BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah Fenomena nyata bahwa didalam setiap agama terkandung dua macam kecendrungan ajaran yang tampak saling bertentangan. Pertama kecenderungan yang mengajarkan bahwa agama yang dianut oleh seseorang adalah agama yang paling benar, mutlak, tidak sesat dan menyelamatkan; sedangkan orang-orang yang beragama lain adalah sesat, kafir, celaka dan harus dijauhi atau dibujuk untuk mengikuti agamanya. Kedua, adanya ajaran bahwa setiap orang harus dihormati, dicintai, tidak ada paksaan dalam memeluk agama dan dianjurkan berbuat kebajikan kepada siapa saja; bahkan kebajikan ini dianggap sebagai inti dari ajaran agama. Kedua kecendrungan tersebut
sangat
paradoks, disatu sisi
bisa
menimbulkan kerukunan dan di satu sisi lagi menimbulkan ketidakrukunan 1, tetapi berdasarkan dua macam kecendrungan tersebut, Indonesia malah didera 1
Ketidakrukunan adalah suatu kondisi yang berbalik dari kondisi rukun, tepatnya
ketidakrukunan adalah suatu kondisi hubungan sesama umat beragama yang tidak dilandasi toleransi, tidak saling pengertian, tidak saling menghormati, tidak menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
1
banyak ketidakrukunan antar pemeluk agama, kemudian dalam kehidupan bermasyarakat muncul pula budaya agama mayoritas dan minoritas, agama mayoritas lebih punya kuasa sedangkan minoritas tertindas, kemudian hal lain yang manjadi masalah adanya fanatisme, kerusuhan, dan banyak masalah yang membuat kerukunan terganggu. apabila ketidakrukunan umat beragama telah tercederai, maka akan
“menggoncang” Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) , dimana akan terjadi pergejolakan sehingga mengganggu jalannya sistem kenegaraan. Padahal di satu sisi salah satu prioritas pembangunan di Indonesia era pemerintahan Joko widodo adalah menjaga kerukunan hidup antar umat beragama2. Maka untuk memelihara kerukunan antar umat beragama selain dituntut kedewasaan dikalangan umat beragama perlu juga adanya forum atau organisasi yang menjembatani antar umat beragama yang berkonflik agar terjaga keseimbangan antara kepentingan agama dan kepentingan nasonal. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia mencatat bahwa berbagai peristiwa ketidakrukunan antar umat beragama telah terjadi di negara agamis 3 Indonesia. Ketidakrukunan itu kerap muncul dalam bentuk ketegangan atas umat beragama, penyalahgunaan kebebasan beragama, konflik, dan pelarangan beribadah, lalu menimbulkan permusuhan bahkan sampai adu fisik. Tahun 2010 lalu tepatnya minggu 12 September terjadi penyerangan terhadap rohaniawan HKBP di RT 003/RW 006, Ciketing Bekasi timur sekaligus tuntutan agar ditutupnya tempat ibadah HKBP tersebut. Pada 14 Januari 2009, puluhan warga merusak masjid
2
Dari 9 prioritas Jokowi, kerukunan umat beragama ada dalam prioritas nomor satu, yakni menghadirkan kembali negara yang melindungi bangsa dan menjamin rasa aman. 3 Negara Agamis adalah negara yang memiliki masyaraat yang multi etnis dan multi agama.
