BAB I Pendahuluan
1.1 Latar belakang Diskursus gerakan politik Islam telah lama menjadi perdebatan oleh sejumlah cendekiawan. Para sarjana menjabarkan isu ini dengan sangat serius dalam berbagai bentuk kajian seperti halnya dari segi sisi historis, teologi, politik, dan kultur (Dabashi, 1989; Fuller & Lesser, 1995; Hefner, 2005; Hodgson, 2002; Jindan, 1979; Springer, Regens, & Edger, 2009; Springer et al., 2009; Wahid (ed), 2009). Mereka berargumentasi untuk mempertanyakan mengenai Islam yang benar dengan tujuan menguatkan atau melemahkan masing-masing argumen yang saling bertentangan. Dinamika wacana ini berselancar di seluruh jagat. Tidak hanya berkutat di Negaranegara Islam seperti Arab Saudi dan Negara-negara Timur Tengah lain, gagasan politik Islam juga muncul di Negara, yang secara ideologis, tidak memancangkan agama sebagai basis utama layaknya Indonesia. Di Indonesia, diskurus ini juga muncul. Banyak kalangan mencoba berkontribusi dalam hal ini. Menjadi populasi muslim terbesar di dunia (Woodward, 2010), kontestasi kepentingan politik juga bergemuruh di sini. Syaifudin Jurdi (2008) mengelaborasikan pemikirannya dalam buku bertajuk Pemikiran Politik Islam Indonesia. Jurdi (2008, 343-348) menyatakan bahwa dalam sejarah Indonesia, terdapat banyak macam pergerakan islam yang bermunculan di nusantara. Setelah
keruntuhan rezim Suharto, gerakan Islam yang sempat dibungkam selama beberapa dekade mengemuka dan berpretensi memperlihatkan diri dengan berbagai macam cara. Untuk sekadar menyebut macam-macam pergerakan tersebut adalah, antara lain, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Laskar Jihad (LK), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Bangkitanya gairah gerakan Islam pasca orde baru tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik bangsa yang, menurut Syaifuddin Jurdi, telah melemahkan isu dan wacana tentang Islam. Hegemoni politik tersebut, setidaknya, berlaku sejak Demokrasi Terpimpin (1959) yang kemudian diteruskan oleh rezim berkuasa pada 1967. Imbasnya adalah terjadi politik hegemoni negara terhadap Islam. Meskipun, pada dekade 1970-an diskursus intelektual mengenai Islam dan negara kembali menghangat, akan tetapi tidak sesemarak pada dekade-dekade sebelumnya (Jurdi, 2006). Antagonisme negara terhadap Islam semakin mengencang tatkala Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto berkuasa. Pada saat itu, pemerintah menaruh curiga terhadap organisasi Islam yang berpretensi mendirikan negara Islam. Situasi ini berlanjut hingga tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam mulai akomodatif terhadap terhadap gagasan asas tunggal yang dijadikan haluan dalam kehidupan sosial dan politik. Diskriminasi yang diterapkan pemerintah Orde Baru terhadap Islam membuat polarisasi di dalam tubuh umat Islam ke dalam berbagai bentuk perjuangan. Ada yang berjuang dalam bidang kultural yang meliputi pendidikan, dakwah, kesehatan, dan lain sebagainya.
Begitu pun tak luput
juga
perjuangan struktural
yang
termanifestasikan dalam bentuk produk hukum dan kebijakan publik (Jurdi, 2006).
2
Sebagai akibat dari sikap represif yang ditujukan kepada umat Islam selama beberapa dekade tersebut menimbulkan euforia pada umat Islam ketika kekuasan Soeharto runtuh pada 1998. Runtuhnya kekuasan Soeharto pada 1998 membuka kesempatan bagi berkembangnya gerakan Islam di Indonesia (Muhtadi, 2009). Menurut Moch Nur Ichwan (2014: 101) tumbangnya rezim Soeharto membuka peluang transformasi politik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hizbut at-Tahrir—yang merupakan hulu dari lahirnya HTI—sangat serius memperjuangkan gagasan khilafah. Bagi organisasi transnasional ini, khilafah disebut sebagai sistem politik yang telah pernah ada sejak era kepemimpinan Nabi Muhammad sampai pada keruntuhannya pada tahun 1924. Atas klaim sepihak ini, Ainur Rofiq mengajukan kritik sejarah yang dapat harus dipertimbangkan. Dalam menyebarkan gagasannya, HTI menggunakan berbagai media. Salah satunya adalah dengan menggunakan laman hizbut-tahrir.or.id sebagai media penyebar ideologi dan gagasan mereka. Sebagai organisasi yang memiliki konsentrasi dalam diskursus khilafah, HTI sangat diperhitungkan. Deklarasi khilafah yang dikumandangkan oleh Abu Bakar al-Baghdady tidak mendapatkan respons positif dari HTI. Sebagaimana dijelaskan di pembukaan tulisan ini, HTI menolak klaim kekhalifahan yang diproklamirkan oleh Abu Bakar al-Baghdady. Namun, di saat yang bersamaan pula, HTI masih terus mempropagandakan gagasan khilafah di sejumlah penerbitannya. Dalam penelitian ini dikhususkan untuk mengkaji konstruksi wacana kontemporer terkait gagasan khilafah yang dibangun di laman hizbut-tahrir.or.id. Wacana kontemporer dipilih untuk mengetahui dan melacak bagaimana HTI 3
