BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Uraian tumbuhan Keji Beling (Strobilanthes crispus BI)
2.1.1
Deskripsi Tumbuhan
Tumbuhan Keji beling tumbuh liar dihutan, tepi sungai, tebing-tebing dan sering ditanam sebagai tanaman pagar di pekarangan. Tanaman ini terdapat dari madagaskar sampai Indonesia, tumbuh pada ketinggian 50 m sampai 1.200 m dpl. Tumbuhan semak ini memiliki tinggi 0,5-1 m. Batang beruas, bulat, bercabang, berambut kasar, dan berwarna hijau. Daun tunggal, bertangkai pendek, dengan letak berhadapan. Helaian daun memanjang atau hampir jorong, tepi bergerigi, ujung meruncing, pangkal runcing, kedua permukaan kasar, pertulangan menyirip, panjang 9-18 cm, lebar 3-8 cm, dan berwarna hijau. Perbungaan majemuk, berkumpul dalam bulir padat. Mahkota bunga berbentuk corong, terbagi 5, panjang 1,5-2 cm, berambut, dan berwarna kuning. Buah berbentuk gelendong, berisi 2-4 biji. Biji bulat, pipih, kecil-kecil, berwarna coklat (Dalimartha, 2006). Tumbuhan keji beling ditunjukkan pada gambar 2.1 sebagai berikut :
Gambar 2.1 Tumbuhan Keji Beling
2.1.2
Kandungan Senyawa Kimia Tumbuhan
Daun keji beling (Strobilanthes crispus) mengandung alkaloid, tanin dan flavonoid (Isnawati, A dkk. 2004) . Daun keji beling juga mengandung beberapa mineral seperti kalium dengan kadar tinggi, asam silikat, natrium dan kalsium (Dalimartha, 2006).
2.1.3
Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan Keji Beling (Strobilanthes crispus BI)adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Class
: Dycotiledoneae
Ordo
: Scrophulariales
Famili
: Achanthaceae
Genus
: Strobilanthes
Spesies
: Strobilanthes crispus BI
Nama Lokal
: Keji Beling (Herbarium Medanense, 2014)
2.1.4
Khasiat Tumbuhan
Daun keji beling memiliki kegunaan sebagai obat disentri, diare (mencret) dan obat batu ginjal serta dapat juga sebagai penurun kolesterol. Daun keji beling juga kerap digunakan untuk mengatasi tubuh yang gatal kena ulat atau semut hitam, caranya dengan cara mengoleskan langsung daun keji beling pada bagian yang gatal tersebut. Untuk mengatasi diare, disentri, seluruh bagian dari tanaman ini direbus, selama lebih kurang setengah jam, kemudian airnya diminum.
Sama juga prosesnya untuk mengobati batu ginjal. Daun keji beling juga dapat mengatasi kencing manis dengan cara dimakan sebagai lalapan secara teratur setiap hari. Daun tanaman ini selain direbus untuk diminum airnya, juga dapat dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur untuk mengobati penyakit lever (sakit kuning), ambien (wasir) dan maag dengan cara dimakan secara teratur (Nursiyah, 2013).
2.2
Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Sampel yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai sampel dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Prosedur ekstraksi yang digunakan bertujuan untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan dan untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari tanaman menggunakan pelarut yang selektif. Tanaman yang diekstrak mengandung campuran kompleks dari metabolit seperti alkaloida, glikosida, terpenoid, flavonoid.
Metode ekstraksi dengan maserasi adalah proses pengekstrakkan sampel dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes. 2000).
