BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Promosi Kesehatan di Puskesmas Dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan dijelaskan bahwa promosi
kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui proses pembelajaran diri dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes RI, 2008). Saat ini, perilaku masyarakat merupakan faktor utama yang menyebabkan masalah kesehatan. Dalam mengantisipasi perilaku masyarakat yang belum menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), peran promosi kesehatan sangatlah penting. Ruang lingkup penyelenggaraan promosi kesehatan tidak hanya berfokus pada perubahan perilaku masyarakat saja, tetapi juga merupakan upaya membangun komitmen dan dukungan kongkrit para pengambil kebijakan dan berbagai kelompok di masyarakat yang peduli terhadap masalah promosi kesehatan. Promosi kesehatan juga berperan dalam proses peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, melalui peningkatan kapasitas petugas kesehatan agar mampu dan responsif dalam memberdayakan kliennya dengan kata lain sebagai agen perubahan yang bertugas menjaga dan meningkatkan kesehatan klien untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Puskesmas
sebagai
ujung
tombak
pelayanan
kesehatan
masyarakat
merupakan sarana kesehatan yang sangat penting dalam meningkatkan derajat
Universitas Sumatera Utara
kesehatan masyarakat. Untuk itu, peranan Puskesmas hendaknya tidak lagi menjadi sarana pelayanan pengobatan dan rehabilitatif saja, tetapi juga lebih ditingkatkan pada upaya promotif dan preventif. Oleh karena itu promosi kesehatan menjadi salah satu upaya wajib di Puskesmas (Masulili, 2007). Menurut Depkes RI (2007), promosi kesehatan di Puskesmas adalah upaya Puskesmas melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan setiap individu, keluarga serta lingkungannya secara mandiri dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Secara operasional, upaya promosi kesehatan di Puskesmas dilakukan agar masyarakat mampu ber Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai bentuk pemecahan masalah-masalah kesehatan yang diderita maupun yang berpotensi mengancam secara mandiri. Oleh karena itu, keberadaan Puskesmas dapat diumpamakan sebagai agen perubahan di masyarakat sehingga masyarakat lebih berdaya dan timbul gerakan-gerakan upaya kesehatan yang bersumber dari masyarakat (Depkes, 2007). Disamping itu, petugas kesehatan Puskesmas sebagai pelaksana program diharapkan mampu menjadi teladan bagi pasien, keluarga dan masyarakat untuk melakukan PHBS. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan petugas Puskesmas merupakan upaya penggerakakan atau pengorganisasian masyarakat. Penggerakan atau pengorganisasian masyarakat diawali dengan membantu kelompok masyarakat mengenali masalah-masalah yang mengganggu kesehatan dan diupayakan agar
Universitas Sumatera Utara
mereka sadar bahwa masalah tersebut adalah masalah bersama. Kemudian, masalah tersebut dimusyawarahkan untuk dipecahkan secara bersama. Depkes RI (2007) menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan oleh Puskesmas dalam upaya pemberdayaan masyarakat berwujud: 1.
Upaya Kesehatan Ibu dan Anak, yaitu melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Poliklinik Desa (Polindes), dan Bina Keluarga Balita.
2.
Upaya Pengobatan, melalui posyandu, Panti Pemulihan Gizi, Pembentukan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).
3.
Upaya Kesehatan Sekolah melalui dokter kecil, penyertaan guru dan orang tua/wali murid, Saka Bakti Husada, Pos Kesehatan Pesantren atau yang bernuansa keagamaan.
4.
Upaya Kesehatan Lingkungan, melalui kelompok Pemakai Air (Pokmair), Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan. Disamping itu, Puskesmas juga berfungsi sebagai pusat penggerak
pembangunan berwawasan kesehatan, yaitu: 1.
Menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
2.
Memantau dan melaporkan secara aktif dampak kesehatan dan penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.
3.
Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai kegiatan promosi kesehatan di Puskesmas meliputi kunjungan rumah dan pemberdayaan berjenjang. Kunjungan rumah dilakukan petugas sebagai tindak lanjut upaya promosi kesehatan di dalam Puskesmas, yaitu saat mereka berkunjung ke Puskesmas. Untuk keluarga yang memiliki masalah kesehatan cukup berat, kunjungan rumah dilakukan untuk membantu pemecahan masalah tersebut melalui konseling di tingkat keluarga. Tidak jarang, kunjungan rumah yang semula dimaksud untuk menyelenggarakan konseling keluarga berkembang menjadi konseling yang lebih luas lagi, seperti tingkat dasa wisma atau bahkan lebih luas lagi. Hal ini disebabkan masalah tersebut sudah menjadi masalah berbagai keluarga di wilayah tersebut. Promosi kesehatan di masyarakat yang dilakukan petugas Puskesmas sebaiknya tidak ditangani sendiri oleh petugas kesehatan Puskesmas. Masyarakat yang begitu beragam dan luas terdiri dari berbagai tatanan seperti tatanan: (1) rumah tangga, (2) sarana pendidikan, dan (3) tempat kerja. Depkes RI (2007) menyebutkan, proses pemberdayaan berjenjang ini umumnya diselenggarakan melalui pendekatan yang dikenal dengan sebutan pengorganisasian masyarakat. Proses pengorganisasian masyarakat agar dapat menyerap berbagai upaya perubahan menuju perilaku sehat ini sering disebut dengan proses difusi inovasi. Berkaitan dengan proses difusi inovasi program-program di Puskesmas di kelompokkan dalam 3 bagian yaitu : 1. Upaya Kesehatan Wajib
Universitas Sumatera Utara
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Upaya Kesehatan wajib tersebut adalah : a. Upaya Promosi Kesehatan b. Upaya Kesehatan Lingkungan c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak d. Upaya Perbaikan Gizi e. Upaya Pemberantasan Penyakit Menular f. Upaya Pengobatan 2. Upaya Kesehatan Pengembangan Upaya kesehatan pengembangan adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan yang ditemukan di masyarakat serta disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. 3. Upaya Penunjang Upaya penunjang ini meliputi sistem pencatatan dan pelaporan terpadu dan upaya laboratorium medis/kesehatan
2.2.
Difusi Inovasi
2.2.1. Latar Belakang Teori Difusi Inovasi
Universitas Sumatera Utara
Bryan dan Thompson (2002), mengatakan, munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde dalam bukunya “The Laws of Imitation”, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu. Pemikiran tadi menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi. Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa tingkat adopsi inovasi pertanian mengikuti suatu kurva normal berbentuk S ketika diamati secara kumulatif dari waktu ke waktu (Brown, 1981). Pada tahun 1950-an pemerintah Amerika Serikat ingin mengetahui bagaimana dan mengapa sebagian petani di sana mengadopsi teknik-teknik baru dalam pertanian dan sebagian lainnya tidak. Meskipun pada awalnya teori difusi ini ditujukan untuk
Universitas Sumatera Utara
memahami difusi dari teknik-teknik pertanian tapi pada perkembangan selanjutnya teori difusi ini digunakan pada bidang-bidang lainnya. Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Pada tahun 1962, Everett M. Rogers menulis sebuah buku yang berjudul “ Diffusion of Innovations “ yang selanjutnya buku ini menjadi landasan pemahaman tentang inovasi, mengapa orang mengadopsi inovasi, faktor-faktor sosial apa yang mendukung adopsi inovasi, dan bagaimana inovasi tersebut berproses di antara masyarakat.
2.2.2. Pengertian Dasar Difusi Inovasi Difusi Inovasi terdiri dari padanan 2 kata yaitu difusi dan inovasi. Rogers (2003) menjelaskan difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru terhadap suatu ide, praktek atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada sebagian
Universitas Sumatera Utara
yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau kelompok terhadap ide, praktek atau benda tersebut. Dari kedua padanan kata di atas, maka difusi inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial (Rogers, 2003). 2.2.3. Unsur-Unsur Difusi Inovasi Menurut Rogers (2003), dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: 1.
Inovasi, yaitu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
2.
Saluran komunikasi, yaitu seperangkat alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan: (a) tujuan diadakannya komunikasi dan
(b)
karakteristik
penerima.
Jika
komunikasi
dimaksudkan
untuk
memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku
Universitas Sumatera Utara
penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. 3.
