BAB 2 TEORI DASAR
2.1 Metode Geologi Metode geologi yang dipakai adalah analisis peta geologi regional dan lokal dari daerah penelitian. Untuk peta geologi regional, peta yang dipakai adalah peta geologi regional lembar Padang (Gafoer dkk., 1996). Sedangkan untuk peta geologi lokal, digunakan peta geologi detail daerah Bonjol (Pusat Sumber Daya Geologi, 2007). Dari peta geologi regional, kita dapat mengetahui tatanan geologi regional yang dipakai sebagai acuan terhadap tatanan geologi daerah penelitian. Dari peta geologi lokal, kita memperoleh data mengenai tatanan struktur dan stratigrafi yang nantinya dapat dipakai untuk memperkirakan keberadaan sistem panas bumi di daerah penelitian. Sistem panas bumi tersusun oleh beberapa parameter, yaitu: sumber panas (heat source), reservoar, batuan penutup (cap/seal rock), sumber fluida, dan siklus hidrologi. Sistem ini erat dengan mekanisme pembentukan magma dan kegiatan vulkanisme. Oleh karena itu, keberadaan sistem ini tertentu posisinya, seperti di sepanjang zona vulkanik punggungan pemekaran benua dan di atas zona subduksi. Keberadaan suatu sistem panas bumi di permukaan dapat diidentifikasi dengan adanya manifestasi permukaan yang dapat berupa mata air panas, solfatara, fumarola, dan batuan ubahan hasil interaksi fluida panas dengan batuan sekitarnya. Panas pada sistem panas bumi ditransfer ke permukaan melalui 3 cara: konduksi, konveksi, dan radiasi. Transfer panas melalui bahan akibat adanya interaksi partikel penyusun batuan tersebut tanpa ada perpindahan massa partikel batuan disebut transfer panas konduksi. Transfer panas yang diikuti dengan perpindahan massa partikel batuan disebut transfer panas konveksi. Sedangkan panas yang dihasilkan oleh peluruhan alami unsur radioaktif dalam mantel adalah transfer panas radiasi. Litologi dari sumber panas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besar panas yang dihasilkan dalam suatu sistem panas bumi. Pada umumnya, sumber panas bumi di Indonesia adalah batuan beku dengan derajat pembentukan batuan beku yang berbeda-beda. Reservoar panas bumi umumnya berupa lapisan batuan hasil interaksi kompleks dari proses tektonik aktif. Reservoar panas bumi yang produktif memiliki permeabilitas tinggi, geometri reservoar yang besar, dan kandungan fluida yang tinggi. Intensitas proses tektonik aktif 4
yang tinggi menyebabkan permeabilitas pada reservoar panas bumi dapat berupa rekahan (fracture) yang saling berhubungan. Dengan demikian, litologi reservoar panas bumi dapat berupa apapun dengan syarat memiliki permebilitas yang baik. Batuan penutup suatu sistem panas bumi yang baik memiliki permeabilitas rendah, sehingga dapat menahan panas atau fluida yang terdapat di reservoar. Pada umumnya litologi batuan penutup dapat berupa aliran batuan vulkanik, batuan sedimen berbutir halus, ataupun batuan yang permeabilitasnya berkurang akibat pengendapan mineral dari fluida panas. Sistem panas bumi ini dikategorikan menjadi tiga jenis sistem (Hochstein dan Browne, 2000), yaitu: 1. Sistem hidrotermal, merupakan proses transfer panas dari sumber panas ke permukaan secara konveksi, yang melibatkan fluida meteorik dengan atau tanpa jejak dari fluida magmatik. Daerah rembesan berfasa cair dilengkapi air meteorik yang berasal dari daerah resapan. Sistem ini terdiri atas: sumber panas, reservoar dengan fluida panas, daerah resapan, dan daerah rembesan panas berupa manifestasi. 