BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Tumor Ganas Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling
bawah
adalah
lobolus
hidung
yang
mudah
digerakkan
(Ballenger,1994; Hilger, 1997; Levine, 2005). Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril
Universitas Sumatera Utara
(lubang hidung) kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997). Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise (Ballenger,1994). Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil
Universitas Sumatera Utara
ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan
celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior.
Disini terdapat muara dari sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus
etmoid.
Dibalik
bagian
anterior
konka
media
yang
letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus (Ballenger, 1994). Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk piramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)
Universitas Sumatera Utara
Perdarahan hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu 1. Arteri etmoidalis anterior 2. Arteri etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna (Ballenger, 1994). Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis (Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Ballenger,1994; Hilger,1997). Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus (Ballenger, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Persarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina (Ballenger,1994; Hilger,1997). Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensoris dari nervus maksila. Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media (Ballenger,1994). Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
Universitas Sumatera Utara
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Ballenger, 1994; Hilger, 1997).
Fisiologi hidung Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85% - 90% disaring didalam hidung dengan bantuan transpor mukosiliar (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997 ; McCaffrey, 2000). Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1) Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara, (7) Reflek nasal (Ballenger,1994).
2.1.2 Anatomi dan fungsi sinus paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sangat bervariasi pada setiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar adalah sinus maksilla, sinus frontalis, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-
Universitas Sumatera Utara
tulang kepala hingga terbentuk rongga didalam tulang. Semua sinus mempunyai muara kedalam hidung (Lang,1989).
Sinus maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Bentuknya segitiga, dengan dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris berjalan melalui infundibulum etmoid (Ballenger,1994 ; Weir, 1997).
Sinus frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Hilger,1997). Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak digaris tengah. Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5 % sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran sinus frontal
Universitas Sumatera Utara
adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2cm (Hilger, 1994). Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini. Sinus frontal ini berdrainase melalui ostiumnya dan bermuara ke meatus media (Ballenger,1994).
Sinus etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan sumber infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sinus etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan dan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia hingga dewasa. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya dibagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm dibagian anterior dan 1,5 cm dibagian posterior (Ballenger,1994) Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon. Jumlah sel-selnya sangat bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Ada dua kelompok sel-sel tersebut. Kelompok anterior yang bermuara kemeatus medius dan kelompok posterior yang bermuara ke meatus superior. Sel anterior dan posterior dipisahkan oleh lempeng tulang transversal yang tipis. Tempat perlekatan konka media pada dinding lateral hidung juga merupakan patokan letak perbatasan kelompok sel-sel anterior
Universitas Sumatera Utara
dan posterior. Kelompok sel anterior terdapat didepan dan bawahnya sedang kelompok posterior ada di atas dan belakangnya (Ballenger,1994). Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Dibagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Ballenger,1994).
Sinus sfenoid Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya didalam os sfenoid dan ukuran serta bentuknya sangat bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, letaknya jarang di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar dari pada sisi lainnya (Ballenger,1994) Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis. Ukuran ostium sinus sfenoid berkisar antara 0,5 sampai 4 mm dan letaknya kira 10 sampai 20 mm di atas dasar sinus. Ukuran sinus ini kira-kira : usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5 mm dan pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml (0,05 sampai 30 ml). Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis
Universitas Sumatera Utara
interna dan disebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior didaerah pons (Ballenger,1994).
Fungsi sinus paranasal Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas sehingga diperlukan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004).
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004). c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala,
Universitas Sumatera Utara
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004). d. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004). e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004).
f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004).
2.1.3 Epidemiologi Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal relatif jarang dijumpai dengan insiden dibawah satu persen dari seluruh keganasan, dan
Universitas Sumatera Utara
hanya sekitar tiga persen dari malignansi di daerah kepala dan leher (Tufano et al, 1999; Michael et al, 2005). Diperkirakan 55% tumor ganas hidung dan sinus paranasal berasal dari sinus maksila, 35% dari kavum nasi, sembilan persen dari sinus etmoid dan sisanya dari sinus frontal dan sinus sfenoid (Fasunla dan Lasisi, 2007). Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus paranasal ditemukan di Jepang yaitu dua per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FK UI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004). Rifqi mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3 – 25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua sesudah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosa tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun (Dhingra, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Etiologi Etiologi tumor ganas hidung dan sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga terpapar beberapa zat hasil industri. Pekerja-pekerja pada industri logam berat yang terpapar dengan nikel, chromium dan radium menunjukkan peningkatan insiden tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Selain itu terdapat beberapa zat yang diduga sebagai penyebab yaitu gas mustard, larutan isopropil dan senyawa hidrokarbon. Rokok, alkohol, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan (Bhattacharyya, 2002; Lund, 2003; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Zimmer dan Carau, 2006).
2.1.5 Patologi Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut histopatologinya dibagi atas: a. Epitel:
- Karsinoma sel skuamus - Karsinoma sel transisional - Adenokarsinoma - Adenoid kistik karsinoma - Melanoma - Neuroblastoma olfaktorius - Karsinoma tidak terdiferensiasi
Universitas Sumatera Utara
b. Non epitel
- Sarkoma jaringan lunak - Rhabdomyosarkoma - Leiomyosarkoma - Fibrosarkoma - Liposarkoma - Angiosarkoma - Miksosarkoma - Hemangioperisitoma - Sarkoma jaringan penghubung - Kondrosarkoma - Osteosarkoma
c. Tumor limforetikular:
- limfoma - Plasmasitoma - Tumor giant sel
Sebagian besar keganasan pada hidung dan sinus paranasal berasal dari epitel (Zimmer dan Carrau, 2006).
