbang linmas dan instotusi lainnya di Karo belum ada pencairan dana serta masih meminta persetujuan yang melewati banyak lapisan” (http://harianandalas.com) Berastagi Andalas DPRD Sumut Mendesak Pemerintah Kabupaten Karo membentuk BPBD Bambang Susmanto inspektur utama apel siaga darurat bencana provinsi Jawa Barat mengatakan : “sejumlah daerah dinilai masih mempunyai kesadaran yang rendah dalam upaya penanganan bencana,sekalipun daerahnya mempunyai kerawanan,sejumlah kabupaten dan kota belum dilengkapi BPBD padahal Kabupaten dan kotalah yang pertama bertindak begitu terjadi bencana di wilayahnya.
38
Keberadaan BPBD menjadi salah satu bahan pertimbangan utama dalam pemberian bantuan logistik dan peralatan (Setiady Dwi/CN32/JBSM) Agustinus zega kepala Bapeda dan penanaman modal kabupaten Nias di hotel hermes Place Banda Aceh mengatakan : “BPBD memiliki peran strategis dalam pengurangan resiko dampak bencana alam,yakni memegang fungsi koordinasi, komando sekaligus operasi penanggulangan bencana di daerah. (www.suara merdeka.com) Belum semua daerah punya BPBD Bandung Suara merdeka Kom 2.4 Pengertian Gunung Berapi Gunung berapi adalah istilah yang dapat didefenisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair atau lava) yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km dibawah permukaan bumi sampai ke permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang dikeluarkan pada saat meletus. Gunung berapi merupakan gunung yang masih aktif melakukan letusan atau suatu permukaan bumi yang menonjol yang mempunyai kekuatan dari dalam untuk mengeluarkan material yang terkandung didalamnya yang disertai dengan awan panas (Prager, 2006) Gunung berapi bermula ketika suhu tinggi didalam bumi menciptakan lelehan kental batuan pijar yang disebut magma, magma mengandung gas-gas terlarut meliputi air, karbon dioksida dan sulfur dioksida yang berbau telur busuk dn mineralmineral yang mencair dan mengkristal. Saat terbentuk magma menjadi kurang paat dibandingkan batuan sekitarnya, jadi daya apung dapat mendorongnya ke atas. Dengan demikian magma naik ke atas dan menghancurkan apa saja yang dilintasinya,
39
seperti bebatuan dan retakan di kerak bumi. Sat magma terus mendekati permukaan bumi, tekanan di sekitarnya terus menurun. Gas dalam magma menyebabkan gelembung pada larutan seperti busa champagne yang belum terbuka. Ketika dikeluarkan dari magma, gas bergerak naik lebih cepat dari pada lelehan batuan dibawahnya. Jika terdapat lubang atau patahan di permukaan bumi gas maupun magma akan meletus. Jika magma meletus di atas permukaan bumi disebut lava. Tetapi jika sebuah penyumbat atau sumbatan bebatuan berada di puncak gunung berapi maka gas dan magma akan terkumpul di bawahnya.Tonjolan yang membesar ataupun kubah yang terbentuk di puncak gunung berapi bisa menunjukkan jika penyumbat di atasnya tiba-tiba hancur misalnya karena gempa bumi atau longsor, letusan dahsyat dapat terjadi. Isi dan ukuran ledakan tergantung pada jumlah gas, magma, dan tekanan yang dilepaskan serta komposisi kimia magma. Sama seperti tutup champagne yang bisa terlontar ke udara, bongkahan vulkanis, lava, abu dan gas juga bisa terlontar ke udara. 2.4.1 Distribusi Gunung Berapi Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling dikenali adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire). Gunung berapi pada lokasi tersebut kebanyakan adalah gunung berapi-gunung berapi aktif yang dapat membahayakan kehidupan umat manusia kira-kira 500 juta orang tinggal di daerah yang beresiko di dekat 1.500 gunung berapi aktif di seluruh dunia. Tanah subur dan puncak gunung berapi yang mengagumkan menarik perhatian penduduk dan wisatawan, akibatnya jumlah orang
40