membingkai dan merespons isu-isu kontemporer, yang mana menjadi tema dalam rangka menyokong gagasan khilafah. Hal tersebut akan menunjukkan pada bidang apa saja HTI memiliki konsentrasi sehingga akan menampilkan gambaran mengenai isu kontemporer apa saja yang dijadikan sebagai propaganda untuk mendukung gagasan utama HTI. Yeni Ratnayuningsih dalam Islam, Media, and Social Responcibility in the Muslim World (2013: 583) menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir media internet memerankan fungsi sigfinikan dalam lapisan masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan menjamurnya berbagai budaya populer yang mempengaruhi budaya anak muda, yang mana termasuk di dalamnya adalah di dunia Islam. Diskursus dunia Islam pun bermunculan dari beragam variasi pemikiran. Di Indonesia, pengguna internet mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika (http://kominfo/go.id), pengguna internet di Indonesia mencapai angka 82 juta pengguna1. Dengan pengguna sebanyak itu menegaskan pengaruh kuat atas informasi yang terdapat di internet. Seturut dengan itu, menurut Imamah (2014: 16) pada tahun 2008 banyak bermunculan media Islam, termasuk media Islam militan. Disebutkan bahwa dalam
1
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet +di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.Vqc_0Z7GpDY diakses pada 10/11/2015 Angka tersebut seolah mengamini hipotesa Don Topscott mengenai The Net Generation, sebuah zaman di mana orang-orang memiliki akses terhadap internet sejak dari kecil, sehingga memiliki intimitas dan cara penggunaan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya. Orang-orang dengan label The Net Generation mengakses dunia internet dengan intensitas dan produktivitas yang sama sekali berbeda. Mereka melakukan berbagai macam aktivitas dalam satu waktu; satu hal yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu (Tapscott, 2009).
4
catatan Alexa Global2 terdapat sepuluh laman terpopuler dalam lingkup media Islam Indonesia yang dihitung dalam pemeringkatan global. Mereka antara lain dakwatuna (12.423), arrahmah.com (16.268), islampos.com (17.743) voa-islam (18.693), eramuslim.com (30.754), bersamadakwah.com (37.523), fimadani.com (52.391), hidayatullah.com (60.568), islamedia.web.id (83.899), dan akhwatmuslimah.com (85.654). Dibandingkan dengan media-media Islam lain yang tidak secara tegas mendeklarasikan diri sebagai penyokong utama gagasan khilafah, pemilihan hizbuttahrir.or.id menjadi urgen mengingat laman ini merupakan laman resmi dari organisasi Hizbut Tahrir Indonesia. Dengan demikian, melakukan penelitian atas laman ini terkait khilafah ini menjadi sangat representatif untuk mengetahui seberapa jauh pandangan dan pemikiran yang tercermin dari gerakan Islam transnasional tersebut. Perhatian yang mendalam terhadap isu khilafah ini tercermin dalam rubrikasi ―Seputar Khilafah‖. Dalam rubrik ini dimuat berbagai argumen, opini, serta impianimpian mengenai khilafah. Hal ini menjadi penguat bahwa situs terkait memang memiliki perhatian khusus terhadap isu ini, karena memang di samping gerakan Hizbut Tahrir diniatkan untuk mendirikan kekhilafahan. Hizbut-tahrir.or.id merupakan portal yang menyediakan beragam tulisan yang mempropagandakan berdirinya khilafah. Hizbut-tahrir.or.id mendapatkan peringkat ke-1845 dalam pemeringkatan se-Indonesia berdasarkan pemeringkatan sesuai data
2
Alexa merupakan laman yang mengalisis lalu-lintas dan menyediakan lalu-lintas dan memperingkat status laman. Ditemukan oleh perusahaan independen pada 1996, alexa.com akhirnya diakuisisi oleh Amazon pada 1999. Alexa mengalisis lalu-lintas laman sesuai dengan kunjungan yang didapatkan dari laman tertentu. Untuk informasi lebih lanjut bisa mengunjungi https://en.wikipedia.org/wiki/Alexa_Internet. Diakses pada 2/11/2015. 5
yang peneliti rujuk dari alexa.com. Dalam skala global, hizbut-tahrir.or.id menempati posisi 126.987 dan memiliki site-link sebanyak 551 buah. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini ingin memperlihatkan dan memfokuskan diri pada wacana kontemporer yang digunakan dalam laman hizbuttahrir.or.id terkait dengan gagasan khilafah. Wacana kontemporer menjadi urgen mengingat bahwa wacana-wacana tersebut digunakan untuk melihat konsistensi HTI merespons isu-isu terkini. Dengan mengetahui kesinambungan isu yang diusung akan terlihat bagaimana peta politik yang menjadi sarana HTI dalam menyokong gagasan khilafahnya.
1.2 Rumusan Masalah 2. Tema apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah terkait wacana kontemporer pada hizbut-tahrir.or.id? 3. Metode apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah pada hizbuttahrir.or.id?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi wacana khilafah dalam laman hizbut-tahrir.or.id. Penelitian ini juga bermaksud mengetahui argumentasi dan legetimasi serta preferensi apa yang dibangun, utamanya jika dihubungkan dengan konteks Indonesia. Disamping itu juga untuk mengetahui apa saja yang imajinasi-imajinasi yang dipropagandakan oleh hizbut-tahrir.or.id seputar khilafah. Penelitian ini berkontribusi mengetahui rekam jejak ideologi yang disebarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), lewat medianya, 6
sehingga didapatkan gambaran mengenai preferensi politiknya. Dalam lingkup akademik, penelitian ini akan melengkapi sejumlah literatur bacaan yang terdahulu terkait Islam politik di Indonesia, terkhusus kaitannya dengan wacana khilafah yang terus dipropagandakan oleh
HTI dan, semoga, dapat memberikan sumbangan
terhadap penelitian-penelitian terkait.