Jangka waktu, yaitu proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam: (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang yang relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4.
Sistem sosial, yaitu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada tahun berikutnya, Rogers (2003) menjelaskan lebih terinci berbagai
variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents). 2.2.4. Proses Putusan Inovasi Rogers (2003) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut Proses Putusan Inovasi. Proses putusan inovasi merupakan proses mental yang mana seseorang atau lembaga
Universitas Sumatera Utara
melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses keputusan inovasi untuk mengurangi ketidak yakinan tentang akibat atau hasil dari inovasi tersebut. Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar. Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari berbagai segi, seperti : 1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi dengan tingkat ketidak pastian yang besar? 2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari? 3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada? 4. Apakah sulit untuk digunakan?
Universitas Sumatera Utara
Pada awalnya Rogers (2003) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu : 1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut. 2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut. 3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi. 4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru. 5. Tahap
Adoption
(Adopsi),
yaitu
tahap
seseorang
memastikan
atau
mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut. Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (2003) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu :
1.
Knowledge (Pengetahuan)
Universitas Sumatera Utara
Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?. Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu: a.
Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut
maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut.
Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi. b.
How-to-knowledge (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini.
Universitas Sumatera Utara
c.
Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan. Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Center for the
Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu: 1.
Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang bertanggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
2.
Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
3.
Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
4.
Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.
2.
Persuasion (Bujukan) Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu
Universitas Sumatera Utara
individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi. Tahap pengetahuan lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidak yakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi. 3.
Decision (Keputusan) Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.
4.
Implementation (Penerapan)
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidak pastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidak pastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Klien dalam hal ini adalah masyarakat, akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidak pastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda. 5.
Confirmation (Penegasan/Pengesahan) Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers (2003) keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidak setujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu .
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Difusi Inovasi Rogers (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional. Faktor personal yang mempengaruhi difusi inovasi adalah: 1. Umur Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif tua. Walaupun terdapat beberapa bukti bahwa orang-orang yang berusia relatif tua kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan untuk orang lain. 2. Pendidikan Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi. 3. Karakteristik Psikologi Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi. Faktor sosial yang mempengaruhi difusi inovasi terdiri dari: 1. Keluarga
Universitas Sumatera Utara
Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga. 2. Tetangga dan Lingkungan Sosial Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang telah mengembangkan suatu perasaan memiliki atau kebersamaan dan cenderung berasosiasi dengan sesamanya daripada dengan pihak luar. Pada umumnya belajar dengan tetangga biasanya lebih berhasil dari pada belajar dengan pihak lain yang tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi. 3. Kelompok Referensi Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu. 4. Budaya Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang sehingga menjadi penting dalam mempengaruhi perilaku individu sedangkan sikap merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Faktor situasional yang mempengaruhi difusi inovasi adalah: 1. Status Sosial Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi tentang perkembangan baru yang sedang dan akan terjadi. 2. Sumber Informasi Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi. 2.2.6. Agen Perubahan dalam Proses Difusi Inovasi Dalam suatu proses difusi inovasi, dibutuhkan langkah-langkah dalam penerapannya. Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga-tenaga trampil, baik perseorangan maupun kelompok yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Para tenagatenaga trampil itu mempunyai kualifikasi dan kemampuan sehingga disebut dengan agen perubahan (Dilla, 2007). Nasution (2007) menjelaskan, agen perubahan adalah seseorang yang yang membantu terlaksananya perubahan sosial atau suatu inovasi yang terencana. Agen