yang terancam resiko yang ditimbulkan gunung berapi yang berpotensi aktif terus meningkat (Prager, 2006). Indonesia memiliki gunung berapi-gunung berapi aktif yang lebih banyak dari pada negara-negara lain. Tercatat lebih dari 2.000 gunung berapi di seluruh dunia, 129 gunung berapi aktif diantaranya berada di Indonesia. Penyebaran gunung berapi di Indonesia antara lain 30 gunung berapi berada di Sumatera, 35 gunung berapi di Jawa, 30 gunung berapi di Bali dan Nusa Tenggara, 16 gunung berapi di Maluku serta 18 gunung berapi di Sulawesi. Penyebaran gunung berapi di Indonesia merentang sepanjang 700 km dari Aceh sampai di Sulawesi Utara melalui Bukit Barisan Pulau Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku. Penyebaran gunung berapi di Indonesia diperkirakan mengancam 5 juta populasi manusia yang tersebar di daerah dengan luas sekitar 16.670 km. (Depkes RI 2007). Peta sebaran gunung berapi di Indonesia adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Peta Sebaran Gunung Berapi di Indonesia
Sumber : Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung 2006
41
Dampak letusan gunung berapi merupakan suatu gejala alam yang menakutkan dan amat berbahaya, kepunahan sekelompok manusia dan kehidupannya pada masa lampau sering kali disebabkan bencana alam yang hebat, diantaranya gunung berapi. Gunung berapi di Jawa tengah meletus hebat pada tahun 1.806, telah memporakporandakan Kerajaan Mataram, semua anggota kerajaan meninggal dunia. Banyak peninggalan kejayaan masa lalu terkubur dalam batuan gunung berapi, candi-candi banyak digali di sekitar gunung berapi. Di perkirakan lebih dari 5 juta jiwa melayang menjadi korban letusan gunung berapi di Indonesia. (Roeslan, 2005) Gunung berapi meletus menyebabkan peristiwa berbahaya sebagai berikut; 1.
Awan panas, merupakan campuran material letusan antara gas dan bebatuan (segala ukuran) terdorong kebawah akibat densitas yang tinggi dan merupakan adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gunung awan yang menyusuri lereng. Suhunya sangat tinggi, antara 300-700
o
C, kecepatan
lumpurnya sangat tinggi, >70Km/jam (tergantung kemiringan lereng). 2.
Lontaran material (pijar), terjadi ketika letusan (magmatic) berlangsung. Jauh lontarannya sangat tergantung dari besarnya energi letusan yang bisa mencapai ratusan meter. Suhunya yang sangat tinggi (>200 oC), ukuran materialnya juga besar dengan diameter >10 cm sehingga mampu membakar sekaligus melukai, bahkan mematikan makhluk hidup.
3.
Hujan abu lebat, terjadi ketika letusan gunung berapi sedang berlangsung. Material yang berukuran halus (abu dan pasir halus) yang diterbangkan angin dan jatuh sebagai hujan abu. Arah jatuhnya tergantung arah dan kecepatan
42
angin. Ukuram halus, material ini sangat berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup baik flora maupun fauna karena mengandung unsur-unsur kimia yang bersifat asam sehingga mampu mengakibatkan korosi terhadap bahan-bahan logam. 4.
Lava, merupakan magma yang mencapai permukaan, sifatnya liquid (cairan kental bersuhu tunggi, antara 700-1200 oC), berbentuk cair, lava umumnya mengalir mengikuti lereng dan membakar apa saja yang dilaluinya. Lava sudah dingin, wujudnya berubah menjadi batu (batuan beku) dan daerah yang dilaluinya akan menjadi ladang batu.
5.
Gas racun, muncul tidak selalu didahului oleh letusan gunung berapi sebab gas ini dapat keluar melalui rongga-rongga maupun rekahan-rekahan terdapat di daerah gunung berapi. Gas utama yang biasanya muncul adalah CO 2 , H 2 S, HCL, SO 2 , dan CO. Kerap menyebabkan kematian adalah gas CO 2 . Beberapa gunung yang memiliki karakteristik letusan gas beracun adalah Gunung berapi Tangkuban Perahu, Dieng, Ciremai dan Gunung berapi Papandayan.