2.1.6 Gejala Klinis Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Biasanya tumor didalam sinus maksila tidak memberikan gejala sampai terjadi perluasan ke organ lain, dan sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
foto
rontgen.
Kadang-kadang
keluhan
awalnya
hampir
Universitas Sumatera Utara
menyerupai gejala sinusitis seperti obstruksi hidung unilateral dan rinorea, sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis (Wong dan Krause, 2001; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007). Pada stadium lanjut dapat terjadi penyebaran ke organ lain sehingga sukar ditentukan asal tumor primernya. Perluasan tumor dapat menimbulkan keluhan sebagai berikut: a. Perluasan ke medial akan menyebabkan gejala hidung tersumbat, rinore kronik satu sisi disertai epistaksis. Tumor dapat juga terlihat di kavum nasi. b. Perluasan keatas melalui dasar orbita menyebabkan diplopia dan pendorongan bola mata. c. Perluasan kearah anterior menyebabkan pembesaran pipi satu sisi, sehingga muka menjadi asimetris. Kadang-kadang terjadi infiltrasi dan ulserasi. Bila mengenai nervus infra orbitalis, dapat menyebabkan parestesi kulit pipi. d. Tumor yang berasal dari dasar antrum dan meluas kearah bawah menimbulkan keluhan-keluhan gigi. Dapat juga timbul bengkak dan ulserasi pada palatum, prosesus alveolaris atau sulkus gingivobukal. e. Perluasan kearah belakang, dapat ke fossa pterigomaksila dan lamina pterigoid, dan penyebarannya juga dapat ke nasofaring, sinus sfenoid dan dasar tengkorak. f. Penyebaran intrakranial dapat terjadi melalui etmoid, fossa kribiformis atau foramen laserum.
Universitas Sumatera Utara
g. Penyebaran limfatik jarang terjadi, hanya pada stadium lanjut. Paling sering adalah pembengkakan kelenjar getah bening di daerah sub mandibula. h. Metastasis jauh jarang terjadi, paling sering terjadi di paru dan kadangkadang pada tulang (Dhingra, 2007)
2.1.7 Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
radiologi
pemeriksaan
dan
biopsi.
histopatologi
Diagnosis (Wong
pasti dan
ditegakkan Krause,
berdasarkan
2001;
Roezin,
Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007).
2.1.8 Klasifikasi Klinis a. Klasifikasi Ohngren Bidang imajiner yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang ini membagi rahang atas menjadi struktur superior posterior (suprastruktur) dan struktur inferior anterior (infrastruktur). Adapun yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Tumor di daerah
infrastruktur
mempunyai
prognosis
yang
lebih
baik
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan tumor di daerah suprastruktur (Wong dan Kraus, 2001; Dhingra, 2007). b. Klasifikasi Lederman’s Membuat dua garis horizontal melalui dasar orbita dan melalui dasar antrum. Garis tersebut membagi daerah: 1) Suprastruktur: sinus etmoid, sinus sfenoid, sinus frontal serta daerah olfaktorius dari hidung. 2) Mesostruktur: sinus maksilaris dan daerah respiratori hidung. 3) Infrastruktur: meliputi prosesus alveolaris. Klasifikasi tersebut selanjutnya menggunakan garis vertikal sejajar dinding medial orbita dan membagi sinus etmoid dan fossa nasalis dari sinus maksila (Dhingra, 2007)
2.1.9 Stadium Tumor Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu (Grene et al, 2006; Scurry et al, 2007): Tumor primer (T) Sinus maksila TX
Tumor primer tidak bisa ditentukan
T0
Tidak tampak tumor primer
Tis
Kasinoma insitu
T1
Tumor terbatas pada mukosa sinus maksila tanpa erosi dan destruksi
Universitas Sumatera Utara
Tulang T2
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksila dan fossa pterigoid
T3
Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksila, jaringan subkutan, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoid.
T4a
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoid atau frontal
T4b
Tumor menginvasi salah satu dari apek orbita, dura, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus V, nasofaring atau klivus
Kavum nasi dan sinus etmoid TX
Tumor primer tidak bisa ditentukan
T0
Tidak tampak tumor
Tis
Karsinoma insitu
T1
Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
T2
Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks dengan atau tanpa invasi tulang
Universitas Sumatera Utara
T3
tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksila, palatum atau fossa kribriformis.
T4a
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung dan pipi, ekstensi minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoid atau frontal.
T4b
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain nervus V, nasofaring atau klivus
Kelenjar getah bening regional (N) NX
Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0
Tidak ada pembesarah kelenjar
N1
Pembesaran satu kelenjar ipsilateral < 3 cm
N2
Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral < 6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm
N2a
Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b
Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm.
N2c
Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm.