2.3
Senyawa Metabolit Sekunder
Senyawa metabolit pada makhluk hidup dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, senyawa metabolit primer dan senyawa metabolit sekunder. Senyawa Metabolit primer didefinisikan sebagai produk akhir dalam proses metabolisme makhluk hidup yang fungsinya sangat esensial bagi kelangsungan hidup organisme tersebut, serta terbentuk secara intraseluler. Contohnya, protein, lemak, karbohidrat dan DNA. Sedangkan senyawa metabolit sekunder dapat didefinisikan sebagai suatu produk metabolik yang dihasilkan oleh proses metabolisme sekunder makhluk hidup, dimana produk tersebut bukan merupakan kebutuhan pokok untuk hidup dan tumbuh, serta terbentuk secara ekstraseluler. Metabolit sekunder banyak bermanfaat bagi manusia, dan makhluk hidup lain karena banyak diantaranya bersifat sebagai obat, vitamin, pigmen (Pratiwi, S.T. 2008)
Skrining fitokimia merupakan uji kualitatif kandungan kimia dalam suatu tumbuhan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung didalam tumbuhan tersebut. Senyawa metabolit sekunder yang memiliki khasiat untuk kesehatan diantaranya alkaloid, flavonoid, terpenoid, tannin, dan saponin.
2.3.1
Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon. Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih gugus hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tumbuhan termasuk pada buah, tepung sari dan akar. Flavonoid dapat bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait, 2000). Sejumlah flavonoid mempunyai rasa pahit hingga dapat menolak sejenis ulat tertentu (Sastrohamidjojo, 1996). Pemeriksaan senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau, merah ungu, ataupun hitam kuat (Mailandari, 2012) 2.3.2
Alkaloid
Alkaloid adalah metabolit basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang biasanya dalam gabungan berbentuk siklik. Alkaloid umumnya memiliki sifat padatan kristal, sedikit alkaloid berbentuk amorf, dan sebagian ada yang cair, bersifat basa, berasa pahit, kebanyakan alkaloid tidak berwarna tetapi bebrapa senyawa yang kompleks spesies aromatik berwarna. Pada umumnya basa bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, tetapi ada bebrapa yang dapat larut dalam air (Sastrohamidjojo, 1996). Alkaloid dapat dideteksi dengan menggunakan pereaksi Dragendorf, Mayer, dan Bouchardat (Mailandari, 2012)
2.3.3
Terpen
Terpen adalah suatu senyawa yang tersusun atas isoprene dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpene dan seskuiterpen yang mudah menguap, diterpen yang sukar menguap dan yang tidak menguap triterpene dan sterol. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diidentifikasi dengan pereaksi LibermanBuchard (anhidrat asetat-asam sulfat) yang memberikan warna hijau kehitaman sampai biru (Mailandari, 2012)
2.3.4
Saponin
Pembentukan busa sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau pada saat memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti akan adanya saponin. Uji saponin yang sederhana adalah mengocok ekstrak alkohol-air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan. Saponin juga dapat diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan kemampuannya menghemolisis sel darah (Harborne, 1996).
2.3.5
Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Didalam tumbuhan letak tannin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Secara kimiawi tannin merupakan senyawa kompleks yang biasanya merupakan campuran polifenol (Harborne, 1996). Tannin dapat diidentifikasi dengan menggunakan larutan larutan besi (III) klorida 1% dan timbal (II) asetat 25% (Mailandari, 2012)
2.4
Antimikroba
Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Berdasarkan jenis mikroorganisme yang dimatikan atau dihambat pertumbuhannya, antimikroba terbagi menjadi antibakteri, antijamur, antivirus, dan anti-protozoa. Zat antijamur merupakan bahan yangdapat membasmi jamur pada umumnya, khususnya yang bersifat patogen bagi manusia. antijamur bekerja menurut salah satu dari berbagai cara, antara lain menyebabkan kerusakan dinding sel, perubahan permeabilitas sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, atau penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri yang merugikan. Mekanisme kerja antibakteri dapat terjadi melalui bebrapa cara yaitu, merusak dan menghambat sintesis dinding sel, mengubah permeabilitas sel, dan menghambat sintesis protein dan asam nukleat (Pelczar, M.J. 1988)
2.4.1
Bakteri
Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi dapat terlihat dengan bantuan mikroskop. Ukuran bakteri berkisar antara panjang 0,5 sampai 10 μ dan lebar 0,5 sampai 2,5 μ (μ = 1 mikron = 0,001 mm) tergantung dari jenisnya. Bakteri terdapat secara luas di lingkungan alam yang berhubungan dengan hewan, udara, air dan tanah. Bakteri berkembang biak secara aseksual yaitu dengan proses pembelahan diri menjadi dua (Buckle. 2007). Sebagian besar mikroorganisme tidak berwarna, sehingga untuk dapat melakukan pengamatan dibawah mikroskop cahaya diperlukan pewarnaan mikroorganisme
dengan
menggunakan
pewarna.