2
kecil milik sebuah keluarga kecil yang sedang dalam tahap pembangunan di desa Sumberduren, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Pelaku perusakan beralasan bahwa masjid tersebut tidak memiliki izin. Pada 26 Ferbruari 2009. Pada Juli 2008 atas perintah camat setempat, kepolisian menghancurkan Gereja Kristen Indonesia (Gekindo) di Jatimulya, Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat. Gereja tersebut tidak melakukan kegiatan ibadah apapun selama dua tahun terakhir karena masih menunggu izin dari pemerintah daerah. Pada 5 Oktober 2009, sekelompok orang merusak masjid Mubarak di kawasan Mahato, Desa Tanjung Medan, Kecamatan Pujud, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau setelah Hari Raya Idul Fitri. Pada Januari 2008 ratusan demonstran dari kelompok mayoritas komunitas Muslim Sasak menyerang kuil Hindu di Pura Sangkareang, Keru, Lombok Barat, yang mengakibatkan kerusakan dan menghentikan proses renovasi. Terdapatnya perbedaan dalam menginterpretasi berbagi aturan perizinan terkait pembangunan rumah ibadah, beberapa pejabat daerah berpendapat bahwa pengelola kuil harus mendapatkan izin dan persetujuan dari masyarakat setempat sebelum memulai pekerjaan renovasi. Sebaliknya, pengelola kuil berpendapat bahwa renovasi, tidak seperti membangun, dapat dilakukan tanpa harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah kota dan warga setempat. Pada 7 Mei, 2009, anggota jemaat Huria Kristen Batak Protestant (HKBP) mengajukan gugatan dan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung untuk membatalkan putusan pemerintah kota yang membatalkan izin gereja mereka. Meskipun pihak jemaat telah mendapatkan izin dan memulai proses pembangunan, walikota membatalkan izin tersebut pada 27 Maret, 2009, dengan alasan adanya keluhan dari masyarakat. Hal ini adalah
3
sebaga refleksi gambaran nyata dari sekian banyaknya kasus ketidakrukunan yang terjadi di negara agamis Indonesia. Dari bebagai peristiwa itu memunculkan
pelarangan memeluk agama
selain yang mereka yakini, tampak jelas adanya larangan melakukan ibadah berdasarkan keyakinannya, padahal Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 memberikan kebebasan beragama dengan menyatakan bahwa “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing dan kepercayaanya itu; dan” “Negara Menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” Dasar negara pancasila juga menyatakan pula bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama ideologi nasional negara ini, Pancasila, menyatakan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sumatera Utara Keragaman Agama di Sumatera Utara nyaris terbilang sempurna, semua agama ada di Sumatera Utara. Agama terbanyak di Sumatra Utara adalah Islam, terutama dipeluk oleh suku Melayu, Pesisir, Minangkabau, Jawa, Aceh, Batak Mandailing, Tapsel (Angkola) sebagian Batak Karo, Batak Tapanuli Utara, Simalungun, Nias dan Pakpak. Kemudian diikuti Kristen Protestan dan Katolik, terutama dipeluk oleh suku Batak Karo, Toba, Taput, Simalungun, Pakpak, Mandailing, dan Nias. Sedangkan Hindu terutama dipeluk oleh suku Tamil di perkotaan. Agama Buddha dipeluk terutama oleh suku peranakan di perkotaan. Konghucu dipeluk oleh suku peranakan di perkotaan.
4
Sejatinya pun Sumatera Utara merupakan “Indonesia Mini”, tetapi masih tetap saja ada beberapa kasus ketidakrukunan di Sumatera Utara, pantauan beberapa media di Sumatera Utara mengulas permasalahan yang terjadi adalah, pada awal Januari 2010 terjadi pembakaran rumah ibadah, dua gereja yakni gereja HKBP dan GPDI serta rumah dinas pendeta dibakar massa di Sibuhuan, padang Lawas, alasan pembakaran tersebut karena kedua rumah ibadah tersebut belum memiliki izin. 4 pada tanggal 12 Juni 2012 adanya organisasi masyarakat berbasis agama yang menolak pelaksanaan kongres Konghuchu se-dunia di selenggarakan di Kota Medan yang sejatinya akan dilaksanakan tangal 22 Juni sampai dengan 26 Juni 2012, alasan penolakan tersebut dikarenakan penganut agama Konghuchu di kota Medan hanya sedikit. 