N3
Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Metastasis jauh (M) MX
Metastasis jauh tidak bisa ditentukan
M0
Tidak ada metastasis jauh
M1
Terdapat metastasis jauh
Stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal 0
Tis
N0
M0
Universitas Sumatera Utara
I
T1
N0
M0
II
T2
N0
M0
III
T3
N0
M0
T1
N1
M0
T2
N1
M0
T3
N1
M0
T4a
N0
M0
T4a
N1
M0
T1
N2
M0
T2
N2
M0
T3
N2
M0
T4a
N2
M0
T4b
semua N
M0
semua T
N3
M0
semua T
semua N
M1
IVA
IVB
IVC
2.1.10 Penatalaksanaan Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Para ahli berpendapat bahwa satu cara pengobatan saja hasilnya adalah buruk, sehingga mereka menganjurkan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007). a. Operasi
Universitas Sumatera Utara
Operasi merupakan modal utama dalam mengatasi keganasan hidung dan sinus paranasal. Oleh karena sebagian besar keganasan hidung dan sinus paranasal berasal dari sinus maksila sehingga operasi maksilektomi menjadi pilihan utama baik parsial maupun total maksilektomi tergantung perluasan dan keganasan tumor (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004). b. Radioterapi Radioterapi dapat digunakan sebagai modalitas tunggal, sebagai tambahan pada operasi, atau sebagai terapi paliatif. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa radioterapi pasca operasi dapat meningkatkan kontrol lokal tetapi tidak menyebabkan angka bertahan hidup yang absolut. Para ahli lebih menyukai radioterapi pasca operasi karena volume tumor yang lebih kecil dapat dimusnahkan, dan batas tumor yang tidak teradiasi menjadi lebih jelas saat dilakukan operasi dan juga penyembuhan luka pasca operasi lebih dapat diprediksi (Zimmer dan Carrau, 2006) c. Kemoterapi Penggunaan kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal adalah sebagai terapi paliatif untuk mengurangi rasa sakit. Samant dkk (2004) melaporkan penggunaan Cisplatin intra arteri dosis tinggi dengan radioterapi konkomitan pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka bertahan hidup selama lima tahun adalah 53%. Pasien-pasien yang mempunyai resiko operasi yang buruk dan menolak untuk dilakukan operasi dapat dilakukan kombinasi terapi antara radioterapi dan kemoterapi (Zimmer dan Carrau, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Vascular Endothelial Growth Factor 2.2.1 Angiogenesis Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al, 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita (Josko et al, 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis dapat dipicu oleh berbagai kondisi patologis, seperti reumatoid artritis, retinopati diabetik, degenerasi makular, psoriasis dan pertumbuhan serta metastasis tumor. (Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003). Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm3 (Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh. (Hicklin dan Ellis, 2005). Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan faktorfaktor anti angiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Suatu tumor avaskular bergantung pada difusi pasif untuk suplai oksigen dan makanan serta untuk pembuangan produk sisa. Hal ini membatasi ukuran tumor sampai sekitar 2 mm, yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang hipoksik akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, termasuk VEGF. Tumor juga memproduksi inhibitor endogen angiogenesis, seperti TGF-β.
Universitas Sumatera Utara
Mulanya inhibitor melebihi faktor pertumbuhan dan sel endotel tetap diam. Akan tetapi, saat tumor mampu memproduksi cukup faktor pertumbuhan dan/atau menekan ekspresi inhibitor, akan terjadi ‘angiogenic switch’ menuju proses angiogenesis (Plank dan Sleeman, 2003). ‘Angiogenic switch’ merupakan pertanda proses malignansi (Hicklin dan Ellis, 2005).
2.2.2 Angiogenesis yang Diinduksi Tumor Model terkini proses angiogenesis tumor menyarankan bahwa proses ini melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang ada dan menyatunya progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses ini meliputi berbagai kejadian yaitu proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel endotel, organisasi sel-sel endotel menjadi struktur tubular yang fungsional, maturasi pembuluh, dan regresi pembuluh (Detmar, 2000; Hicklin dan Ellis, 2005). Pada jaringan normal, kestabilan vaskular dipertahankan oleh pengaruh yang dominan dari inhibitor angiogenesis endogen terhadap stimulus
angiogenik,
sebaliknya
angiogenesis
tumor
diinduksi
oleh
peningkatan sekresi faktor angiogenik dan/atau penurunan regulasi inhibitor angiogenesis (Detmar, 2000).
Permulaan Angiogenesis Pada permulaan angiogenesis, stimulus angiogenik yang diterima menyebabkan sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang erat dengan sel sekitar akan menghilang dan mensekresi enzim proteolitik
Universitas Sumatera Utara
(protease) yang mempunyai efek mendegradasi jaringan ekstraseluler. Ada banyak jenis enzim proteolitik tersebut, tetapi secara garis besar dibagi menjadi
matrix
metalloproteases
(MMPs)
dan
plasminogen
activator
(PA)/sistem plasmin. Target awal protease adalah membran dasar. Setelah terdegradasi, sel endotel akan dapat bergerak melalui gap yang ada pada membran dasar menuju matriks ekstraseluler. Sel-sel endotel sekitar akan bergerak mengisi gap pada membran dasar dan mengikuti sel-sel endotel sebelumnya menuju matriks ekstraseluler. Karena itu, fungsi pertama faktor pertumbuhan angiogenik adalah menstimulasi produksi protease oleh sel-sel endotel. Hal ini merupakan faktor kunci pada rangkaian angiogenesis, sebab tanpa adanya aktivitas proteolitik, sel-sel endotel akan dihambat oleh membran dasar hingga tidak dapat keluar dari kapiler (pembuluh) induk (Plank dan Sleeman, 2003).