2. Sistem vulkanik, merupakan proses transfer panas dari dapur magma ke permukaan melibatkan konveksi fluida magma. Pada sistem ini jarang ditemukan adanya fluida meteorik. 3. Sistem vulkanik-hidrotermal, merupakan kombinasi dua sistem di atas, yang diawali dengan air magmatik yang naik kemudian bercampur dengan air meteorik. Temperatur suatu sistem panas bumi diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan temperatur reservoar (Hochstein dan Browne, 2000), yaitu: •
Temperatur tinggi (temperatur reservoar >225°C)
•
Temperatur sedang/intermedier (temperatur reservoar 125°C-225°C)
•
Temperatur rendah (temperatur reservoar <125°C)
2.2 Metode Geofisika Metode geofisika diterapkan untuk mengetahui sifat-sifat fisik batuan yang ada di bawah permukaan. Adanya anomali dari sifat fisik batuan dapat kita gunakan untuk memperkirakan keberadaan sistem panas bumi bawah permukaan. Pada interpretasi data geofisika, kita akan berhadapan dengan masalah ambiguitas, yaitu adanya beberapa fenomena geologi yang berbeda namun menghasilkan data geofisika yang 5
serupa. Ambiguitas ini menyebabkan suatu metode geofisika tidak dapat dipakai untuk melakukan interpretasi keadaan geologi tanpa adanya bantuan metode geofisika yang lain. Dalam penelitian ini, ada 2 metode geofisika yang digunakan berupa metode gravitasi (gaya berat) dan resistivitas (geolistrik).
2.2.1 Metode Gravitasi Metode gravitasi merupakan usaha dalam menggambarkan bentuk struktur geologi bawah permukaan berdasarkan variasi medan gravitasi yang ditampilkan oleh perbedaan densitas antarbatuan. Variasi densitas ini digunakan untuk menginterpretasi posisi lateral dari batuan yang berpotensi sebagai sumber panas. Namun, metode ini tidak dapat menentukan litologi dari sumber panas tersebut. Metode ini mengukur besar dari gaya gravitasi di permukaan bumi, yang didasarkan pada persamaan hukum Newton sebagai berikut:
g = G×
M R2
Keterangan: g
= gaya gravitasi di permukaan bumi ( 1 m/detik2 = 100 cm/detik2 =105 mGal)
M = massa bumi (kg) R
= radius bumi (m)
G
= konstanta (6.67 x 10-11 N.m2.kg-2)
Dari persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa besar gaya gravitasi di permukaan bumi tergantung dari posisi pengukuran terhadap pusat bumi (lintang, bujur, dan ketinggian) karena morfologi permukaan bumi yang bervariasi akan memberikan jarak yang berbeda terhadap pusat bumi. Namun, pada prakteknya besar gaya gravitasi hasil pengukuran dapat berbeda jauh dari hasil perhitungan. Hal ini dapat disebabkan oleh suatu zona massa bawah permukaan yang memberikan gangguan medan gravitasi, yang disebut juga dengan anomali gravitasi. Sebagai contoh, batuan dengan densitas yang jauh lebih rendah dari batuan sekitarnya akan menyebabkan anomali gaya gravitasi di daerah tersebut. Adanya anomali gravitasi ini dapat digunakan untuk memperkirakan kondisi batuan dan struktur bawah permukaan sehingga membantu untuk memperkirakan keberadaan sistem panas bumi di daerah tersebut.