5 Kabar lain muncul serangan kepada umat Budha di tanjung Balai, yakni pada Mei sampai Juni 2010 terjadi pergejolakan, bahwa masyarakat sekitar atas nama agama menuntut diturunkannya patung Budha Amitabha Vihara Triratna, Tanjung Balai, tuntutan tersebut pun telah di diskusikan ke banyak Pihak, baik ke FKUB tanjung Balai, ke DPRD Tanjung Balai hingga Walikota Tanjung Balai, yang sepakat memerintahkan agar patung tersebut diturunkan dan dipindahkan ke tempat yang terhormat. Alasan dituntutnya penurunan patung tersebut karena keberadaan patung tersebut tidak mencerminkan kesan religius di Kota Tanjung Balai, dan dapat mengganggu keharmonisan masyarakat. Kemudian adanya pembongkaran mesjid di Medan, yakni Masjid Al-Ikhlas Jl. Timor dibongkar untuk kepentingan pengembang, lokasi masjid telah ditukar-guling oleh kodam I/BB kepada PT Gandareksa Mulia Lihat, Sinar Indonesia Baru, 4 Januari 2010. “ Dua Gereja di Bakar di Sibuhuan, padang Lawas” 5 Lihat selengkapnya, koran Waspada tanggal 13 Juni 2012, “ormas Islam dan elemen etnis tolak kongres konghuchu di kota Medan. 4
5
dan masjid tersebut dimediasikan untuk pindah tempat.6 terahir di Di Kabupaten Langkat, pemerintah setempat menangguhkan pembangunan gereja Katolik meskipun telah dipenuhi persyaratan hukum untuk melakukan pembangunan. Masalah ini pada akhirnya bisa diselesaikan melalui mediasi dengan FKUB. Kondisi ketidakrukunan tersebut merupakan refleksi hubungan antar agama yang terjadi di Sumatera Utara, kendati pun masih banyak lagi kasus lain yang pernah mencederai kerukunan di provinsi yang berjuluk “Indonesia Mini Pengalaman Empiris Pengalaman empiris peneliti bahwa ketika menjalani usia sekolah Dasar (SD), selama kurang lebih 5 tahun, saya tidak pernah tuntas belajar agama di sekolah, ketika masuk jam mata pelajaran agama kami yang laki-laki mengisinya dengan bermain bola di lapangan sekolah sedangkan perempuan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, atau sekedar melirik teman yang beragama lain sedang belajar agama bersama gurunya. Kami tidak pernah tuntas belajar agama karena ketidak adaan guru agama, kalaupun ada guru agama yang mengajar itupun tidak berlangsung lama karena ada indikasi diskriminasi dilingkungan guru-guru sekolah, membuat guru agama tidak betah dan memilih keluar. jadi selama kurang lebih
5 tahun kami tidak belajar agama di SD tapi ketika
menerima rapot nilai agama kami tertera di rapot. kemudian di dalam kelas selama proses belajar semasa SD,
kami yang beragama minoritas selalu mengalami
diskriminasi dari beberapa guru yang sering menjelekkan ajaran agama kami dan selalu menyudutkan Tuhan yang kami sembah, dan menganggap Tuhan mereka lah yang benar, tetapi karena kami masih anak-anak, kami tidak berani melawan,
6
Lih. Harian Sumut Pos, Minggu 6 Februari 2011.
6
dan beberapa dari kami hanya melaporkan ke orang tua, kemudian orang tua juga tidak melanjutkannya ke ranah lebih serius, tetapi hanya sebatas membangun gosip dan menjadi angin lalu di tengah-tengah masyarakat, para orang tua kami sebenarnya tahu bahwa kami yang beragama minoritas didiskriminasi di sekolah tetapi hanya pasrah karena kami juga minoritas di desa kami. Oleh karena kondisi ini peneliti sesungguhnya mempertanyakan; apakah begitu pengamalan ajaran agama yang benar, mendiskriminasi pihak minoritas? Mengapa kita tidak damai dan saling menghargai? Dimana pemerintah kami, disaat kami mengalami diskriminasi di desa kami sendiri? Apakah ada jalan tengah untuk perdamaian agar terjadi kerukunan ditengah-tengah masyarakat yang notabene berbeda keyakinannya? Tampak ironis, ketika semua agama yang dianut masyarakat Indonesia, atau secara khusus Sumatera Utara yang oleh penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci yang membuat kehidupan manusia menjadi sakral atau