1.4 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini, peneliti memperlihatkan sejumlah literatur yang berkaitan dengan kajian. Sehingga akan memperlihatkan perbedaan konteks penelitian yang dilakukan. Untuk tujuan itu, peneliti akan membaginya ke dalam dua kategori. Pertama, literatur yang membahas mengenai doktrin khilafah. Dan kedua, mengenai gagasan Hizbut Tahrir Indonesia. Pada kategori pertama, terdapat beberapa rujukan literatur yang membahas mengenai doktrin khilafah. Yunasril Ali menulis Kekhalifahan dan Tanggung Jawab Global (2008). Tulisan dalam rangka merespons atas tulisan Nurkholish Madjid berjudul ―Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi: Suatu Percobaan Pendekatan Sistematis terhadap Konsep Antropologi Islam‖ ini mengurai terlebih dulu makna yang terkandung dalam kata khalifah secara leksikal. Menurutnya Ali kata khalifah merupakan derivasi dari kata dasar khalf, yang artinya di belakang. Oleh karena itu, khalifah berarti ―yang datang belakangan‖. Buku yang secara khusus membahas khilafah adalah buku berjudul Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila (2014). Buku yang dieditori oleh Komaruddin Hidayat ini memuat beragam perspektif dari berbagi akademisi. Haidar
7
Bagir, misalnya, lewat tulisan berjudul Islam dan Kepemimpinan Politik Antara Otoritas dan Demokrasi menyatakan bahwa persoalan yang tak ada habisnya adalah persoalan hubungan Islam dan kepemimpinan politik. Sejak Nabi Muhammad hingga wafatnya, Islam selalu bersentuhan dengan hal-ihwal politik. Menurut Bagir, politik menjadi suatu pusat dalam rangka meraih tujuan-tujuan. Manusia, sebagai entitas Negara, harus bekerja sama untuk mengorganisasikan diri dan mengatur dan memecahkan persoalan bersama. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam suatu asosiasi manusia dibutuhkan suatu kepemimpinan yang dapat menjalankan roda kehidupan dengan baik. Sementara itu, Fuad Jabali, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah lewat tulisan Khilafah: Antara Suku dan Agama (2014) mengurai sengkarut khilafah kaitannya dengan persoalan suku dan agama. Jabali menjelaskan bahwa khilafah sebagai sistem politik kesukuan yang kental sempat mengendur ketika Nabi Muhammad menyodorkan tawaran konsepsi dengan detribalisasi. Namun, sayangnya, semangat kesukuan kembali menguat pasca wafatnya Nabi. Bahkan, berdirinya khilafah setelah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali melambangkan sukuisme yang tinggi. Sementara itu, Nadirsyah Hosen dalam tulisan berjudul Khilafah Islam, Fiktif! (2014) dengan tegas menyebut mendirikan khilafah tidak wajib. Bahkan dosen senior di University of Wolonggong ini menyamakan khilafah dengan apa yang ada di sekitar kita. Implementasi dari pemikiran ini kemudian menyiratkan bahwa dalam suatu perkumpulan manusia mesti harus ada yang didaulat menjadi pemimpin.
8
Beberapa literatur di atas memberikan pemahaman mengenai diskursus khilafah dalam berbagai bentuk analisa. Sedangkan, untuk kategori kedua akan diperlihatkan sejumlah literatur yang membahas mengenai penetrasi gerakan HTI dalam mempropagandakan gagasan khilafah. Syamsul Rizal, dalam makalah berjudul Indoctrinating Muslim Youth: Seeking Certainly Through An-Nabhanism memaparkan cara-cara yang ditempuh oleh HTI dalam menanamkan pahamnya kepada pemuda. Di antara cara-cara tersebut adalah halqa. Dijelaskan bahwa metode ini ditujukan bagi anggota baru di bawah bimbingan supervisor yang telah berpengalaman. Sistem ini digunakan untuk membedakan dengan proses yang didapatkan di sekolah ataupun universitas. Tujuan dari halqa ini tidak sekadar dijadikan tempat untuk mendidik anggota tersebut, melainkan lebih dari itu yakni meningkatkan apa yang telah mereka pelajari dalam kehidupan keseharian. Melalui The Image of the Other as Enemy: Radical Discourse in Indonesia (2006), Mohammad Iqbal Ahnaf menjelaskan problem yang dihadapi oleh dua organisasi Islam; Majelis Mujahidin Indonesia dan Hisbut Tahrir Indonesia. Iqbal mengawali tinjauannya dengan mengalisis kacamata pandang yang digunakan oleh keduanya dalam menilai orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda alias nonMuslim. (Ahnaf, 2006) . Kajian tentang HTI yang lain juga datang dari Iqbal Ahnaf yang berjudul From Revolution to„ Refolution‟ A Study of Hizb al Tahrir, Its Changes and Trajectories in the Democratic Context of Indonesia. Di sini, Iqbal Ahnaf memperlihatkan telah terjadi pergeseran strategi yang dilakukan HTI dalam mempromosikan gagasannya. Stategi tersebut adalah dengan melawan demokrasi di negara demokrasi.