2.4.2 Klasifikasi Gunung Berapi di Indonesia 1. Klasifikasi Gunung Berapi Berdasarkan Tingkat Isyarat Gunung berapi dapat dibedakan berdasarkan rentang tingkat isyarat menurut (Roeslan, 2005) adalah sebagai berikut
43
Tabel 2.1 Tingkat Isyarat Gunung Berapi di Indonesia Status
Makna •
Awas
• • •
Siaga
• •
• Waspada • • • •
Normal
• •
Menandakan Gunung api yang segera atau sedang meletus atau ada keadaan kritis yang menimbulkan bencana Letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap Letusan berpeluang terjadi dalam waktu 24 jam Menandakan gunung api yang sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana Peningkatan intensif kegiatan seismik Semua data menunjukkan bahwa aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana Jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu Ada aktivitas apa pun bentuknya Terdapat kenaikan aktivitas di atas level normal Peningkatan aktivitas seismik dan kejadian vulkanis lainnya Sedikit perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonikdan hidrotermal Tidak ada gejala aktivitas tekanan magma Level aktivitas dasar
Tindakan •
• • • • • •
Wilayah yang terancam risiko direkomendasikan untuk dikosongkan Koordinasi dilakukan secara harian Piket penuh Sosialisasi di wilayah terancam Penyiapan sarana darurat Koordinasi harian Piket penuh
• • • •
Penyuluhan/sosialisasi Penilaian risiko Pengecekan sarana Pelaksanaan piket terbatas
• •
Pengamatan rutin Survey dan penyelidikan
Sumber: Roeslan (2005) 2. Klasifikasi Gunung Berapi Berdasarkan Rentang Waktu Erupsi Gunung berapi dapat dibedakan berdasarkan rentang waktu erupsi (letusan) menurut (Roeslam, 2005) berdasarkan: a. Tipe A
44
Gunung api yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600. b. Tipe B Gunung berapi yang sesudah tahun 1600 belum ada lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara. c. Tipe C Gunung berapi yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara atau fumarola pada tingkat lemah. 3. Protap Tingkat Kegiatan Gunung Berapi Menurut PVBMG sebagai berikut. a. Normal (Level I) Keadaan aman, penduduk melakukan kegiatan dengan tenang. b. Waspada (Level II) Penduduk meningkatkan kewaspadaan, pemerintah dan instansi terkait memeriksa dan mengadakan bahan atau sarana penyelamatan diri, melakukan penyuluhan. c. Siaga (Level III) Penduduk mensiagakan diri termasuk siap-siap mengungsi, pemerintah daerah dan instansi terkait mensiagakan bahan keperluan penyelamatan dan pengungsian. d. Awas (Level IV)
45
Penduduk mengungsi, pemerintah daerah dan instansi terkait melaksanakan tanggap darurat. 2.4.3 Gunung Sinabung Gunung sinabung berada di dataran tinggi Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara, Gunung Sinabung berada 2.460 m diatas permukaan laut dan termasuk dalam gunung tipe B. PVBMG mencatat bahwa Gunung Sinabung terakhir meletus tahun 1.600 (Pemkab Karo, 2010). Para ahli memperkirakan 70.000 tahun yang lalu sebuah gunung berapi raksasa meledak dan meninggalkan kaldera terbesar di dunia yang dikenal sebagai Danau Toba, Pulau Samosir merupakan puncak gunung raksasa yang amblas ke dalam kaldera. Ledakan Toba dipercaya sebagai ledakan gunung berapi terbesar dalam 10 juta tahun sejarah dunia. (Kantor Berita Antara, 2010) Kantor staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana, Andi Arief dalam kantor Berita Antara 2010 mengatakan dari peta atau citra Digital Elevation Modelling (DEM). Pada hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2010, Gunung Sinabung menyemburkan debu disertai bau belerang yang menyengat. 27.472 jiwa warga berada di kaki gunung mengungsi ke beberapa tempat pengungsian yang dianggap aman. PVBMG mengklasifiksikan daerah di sekitar Gunung Sinabung berdasrkan tingkat ancaman risiko dari puncak gunung menjadi: a) Zona risiko I (di bawah 3 kilometer) zona ini disebut sebagai zona dengan risiko sangat tinggi, b) Zona risiko II (3-4 kilometer) zona ini disebut sebagai zona dengan risiko tinggi, c) Zona risiko III (5-6 kilometer) disebut juga sebagai zona risiko rendah (Surono, 2010).