kudus, ternyata dalam faktanya terjadi konflik antar umat beragama. Agama mengajarkan hal yang baik, yang memberi petunjuk bagaimana moral dijalankan, yang mengajarkan cinta kasih dan persaudaraan justru malah agama yang menyumbang terjadinya konflik dan mencederai kerukunan. Hubungan konflik, saling curiga, fanatisme dan bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya muncul dimana-mana. Oleh karena peristiwa ketidakrukunan dan konflik antar umat beragama yang silih berganti terjadi di Indonesia maupun Sumatera Utara, lahirlah usahausaha untuk mencegahnya dan menjaganya. Diantara cara yang cukup efektif adalah dialog. Dialog amatlah penting, dimana perwakilan semua agama dan
7
pihak yang berkonflik tentang agama duduk bersama untuk mencari solusi. Dialog bukanlah debat, melainkan saling memberi informasi tentang agama masingmasing, baik mengenai persamaan maupun perbedaannya. Dialog antar agama tidak sama dengan usaha seseorang untuk meyakinkan orang lain tentang kebenaran agama yang ia peluk atau dialog juga bukan suatu usaha untuk menjadikan semua agama yang berbeda-beda menjadi disatukan, tetapi dialog adalah suatu kerjasama diantara para pemeluk agama yang berbeda. Sebagai tindak lanjut dari dialog, ternyata memberikan sutu siatuasi yang melegakan hati. Agama-agama di indonesia menjalin kebersamaan satu dengan lainnya bekerja keras dan saling berupaya untuk mewujudkan persahabatan dan toleransi, dari kebersamaan ini muncul suatu gerakan persahabatan antar umat beragama atau interfaith movement. Dari semangat interfath movement inilah pemerintah mengambil momentum yang tepat untuk memfasilitasi kerukunan umat beragama dengan membentuk forum resmi oleh pemerintah; Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dengan dasar Hukum Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 tahun 2006. 7 Kajian penelitian ini mendeskripsikan evaluasi kinerja organisasi FKUB berfungsi di Sumatera Utara, hal ini penting untuk dievaluasi mengingat FKUB Sumatera Utara secara legal Formal dibentuk di Provinsi Sumatera Utara dengan SK. Gubernur Sumatera Utara No. 450/417/K/2007 Tgl. 22-03-2007, artinya sampai tahun 2015 ini sudah delapan tahun FKUB menjalankan perannya di Selengkapnya berjudul “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.” PBM . inilah yang menjadi landasan pembentukan dan keberadaan FKUB. 7
8
Sumatera Utara, peneliti tertarik untuk melihat dan mengevaluasi apakah tugas dan fungsi serta ketentuan organisasi telah berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya yang telah ditetapkan dalam BAB III pasal 8, 9 dan 10 PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, apakah keberadan mereka didaerah sudah
bisa
menjaga bahwa masyarakat Provinsi Sumatera Utara mampu rukun, damai, dan bebas menjalankan ibadah dan memeluk agamanya masing-masing tanpa adanya intervensi. Di sisi lain FKUB di tingkat provinsi merupakan pionir bagi FKUB di tingkat kabupaten dan kotamadya . Apabila FKUB tingkat provinsi bergerak cepat dalam menjalankan tugasnya, maka akan diikuti oleh FKUB yang ada di tingkat kabupaten dan kota madya, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya apa yang menjadi kendala bagi FKUB dalam menjalankan fungsinya, sudah sejauh mana kontribusi FKUB dalam menjaga kerukunan umat beragama didaerah Sumatera Utara berdasarkan tugas pokok yang dipercayakan kepada FKUB Provinsi. Pada titik inilah penelitian tentang FKUB Provinsi Sumatera Utara ini penting untuk dilakukan. Dengan mengetahui eksistensi, peranan, dan dinamika FKUB di lapangan, akan dapat terungkap sejumlah permasalahan dan tawaran solusinya. Hal ini tentu saja pada waktunya akan sangat bermanfaat bagi pemberdayaan FKUB ke depan, dalam rangka meningkatkan upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama dan kerukunan di Sumatera Utara secara terus menerus. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik meneliti hal ini, beranjak dari latar belakang diatas maka