Pewarnaan
diferensial
menggunakan lebih dari satu pewarnadan memiliki reaksi yang berbeda untuk setiap bakteri, sehinnga digunakan untuk membedakan bakteri.
Pewarnaan diferensial yang sering digunakan adalah pewarnaan gram, yang diciptakan oleh Hans Christian Gram pada tahun 1884, sehingga dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar bakteri, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Perbedaan warna antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dinding sel (Pratiwi, S.T. 2008)
2.4.2
Bakteri Gram Positif
Bakteri gram positif adalah bakteri yang mempertahankan zat warna crystal violet-iodin,sewaktu proses pncucian dengan alkohol. Sehingga bakteri jenis ini akan berwarna ungu dibawah mikroskop. Kompleks warna crystal violet-iodin yang masuk kedalam sel bakteri Gram positif tidak dapat tercuci oleh alkohol karena adanya lapisan peptidoglikan yang kokoh pada dinding sel. Bakteri Gram positif banyak mengandung peptidoglikan (Pratiwi, S.T. 2008)
2.4.2.1 Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri gram-positif, aerob fakultatif, dan dapat membentuk spora.Keracunan makanan karena Bacillus cereus mempunyai dua bentuk yang berbeda yaitu, jenis muntah yang berkaitan dengan nasi yang tercemar dan jenis diare yang berkaitan dengan daging dan saus. B. cereus adalah mikroorganisme tanah yang sering mengkontaminasi nasi. Bila sejumlah nasi dimasak dan dibiarkan dingin perlahan-lahan, spora B. cereusbertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin (Jawetz, et al. 2001). Bentuk dan kalsifikasi dari bakteri B. cereus ditunjukkan pada gambar 2.2 berikut ( Kotiranta A, et al. 2000). Klasifikasi Bacillus cereus: Kingdom : Bacteria Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus cereus
Gambar 2.2 Bakteri Bacillus cereus ( Kotiranta A, et al. 2000)
2.4.3
Bakteri Gram Negatif
Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang tidak dapat mempertahankan zat warna crystal violet-iodin sewaktu pencucian dengan alkohol. Sehingga bakteri akan berwarna merah setelah diberi pewarna safranin. Pada bakteri Gram negatif, alkohol dapat merusak lapisan lipopolisakarida dan menyebabkan sel bakteri transparan yang kemudian diberi pewarna merah. Dinding sel bakteri Gram negatif banyak mengandung lipopolisakarida (Pratiwi, S.T. 2008)
2.4.3.1 Shigella dysenteriae
Habitat alami Shigella terbatas pada sistem saluran intestinal manusia, dan binatang menyusui, dimana mereka menghasilkan disentri basillus. Shigella merupakan batang gram negatif yang tipis, berbentuk coccobacilli terjadi pada pembenihan muda. Shigella merupakan fakultatif anaerob, tetapi tumbuh baik secara aerob. Koloni shigella cembung, bundar, transparan dengan diameter sampai kira-kira 2 mm dalam 24 jam. Shigella dapat menular. Dosis menular adalah 103 organisme. Semua Shigella mengeluarkan toksin liposakaridanya yang berpengaruh pada iritasi dinding usus (jawetz, et al. 2001). Bentuk dan kalsifikasi dari bakteri Shigella ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut (Hale, T.L and Keusch, G.T. 1996). Klasifikasi Shigella : Kingdom
: Bakteria
Filum
: Proteobakteria
Kelas
: Gamma Proteobakteria
Ordo
: Enterobakteriales
Famili
: Enterobakteriaceae
Genus
: Shigella
Spesies
: Shigella boydii Shigella dysentriae Shigella flexneri Shigella sonnei
Gambar 2.3 Bakteri Shigella dysentriae (Hale, T.L and Keusch, G.T. 1996)
2.4.4
Jamur
Jamur (fungi) merupakan organisme kemoheterotrof yang memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya (sumber karbon dan energi). Beberapa fungi dapat bersifat menguntungkan yaitu sebagai elemen daur ulang dan dapat bersifat merugikan karena menimbulkan penyakit bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Fungi bereporoduksi baik secara aseksual maupun seksual. Fungi tumbuh dalam kisaran temperatur yang luas, dengan temperatur optimal berkisar antara 22-300 . Spesies fungi patogenik mempunyai temperatur pertumbuhan optimal lebih tinggi yaitu berkisar antatra 30-370 C. Fungi tumbuh baik pada pH ± 5 (Pratiwi, S.T. 2008)