9
Buku Proyek Khilafah HTI: Perspektif Kritis (2015) mempertanyakan ulang gagasan khilafah, baik secara historis maupun kekinian. Yang membedakan buku ini dengan buku-buku sejenis adalah bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang pernah berkecimpung sebagai aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurutnya, gagasan Negara Islam yang diperjuangkan HTI tidak hanya memaksakan nalar berpikir. Buku ini mempertanyakan eksistensi HTI di Indonesia dengan titik tekan kepada konsepsi ideologi HTI. Uraian Ainur Rofiq sangat teoritis dan secara umum memotret ideologi HTI. Penelitian mengenai HTI yang berbasis daerah ditulis oleh Syamsul Arifin. Penelitian ini dilakukan di Malang. Disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizbut alTahrir Indonesia (Arifin, 2005) tersebut berkesimpulan Hizbut Tahrir termasuk dalam kategori kelompok fundamentalistik. Kesimpulan tersebut didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, gerakan ini memiliki orientasi politik yang ditujukan untuk menggantikan sistem politik sekuler. Ideologi yang digunakan di Indonesia, termasuk di dalamnya ideologi Pancasila tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan dampak krisis fundamental dan multidimensional. Kedua, berbekal sejarah, menurut Hizbut Tahrir, Islam pernah mengalami masa kegemilangan selama 1300 tahun sebagai konsekuensi logis dari penerapan Islam sebagai ideologi (mabda‟). Penelitian lain datang dari Paul Danier Boyer. Thesis penelitian berjudul Bad Ideology Leads to Bad Behaviour: Why Muslim Reformers Must Present an Authoritative, Comprehensive, and Compelling Counter-Narrative to Islamism menyajikan hasil penelitiannya atas laman http://english.hizbut-tahrir.org. Tesis ini
10
menganalisis ideologi dan retorika kunci para intelektual Islam yang terdapat dalam laman tersebut di atas. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ideologi dan retorika yang digunakan dalam laman tersebut berpotensi menjadi pelatuk akan terjadinya penggunaan kekerasan atau setidaknya berkontribusi atas aksi-aksi kekerasan. Penelitian ini juga menyatakan bahwa retorika dan ideologi yang ditampilkan dalam laman terkait dapat mempengaruhi pemahaman pembaca (Boyer, 2011). Sementara itu, penelitian yang mengkomparasikan dua kategori di atas tercermin dari buku Mandaville, P. G. Transnational Muslim politics: reimagining the umma (2001) dan Burhanuddin Muhtadi The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia (2009). Gagasan mengenai ―Imagined Ummah‖, awalnya, telah dipergunakan terlebih dahulu, namun dalam ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Dalam artian tidak fokus mengalisa gagasan organisasi tertentu. Sementara Muhtadi, melakukan hal sama, akan tetapi lebih menspesifikkan untuk kasus HTI. Berbeda dengan berbagai literatur di atas, utamanya karya Mandaville dan Muhtadi, penelitian ini menelisik ―The Imagined Ummah‖ menggunakan analisis wacana.
Sehingga
dapat
diungkap
penggunaan
bahasa
mereka
dalam
mempropagandakan restorasi khilafah. Berbagai kajian tersebut di atas memperlihatkan berbagai kajian yang membahas mengenai gagasan khilafah dengan bermacam perspektif. Di samping itu juga membahas secara spesifik mengenai organisasi-organisasi yang mendukung gagasan khilafah tetap ada. Pada penelitian ini bagaimana isu kontemporer digunakan oleh HTI untuk melegitimasi argumentasi mengenai khilafah. Mengingat bahwa 11
dalam penelitian ini menitikberatkan pada konstruksi wacana khilafah yang dipropagandakan melalui laman hitbut-tahrir.or.id, maka akan sangat penting untuk mengetahui beberapa kajian yang terkait dengan beberapa hal yang disebutkan di atas. Untuk menjelaskan perbedaan penelitian dengan penelitian, buku, dan artikel jurnal yang telah terbit sebelumnya, akan diperlihatkan.