46
Gunung berapi Sinabung dipantau secara terus menerus menggunakan 4 stasiun seismik semua sensor dipasang di sekitar Gunung Sinabung. Data dikirim melalui gelombang radio dan direkam secara analog dan digital di pos pengamatan gunung berapi sementara di Jl. Pembangunan Ndokum Siroga, Desa Surbakti, kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, pada jarak 8 kilometer dari puncak Gunung Sinabung. (Surono, 2010) 2.5 Landasan Teori Indonesia merupakan salah satu negara yang secara geografis dan antropologi sosial budaya rawan bencana baik bencana alam maupun bencana karena ulah manusia termasuk kedaruratan kompleks yang menyebabkan permasalahan kesehatan yang harus segera ditanggulangi. Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dapat dilakukan secara cepat, tepat, efektif, efisien dan terpadu diperlukan suatu organisasi fungsional yang efektif dan rencana koordinasi lintas sektor yang dapat dijadikan pedoman bagi anggota organisasi dalam menentukan tujuan dan prosedur mencapai tujuan. Organisasi yang dimaksud adalah terbentuknya BPBD. Satuan Penanganan Bencana dibentuk diharapkan dapat berkoordinasi antar lintas sektor diantaranya : (1) Kodim 0205, (2) Polres, (3) Dinas Sosial, (4) Dinas Kesehatan, (5) Dinas PU, (6) Kesbang Linmas, (7) Dinas Komunikasi PDE, (8) Kecamatan Payung (9) Kecamatan Tiga Nderket, (10) Kecamatan Simpang Empat, (11) Kecamatan Naman Teran. (12) Perangkat Desa (13) Masyarakat Desa Erupsi gunung berapi memiliki ancaman primer berupa awan panas keluar dari kawah dan dapat menjangkau wilayah pemukiman di lereng gunung berapi dan
47
dapat menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Untuk mempertahankan dampak positif gunung berapi dan menekan dampak negatif penanggulangan bencana dengan pendekatan pengurangan resiko bencana harus dilakukan secara sistematis agar tercapai hasil yang maksimal. Gunung Sinabung di Kabupaten Karo erupsi pada tanggal 29 Agustus 2010 peristiwa cukup mengejutkan menyebabkan korban jiwa 2 orang dan harus mengungsi ke 21 titik pengungsian sebanyak 27.472. Surono selaku Kepala PVMBG menyatakan bahwa Gunung Sinabung tidak akan mengalami erupsi. Ketika terjadi erupsi Gunung Sinabung, BPBD belum terbentuk di wilayah Kabupaten Karo, sementara institusi yang menangani bencana adalah Satuan Tugas Penanganan Bencana yang dibentuk sementara dalam penanggulangan erupsi Gunung Sinabung. SK Bupati Karo nomor 800/174/Kesbang/tahun 2010. Koordinasi dalam tim lintas sektor yang terdapat di dalamnya pada saat pra bencana kurang berjalan dengan baik dan tidak menjadi satu kesatuan yang defenitif,tiap lembaga bergerak sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi yang jelas. Pemerintah kabupaten Karo salah memprediksi dan memberi informasi kepada warganya
dan belum menangani pengungsi erupsi gunung
Sinabung dengan baik. Koordinator Palang Merah Indonesia (PMI) di lokasi bencana, M. Irsal mengatakan : “pemerintah kabupaten Karo tidak memiliki satuan koordinasi penanganan bencana. Relawan dari berbagai elemen seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Tim Search and Rescue (SAR), Pecinta Alam, Universitas dan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) bekerja
48
