BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Gagal Ginjal Kronis 1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronis Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut (Sidabutar dkk,2001). Gagal ginjal kronis terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya untuk mengekskresi sisa metabolisme dari dalam tubuh sehingga terjadi gangguan fungsi endokrin dan metabolisme, gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, serta asam basa. Brunner & Suddarth (2001) menyatakan bahwa gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
1.2
Stadium Gagal Ginjal Kronis
Klasifikasi gagal ginjal kronis tidak selalu sama. Price & Wilson (2005) membagi perjalan klinis umum gagal ginjal kronis menjadi tiga stadium. Stadium pertama disebut penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum, kadar nitrogen dan urea darah (BUN) normal, serta gejalanya asimtomatik. Stadium kedua disebut juga insufisiensi ginjal, dimana terdapat lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak atau GFR 25% besarnya dari normal. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal serta mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.
Universitas Sumatera Utara
Stadium ketiga merupakan stadium akhir gagal ginjal kronis yang sering disebut gagal ginjal terminal atau uremia. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Pada stadium ini penderita mulai merasakan gejalagejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pada gagal ginjal tahap akhir urin menjadi isoosmotis, penderita biasanya menjadi oligurik dan terjadi sindrom uremik yang mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.
1.3
Etiologi Gagal Ginjal kronis
Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang yang progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Perjalanan gagal ginjal tahap akhir hingga tahap terminal bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Price & Wilson (2005) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronis menjadi delapan kelas yaitu: 1).Penyakit infeksi
tubulointerstisial seperti
pielonefritis kronik atau refluks nefropati; 2).Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis; 3).Penyakit vaskular hipertensif seperti nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis; 4).Gangguan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan sklerosis sistemik progresif ; 5).Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik dan asidosis tubulus ginjal; 6).Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis; 7).Nefropati toksik akibat penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah;
Universitas Sumatera Utara
8).Nefropati obstruktif pada traktus urinarius bagian atas seperti batu ginjal, neoplasma, fibrosis retroperitoneal dan nefropati obstruktif pada traktus urinarius bagian bawah seperti hipertrofiprostat, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra. Selain penyebab tersebut ada empat faktor risiko utama dalam perkembangan gagal ginjal tahap akhir yaitu usia, ras, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Gagal ginjal tahap akhir yang disebabkan oleh nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika daripada orang kaukasia. Secara keseluruhan insiden gagal ginjal tahap akhir lebih besar pada laki-laki yaitu 56,3% daripada perempuan 43,7% (Fauci & Longo’s, 2001; Price & Wilson, 2005).
1.4
Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis
Berbagai perubahan yang terjadi pada gagal ginjal kronis akan mempengaruhi kondisi pasien. Apabila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrom uremik. Sindrom uremik merupakan suatu kompleks gejala yang terjadi akibat atau berkaitan dengan retensi metabolik nitrogen karena gagal ginjal. Sindrom ini ditandai dengan peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, perubahan fungsi pengaturan yang menyebabkan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut akan menyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ tubuh (Brunner & Suddarth, 2001; Ganong, 2002; Potter & Perry, 2005; Price & Wilson, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Gagal ginjal ditandai dengan berbagai jenis gangguan biokimia. Salah satu gangguan biokimia akibat sindrom uremik yaitu asidosis metabolik berupa pernapasan Kussmaul. Pernapasan Kussmaul adalah pernapasan yang dalam dan berat, yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan ekskresi karbon dioksida. Selain asidosis metabolik, pada gagal ginjal kronis juga terjadi ketidakseimbangan Kalium dan Natrium. Ketidakseimbangan Natrium dan kalium akan mempengaruhi kerja jantung dan bisa menyebabkan gagal jantung kongestif (Brunner & Suddarth, 2005; Peterson, 1995). Gangguan pada sistem perkemihan yang berhubungaan erat dengan metabolisme cairan. Berat jenis urin yang relatif konstan sekitar 1,010 mOsm menunjukkan hilangnya kemampuan pengenceran urin dari kadar plasma. Hal tersebut mengakibatkan penderita uremia mudah mengalami perubahan keseimbangan cairan yang akut. Diare atau