1.5 Kerangka teori Ada dua konsep utama yang digunakan sebagai alat analisa dan sekaligus perpektif dalam tesis ini yakni kajian mengenai reimajinasi ummah dan komunitas terbayangkan (Imagined Community) dan Dua teori ini urgen untuk mendukung analisis temuan atas konstruksi wacana yang dibangun terkait khilafah di laman hizbut-tahrir.or.id. Yang pertama digunakan untuk membangun argumen tentang imajinasi yang terbayangkan mengenai berdirinya khilafah. Yang kedua diniatkan untuk menitikberatkan pada seberapa penting wacana khilafah didengungkan sebagai imbas dari perhatian yang berkecukupan terkait isu tersebut. 1.5.1
Ummah Dalam Islam dikenal terminologi ummah yang menjadi perbincangan dan
sekaligus perdebatan banyak pemikir. Terminologi ini sangat bersinggungan dengan riwayat masa lalu Islam. Menurut Ejaz Akram (2007: 383) kata ummah disebut sebanyak 62 kali di dalam al-Qur‘an dengan intensi komunitas agama. Ternyata, di dalam al-Qur‘an, penyebutan kata ummah memiliki perkembangan kronologi mengenai konsep ummah; dari yang semula dipahami sebagai kata umum kemudian digunakan secara khusus untuk agama-agama abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Namun, adakalanya, penggunaan kata ummah juga dikhususkan bagi 12
komunitas Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad tinggal di Madinah (Akram, 2007). Kata ―Ummah‖ merupakan identitas sosial yang unik dalam Islam. Terma ini dikhususkan bagi komunitas Islam yang mana beranggotakan orang-orang Islam (van Nieuwenhuijze, 1959). Penelitian ini sendiri menitikberatkan pada konstruksi pemaknaan dan penjabaran kata ummah yang termanifestasikan dalam kerangka pikir khilafah. Menurut Ajez Akram (2007), dalam Al-Qur‘an, kata ummah muncul sebanyak 62 kali dengan intensinya sebagai komunitas keagamaan. Dalam kronologisnya, kata ummah juga digunakan oleh bangsa Yahudi, Kristen, selanjutnya untuk kaum Islam. Pada saatnya, Al-Qur‘an menggunakan kata ummah yang hanya ditujukan bagi komunitas kecil kaum Islam. Terkhusus lagi pada periode kehidupan Nabi Muhammad di Madinah, sehingga intensi penggunaan kata ummah terkesan eksklusif. Menurut Elizabeth Pooley (2015: 32), konsep ummah muncul dari gagasan bahwa muslim merupakan satu kelompok global yang terkoneksi (globally connected group). Satu ayat Al-Qur‘an yang menjadi rujukan atas gagasan tersebut lahir dari ayat 3: 110 yang berbunyi: ―Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang makruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara merkea ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.‖ Dalam perjalanannya, terjadi evolusi makna kata ummah yang tidak hanya tertuju pada umat Islam. Ajez Akram mencatat (2007: 386) kata ummah dalam piagam Madinah menyertakan umat Yahudi dan yang lainnya di mana mereka hidup 13
secara harmonis bersama dengan umat Islam. Sama dengan argumentasi Ajez Akram, Ali Bulac berargumentasi bahwa piagam madinah merupakan suatu konsensus yang terjadi antara Nabi Muhammad, orang-orang Yahudi, dan orang-orang musyrik yang memberikan otoritas kepada kaum muslim menguasai kota Arab, namun di saat yang bersamaan juga melindungi hak-hak mereka (Pohan, 2014). Konsep negara Islam sendiri datang belakangan, yakni menyambut berakhirnya kerajaan Ottoman dan utamanya dalam rangka menyambut gagasan Maududi dan sejumlah ikhwan al-muslimin. Meski memiliki jejak historisitas, terma ummah datang belakangan. Tepatnya ketika para nasionalis Arab memulai menggunakan terma ummah untuk mendeskripsikan semua Arab atau al-ummah alarabiyya. Penyebutan ummah tersebut tidak secara figuratif dipersonalisasikan kepada konsep lama yang hanya secara spesifik ditujukan kepada komunitas tertentu, yang dalam hal ini adalah Islam (Ayubi, 1991). Sebagai sebuah ideologi, gagasan tentang ummah tentu mempengaruhi orangorang yang memiliki persinggungan dengan wacana ini. Ideologi, menurut Graham C. Kinloch dalam Ideology and the Social Science (1981), ialah basis argumentasi yang digunakan oleh golongan tertentu yang muncul dari pandangan dunia untuk menjustifikasi suatu perilaku dan tindakan. Maka, ketika sekelompok orang melakukan suatu tindakan tertentu, kekerasan misalnya, bisa disinyalir merupakan imbas dari pemahaman atas ideologi yang dijadikan landasan berpikir. Pada titik ini, jika paradigma sosial atau pandangan agama dijadikan sebagai ideologi, akan muncul dua karakteristik. Pertama, akan terjadi formulasisasi ideologi yang dimaksudkan agar mencapai suatu tujuan. Kedua, penggunaan ideologi digunakan agar dapat menggapai
14
tujuan politik. Dengan sederhana bisa dikatakan bahwa ideologi diposisikan sebagai pendorong atau sebagai ―simbol senjata politik‖. Sebagai sistem simbol, ideologi memerankan peran signifikan terhadap tindakan sosial tertentu. Pada taraf yang lebih akut, ideologi menegasikan segala bentuk perbedaan, termasuk dalam perkara epistiomologi. Penafsiran terhadap sesuatu, tak pelak, sangat dipengaruhi oleh ideologi tertentu (Purnomo, 2009). 1.5.2
Imagined Community Pembicaraan mengenai ―komunitas terbayangkan‖ atau lebih dikenal dengan
sebutan Imagined Communities tidak bisa dilepaskan dari narasi yang dibangun oleh Benedict Anderson. Yang perlu digarisbawahi dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan teori ―Komunitas Terbayangkan‖ bukan dalam kerangka memahami nasionalisme. Akan tetapi sebagai sebuah gambaran mengenai suatu citacita yang diharapkan oleh suatu komunitas tertentu sehingga lahir apa yang sering disebut dengan Imagined Community. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa kerangka pikir yang dibangun oleh Benedict Anderson dalam menteorisasiakan ―Komunitas Terbayangkan‖ tidak bisa dilepaskan dari asal-muasal pemahamannya dan penjabarannya mengenai nasionalisme (Anderson, 1991). Untuk memudahkan dalam memahami berbagai istilah dan penggunaannya, di sini akan dibahas mengenai terma bangsa (nation) yang dipopulerkan oleh Benedict Anderson
(Imagined
Communities,1991).