Migrasi Sel Endotel, Proliferasi dan Pembentukan Pembuluh Setelah ekstravasasi, sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik, yang akan mendegradasi matriks ekstraseluler. Sel endotel terus bergerak menjauhi pembuluh induk menuju tumor, membentuk tunas kecil. Sel endotel akan bertambah dari pembuluh induk hingga tunas memanjang. Awalnya tunas-tunas ini bergerak paralel satu sama lain, akan tetapi pada jarak tertentu dari pembuluh induk, mulai condong menuju tunas lainnya. Hal ini akan membentuk loop tertutup (anastomose), yang akan memungkinkan dimulainya sirkulasi pada pembuluh yang baru. Ini merupakan peristiwa
Universitas Sumatera Utara
penting dalam pembentukan jaringan vaskular fungsional, akan tetapi stimulus yang pasti terhadap perubahan arah tunas dan anastomosis masih belum diketahui (Plank dan Sleeman, 2003).
Fase Vaskular Dalam fase vaskular, pada angiogenesis fisiologis, ketika jaringan target telah tervaskularisasi, ekspresi faktor pertumbuhan angiogenik akan berkurang. Migrasi, proliferasi dan proteolisis sel-sel endotel akan berhenti dan pembuluh darah yang baru terbentuk mengalami proses maturasi. Ikatan yang kuat antar sel distabilkan di endotel dan sel endotel mensekresi protein (laminin, kolagen) untuk membentuk membran dasar. Akhirnya sel-sel penyokong periendotel (perisit) direkrut dan pembuluh darah baru menjadi bagian sistem vaskular yang stabil. Proses maturasi biasanya tidak terjadi pada angiogenesis tumor, karena masih tetap terdapat daerah hipoksik di dalam tumor yang tetap memproduksi faktor angiogenik. Selain itu, ketika daerah vaskularisasi yang baru pada tumor terus bertambah, akan melebihi suplai darahnya sendiri sehingga menimbulkan daerah hipoksik sendiri. Angiogenesis akan terus berlangsung dan kapiler-kapiler baru terus tumbuh, meningkatkan suplai darah ke tumor yang sekarang tumbuh pesat dan heterogen (Plank dan Sleeman, 2003). Akan
tetapi,
berlanjutnya
angiogenesis
akan
meningkatkan
pertumbuhan tumor, yang akan membutuhkan suplai darah baru. Pada tumor
Universitas Sumatera Utara
yang sangat ganas, kebutuhan akan pembuluh darah baru biasanya tidak pernah terpenuhi (Plank dan Sleeman, 2003). Kapiler tumor biasanya tidak matang dan tidak stabil karena tidak terbentuknya membran dasar, disebabkan faktor angiogenik terus diproduksi. Pembuluh baru akan berbentuk ireguler, rapuh dan berliku-liku (Plank dan Sleeman, 2003).
2.2.3 Famili VEGF Famili VEGF yang secara genetik berhubungan sebagai faktor pertumbuhan angiogenik dan limfangiogenik terdiri dari 6 glikoprotein yaitu VEGF-A (biasa disebut VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, dan placenta growth factor (PlGF) (Hicklin dan Ellis, 2005). In vivo, ekspresi VEGF-A telah menunjukkan peran kuncinya dalam vaskulogenesis fisiologik dan angiogenesis. Pada tikus, delesi homozigot dan heterozigot pada gen VEGF secara embrionik letal, menimbulkan defek pada vaskulogenesis dan abnormalitas kardiovaskular. VEGF-A juga berperan penting dalam proses angiogenik postnatal, termasuk penyembuhan luka, ovulasi, menstruasi, mempertahankan tekanan darah serta kehamilan. VEGF-A juga telah dihubungkan dengan berbagai kondisi patologis yang berkaitan dengan peningkatan angiogenesis, seperti artritis, psoriasis, degenerasi makular dan retinopati diabetik (Hicklin dan Ellis, 2005). Pada tikus, ketiadaan VEGF-B dan PlGF menunjukkan tidak ada defek pada vaskulogenesis embrionik atau abnormalitas perkembangan embrionik
Universitas Sumatera Utara
yang menyarankan bahwa peran VEGF-B dan PlGF mungkin berlebihan. Akan tetapi tidak adanya PlGF akan mengganggu angiogenesis, ekstravasasi plasma, dan pertumbuhan kolateral saat iskemia, peradangan, penyembuhan luka dan pertumbuhan tumor yang menyarankan bahwa peran PlGF pada keadaan patologis yang terjadi pada orang dewasa (Hicklin dan Ellis, 2005). Homolog VEGF yaitu VEGF-C dan VEGF-D memegang peran kunci pada limfangiogenesis saat embrionik dan postnatal. Delesi homozigot gen VEGF-C pada tikus bersifat letal embrionik dan delesi heterozigot akan menyebabkan
defek
postnatal
yang
berhubungan
dengan
defek
perkembangan limfatik. VEGF-C dan VEGF-D mungkin juga berperan dalam pertumbuhan pembuluh darah baru, terutama pada keadaan patologik seperti pertumbuhan tumor. Akan tetapi perannya pada angiogenesis tumor masih belum jelas. VEGF-E bukan homolog VEGF mamalia, tetapi protein viral yang dikode virus Orf parapoxvirus (Hicklin dan Ellis, 2005; Guang, 2007).