secara sporadis dan sendiri-sendiri.” Korban berasal dari empat kecamatan yang terdekat dengan Sinabung, yaitu Kecamatan Tiga Nderket, Kecamatan Payung, Kecamatan Simpang Empat, dan Kecamatan Naman Teran. Pengungsi kekurangan air untuk MCK dan air minum. Irsal mengatakan, pada Sabtu, 29 Agustus relawan telah bersiap-siap mengantisipasi meletusnya gunung Sinabung dengan membawa sejumlah peralatan dan bantuan darurat. Rapat Muspida, Bupati Karo menegaskan sebelumnya daerahnya aman dan tidak akan terjadi letusan. Penduduk pulang ke daerah masing-masing. Lima menit meninggalkan kantor bupati, terjadilah letusan, masyarakat tidak siap. Masyarakat sempat mengungsi sudah terlanjur disuruh kembali ke desa. Ratusan pengungsi korban letusan gunung Sinabung, memblokir jalan menuju pendopo rumah dinas Bupati Karo di Jalan Veteran, Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, kesal belum juga mendapatkan bantuan makanan. Pengungsi sempat ribut dengan petugas kepolisian yang mencoba menenangkan massa. Ratusan warga tersebut meminta pemerintah daerah setempat segera memberikan bantuan makanan. Masyarakat ada yang sudah dua malam di pengungsian mengaku belum mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat. Bantuan makanan tidak dikirimkan dari posko penanggulangan bencana. Pengungsi merasa kesal,di lokasi pengungsian beberapa kilometer dari pendopo rumah dinas Bupati Karo yang kini dijadikan posko penanggulangan bencana, ternyata bantuan tidak sampai. Kepala Bidang Humas Kabupaten Karo, Jhonson Tarigan menyatakan dari tujuh belas kecamatan yang ada di Kabupaten Karo, empat kecamatan lokasinya berada di sekitar gunung Sinabung. Yakni : kecamatan Naman Teran, Kecamatan Payung, Kecamatan Simpang Empat
49
dan Kecamatan Tigan Nderket. Warga dari keempat kecamatan ini, terutama yang desanya di bawah gunung Sinabung, untuk dapat dievakuasi. Baik ke Berastagi, Kabanjahe atau tempat lain (http://www.haluankepri.com/news/nasional/3221gunung-sinabung-meletus-18-ribu-warga-menungsi.html) Diakses 23 Maret 2012 pukul 11.00 WIB. Fidel Bustami peneliti kebencanaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada seminar jurnalisme bencana di Banda Aceh mengatakan: “Ketiadaan SOP nasional saat ini menyebabkan penanggulangan bencana tidak terarah dan terkoordinasi antara instansi tekait juga kacau yang terjadi di Indonesia sekarang campur aduk, tidak jelas pada saat bencana baru sadar, belum ada komitmen dari petinggi negara kita, pemerintah hanya terlihat panik saat bencana datang tetapi komitmen untuk mencegah bencana yang seharusnya bisa dilakukan belum terlihat keseriusannya. Ketika terjadi bencana tidak terlihat adanya koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga tekhnis karena ketiadaan SOP yang jelas dimiliki secara nasional, kita belum melihat bagaimana koordinasi Badan Penanggulangan Bencana dengan Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika dan juga dengan kementrian kordinator kesehatan rakyat, serta dengan melibatkan aparat keamanan dalam mengurusi tanggap darurat tidak berjalan mulus kerap terjadi kericuhan karena ketidaksiapan aparat dalam mengendalikan emosi warga korban bencana. ketidakseriusan pemerintah terlihat dimana hingga sekarang belum ada lembaga yang bisa memberikan info mitigasi bencana secara detail kepada media untuk diberikan sebagai
upaya
memahami
sekaligus
menyiapkan
masyarakat
menghadapi
50
kemungkinan
terjadinya
bencana,
(http://www.waspada.co.id/in)
Penanganan
Bencana Masih Amburadul, Thursday, 23 Desember 2010 pukul 09.18. Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat, Udjwalprana Sigit mengatakan:
“Seluruh
Indonesia
merekomendasikan
agar