Kebanyakan
orang
berpikir
dan
berkesimpulan bahwa bangsa yang dijabarkan Anderson adalah satu perkara yang memang terbayangkan dan tidak pernah terwujud sebelumnya. Padahal, terdapat kompleksitas tersendiri ketika membicarakan konsepsi bangsa (nation) itu.
15
Dalam kerangka yang sama, sebagaimana dijabarkan Anderson (1991: 6), bahwa defenisi bangsa adalah ―an imagined political community—and imagined as both inherently limited and sovereign‖.
Imajinasi yang dimaksud adalah bahwa
anggota-anggota yang tergabung di dalamnya tidak akan pernah mengetahui satu dengan yang lain, bertemu, dan apalagi mendengar satu dengan yang lain. Imajinasi tersebut kemudian membawa pada apa yang Ernest Gelner jelaskan: ―he assimilates „invention‟ to „fabrication‟ and „falsity‟, rather than to „imagining‟ and „creation‟‖. Mengenai hal ini, Anderson menjelaskan: (In fact, communities larger than primordial villages of face to face contact (and perhaps even these) are imagined. Communities are to be distinguished, not by their falsity/genuineness, but by the style in which they are imagined. (Anderson, 1991) Dari penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa komunitas terbayangkan (Imagined Commutiy) merupakan seperangkat impian, cita-cita yang diimajinasikan akan terwujud di masa yang akan datang. Berbekal imajinasi-imajinasi, suatu komunitas menjadi seolah-olah ada dan akan terwujud. Lebih lanjut, Anderson menjelaskan, setidaknya, terdapat tiga model imajinasi bangsa. Pertama, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai ―yang berbatas‖ (limited). Hal itu dikarenakan meski memiliki jutaan umat manusia, namun tetap memiliki batasan. Kedua, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai suatu bentuk kekuasaan (sovereign) dikarenakan lahirnya konsep ini bersamaan dengan era Pencerahan dan Revolusi. Ketiga, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai suatu komunitas (community) karena meskipun terdapat ketimpangan namun masih dipersatukan dengan apa yang disebut dengan ―horizontal comradeship‖ (persekawanan antarsesama) (Anderson, 1991: 7).
16
Yang harus dipahami adalah bahwa terdapat perbedaan mendasar untuk memahami pengertian nation dan state. Apa yang dijelaskan oleh Benedict Anderson dengan istilah ―imagined community‖, bagi Mandaville, bisa memperjelas pengertian apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam terma tersebut. Terma ―imagination‖ yang digunakan Anderson tidak lantas membuat menjadikan nation (bangsa) sepenuhnya sebagai isapan jempol atau tidak nyata. Akan tetapi, yang diharapkan oleh Anderson dengan terma nation adalah bagaimana orang-orang menyadari dirinya menjadi bagian dari—apa yang disebut dengan—a social collective (Mandaville, 2001). Penjelasan seperti di atas diperlukan untuk memberikan batasan mengenai apa yang kerap disebut sebagai bangsa, nation; nasionalisme, nationalism. Sehingga tidak terjadi perdebatan untuk memahami konsep yang akan diulas selanjutnya. Lebih jelasnya, Mandaville menjelaskan: Indeed, if we examine the various sociohistorical contexts in which nations have been elaborated, we find many in which the act of creating a nation is as much about saying who one is not, as it is about saying who one is. It is therefore an inherently political process in the sense that it constructs boundaries of inclusion and exclusion. Furthermore, the nation exists in more than just space, it also endures in time. It is a life-world which requires reproduction in order to survive. Insofar as the nation is a discursive formation (as opposed to a corporeal construct) it requires reiteration in order to sustain itself. The nation is a story of identity, memory and belonging which needs to be told and told again. It is this dimension of the nation which leads Homi Bhabha to speak of its „narration‟. The nation is hence a living thing: the reification of culture (language, morality, memory, experience, „forms of life‟) into an exclusive community (Mandaville, 2001). Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pengertian bangsa (nation) merupakan satu proses politik yang mengonstruksi tentang inklusi dan eksklusi. Terma ini menembus ruang dan waktu, oleh karenanya membutuhkan segala macam
17
pendukung untuk bisa tetap berkembang. Bangsa merupakan sejarah tentang identitas dan memori yang harus terus dinarasikan ulang oleh satu kelompok tertentu (an exclusive community). Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti tidak memfokuskan untuk mengurai apa dan menelisik batasan nasionalisme. Namun, peneliti meminjam defenisi komunitas terbayangkan untuk digunakan menganalisa dalam wacana ummah atau khilafah. Teori ―Komunitas Terbayangkan‖ ini peneliti gunakan untuk menganalisis tulisan-tulisan yang ada di laman hibut-tahrir.or.id, utamanya yang terdapat dalam rubrik ―Seputar Khilafah‖.