2.2.4 Reseptor VEGF Ligan VEGF menengahi efek angiogeniknya melalui reseptor yang berbeda. Dua reseptor diidentifikasi pada sel endotel dikenal sebagai reseptor tirosin kinase spesifik VEGFR-1 (fms-like tyrosine kinase1/Flt-1) dan VEGFR-2 (KDR/Flk-1). Saat ini VEGFR-3 (fms-like tyrosine kinase 4/Flt-4) telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan proses limfangiogenesis (Neufeld et al. 1999; Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).
Universitas Sumatera Utara
VEGFR-1 merupakan reseptor untuk VEGF-A dan mempunyai kemampuan untuk mengikat VEGF-B dan PlGF. VEGFR-1 sangat penting untuk angiogenesis fisiologik dan angiogenesis pertumbuhan. Beberapa studi juga mengindikasikan bahwa VEGFR-1 mempunyai peran fungsional positif pada beberapa tipe sel, yang berpartisipasi pada migrasi monosit, rekrutmen progenitor sel endotel, meningkatkan sifat adesif sel-sel natural killer, dan menginduksi faktor pertumbuhan dari sel-sel sinusoidal hati (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006). Studi oleh Autiero dkk. menunjukkan aktivasi VEGFR-1 oleh PlGF menyebabkan transfosforilasi VEGFR-2 pada sel endotel sehingga terjadi koekspresi terhadap reseptor tersebut. Studi lain menunjukkan bahwa pada kondisi patologik seperti tumorigenesis, VEGFR-1 merupakan regulator angiogenesis yang positif dan poten. Bukti terakhir menyarankan fungsi VEGFR-1 berbeda sesuai tahap perkembangan, berbagai kondisi patologik dan fisiologik, dan tipe sel dimana dia diekspresikan (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006). VEGFR-2
menengahi
mayoritas
efek
akhir
VEGF-A
pada
angiogenesis, termasuk permeabilitas mikrovaskular, proliferasi, invasi, migrasi dan survival sel endotel. Aktivasi spesifik VEGFR-2 dengan VEGF-E telah menunjukkan aktivitas sel endotel yang poten in vitro dan in vivo, dengan kuat menyokong gagasan bahwa aktivasi VEGFR-2 sendiri dapat secara
efisien
menstimulasi
angiogenesis.
Seperti
telah
dijelaskan
sebelumnya, aktivasi dan sinyal VEGFR-2 dapat secara positif atau negatif
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi ko-ekspresi dan aktivasi VEGFR-1 (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006; Tabernero, 2007). VEGFR-3 adalah reseptor tirosin kinase yang berasal dari klon lapisan sel leukemia dan plasenta manusia. VEGFR-3 condong berikatan dengan VEGF-C dan VEGF-D. VEGFR-3 diekspresikan melalui vaskulatur embrionik, tapi saat perkembangan dan ketika dewasa, ekspresinya terbatas pada selsel endotel limfatik. Pada manusia dewasa, VEGFR-3 dipercaya mempunyai berbagai peran : membantu perkembangan kardiovaskular dan pembentukan jaringan
vaskular
primer
saat
embriogenesis,
dan
memfasilitasi
limfangiogenesis ketika dewasa. Aktivasi dan peningkatan regulasi ligan VEGFR-3 telah diobservasi pada beberapa neoplasma, seperti kanker payudara dan melanoma, dengan peningkatan level VEGF-C dan VEGF-D yang berhubungan dengan metastase kelenjar limfe pada pasien. Inhibisi sinyal VEGFR-3 dengan menggunakan VEGFR-3 solubel menunjukkan pengurangan limfangiogenesis dan metastase kelenjar limfe tumor (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).
2.2.5 Peran VEGF Pada Angiogenesis Vascular Endothelial Growth Factor merupakan golongan faktor angiogenik terbaik. Telah jelas ditemukan bahwa VEGF adalah kekuatan utama dibalik angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh darah. Tiga aktivitas pokok sel endotel dalam angiogenesis yaitu sekresi protease, migrasi dan proliferasi. VEGF mampu memicu ketiga proses
Universitas Sumatera Utara
tersebut dan bekerja secara spesifik pada sel endotel (VEGFR secara eksklusif terekspresi pada sel endotel). VEGF juga bertindak sebagai faktor survival sel endotel dengan menghambat apoptosis. (Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003). Fungsi VEGF pada sel endotel yaitu meningkatkan permeabilitas vaskular 50.000 kali lebih poten dari histamin. VEGF mengaktivasi sel endotel dengan efek perubahan morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel endotel. VEGF bersifat mitogen terhadap sel endotel yang menyebabkan proliferasi sel. VEGF juga menginduksi berbagai enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi membran dasar, yang berguna bagi sel endotel untuk migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting pada angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005). Permeabilitas VEGF sebenarnya ditemukan karena kemampuannya membuat vena dan vena kecil hiperpermeabel terhadap molekul makro dalam sirkulasi, sehingga pertama kali disebut sebagai vascular permeability factor (VPF). Faktanya VEGF salah satu penginduksi permeabilitas vaskular yang paling poten, 50.000 kali lebih poten dari histamin. Kemampuannya untuk meningkatkan permeabilitas mikrovaskular merupakan salah satu peran yang paling
penting
untuk
VEGF,
terutama
dengan
mempertimbangkan
hipermeabilitas pembuluh tumor yang diperkirakan berperan besar untuk ekspresi VEGF pada sel-sel tumor (Hicklin dan Ellis, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme pasti bagaimana VEGF meningkatkan permeabilitas mikrovaskular belum sepenuhnya jelas. Studi terakhir menyarankan bahwa VEGF menginduksi permeabilitas mungkin dimediasi via jalur calcium dependent yang melibatkan produksi oksida nitrat dan aktivasi jalur Akt dan peningkatan cGMP, dengan aktivasi jalur Erk1/2 dengan cara stimulasi prostaglandin PGI2 (Hicklin dan Ellis, 2005).