muntah dapat menyebabkan dehidrasi secara cepat, sementara asupan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema, dan gagal jantung kongestif (Brunner & Suddarth,2005; Carpenter & Lazarus, 1984; Tierney,dkk, 1993). Kelainan hematologi juga terjadi pada penderita gagal ginjal kronis tahap akhir. Anemia normositik dan normokromik selalu terjadi pada sindrom uremik. Penyebab utama anemia adalah berkurangnya pembentukan sel darah merah akibat defisiensi pembentukan eritropoietin oleh ginjal dan masa hidup sel darah merah pada penderita gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup sel darah merah normal (Brunner & Suddarth, 2005; Roesman,1992; Kresnawan & Sukardjini, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Penimbunan pigmen urin terutama urokrom bersama anemia pada insufisiensi ginjal lanjut akan menyebabkan kulit penderita putih seakan-akan berlilin dan kekuning-kuningan. Pada orang berkulit coklat, kulit akan berwarna coklat kekuning-kuningan, sedangkan pada orang berkulit hitam akan berwarna abu-abu bersemu kuning, terutama di daerah telapak tangan dan kaki. Selain itu kulit menjadi kering dan bersisik. Jika kadar natrium tinggi akan timbul kristal uremik di permukaan kulit yang berkeringat (Brunner & Suddarth, 2005; Roesman,1992; Kresnawan & Sukardjini, 1992). Manifestasi saluran cerna dari uremia antara lain anoreksia, mual, muntah, adanya rasa kecap logam pada mulut, napas berbau amonia, peradangan dan ulserasi pada mulut, lidah kering dan berselaput. Pada gagal ginjal tahap akhir, metabolisme
internal
protein,
karbohidrat,
dan
lemak
mengalami
keabnormalan (Brunner & Suddarth, 2005; Roesman,1992; Kresnawan & Sukardjini, 1992). Sedangkan gejala-gejala pada neuromuskular akibat gagal ginjal tahap akhir ialah penurunan ketajaman serta kemampuan mental untuk berpikir, apatis dan kelelahan.
Penderita mengeluh merasa letih, lesu dan saat
melakukan aktivitas sehari-hari harus beristirahat berulang-ulang. Penderita mengalami nyeri seperti terbakar, perasaan baal atau parastesia pada jari-jari kaki, kaki dan menjalar sampai ke tungkai. Pada stadium akhir gejala parestesia terjadi pada jari-jari tangan dan tangan serta gangguan pada tulang yang disebut osteodistrofi ginjal (Brunner & Suddarth,2005).
Universitas Sumatera Utara
1.5
Terapi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
Menurunnya fungsi ginjal dan semakin buruknya gejala uremia pada gagal ginjal kronis tahap akhir mengharuskan diberikannya pengobatan kepada penderita. Wilson (2005) menyatakan bahwa pengobatan gagal ginjal kronis dibagi dalam dua tahapan, dimana tahap pertama merupakan tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal dan tahap kedua yaitu tindakan untuk mempertahankan kehidupan
dengan
dialisis
dan
transplantasi
ginjal.
Prinsip-prinsip
penatalaksanaan konservatif didasarkan pada batas ekskresi yang dapat dicapai ginjal yang terganggu. Tindakan konservatif berupa diet, pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan (Suhardjono, 2001; Potter & Perry, 2005; Wilson,2005). Pada gagal ginjal kronis tahap akhir dibutuhkan tindakan yang bisa mengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan kehidupan karena tindakan konservatif saja tidak efektif. Penggantian fungsi ginjal bisa dengan transplantasi dan dialisa. Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang lebih baik karena penderita tidak terlalu terbatas hidupnya dan biasanya tidak ada pantangan diet serta tidak membutuhkan banyak waktu untuk melakukan dialisis (Potter & Perry, 2005; Wilson, 2005). Namun di Indonesia transplantasi ginjal masih terbatas karena banyak kendala yang dihadapi seperti faktor ketersediaan donor ginjal, biaya, dan sistem kesehatan yang belum mendukung (Yayasan Ginjal Nasional,2000) sehingga dialisa bagi penderita gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Wilson (2005) mendefinisikan dialisa sebagai suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Penggunaan dialisa ditujukan untuk pengobatan gagal ginjal kronis pertamakali diusulkan oleh Abel, Rowntree & Turner pada tahun 1913 (Gibson, 1983; Van Stone, 1983). Pada dialisa, molekul solut berdifusi melalui membran semipermiabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat atau konsentrasi solut lebih tingggi ke cairan yang lebih encer atau konsentrasi solut lebih rendah. Cairan mengalir lewat membran semipermiabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (Daugirdas, Blake & Ing, 2001; Brunner & Suddarth, 2001; Daugirdas & Wilson, 2005; Van Stone 1983). Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa ada beberapa indikasi pelaksanaan dialisis yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana. Ada dua metode dialisis yaitu dialisa peritoneal dan hemodialisa. Diantara kedua metode dialisa tersebut yang merupakan metode paling umum digunakan untuk penderita gagal ginjal di Indonesia dan Amerika adalah hemodialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992 dalam Lubis, 2006; Peterson,1995).