judul yang dikemukakan dalam
penelitian ini adalah “Evaluasi Kinerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sumatera Utara Dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama Di Provinsi Sumatera Utara”
9
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah kinerja organisasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan tugas pokoknya dalam menjaga kerukunan umat beragama di Provinsi Sumatera Utara? I.2.1. Fokus Masalah dan Pembatasan Masalah Penelitian Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah ada enam agama yang ada dan dilayani oleh pemerintah di Provinsi Sumatera Utara, dari beberapa ajaran agama yang berbeda dimungkinkan terjadinya persinggungan dan pergejolakan karena perbedaan ajaran dari masing-masing agama, sehingga dampaknya ialah timbulnya konflik yang akan mempengaruhi kedamaian dan ketenagan masyarakat, untuk itulah perlunya peran pemerintah sebagai jembatan atau penengah dalam membangun dialog perdamaian dengan mengajak segenap perwakilan majelis-majelis agama atau tokoh agama untuk membentuk forum strategis yang bernama Forum Kerukunan Umat Beragama yang selanjutnya disingkat FKUB, yang mana FKUB posisinya diperkuat oleh Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama Dan Menteri Dalam Negri Nomor 9 Dan 8 Tahun 2006. Pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya melakukan evaluasi kinerja organisasi berdasaran indikator yang ada, fokus masalah hanya melakukan evaluasi kinerja organisasi FKUB dalam menjaga kerukunan Umat beragama di Sumatera Utara, dimana batasan evaluasi FKUB provinsi yang dikaji oleh peneliti sesuai dengan dasar hukum
pendirian organisasi yakni, Peraturan Bersama
Menteri agama dan Menteri dalam negeri nomor 9 dan 8 tahun 2006 Bab III pasal
10
9 adalah mengkaji perkembangan dialog antar tokoh agama, peran FKUB dalam menampung dan menyalurkan aspirasi tokoh agama sebagai bahan rekomendasi untuk
gubernur
dalam
menerapkan
kebijakan,
peran
FKUB
dalam
mensosialisasikan UU atau peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian agama. Selanjutnya batasan masalah dalam peneliti agar tidak meluas ke aspek yang lain maka dirasa perlu peneliti melakukan pembatasan arah penelitian agar terfokus ke hal-hal yang akan dipaparkan dalam duduk perkara sebagai berikut : 1. Evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini bukan sedang ingin memberikan peredikat atau peringkat dengan kinerja FKUB yang berada di lokasi lain, bukan pula ingin memberikan penilaian range 10 sampai dengan 100 atau sejenisnya tetapi murni evaluasi ini dilakukan hanya memberikan deskripsi sekaligus sebagai refleksi umpan balik bagi FKUB Provinsi Sumatera Utara agar semakin lebih meningkatkan kinerja nya. Karena perlu diketahui bahwa FKUB Sumatera Utara bukan organisasi yang provit oriented, Nirlaba atau predikat oriented, tetapi murni semata hanyalah wadah pelayanan, sebuah forum strategis yang dipercayakan pemerintah dareah untuk secara konsen melayani antar umat lintas agama di Sumatera Utara agar tetap rukun. 2. Defenisi agama dalam prespektif FKUB adalah tidak membenarkan defenisi satu agama dan juga tidak menyalahkan defenisi agama agama yang lain, tetapi saling mencari titik temu mengenai persamaannya dan perbedaannya. “Pengertian agama itu kita cari titik temunya dari prespektif agama masing-masing. Kita cari persamaannya dan titik
11