Aktivasi Sel Endotel VEGF menghasilkan berbagai efek yang berbeda pada sel-sel endotel dan endotel vaskular. Efek-efek tersebut termasuk perubahan dalam morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan stimulasi pertumbuhan dan migrasi sel endotel. VEGF menyebabkan peningkatan ekspresi berbagai gen-gen sel endotel yang berbeda, termasuk faktor jaringan prokoagulan; protein jalur fibrinolitik, termasuk urokinase, aktivator plasminogen tipe jaringan, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, dan urokinase inhibitor; matrix metalloprotease; GLUT-1 transporter glukosa; sintase oksida nitrat; integrin; dan berbagai mitogen (Hicklin dan Ellis, 2005).
Survival VEGF pertama kali tampak bekerja sebagai faktor survival pada sel-sel endotel retina, dan sekarang telah menunjukkan kerjanya dalam menyokong survival beberapa macam sel-sel endotel baik in vitro dan in vivo. In vitro, telah
menunjukkan
bahwa
VEGF
menghambat
apoptosis
dengan
Universitas Sumatera Utara
mengaktivasi jalur PI3K-Akt
yang juga meningkatkan regulasi protein
antiapoptotik seperti bcl-2 dan A1; hal ini akan menhambat aktivasi caspase, dan meningkatkan regulasi anggota famili penghambat apoptosis termasuk survivin dan XIAP. VEGF juga mengaktivasi focal adhesion kinase (FAK) dan protein
yang
berhubungan
yang
telah
menunjukkan
kerjanya
mempertahankan sinyal survival sel-sel endotel (Hicklin dan Ellis, 2005). In vivo, injeksi VEGF eksogen dapat mempertahankan pembuluh retina yang belum matang dari kerusakan, dan ketergantungan terhadap VEGF telah didapati pada sel-sel endotel pembuluh tumor yang baru terbentuk, tetapi tidak didapati pada pembuluh tumor yang telah stabil (Hicklin dan Ellis, 2005). Proliferasi VEGF adalah suatu mitogen bagi sel-sel endotel. Proliferasi sel endotel ini tampaknya melibatkan aktivasi Erk1/2 kinase yang dimediasi VEGFR-2. Aktivitas mitogenik VEGF mungkin juga melibatkan jalur protein kinase C, yang sebagian diregulasi oleh oksida nitrat. Walau peran mitogen VEGF penting bagi sel endotel, penting dicatat bahwa faktor angiogenik lain peran mitogennya bagi sel endotel lebih baik. Akan tetapi faktor angiogenik lain aktivitas pluripotennya kurang dibandingkan VEGF untuk proses-proses lainnya dalam angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Invasi dan Migrasi Degradasi membran dasar dibutuhkan untuk migrasi dan invasi sel endotel dan merupakan langkah awal yang penting dalam memulai angiogenesis. VEGF menginduksi berbagai macam enzim dan protein yang penting
untuk
proses
degradasi,
termasuk
matrix
degrading
metalloproteinases, metalloproteinase interstitial collagenase, dan serin protease seperti urokinase-type plasminogen activator (uPA) dan tissue-type plasminogen activator (TTPA). Aktivasi bahan-bahan tersebut mengarah ke lingkungan yang prodegradasi yang memfasilitasi migrasi dan pertunasan sel endotel (Hicklin dan Ellis, 2005). Mekanisme intraselular dimana VEGF menyebabkan peningkatan migrasi sel endotel belum sepenuhnya dimengerti, tetapi tampaknya melibatkan sinyal yang berhubungan dengan FAK yang menyebabkan pergantian adhesi fokal dan organisasi filamen actin serta reorganisasi actin yang diinduksi MAPK p38. Sebagai tambahan, telah diusulkan bahwa oksida nitrat juga berperan penting dalam migrasi sel endotel yang diinduksi VEGF. Oksida nitrat telah diimplikasikan dalam proses podokinesis sel endotel dan aktivasi sintase oksida nitrat endotel yang tergantung pada Akt yang dibutuhkan pada proses migrasi sel yang diinduksi VEGF (Hicklin dan Ellis, 2005).