Universitas Sumatera Utara
2. Hemodialisa Hemodialisa ialah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar di dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialiser (Aristianty, 2008). Dialiser terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Satu kompartemen berisi darah dan kompartemen lain berisi cairan dialisat. Hemodialisa pertama kali digunakan pada manusia di Jerman pada tahun 1915 oleh George Haas di Universitas Klinik Giessen. Sedangkan di Indonesia hemodialisa dimulai pada tahun 1970. Hemodialisa bisa dilakukan di rumah atau di pusat-pusat hemodialisa (Suhardjono dkk, 2001; Van Stone, 1983).
2.1 Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa Pada hemodialisa aliran darah yang mengandung limbah metabolik dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser untuk dibersihkan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran semipermeabel tubulus. Pada proses kerja mesin dialisa ada tiga prinsip yang mendasarinya yaitu osmosis, difusi, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dikeluarkan dari dalam darah melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Selanjutnya air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis yang dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisa. Tekanan negatif ini diterapkan
Universitas Sumatera Utara
untuk memfasilitasi pengeluaran air sehingga tercapai isovolemia (Brunner & Suddarth, 2001). Hemodialisa bagi penderita gagal ginjal kronis akan mencegah kematian yang lebih cepat. Namun hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik yang dilaksanakan oleh ginjal. Di indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisia dilakukan selama 5 jam, tetapi ada juga yang melakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam, hal ini bergantung pada keadaan penderita. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun (Price & Wilson, 2005; Suhardjono dkk, 2001). Namun banyak komplikasi yang terjadi akibat terapi hemodialisa yang mempengaruhi kehidupan pasien hemodialisa.
2.2 Komplikasi Hemodialisa Komplikasi yang bisa terjadi saat pasien melakukan hemodialisa antara lain hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan dialisis, kram otot yang nyeri, mual, muntah, perembesan darah, sakit kepala, sakit punggung, demam, menggigil, sindrom disekuilibrium, aritmia temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, hiperlipidemia, gangguan tidur dimana pasien selalu bangun lebih cepat di pagi hari, dan hipoksemia. (Brunner & Suddarth, 2005; Stone & Rabin, 1983; Suhardjono dkk, 2001). Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi sakit yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupanya.
Universitas Sumatera Utara
Penderita menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, depresi akibat sakit kronik, dan ketakutan terhadap kematian. Pasien-pasien yang lebih muda khawatir terhadap pernikahan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang ditimbulkan kepada keluarga mereka. Gaya hidup terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa dan pembatasan asupan makanan serta cairan sering menghilangkan semangat hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2005). Hemodialisa menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustrasi, rasa bersalah serta depresi di dalam keluarga. Keluarga pasien dan sahabat-sahabatnya
mungkin
memandang
pasien
sebagi
orang
yang
terpingkirkan dengan harapan hidup yang terbatas. Barangkali sulit bagi pasien, pasangan, dan keluarganya untuk mengungkapkan rasa marah serta perasaan negatif. Terkadang perasaan tersebut membutuhkan konseling dan psikoterapi (Brunner & Suddarth,2005). Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat penyakit, serta terapinya di samping masalah keuangan, rasa sakit dan gangguan rasa nyaman yang timbul akibat penyakit ataupun komplikasi terapi. Jika rasa marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini akan diproyeksikan kepada diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh diri. Insiden bunuh diri meningkat pada pasien-pasien
Universitas Sumatera Utara
hemodialisa. Jika rasa marah tersebut di proyeksikan kepada orang lain, hal ini dapat merusak hubungan keluarga (Brunner & Suddarth,2005).
3. Koping 3.1 Definisi Koping Penderita gagal ginjal kronik yang mengalami stres atau ketegangan psikologis dalam menghadapi penyakit dan terapi yang dijalaninya memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan agar dapat mengurangi stres yang dialaminya. Pasien akan menggunakan berbagai cara dalam menghadapi masalahnya. Cara-cara itulah yang disebut dengan koping. Ada banyak definisi koping yang dikemukakan para ahli. Kelliat (1999) mendefenisikan koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam. Sedangkan menurut Rasmun (2004) koping merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Koping juga diartikan sebagai usaha perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk menyelesaikan stres yang dihadapi. Coping is the process through which the person manages the demands of the person – environment relationship that are appraised as being stressful and which generate emotions. (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Harwood, 2009) Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa koping adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk mengatur kebutuhan dan hubungannya
Universitas Sumatera Utara
dengan lingkungan sedemikian rupa sehingga ia dapat mengatasi masalah yang dialaminya.