6
Dalam prakteknya, nilai gravitasi hasil pengukuran di lapangan harus diolah terlebih dahulu dengan beberapa koreksi sampai dapat diinterpretasi. Secara umum terdapat dua jenis koreksi, yaitu koreksi internal dan koreksi eksternal. Koreksi internal terdiri dari kalibrasi gravimeter, koreksi pegas, dan koreksi pasang-surut. Koreksi eksternal terdiri dari koreksi lintang/elipsoid, koreksi udara bebas (free air), koreksi Bougeur, dan koreksi topografi (terrain). A. Koreksi internal, meliputi: 1. Kalibrasi gravimeter Kalibrasi gravimeter dilakukan untuk mencegah kesalahan pembacaan. Koreksi ini dilakukan dengan cara mengikat satu titik di lapangan penelitian dengan titik referensi. Cara mengikat titik ini adalah dengan mengukur gravitasi di titik lapangan kemudian mengukur di titik referensi dengan gravimeter yang sama. Hal ini dilakukan berulang kali dalam 1 hari. Nilai bacaan yang diperoleh di kedua titik kemudian dibandingkan sehingga nilai bacaan yang benar di titik lapangan dapat ditentukan. 2. Koreksi pasang surut (tidal correction) Efek pasang surut yang seiring dengan perubahan posisi relatif benda-benda langit seperti bumi, bulan, dan matahari akan mempengaruhi pembacaan nilai gravitasi pada titik pengukuran. Untuk koreksi ini digunakan software berbasis bahasa FORTRAN dengan menggunakan formula Longman (1959). 3. Koreksi pegas (drift correction) Koreksi ini digunakan untuk mengkoreksi hasil bacaan pegas akibat adanya kelelahan pegas (fatique). Secara umum, sejalan dengan berjalannya waktu maka mesin akan semakin panas mengakibatkan pegas akan makin lelah dan merenggang, Hal ini akan menghasilkan data pengukuran yang tidak akurat. Untuk itu, pada akhir pengukuran dilakukan pengukuran kembali pada titik awal. Dari hasil pengukuran tersebut dapat dibuat grafik dari perubahan nilai gravitasi akibat perenggangan pegas terhadap waktu. Umumnya nilai pembacaan gravitasi adalah linear terhadap nilai waktu. B. Koreksi eksternal, meliputi: 1. Koreksi lintang/elipsoid (latitude correction) 7
Bumi tidak sepenuhnya bulat, sehingga diperlukan koreksi lintang/elipsoid. Koreksi ini merupakan nilai gravitasi elipsoid bumi berdasarkan kedudukan titik pengamatan pada elipsoid bumi. Koreksi ini juga untuk mengurangi efek rotasi bumi. Rumusnya adalah sebagai berikut: gØ (Wolfgang, 1989) = 978.03185 ( 1 + 0.005278895 * sin2 θ + 0.000023462 * sin4 θ) Keterangan: gØ
= nilai gravitasi lintang/elipsoid bumi (mGal)
θ
= kedudukan lintang titik observasi
2. Koreksi udara bebas (free air correction) Koreksi ini merupakan perbaikan perubahan nilai elevasi antarstasiun pengukuran gravitasi atau koreksi nilai gravitasi akibat adanya jarak vertikal dari titik pengukuran terhadap muka laut rata-rata. Koreksi udara bebas (FAC) dirumuskan sebagai berikut: FAC (Wolfgang, 1989) = - 0.3086 * h Keterangan: FAC
= koreksi udara bebas (mGal)
h
= elevasi titik observasi (meter)
3. Koreksi Bouguer Koreksi Bouguer adalah koreksi untuk seluruh efek gravitasi disebabkan sejumlah massa di atas muka laut rata-rata dan di bawah stasiun pengukuran yang tidak diperhitungkan oleh koreksi udara bebas. Koreksi Bouguer (BC) dirumuskan sebagai berikut: BC (Wolfgang, 1989) = 2h ρ Gh = 0.04187 * ρ * h Keterangan: BC
= koreksi Bouguer (mGal)
G
= 6.67 x 10-9 (satuan Cgs)
ρ
= perkiraan densitas batuan (g/cm3)
h
= elevasi titik observasi (meter)
4. Koreksi topografi (terrain correction)
8