Universitas Sumatera Utara
perubahan merupakan petugas profesional yang mempengaruhi putusan inovasi klien menurut arah yang diinginkan oleh lembaga perubahan. Pada kenyataan sehari-hari, agen perubahan dapat dilihat dari berbagai macam bidang pekerjaan seperti, perencana pembangunan, petugas lapangan, pamong, guru, penyuluh kesehatan, dll. Dalam konteks sosial, termasuk di bidang kesehatan, agen-agen perubahan berfungsi sebagai mata rantai komunikasi antar dua atau lebih suatu sistem sosial. Hal ini disebabkan agen perubahan menghubungkan antara dua sistem sosial yang mempelopori perubahan dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha pembaharuan tersebut. Rogers (2003), mengemukakan ada tujuh langkah kegiatan agen perubahan dalam pelaksanaan proses difusi inovasi pada masyarakat, yaitu: 1. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah. Biasanya agen pembaharu pada awal tugasnya diminta untuk membantu kliennya agar mereka sadar akan perlunya perubahan. Agen pembaharu mulai dengan mengemukakan berbagai masalah yang ada, membantu menemukan masalah yang penting dan mendesak, serta meyakinkan klien bahwa mereka mampu memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini agen pembaharu menentukan kebutuhan klien dan juga membantu caranya menemukan masalah atau kebutuhan dengan cara konsultatif. 2. Memantapkan hubungan pertukaran informasi. Sesudah ditentukannya kebutuhan untuk berubah, agen pembaharu harus segera membina hubungan yang lebih akrab dengan klien. Agen pembaharu dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik kepada klien dengan cara menumbuhkan kepercayaan klien pada kemampuannya,
Universitas Sumatera Utara
saling mempercayai dan juga agen pembaharu harus menunjukan empati pada masalah dan kebutuhan klien 3. Mendiagnosa masalah yang dihadapi. Agen pembaharu bertanggung jawab untuk menganalisa situasi masalah yang dihadapi klien, agar dapat menentukan berbagai alternatif jika tidak sesuai kebutuhan klien. Untuk sampai pada kesimpulan diagnosa agen pembaharu harus meninjau situasi dengan penuh emphati. Agen pembaharu melihat masalah dengan kacamata klien, artinya kesimpulan diagnosa harus berdasarkan analisa situasi dan psikologi klien, bukan berdasarkan pandangan pribadi agen pembaharu. 4. Membangkitkan kemauan klien untuk berubah. Setelah agen pembaharu menggali berbagai macam cara yang mungkin dapat dicapai oleh klien untuk mencapai tujuan, maka agen pembaharu bertugas untuk mencari cara memotivasi dan menarik perhatian agar klien timbul kemauannya untuk berubah atau membuka dirinya untuk menerima inovasi. Namun demikian cara yang digunakan harus tetap berorientasi pada klien, artinya berpusat pada kebutuhan klien jangan terlalu menonjolkan inovasi. 5. Mewujudkan kemauan dalam perbuatan. Agen pembaharu berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku klien dengan persetujuan dan berdasarkan kebutuhan klien jadi jangan memaksa. Dimana komunikasi interpersonal akan lebih efektif kalau dilakukan antar teman yang dekat dan sangat bermanfaat kalau dimanfaatkan pada tahap persuasi dan tahap keputusan inovasi. Oleh kerena itu dalam hal tindakan agen pembaharu yang paling tepat menggunakan pengaruh secara tidak
Universitas Sumatera Utara
langsung, yaitu dapat menggunakan pemuka masyarakat agar mengaktifkan kegiatan kelompok lain. 6. Menjaga kestabilan penerimaan inovasi dan mencegah tidak berkelanjutannya inovasi. Agen pembaharu harus menjaga kestabilan penerimaan inovasi dengan cara penguatan kepada klien yang telah menerapkan inovasi. Perubahan tingkah laku yang sudah sesuai dengan inovasi dijaga jangan sampai berubah kembali pada keadaan sebelum adanya inovasi. 7. Mengakhiri hubungan ketergantungan. Tujuan akhir tugas agen pembaharu adalah dapat menumbuhkan kesadaran untuk berubah dan kemampuan untuk merubah dirinya, sebagai anggota sistem sosial yang selalu mendapat tantangan kemajuan jaman. Agen pembaharu harus berusaha mengubah posisi klien dari ikatan percaya pada kemampuan agen pembaharu menjadi bebas dan percaya kepada kemampuan sendiri. Seorang agen perubahan mampu untuk melakukan perubahan pendapat, sikap, dan tindakan kliennya apabila dalam dirinya terdapat faktor-faktor kredibilitas dan daya tarik (Dilla, 2007). Krech. et all (1982) menyatakan pesan yang disampaikan oleh komunikator, dalam hal ini adalah agen perubahan yang memiliki kredibilitas tinggi akan lebih memberikan pengaruh pada perubahan sikap dalam penerimaan pesan yang disampaikan dibandingkan agen perubahan yang berkredibilitas rendah. Menurut Tan (1981), kredibilitas sumber atau agen perubahan terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian dan kepercayaan. Keahlian diukur dari sejauhmana klien menganggap agen perubahan mengetahui jawaban yang benar terhadap suatu
Universitas Sumatera Utara
masalah, dan kepercayaan dioperasionalisasikan sebagai persepsi klien tentang sejauh mana agen perubahan bersikap netral atau tidak memihak dalam penyampaian pesan. Dimensi kredibilitas meliputi kemampuan, kecerdasan, pengalaman, pengetahuan dan dimensi daya tarik meliputi kesamaan, familier dan kesukaan. Kesamaan meliputi pandangan, wawasan, ide
atau gagasan. Familier meliputi empati, simpati, dan
maturiti atau kedewasaan. Kesukaan meliputi frekuensi, ketepatan, keteladanan dan kesopanan.