3.2 Sumber Strategi koping Menurut Brunner & Suddarth (2001) sumber strategi koping dapat berasal dari internal dan eksternal. a. Sumber internal Sumber strategi koping internal berasal dari dalam pribadi orang tersebut. Sumber internal ini meliputi kesehatan dan energi yang dimilikinya, kepercayaan seseorang menyangkut kepercayaan iman atau agama dan juga kepercayaan eksistensi, komitmen atau tujuan hidup, harga diri, kontrol dan kemahiran seseorang. Selain itu pengetahuan, keterampilan
pemecahan
masalah
dan
keterampilan
sosial
juga
mempengaruhi strategi koping individu yang bersumber dari internal. Karakteristik kepribadian yang tersusun atas kontrol, komitmen dan tantangan merupakan sumber strategi koping yang paling tangguh. Pribadi yang tangguh menerima stresor sebagai sesuatu yang dapat diubah sehingga dapat dikontrol. Individu tersebut menerima situasi yang berpotensi menimbulkan
stres menjadi suatu hal yang menarik dan
berarti sehingga timbul komitmen. Sedangkan perubahan dan situasi baru dipandang
sebagai kesempatan untuk bertumbuh sehingga dianggap
sebagai tantangan.
Universitas Sumatera Utara
b. Sumber eksternal Dukungan sosial merupakan sumber-daya eksternal yang utama. Cobb, 1976 dalam Brunner & Suddarth, 2001 mendefinisikan dukungan sosial sebagi rasa memiliki informasi terhadap seseorang atau lebih dengan tiga kategori. Kategori informasi pertama membuat orang percaya bahwa dirinya diperhatikan atau dicintai.
Kategori ini sering muncul
dalam hubungan antara dua orang dimana kepercayaan mutual dan keterikatan diekspresikan dengan cara saling menolong untuk memenuhi kebutuhan bersama. Ekspresi tersebut sering disebut sebagai dukungan emosional yang paling disadari dalam hubungan suami istri. Kategori informasi yang kedua menyebabkan seseorang merasa bahwa dirinya dianggap atau dihargai. Hal ini paling efektif saat ada pengumuman publik mengenai betapa kedudukannya di dalam kelompok cukup terpandang. Keadaan tersebut akan menaikkan perasaan harga diri sehingga disebut sebagai dukungan harga diri. Kategori informasi ketiga membuat seseorang merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan saling ketergantungan. Informasi disebarkan oleh anggota jaringan, dimana setiap anggota jaringan memahami informasi tersebut dan menyadari bahwa informasi tersebut telah disebarkan diantara mereka. Cobb menekankan bahwa dukungan sosial akan meningkatkan kepribadian mandiri, sebaliknya tidak menyebabkan ketergantungan. Sumber material merupakan dukungan eksternal lain, meliputi barang dan jasa yang dapat dibeli. Mengatasi keterbatasan lingkungan akan lebih
Universitas Sumatera Utara
mudah bagi individu yang mempunyai sumber finansial yang memadai karena perasaan ketidakberdayaan terhadap ancaman menjadi berkurang (Brunner & Suddarth,2001).
3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koping Menurut Muktadin (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping meliputi kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan yang positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi. Kesehatan fisik. Kesehatan merupakan hal yang penting karena dalam usaha mangatasi stress individu dituntut untuk mengarahkan tenaga yang cukup besar. Keyakinan atau pandangan yang positif. Keyakinan menjadi sumber daya psikologi yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib mengerahkan
individu
pada
penilaian
ketidakberdayaan
yang
akan
menurunkan kemampuan strategi koping yang berfokus pada masalah. Keterampilan
memecahkan
masalah.
Keterampilan
ini
meliputi
kemampuan untuk mencari informasi dan tujuan menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dan tujuan untuk mengahasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sampai dengan hasil yang diinginkan tercapai dan akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. Keterampilan sosial. Keterampilan sosial ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dukungan sosial. Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan.