2.2.6 Regulasi VEGF
Universitas Sumatera Utara
Berbagai mekanisme dapat meregulasi ekspresi VEGF, yang paling penting adalah hipoksia. Studi menunjukkan hypoxia inducible factor-1(HIF-1) adalah mediator utama terhadap respon hipoksia tersebut. Berbagai studi menunjukkan bahwa berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dapat meregulasi
ekspresi
faktor
angiogenik
pada
sel-sel
tumor
hingga
menginduksi angiogenesis secara tidak langsung, seperti EGFR dan HER2, platelet-derived growth factor (PDGFs) dan COX-2. Beberapa onkogen berperan dalam regulasi VEGF, seperti c-src, BCR-ABL, dan ras. Gen supresor tumor p53 berperan penting dalam regulasi VEGF. Perubahan genetik yang terjadi pada p53 akan meningkatkan ekspresi VEGF (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005).
Hipoksia Hipoksia berperan penting dalam regulasi ekspresi VEGF. Studi menunjukkan hypoxia inducible factor-1 (HIF-1) adalah mediator utama terhadap respon hipoksia tersebut dan produk gen supresor tumor von Hippel Landau (vHL) juga berperan penting. Pada kondisi normal, HIF-α akan segera diturunkan melalui jalur proteosom-ubiquitin, suatu proses yang dikontrol oleh produk gen supresor tumor vHL. Dalam kondisi hipoksia, atau saat ketiadaan/bermutasinya vHL, HIF-α akan berdimerisasi dengan HIF-β, dan kompleks ini bertranslokasi ke nukleus dan berikatan dengan promotor VEGF, menyebabkan peningkatan transkripsi VEGF (Neufeld et al. 1999; Kerbel, 2000; Hicklin dan Ellis, 2005, Tabernero, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Faktor Pertumbuhan dan Sitokin Beberapa studi telah menunjukkan bahwa faktor pertumbuhan dan sitokin dapat meregulasi ekspresi faktor angiogenik pada sel tumor sehingga secara tidak langsung menginduksi angiogenesis. Pentingnya sistem epidermal growth factor receptor (EGFR;ErbB1) dan HER2/neu (ErbB2) dalam regulasi
VEGF dan angiogenesis telah divalidasi pada beberapa
sistem tumor, termasuk karsinoma kolon, kanker pankreas, kanker lambung, kanker payudara, glioblastoma multiforme, kanker paru, dan karsinoma sel renal (Neufeld et al. 1999; Hicklin dan Ellis; 2005; Tabernero, 2007). Insulin-like growth factor-I receptor (IGF-IR) sering overekspresi pada beberapa kanker manusia, dan telah dihubungkan dengan agresivitas penyakit dan pembentukan metastase. Sistem model eksperimental telah menunjukkan
pentingnya
aktivasi
sistem
IGF-IR
dalam
menengahi
angiogenesis dengan meningkatkan regulasi ekspresi VEGF pada kanker payudara, endometrium, pankreas dan kolorektal (Hicklin dan Ellis, 2005). Keluarga angiogenesis
in
platelet-derived vivo
dengan
growth
factors
meregulasi
(PDGFs)
survival
sel
memodulasi endotel
dan
pengambilan perisit/sel otot lunak vaskular, juga dengan menginduksi VEGF melalui beberapa sistem. Kerusakan sinyal paracrine PDGF receptor-alpha (PDGFR-α) di antara sel tumor dan fibroblas stroma pada suatu model sel tumor akan menghambat angiogenesis tumor dan pertumbuhan tumor. Temuan ini menunjukkan bahwa sinyal PDGFR-α penting dalam rekrutmen
Universitas Sumatera Utara
fibroblas stroma yang dihasilkan VEGF, dan menunjukkan pentingnya VEGF host untuk mempertahankan angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005). Prostaglandin berperan penting dalam berbagai proses biologis, dan prostaglandin tertentu saat ini mempunyai implikasi dalam angiogenesis tumor
melalui
peningkatan
regulasi
ekspresi
VEGF.
Prostaglandin-
endoperoxide synthase (juga dikenal dengan cyclooxigenase [COX]) merupakan enzim terbatas yang terlibat dalam transformasi oksidatif asam arakidonat menjadi berbagai senyawa prostaglandin (Hicklin dan Ellis, 2005; Soo et al. 2005). Dalam dekade terakhir, berbagai studi telah mengkonfirmasi hubungan
antara overekspresi COX-2 dan
dan progresi tumor serta
peningkatan angiogenesis (ekspresi VEGF) pada berbagai keganasan solid seperti kanker lambung, colon, prostat, payudara dan pankreas. Sebagai tambahan, beberapa studi in vivo menunjukkan COX-2 menengahi ekspresi VEGF pada berbagai lapisan sel, akan tetapi hal ini kemungkinan bergantung pada jenis tumor, karena penghambat COX-2 tidak mempunyai efek pada semua jenis tumor (Hicklin dan Ellis, 2005).