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana menerbitkan SOP mengenai penanggulangan tanggap darurat. Penanganan bencana sarat dengan koordinasi dan komando jadi tidak boleh banyak tangan harus satu komando, siapa yang bertanggung jawab mengendalikan penanganan bencana, misalnya logistik tidak datang siapa yang bertanggung jawab, jangan nanti melempar tanggung jawab.” (http://m.tempo.co/2011/11/0) Daerah Butuh SOP Penanggulangan Bencana tempo.co, Bandung 7 November 2011-Forum BPBD pukul 21.04 WIB Koordinasi pada saat pra bencana dan tanggap darurat di lapangan memperlihatkan fakta antar tim lintas sektor yang ada pada Satuan Tugas Penanganan Bencana erupsi Sinabung tahun 2010 tidak berjalan dengan baik dan tidak menjadi satu kesatuan yang defenitif. Lembaga yang bergerak sendiri-sendiri tanpa adanya perencanaan dan koordinasi bersama, hal ini mengakibatkan tidak efektifnya proses penanganan bencana dan secara tidak langsung menyebabkan penanggulangan warga yang menjadi korban bencana tidak berjalan dengan baik. Pernyataan-pernyataan berikut yang mendukung kurangnya koordinasi penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo 2010 pada tahap Pra Bencana adalah sebagai berikut : Syamsul Ma’arif kepala BNPB di posko utama pendopo rumah dinas Bupati Karo berkomentar kinerja tim penanggulangan bencana
51
Gunung Sinabung tidak tanggap dan kurang koordinasi. Penanganan tanggap darurat Gunung Sinabung kurang koordinasi setiap tim tidak tahu tugas dan fungsinya secara jelas dan berjalan sendiri-sendiri dan hasil yang dicapai tidak maksimal. Hal ini harus segera diatasi untuk melindungi puluhan ribu pengungsi, perlunya kekompakan tim penanggulangan bencana Gunung Sinabung dalam penanganan bencana di lapangan. (http://www.waspada.co.id/index.php) Friday, 17 September 2010 21.59 WIB Nasril Bahar anggota komisi VI DPR RI fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ketika meninjau ke lokasi pengungsian erupsi Gunung Sinabung bersama ketua Marzuki Alie mengatakan : ” penanganan bencana Sinabung terkendala masalah koordinasi, masalah-masalah koordinasi dimiliki masih menjadi persoalan utama dalam penanggulangan Gunung Sinabung secara tidak sadar antar lembaga saling unjuk kewenangan.” (http://m.detik.com/read/2010) Jumat, 3 September 2010 Nicholaus Prasetya berkomentar realitas yang terjadi di Gunung Sinabung mengenai minimnya informasi untuk melakukan pengungsian yang tersebar di masyarakat menunjukkan bahwa penyebaran informasi yang terjadi di daerah Karo masih buruk bukan hanya di daerah Karo saja namun bisa dikatakan hampir di keseluruhan daerah yang sering mengalami bencana (http://m.kompasiana.com/po...) Meletusnya Gunung Sinabung dan Buruknya Manajemen Kesiapan Bencana Alam Indonesia 28 Agustus 2010 pukul 21.44 WIB Komandan Korem 064 Maulana Yusuf, kolonel Inf Endro Warsito di Serang usai rapat koordinasi manajemen penanggulangan bencana bersama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah & Muspida Banten mengatakan: “Saya melihat saat ini kesiapan
52
penanggulangan bencana belum sesuai harapan salah satunya kurangnya disiplin dalam tugas dan fungs masing-masing terkait.” (www.banten klip21.com) (http://taganabanten.info.blo) Kamis, 14 Januari 2012 2.6 Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Koordinasi
Satuan Tugas Penanganan Bencana : • Kodim 0205 • Polres •
Dinas Sosial
•
Dinas Kesehatan
•
Dinas PU
•
Kesbang Linmas
•
Dinas Komunikasi PDE
•
Kecamat Kecamatan Tiga
Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian
Penanggulangan Bencanan
Erupsi Gunung Sinabung