3.4 Macam-macam Koping Rasmun (2004) membagi koping menjadi dua macam yaitu koping psikologis dan koping psiko-sosial. a. Koping Psikologis Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stres psikologis bergantung pada dua faktor yaitu bagaimana persepsi dan penerimaan individu terhadap stresor serta keefektifan strategi koping yang digunakan oleh individu. Jika strategi yang digunakan efektif maka akan menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika strategi koping yang digunakan tidak efektif akan berakhir dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. b. Koping Psiko-Sosial Koping psiko-sosial ialah reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stres yng diterima atau dihadapi oleh klien. Stuart & Sudden, 1991 (dalam Rasmun, 2004) mengemukakan bahwa terdapat dua kategori koping yang biasa dilakukan untuk mengatasi stres dan kecemasan. Kategori pertama yaitu yang berorientasi pada tugas. Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, konflik dan memenuhi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dasar. Ada tiga macam perilaku yang berorientasi pada tugas yaitu perilaku menyerang, perilaku menarik diri dan kompromi. Kategori kedua ialah reaksi yang berorientasi pada ego. Reaksi ini sering digunakan individu dalam menghadapi stres atau kecemasan. Jika individu melakukannya dalam waktu sesaat maka akan dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika digunakan dalam jangka waktu yang lama akan dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal dan menurunnya produktifitas kerja. Koping ini bekerja tidak sadar sehingga penyelesaiannya sering sulit dan tidak realistis.
3.5 Metode Koping Menurut National Safety Council (2003), koping yang efektif merupakan suatu proses mental untuk mengatasi tuntutan yang dianggap sebagai tantangan terhadap sifat seseorang. Ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis yaitu metode jangka panjang dan metode jangka pendek (Bell, 1977 dalam Rasmun, 2004). Metode koping jangka panjang bersifat konstruktif dan merupakan cara yang efektif serta realistis dalam menangani masalah psikologis untuk kurun waktu yang lama. Metode ini meliputi berbicara dengan orang lain, misalnya kepada teman, keluarga atau profesi tentang masalah yang dihadapi; mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang dihadapi; menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural; melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan atau masalah; membuat
Universitas Sumatera Utara
berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi; mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu. Metode koping Jangka Pendek digunakan untuk mengurangi stres atau ketegangan psikologis dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif jika digunakan dalam jangka panjang. Cara yang termasuk ke dalam metode ini meliputi menggunakan alkohol dan obat-obatan; melamun dan fantasi; mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak meyenangkan; tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil; banyak tidur; merokok; menangis; dan beralih pada aktif aktivitas lain agar dapat melupakan masalah. Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Rasmun, 2004).
3.6 Koping Terhadap Penyakit Jalowiec, 1993 ( dalam Brunner & Suddarth, 2001) menyatakan bahwa ada lima cara penting dalam menghadapi penyakit, yang diidentifikasi dari menelaah 57 penelitian keperawatan, yaitu: 1) mencoba merasa optimis terhadap masa depan, 2) menggunakan dukungan sosial, 3) menggunakan sumber spiritual, 4) mencoba tetap mengotrol situasi atau perasaan,dan 5) mencoba menerima kenyataan yang ada. Koping cara lain yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah meliputi pencarian informasi, menyusun
Universitas Sumatera Utara
ulang prioritas kebutuhan dan peran, menurunkan tingkat harapan, melakukan kompromi, membandingkan dengan orang lain, perencanaan aktivitas untuk menghemat energi, dan memahami tubuhnya. Merasa optimis mengenai masa depan yaitu adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya, adanya pikiran yang berpusat pada kepercayaan dasar bahwa setiap masalah ada solusinya. Menggunakan dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan dukungan verbal, saran, bantuan yang nyata atau tindakan yang diberikan oleh orangorang yang akrab degan subjek di dalam lingkungan sosialnya . Dukungan ini juga dapat berupa kehadiran orang tertentu dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Menggunakan sumber spiritual, seperti berdoa dan menemui pemuka agama atau aktif pada kegiatan-kegiatan kerohanian juga menjadi cara koping dalam menghadapi masalah terutama yang disebabkan oleh penyakit. Mendekatkan diri kepada Tuhan juga bisa dilakukan dengan meminta saran atau mencari informasi yang berasal dari alim ulama atau pemuka agama. Mengontrol situasi maupun perasaan, merupakan pengendalian diri tanpa menunjukkan emosi atau bereaksi dengan tenang (Wortman, Loftus & Weaver, 1999). Menerima kenyataan yang ada, menerima keadaan atau sadar akan keadaan dirinya yang menderita suatu penyakit dan cenderung mencari hikmah dari keadaan tersebut. Penerimaan berbagai kenyataan hidup dan pandangan positif