1.6 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan kerangka teori analisis wacana untuk mengkaji website hizbut-tarhrir.or.id. Karena medan kajiannya adalah bahasa, maka diperlukan pengertian dan sekaligus pembatasan agar memudahkan dalam identifikasi penelitian ini. Menurut James Paul Gee (2006: 1), fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Setingkat level di atas itu, yakni dalam penggunaannya oleh manusia, fungsi bahasa memerankan setidaknya dua hal: (a) untuk mendukung performa aktivitas dan identitas sosial dan (b) untuk mendukung afiliasi manusia dengan budaya, kelompok sosial, dan institusi. Di samping itu, bahasa selalu berpretensi bernuansa ‗politik‘. Dalam kaitannya bahasa dan politik, James Paul Gee (2006: 2) menjelaskan sebagai berikut: ―Politics is part and parcel of using language. But this does not meant that analysing language is just an infitation to pontificate about our political view. Far from exonerating us from looking at the empirical details of language and social action, an interest in politics demands 18
that we engage with such details. Politics, in terms of social relations where social goods are at stake, has its lifeblood on such details. It is there that “social goods‟ are created, sustained, distributed, redistributed. It is there that people are harmed and helped. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa analisis bahasa tidak hanya memperlihatkan satu pandangan politik. Maka dari itu, diperlukan pemahaman sangat mendetail untuk bersinggungan suatu wacana karena apa yang sering disebut sebagai ―social goods‖ merupakan hal yang diciptakan, diwacanakan, dan didistribusikan. Pada titik ini akan diketahui bagaimana satu konstruksi wacana terbentuk. Pada akhirnya, dengan memperhatikan detail bahasa yang digunakan akan memandu untuk mengetahui ke arah mana aktivitas sosial, identitas sosial, dan arah politik yang dituju dibanding sekadar digunakan sebagai bahasa pemberi dan penyampai informasi. Sebagai jembatan yang menghantarkan tidak sekadar informasi, bahasa— dengan begitu—tidak terlepas dari diskursus kebenaran (truth). Hal itu dikarenakan hubungan bahasa dan politik yang dijelaskan di atas secara langsung meliputi aktivitas sosial, identitas sosial, dan preferensi politik yang secara implisit terkandung dalam bahasa yang digunakan. James Paul Lee mendefinisikan truth dengan “is a matter of taking, negotiating, and contesting perspectives created in and trough language” (Gee, 2006). Dengan demikian, sangat jelas posisi bahasa dalam mengonstruksi suatu wacana mengingat ‗kebenaran‘ merupakan suatu hal yang sangat negosiatif. Kaitannya dengan hal tersebut, bahasa yang ditransformasikan memerlukan media untuk mentransformasikan gagasan kepada khalayak umum. Terkait dengan hal tersebut, Aris Badara menjelaskan (2014: 5) surat kabar memiliki kekuatan signifikan dalam mempengaruhi wacana yang dinarasikan. Surat kabar bisa menentukan sesuatu 19
menjadi seperti apa di hadapan khalayak pembaca. Terkadang, dalam penulisan terdapat proses marginalisasi yang tidak dirasakan oleh pembaca. Berger dan kawan-kawan (Badara, 2014: 8) menyatakan bahwa proses konstruksi realitas dimulai saat objektifikasi mulai dijalankan oleh sang konstruktor atas suatu kenyataan. Dari konstruksi yang dibangun, maka akan muncul perpsepsi yang dikemudian diinternalisasikan. Dalam proses internalisasi tersebut, alat paling vital yang dapat menentukan wacana tidak lain adalah kata-kata suatu konsep atau bahasa. Keberadaan bahasa tidak hanya berhenti pada sebagai alat untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atas suatu wacana yang kemudian diterima oleh masyarakat. Di samping itu, menurut DeFleur sebagaimana dikutip oleh Badara (2014: 9) media mempunyai banyak cara untuk membentuk bahasa dan makna. Tidak hanya berhenti di sana, kekuatan bahasa bahkan digambarkan oleh Badara dengan ―mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna; dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dan makna baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa”. Dalam taraf tertentu, penyebaran wacana yang dilakukan secara masif bisa mengonstruksi realitas, utamanya dalam hal makna dan citra atas wacana yang dibangun. Kekuatan bahasa dapat mengonstruksi realitas. Bahkan, bahasa tidak hanya menjadi cermin atas suatu realitas, akan juga menciptakan realitas baru (Badara, 2014: 9). Dalam memproduksi wacana, ada tiga hal yang dilakukan oleh para pekerja media. Menurut Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, tiga hal tersebut antara lain, 20
pertama; pemilihan simbol. Simbol yang dipilih akan membentuk suatu makna tertentu. Dalam teori semiotika, teks dinilai menyimpan berbagai makna mulai dari penggunaan kata, istilah, frasa, dan foto yang digunakan dalam publikasi. Kedua, stategi pembingkaian (framing). Metode ini merupakan suatu strategi menyusun realitas sehingga melahirkan satu wacana tertentu. Pembingkaian (framing) dalam media
didasarkan
pada
kepentingan
ideologi
internal
media
yang
bisa
merepresentasikan media tertentu. Ketiga, kesediaan memberi tempat untuk memproduksi wacana tertentu. Dengan tempat khusus yang disediakan media yang membahas masalah tertentu dapat tercermin intensi media tersebut terhadap suatu isu yang coba dipropagandakan. Sebagai pembentuk makna, interpretasi media terhadap isu-isu tertentu dapat mempengaruhi bahkan mengubah persepsi orang mengenai realitas yang dibahas (Badara, 2014). Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai ketiga tindakan yang dilakukan media dalam memproduksi suatu wacana, dalam hal ini wacana khilafah dalam laman hizbut-tahrir.or.id akan dilakukan kajian satu persatu yakni bagaimana penggunanaan simbol digunakan dalam produksi wacana khilafah, bagaimana strategi pembingkaian yang dilakukan oleh hizbut-tahrir.or.id, serta kesediaan tempat yang disiapkan. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisa wacana yang diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk. Model analisis wacana Teun A. van Dijk adalah ―kognisi sosial‖. Teun A. van Dijk melihat struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan untuk memahami suatu teks (Eriyanto, 2012: 221-224).