2.4.4.1 Candida albicans
Candida merupakan flora normal dan banyak tersebar di dalam tubuh terutama di membran mukosa saluran pencernaan (24 %) dan mukosa vagina (5-11 %). Jamur ini bersifat oportunistik dan beberapa spesies Candida dapat menyebabkan infeksi seperti C. tropicalis, C. glablata dan terutama C. albicans sebagai spesies yang paling sering menyebabkan infeksi. Pada pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan Gram-positif dapat ditemukan Candida albicans dalam bentuk yeast, berbentuk oval dengan diameter kurang lebih 5μm.
C. albicans sering juga ditemukan dalam bentuk mycelium. C. albicans dapat tumbuh baik pada media agar Saboroud, tetapi dapatjuga tumbuh pada media kultur biasa. Setelah proses inkubasi, pada media agar terlihat koloni C. albicans berbentuk bulat, berwarna putih dengan permukaan koloni yang terlihat agak kasar (Riskillah, A.G. 2010). Bentuk dan klasifikasi dari jamur C.albicans ditunjukkan pada gambar 2.4 berikut (McClary and Otho. 1952) Klasifikasi Candida albicans: Kingdom : Fungi Divisi
: Ascomycota
Kelas
: Saccharomycetes
Ordo
: Saccharomycetales
Famili
: Saccharomycetaceae
Genus
: Candida
Spesies
: Candida albicans
Gambar 2.4 Jamur Candida albicans (McClary and Otho. 1952)
2.4.4.2 Microsporum gypseum
Koloni dari Microsporum gypseum tumbuh dengan cepat, menyebar dengan permukaan yang mendatar.Microsporum gypseum merupakan penyebab penyakit kulit, pemakan zat tandukatau keratin, serta merusak kuku dan rambut.Jamur microsporum gypseum dapatditularkan secara langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah (Wicaksana. 2008)
Bentuk dan kalsifikasi dari jamur Microsporum gypseum ditunjukkan pada gambar 2.5 sebagai berikut (Currah, R. 1985). Klasifikasi Microsporum gypseum: Kingdom : Fungi Divisi
: Ascomycota
Kelas
: Eurotiomycetes
Ordo
: Onygenales
Famili
: Arthrodermataceae
Genus
: Microsporum
Spesies
: Microsporum gypseum
Gambar 2.5 Jamur Microsporum gypseum(Currah, R. 1985)
2.4.5
Metode Pengukutan Aktivitas Antimikroba
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu metode dilusi atau difusi. 1. Metode dilusi mengggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan diinkubasi. Tahap akhir antimikroba yang menghambat atau mematikan selanjutnya dilarutkan kembali.
Uji kepekaan dengan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi. Uji kepekaan cara dilusi cair yang menggunakan tabung reaksi, tidak praktis dan jarang dipakai. Keuntungan dari metode ini adalah uji ini memberi hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri. 2. Metode difusi yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas yang berisi sejumlah antimikroba ditempatkan pada media padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan untuk mengukur kekuatan hambatan senyawa antimikroba terhadp mikroba uji (Jawetz, et al. 2001)
2.5 Antioksidan
2.5.1
Pengertian Antioksidan
Dalam pengertian secara kimia, antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Sedangkan secara biologis, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsi, 2007). Antioksidan
merupakan
senyawa
yang
mampu
membersihkan,
menghilangkan dan menahan pembentukan oksigen reaktif atau radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbital luarnya, sehingga sangat reaktif untuk mendapatkan pasangan elektron dengan mengikat sel-sel tubuh. Proses pengambilan elektron dari sel-sel tubuh menyebabkan kerusakan sel. Antioksidan inilah yang mampu mengubah sel-sel tubuh menjadi pengaman untuk melawan radikal bebas penyebab berbagai penyakit.