2.3.
Landasan Teori Pelaksanaan program promosi kesehatan merupakan salah satu program
yang ada di setiap Puskesmas, namun terkadang dalam pelaksanaannya petugas kesehatan masih ditemukan tidak menjalankannya dikarenakan berbagai faktor. Berdasarkan kajian teoritis diketahui bahwa keterbatasan pengetahuan petugas kesehatan dalam melaksanakan upaya promosi kesehatan utamanya di daerah terpencil antara lain disebabkan keterbatasan pendukung dalam memahami berbagai program promosi kesehatan. Rogers (2003) berpendapat, pengetahuan terdiri dari tiga komponen, yaitu: kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar. Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Center for the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu: (1) dimensi sumber diseminasi, (2)
dimensi isi diseminasi,
(3) dimensi media diseminasi, (4) dimensi pengguna diseminasi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Konsep
Pengetahuan : • Kesadaran • Pemahaman • Prinsip Dasar
Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan di Puskesmas
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian.
Pada Gambar 2.1.
terlihat bahwa pengetahuan kepada petugas kesehatan
sebagai agen perubahan meliputi berbagai sarana penunjang kepada petugas kesehatan untuk dapat memperoleh pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar suatu program promosi kesehatan. Pengetahuan kesadaran program promosi kesehatan terdiri dari pengetahuan tentang berbagai kebijakan promosi kesehatan nasional dan daerah, kebijakan pelaksanaan promosi kesehatan di Puskesmas, tata cara pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas. Pada proses ini pengetahuan dilihat dari sejauhmana fasilitas pendukung seperti buku pedoman program promosi kesehatan, alat peraga promosi kesehatan, berbagai kelengkapan lain diperoleh oleh petugas kesehatan di Puskesmas. Pengetahuan pemahaman program promosi kesehatan adalah kemampuan untuk memahami terdiri dari berbagai strategi pelaksanaan program promosi kesehatan yang terdiri dari strategi advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas. Pada proses ini pengetahuan dilihat dari
Universitas Sumatera Utara
bagaimana kemudahan petugas kesehatan Puskesmas memperoleh pengetahuan tentang strategi promosi kesehatan tersebut. Pengetahuan prinsip dasar adalah kemampuan memahami bagaimana program promosi kesehatan itu dilaksanakan dan bagaimana strategi pelaksanaanya dilakukan. Pada tahap ini, pengetahuan dilihat dari seberapa besar frekuensi mendapatkan pengetahuan dan dari siapa petugas mendapatkan pengetahuan tersebut. Pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas adalah suatu bentuk/upaya perubahan perilaku masyarakat guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas yang diteliti. Pada proses ini akan dilihat bagaimana kemampuan petugas dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang terdiri dari: 1. Cakupan kunjungan Kehamilan K4 2. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 3. Cakupan kunjungan bayi 4. Cakupan desa/kelurahan dengan universal child immunization (UCI) 5. Cakupan pelayanan anak balita 6. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak balita 7. Cakupan penjaringan kesehatan anak SD 8. Cakupan KB aktif 9.
Cakupan pelayanan kesehatan dasar untuk masyarakat miskin
Universitas Sumatera Utara