Onkogen dan Gen Supresor Tumor Banyak onkogen telah mempunyai implikasi pada proses angiogenesis tumor
solid,
sebagian
karena
kemampuannya
menginduksi
faktor
pertumbuhan angiogenik seperti VEGF. Protoonkogen c-src mengkode protein tyrosine kinase, yang terlibat dalam regulasi ekspresi VEGF dan dalam memajukan neovaskularisasi tumor yang sedang tumbuh. Onkogen
Universitas Sumatera Utara
BCR-ABL
telah diidentifikasi mempunyai peran kunci dalam patogenesis
molekular leukemia, yang telah dipertimbangkan sebagai keganasan yang tergantung pada angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005). Ekspresi onkogen Ras mutan merupakan salah satu perubahan genetik yang paling banyak terdeteksi, dan induksi ekspresi VEGF oleh onkogen H atau K ras mutan telah dilaporkan pada berbagai macam sel seperti kanker pankreas, kanker kolon dan kanker paru non small cell. Aktivasi ras juga bagian dari rangkaian sinyal yang diawali beberapa reseptor faktor pertumbuhan seperti EGFR, dan mungkin merupakan satu jalur sinyal penting
dalam angiogenesis yang diinduksi faktor pertumbuhan serta
ekspresi VEGF (Hicklin dan Ellis, 2005). Salah satu gen supresor tumor yang paling intensif dipelajari dalam patologi molekular keganasan solid adalah p53, dan beberapa studi telah menunjukkan bahwa p53 mempunyai peran penting dalam regulasi VEGF pada tumor ganas. Perubahan genetik gen-gen supresor tumor , seperti p53, PTEN dan vHL dapat menginduksi aktivitas HIF-1 dalam jaringan tumor menyebabkan peningkatan VEGF (Neufeld et al. 1999; Hicklin dan Ellis, 2005).
2.2.7 Ekspresi VEGF Strauss et al pada penelitiannya menemukan ekspresi VEGF-A, VEGF-C dan VEGF-D pada tumor ganas rongga mulut, sinus maksila, lidah,
Universitas Sumatera Utara
gingiva dan mandibula adalah sebanyak 83%, 45% dan 56% dibandingkan dengan sampel jaringan normal yaitu 0%, 10% dan 0% (Strauss et al, 2005). Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan prognosis buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk tumor sinus maksila, tumor lidah, gingiva dan mandibula, karsinoma kolorektal, karsinoma lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan melanoma, acute myeloid leukemia, karsinoma hepar dan kanker ovarium (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005; Strauss et al, 2005). 2.2.8 Anti VEGF Karena
peran
sentralnya
dalam
angiogenesis
tumor,
jalur
VEGF/VEGFR telah menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi (Hicklin dan Ellis, 2005). Berbagai strategi untuk anti VEGF telah dikembangkan, termasuk antibodi yang menetralisir VEGF atau VEGFR, hibrida VEGF / VEGFR yang terlarut, inhibitor tirosin kinase terhadap VEGFR, agen yang menghambat sinyal VEGFR (Rosen, 2002; Ferrara et al. 2004; Hicklin dan Ellis, 2005). Dari beberapa penelitian telah disimpulkan kombinasi anti VEGF dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan
efek
antitumor
yang
lebih
baik
daripada
pemberian
kemoterapi/radioterapi sendiri. Antibodi anti VEGF bevacizumab (dikombinasi dengan kemoterapi) merupakan agen anti VEGF pertama yang disetujui FDA sebagai lini pertama untuk terapi kanker kolorektal disertai metastase (Ferrara et al. 2004; Hicklin dan Ellis, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Ketergantungan
pertumbuhan
dan
metastasis
tumor
terhadap
pembuluh darah menyebabkan angiogenesis tumor menjadi target rasional untuk
terapi.
Berbagai
strategi
telah
dilakukan
untuk
menghambat
neovaskularisasi dan/atau menghancurkan pembuluh tumor yang telah ada, termasuk target langsung pada sel-sel endotel, dan target tidak langsung dengan menghambat pelepasan faktor-faktor pertumbuhan proangiogenik oleh sel-sel kanker atau stroma. Penambahan antibodi spesifik VEGF, bevacizumab terhadap regimen sitotoksik, telah meningkatkan overall survival (OS) pada pasien-pasien kanker kolorektal dan kanker paru yang belum mendapat terapi dan pada pasien kanker kolorektal yang telah diterapi sebelumnya, dan juga telah meningkatkan progression-free survival (PFS) pada pasien kanker payudara yang belum mendapat terapi. Pemberian terapi tunggal menggunakan regimen multitarget yang mempunyai spektrum yang lebih luas (sorafenib) dalam menghambat efek reseptor VEGF serta beberapa jalur faktor pertumbuhan pada sel kanker telah menghasilkan perpanjangan PFS yang signifikan pada pasien kanker sel renal dan tumor stromal gastrointestinal. Selain itu, beberapa bahan dengan target pada jalur sinyal onkogenik (seperti antibodi spesifik EGFR / HER2 cetuximab atau trastuzumab) yang secara tidak langsung menghambat angiogenesis, telah menunjukkan peningkatan OS dengan kemoterapi dalam uji klinis dan telah diizinkan penggunaannya pada manusia di Eropa dan Amerika (Jain, et al. 2006; Homsi dan Daud, 2007; Tabernero, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Radioterapi merupakan modalitas terapi yang penting untuk kanker kepala dan leher. Pada suatu studi preklinik, produksi VEGF oleh sel tumor dapat diinduksi oleh radiasi, dan VEGF sebaliknya akan melindungi sel-sel endotel dari efek mematikan radiasi. Secara in vivo pemberian antibodi anti VEGF
dengan radioterapi akan menghasilkan
efek antitumor tambahan
pada xenograft tumor manusia. Temuan ini menyokong kemungkinan terganggunya hubungan parakrin antara tumor dan endotel yang dapat meningkatkan efikasi radioterapi.
Universitas Sumatera Utara