Universitas Sumatera Utara
menjadi sumber psikologis yang sangat penting untuk membentuk koping seseorang dalam menghadapi masalahnya. Pasien maupun keluarga menggunakan kombinasi antar koping yang berfokus pada emosi maupun yang berfokus pada masalah dalam meghadapi stresor yang berhubungan dengan penyakit. Menurut Keliat (1998) koping berfokus pada masalah melibatkan proses kognitif, afektif, dan psikomotor, yaitu: 1. Berbicara dengan orang lain, teman, keluarga dan perawat tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari nasihat orang lain. 2. Mencari tahu lebih banyak informasi tentang situasi yang dihadapi melalui buku, masmedia atau orang yang ahli. 3. Berhubungan dengan kekuatan supranatural. Melakukan kegiatan ibadah, menambah kepercayaan diri dan mengembangkan pandangan yang positif. 4. Melakukan latihan penanganan stres, dengan latihan pernafasan, meditasi, visualisasi dan stop berpikir. 5. Membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi. 6. Belajar dari pengalaman masa lalu, tidak mengulangi kegagalan yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Cormier-Daigleand, M & Stewart, M pada tahun 1997 di Kanada mengungkapkan bahwa pasien laki-laki yang menjalani terapi hemodialisa lebih sering menggunakan koping yang berfokus pada masalah khususnya dukungan sosial. Namun pasien juga sering mengalami konflik dengan diri mereka sendiri. Hasil yang sama juga didapatkan dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitian tentang koping pasien hemodialisa kronik yang dilakukan Kumar, Udaya T.R, Almaray,A., Soundarajan, P., Abraham,G. di Chennai India pada tahun 2003. Namun hasil yang berbeda diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh
Yeh,S.J & Chou,H pada tahun 2002 di Taiwan, dimana
penelitian dilakukan pada pasien yang berusia lebih dari 15 tahun dan telah menjalani hemodialisa lebih dari tiga bulan. Dari hasil penelitian Yeh & Chou tersebut diperoleh bahwa pasien hemodialisa lebih sering menggunakan koping yang berorientasi pada emosi, menghindar dan menyendiri sedangkan koping yang berorientasi pada masalah jarang digunakan.
3.7
Mekanisme Koping
Keliat (1998) membagi mekanisme koping menjadi dua macam yaitu mekanisme koping yang adaptif dan mekanisme koping yang maladaptif. Mekanisme koping adaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang bersifat positif, rasional, dan konstruktif sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang bersifat negatif, merugikan dan destruktif serta tidak dapat menyelesaiakan masalah secara tuntas.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi koping pasien gagal ginjal kronis dalam menjalani terapi hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan. Dimana kerangka penelitian menggunakan model teori pendekatan sistem yang terdiri dari komponen masukan (input), proses, dan keluaran (output). Dalam penelitian ini diuraikan sebagai input adalah stresor pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa, proses mengidentifikasi koping yang digunakan oleh pasien gagal ginjal dalam menjalani terapi hemodialisa sedangkan keluaran adalah koping apa yang digunakan oleh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa dalam menghadapi masalah yang terjadi. Skema 3.1. Kerangka penelitian koping pasien gagal ginjal kronis dalam menjalani terapi hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Hemodialisa dan komplikasinya sebagai stresor bagi pasien gagal ginjal kronis
Ket:
KOPING Optimis terhadap masa depan. Dukungan sosial Kepercayaan spiritual Kontrol diri Menerima kenyataan
Koping adaptif Koping maladaptif
: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
Universitas Sumatera Utara
2. Definisi Operasional Tabel 3.1 Defenisi operasional variabel penelitian Variabel
Defenisi Operasional
Koping
Upaya yang dilakukan oleh
pasien gagal
pasien gagal ginjal kronis
Alat ukur
Hasil ukur
Kuesioner 1. 25-61.5
Skala Interval
mal adaptif
ginjal kronis dalam mengatasi dan
2. 62.5-100
yang
menyelesaikan masalah yang
adatif
menjalani
ada selama menjalani terapi
terapi
hemodialisa., diidentifikasi
hemodialisa
menjadi lima bagian yaitu optimis terhadap masa depan, dukungan sosial, kepercayaan spiritual, kontrol diri, dan menerima kenyataan
Universitas Sumatera Utara