temunya, kalaupun misalnya berdiskusi tidak bisa membenarkan agama A sedangkan agama B salah, tetapi hanya memberi pandangan dan mendengarkan pandangan, serta saling membuka pemahaman. Itulah makanya di FKUB ada motto yang melekat yaitu “akidah terjamin kerukunan terjalin” demikian pernyataan anggota FKUB Sumut, bapak Bishop. Dr. Jhon H. Manurung M.Div. 3. Batasan kegiatan evaluasi hanya melakukan evaluasi kinerja mereka dalam memediasi, melayani dan memberdayakan umat beragama adalah agamaagama yang diakui pemerintah, penelti tidak menjangkau agama yang diluar pemerintah, semisal aliran kepercayaan dan agama lokal. karena keenam agama ini pun cukup tinggi potensi konflik yang terjadi, tidak jarang ditemukan persinggungan, perselisihan, diskriminasi dan konflik lainnya yang terjadi karena pengamalan ajaran agama yang berbeda-beda sehingga menghambat kerukunan, meskipun berdasarkan wawancara di Internal FKUB Sumut ada dua persepsi yang berbeda mengenai jangakauan agama diluar dari pemerintah, pertama dari bapak JH. manurung bahwa agama diluar pemerintah tetap diayomi dan dilayani oleh FKUB, tetapi bapak Albert Pakpahan menyebutkan bahwa target masyarakat yang dilayani adalah masyarakat yang memiliki agama, kalau diluar agama terasa cukup sulit untuk memberdayakan mereka, bapak Albert Menambahkan biarlah mengenai perberdayaan mereka hanya di internal mereka sendiri. alasan lainnya bagaimana ingin mengevaluasi jika belum ada kegiatan FKUB yang menyentuh ke masyarakat yang bukan agama diakui pemeritah, alasan terahir juga di SK gubernur mengenai
12
dasar tugas pokok FKUB Sumatera Utara tidak secara spesifik mengatur pelayanan atau peberdayaan terhadap agama-agama yang ada diluar agama pemerintah. 4. Setara dengan forum-forum strategis lainnya bahwa FKUB dalam melakukan tugas pokoknya,
baik dalam dialog
memediasi dan
pemberdayaan masyarakat, sifatnya hanya konsultatif dengan beberapa instansi baik pemerintah daerah, FKUB daerah Kabupaten/Kota dan majelis agama, FKUB hadir memediasi, menampung hasil mediasi dan menginformasikannya kepada kepala daerah untuk membantu kepala daerah mengembangkan kebijakan, tidak ada kewenangan FKUB untuk menghentikan apalagi menindak pihak-pihak yang apabila ditinjau secara hukum dianggap bersalah, karena sifat FKUB bukan sebagai eksekutor yang berhak menjudge siapa yang bersalah dan siapa yang benar. “Mereka kan bukan eksekutif, dan tidak punya kekuatan untuk mengeksekusi, mereka tepatnya membina, koordinasi dengan istansi terkait,hal seperti itu yang mereka bisa lakukan, kan yang punya kewenangan masing-masing kan ada, yang punya eksekusi ya bertindak, FKUB menggali informasi dan menyampaikan itu.” Kata kasubbang Hukum dan KUB KandepagSU, Syafaruddin, SH.M.Si. Dari aspek horizontal peneliti juga menggali informasi dari masyarakat sumatera utara serta pihak lain yang dibutuhkan sebagai penyeimbang informasi yang didapatkan dari FKUB provinsi Sumatera Utara.
13
I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dilaksakanakan adalah : a. Untuk mendeskripsikan kinerja FKUB Sumatra Utara Utara dalam menjaga kerukunan umat beragama di Sumatera Utara berdasarkan tugas pokoknya. b. Melakukan analisis terhadap kinerja FKUB Sumatera Utara dalam menjaga kerukunan di Sumatera Utara. c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar S1 sarjana Administrasi Negara I.4. Manfaat Penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat mencakup hal – hal sebagai berikut : 1. Secara Ilmiah, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah dan sistematis dalam menulis karya ilmiah berdasarkan kajian Ilmu Administrasi Negara. 2. Secara Praktis, untuk meningkatkan pengetahuan tentang evaluasi kinerja organisasi FKUB dalam menjaga kerukuna umat beragama di Sumatera Utara. 3. Secara kontributif, penelitian ini sebagai bahan rekomendasi dan memberi manfaat bagi FKUB Sumatera Utara dalam menjalankan fungsi dan perannya baik untuk masa sekarang dan juga masa mendatang.
14
4. Secara Akademis, untuk menambah khasanah ilmiah dan memberikan kontribusi secara langsung dalam penelitian – penelitian sosial khususnya bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumater Utara serta memberi kontribusi bagi FKUB Sumatera Utara. 5. Secara universal memberi kemanfaatan, baik referensi dan peemberian informasi kepada para pembaca dan pemerhati FKUB serta pemerhati kerukunan di Sumatera Utara.
15