21
Untuk memahami suatu teks, Teun A. van Dijk memerinci struktur teks ke dalam beberapa bagian, yang meliputi tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris. Adapun bagan model analisis van Dijk (Eriyanto, 2012: 228) adalah sebagai berikut: Struktur wacana Struktur makro Superstruktur
Struktur mikro
Struktur mikro
Struktur mikro Struktur mikro
Hal yang diamati Tematik Tema/topik yang menonjol Skematik Bagaimana bagian dan urutan teks dibuat Semantik Makna yang ditekankan dalam teks Sintaksis Penggunaan kalimat (bentuk dan susunan) dari teks Stilistik Pilihan kata dalam teks Retoris Bagaimana penekanan dilakukan, termasuk caranya
Elemen Topik Alur (skema)
Latar, detail, maksud, praanggapan Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Leksikon Grafis, metafora
1.6.1 Sumber Data Dalam penentuan laman objek kajian, yakni hizbut-tahrir.or.id, peneliti menggunakan sejumlah kriteria, utamanya jika dikaitkan dengan tema yang diangkat dengan mempertimbangkan sejumlah hal-hal teknis yang tidak dapat dinegasikan urgensinya. Tumbuhnya media islam berkembang pesat. Dalam penentuan laman hizbut-tahrir.or.id sebagai objek penelitian, peneliti mempertimbangan berbagai hal berikut ini. Pertama, media ini merupakan media yang memiliki perhatian khusus terhadap isu khilafah. Sebagai media yang digunakan 22
oleh Hizbut Tahrir Indonesia, suara mengenai khilafah sangat terdengar nyaring dari berbagai tulisan yang dipublikasikan di laman terkait. Kedua, kontinuitas merupakan satu elemen penting dalam mempertimbangkan kajian ini. Dengan kontinuitas yang dilakukan oleh hizbut-tahrir.or.id dalam mempropagandakan wacana-wacana seputar khilafah sangat terlihat bagaimana mereka sangat berhasrat dan terlihat jelas preferensi politik yang mereka tampilkan lewat tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Dalam hal rubrikasi, hizbut-tahrir.or.id terlihat tidak begitu banyak menampilkan rubrikasi dalam laman tersebut. Dalam tampilan laman antara lain rubrik ―Kantor Jubir‖, ―Berita‖ yang memiliki turunan rubrik menjadi dua,yakni ―dalam negeri‖ dan ―luar negeri‖, ―Media‖ yang memuat tiga turunan ―Al-Waie‖, ―Al-Islam‖, dan ―HTI Channel‖. Di samping itu terdapat juga rubrik ―Muslimah‖, ―Seputar Syariah‖, dan ―Seputar Khilafah‖. Satu rubrik lain yaitu ―Tentang Hizbut Tahrir‖. Adapun tampilan laman hizbut-tahrir.or.id adalah sebagaimana tersaji di bawah ini:
23
Figure 1 tampilan laman hizbut-tahrir.or.id
Untuk membatasi kajian agar spesifik, peneliti memfokuskan pada rubrik ―Seputar Khilafah‖. Dengan menggunakan kritik analisis wacana dalam menggali data, penelitian ini menitikberatkan pada kajian khilafah yang terdapat dalam rubrik ―Seputar Khilafah‖ sehingga akan mendapatkan fokus kajian yang spesifik sehingga tidak melebar ke isu-isu lain. Penelitian ini tidak akan mengalisis konten yang terdapat di sana selain teks. Video dan gambar tidak akan menjadi bahan kajian karena hanya akan memperlebar objek kajian. Sementara itu, objek kajian yang diteliti adalah teks yang ditampilkan seputar khilafah.
1.6.2
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Bab
pertama berisi tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, kajian pustaka: diskursus
24
khilafah, hizbut tahrir indonesia, kerangka teori, metodologi penelitian, dan cara pengkoleksian data, serta sistematika kepenulisan. Bab kedua menitikberatkan pada pembahasan kerangka teori yang membahas imajinasi ummah atau khilafah dan diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Penjelasan mengenai ini urgen untuk mengetahui genealogi pemikiran yang berjalan di Indonesia sehingga melahirkan gerakan Islam transnasional semacam Hizbut Tahrir Indonesia. Penjabaran mengenai ini diharapkan dapat menuntun penelitian kepada pemahaman yang menyeluruh atas fenomena wacana khilafah dewasa ini. Bab ketiga merupakan bagian penting dari penelitian ini yang akan menjabarkan secara gamblang konstruksi wacana mengenai khilafah yang terdapat di laman hizbut-tahrir.or.id. Di bagian ini akan diperlihatkan bagaimana konstruksi wacana khilafah dipersepsikan dan diupayakan sedemikian rupa. Bab keempat merupakan bab yang akan mengalisis konstruksi wacana yang ada di bab sebelumnya untuk kemudian mengkritisi wacana khilafah dalam konteks ke-Indonesia-an. Bagian ini sekaligus menjadi tempat untuk memperlihatkan relevansi wacana khilafah di tengah masyarakat yang pluras, apa saja rintangannya, dan apakah wacana terkait masih tepat untuk dipropagandakan di tengah percaturan wacana yang ada. Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan sedikit catatan atas hasil temuan dalam penelitian ini.
25