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia, contohnya Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT) dan lain-lain. Sedangkan antioksidan alami adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami tumbuhan yang umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, kumarin, dan tokoferol (Windono. 2001).
Secara umum, berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu : 1. Antioksidan primer Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase (GSH-Px). Suatu senyawa dikatakan antioksidan primer, apabila senyawa tersebut dapat memberikan atom hydrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Winarsi, 2007). 2. Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Antioksidan sekunder ini meliputi vitamin E, vitamin C, -karoten, flavonoid, asam urat, bilirubin, dan albumin. Vitamin C, karotenoid dan lainnya banyak terdapat dalam sayur dan buah-buahan (Winarsi, 2007). Oleh sebab itu untuk memperoleh antioksidan tersebut diperlukan asupan sayur-sayuran, buah-buahan dalam jumlah yang tinggi. 3. Antioksidan tersier Kelompok antioksidan tersier ini meliputi system enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reductase. Enzim-enzim ini atau antioksidan tersier ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007).
2.5.2
Metode Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan berbagai metode. Salah satunya adalah dengan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazil). Metode menggunakan DPPH yang bertindak sebagai radikal bebas merupakan metode yang paling sering digunakan untuk pengukuran aktivitas antioksidan dari berbagai tanaman obat.
Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Prinsip dari metode DPPH adalah penghilangan warna untuk mengukur aktivitas antioksidan yang langsung menjangkau radikal DPPH dengan pemantauan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer. Aktivitas antioksidan tersebut dinyatakan sebagai konsentrasi inhibisi (Inhibition Concentration) atau IC50. IC
50
adalah nilai yang menunjukkan
kemampuan penghambatan proses oksidasi sebesar 50% suatu konsentrasi sampel (ppm). Nilai IC50 yang semakin kecil menunjukkan semakin tingginya aktivitas antioksidan. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 50 ppm, antioksidan kuat jika IC50 bernilai 50-100 ppm, antioksidan sedang jika IC50 bernilai 100-150 ppm, dan antioksidan dikatakan lemah jika IC50 bernilai 151-200 ppm (Blois, 1958).
2.5.3
Aplikasi Sifat Antioksidan terhadap Daging Ikan Nila
Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal dari Sungal Nil dan danau-dana sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis.
Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kelas
: Osteichthyes
Sub-kelas
: Acanthoptherigii
Ordo
: Percomorphi
Sub-ordo
: Percoidea
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus.
Terdapat 3 jenis nila yang dikenal, yaitu: nila biasa, nila merah (nirah) dan nila Albino (Deputi Menegristek). Ikan banyak mengandung asam lemak tak jenuh seperti misalnya asam lemak omega-3, omega-6. Asam-asam lemak tak jenuh sangat mudah mengalami proses oksidasi. Penyimpanan ikan yang kurang baik, dapat menyebabkan perubahan fisik maupun komposisi kimianya. Asam-asam lemak tak jenuh pada ikan yang rentan teroksidasi menghasilkan hidroperoksida dan hasil uraian lain seperti aldehid dan keton yang dapat meyebabkan mutu ikan segar menurun (Khamidinal, dkk. 2007) Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan hidrolitik. Secara umum yang membedakan antara ketengikan hidrolitikdan
oksidatif
selain
kadar
air
adalah
kondisi
suhu
dimana
produkmakanan tersebut disimpan. Biasanya ketengikan hidrolitik tidak terjadi pada penyimpanan suhu rendah, sedangkan ketengikan oksidatif masih bisa berlangsung pada suhu rendah sekalipun. Bilangan peroksida merupakan nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida.peroksida ini dapat ditentukan dengan metode iodometri. Cara yang paling sering dilakukan untuk mentukan bilangan peroksida adalah berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dittrasi dengan natrium tiosulfat. (Ketaren. 1986)