Pada kenyataannya di lapangan, observasi gravitasi pada suatu stasiun pengukuran terletak di atas permukaan yang tidak rata. Oleh karena itu, diperlukan koreksi perubahan nilai gravitasi akibat kondisi dataran sekitar titik pengukuran, misalnya kontur yang sangat kasar. Nilai koreksi topografi ini (TC) dapat diperoleh dari tabel Hammer. Untuk memperoleh nilai anomali Bouguer yang dapat diinterpretasikan, data-data pengukuran gravitasi di lapangan diolah dengan mengikutsertakan koreksi internal dan eksternal. Nilai anomali Bouguer atau Complete Bouguer Anomaly (CBA) dihitung dengan menggunakan rumus: CBA (Wolfgang, 1989) = gObs – (gØ + FAC + BC-TC) Keterangan: CBA
= nilai anomali Bouguer (mGal)
gObs
= nilai pengukuran gravitasi di lapangan (mGal)
gØ
= koreksi lintang/elipsoid (mGal)
FAC
= koreksi udara bebas (mGal)
BC
= koreksi Bouguer (mGal)
TC
= koreksi topografi (mGal)
Dari pengolahan data reduksi di atas, diperoleh hasil akhir berupa anomali Bouguer lengkap (Complete Bouguer Anomaly). Data CBA ini diolah dengan menggunakan program Surfer 8 untuk mendapatkan peta penyebaran anomali Bouguer lengkap daerah penelitian. Peta penyebaran anomali Bougeur lengkap ini kemudian diolah lagi pada program Surfer 8 menggunakan metode polinomial orde 2 untuk mendapatkan peta penyebaran nilai anomali regional pada daerah tersebut. Hasil pengurangan antara nilai anomali Bouguer dengan nilai anomali regional akan menghasilkan nilai anomali sisa/residual. Nilai anomali residual ini mencerminkan distribusi gravitasi secara lokal di daerah tersebut. Dari nilai anomali residual ini kita dapat melakukan interpretasi terhadap kondisi geologi dibawah permukaan, seperti adanya sesar serta keberadaan sumber panas dari suatu sistem panas bumi.
2.2.2 Metode Resistivitas
9
Prinsip dari metode resistivitas atau disebut juga metode geolistrik adalah menginjeksikan arus ke dalam bumi dan mengukur beda potensial pada titik-titik tertentu. Harga beda potensial yang terukur bergantung pada sifat kelistrikan batuan yang ada. Dalam pengukuran tahanan jenis yang sebenarnya diasumsikan bahwa medium yang dialiri arus adalah medium yang bersifat homogen dan isotropik. Namun seperti yang kita ketahui bahwa bumi pada kenyataannya terdiri dari lapisan-lapisan bersifat inhomogen dan anisotropik dengan tahanan jenis yang berbeda-beda. Oleh karena itu, harga tahanan jenis yang terukur dari metode ini adalah harga tahanan jenis (resistivitas) semu yang mewakili nilai resistivitas sebenarnya. Persamaan yang digunakan untuk menghitung besar tahanan jenis batuan adalah : R=ρ
L A
Keterangan: R
= tahanan jenis (ohm)
L
= panjang (m)
A
= luas (m2)
ρ
= konstanta (Ohm meter)
(Telford dkk., 1990)
Resistivitas batuan dapat kita pergunakan untuk memperkirakan lebih lanjut sifat-sifat dari batuan tersebut. Batuan dengan resistivitas rendah dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut mengandung material konduktif (mineral logam) atau mengandung fluida (air) yang mengindikasikan bahwa batuan tersebut memiliki porositas yang baik dan dapat diinterpretasikan sebagai zona reservoar dalam suatu sistem panas bumi. Pada penelitian ini diperoleh data resistivitas yang diukur dengan menggunakan metode/konfigurasi Schlumberger (Gambar 2.3). Data resistivitas batuan akan diolah menjadi dua bagian penting, yaitu pemetaan (mapping) dan penampang (sounding) resistivitas. Data mapping dipakai untuk membuat peta penyebaran resistivitas batuan secara lateral pada beberapa kedalaman tertentu. Sedangkan data sounding dipakai untuk mengetahui penyebaran resistivitas batuan secara vertikal pada beberapa tempat.
10
Gambar 2.1 Bentuk konfigurasi Sclumberger (Reynolds, 1997 op. cit. Azhar dan Handayani, 2004)
Pada elektroda A dan B dialirkan arus I, sedangkan nilai beda potensial ΔV diukur dari elektroda M dan N. Besar resistivitas dapat dihitung dari persamaan: ρ = k * ΔV/I Keterangan: ρ
= resistivitas semu (Ohm meter)
k
= faktor geometri
ΔV
= beda potensial (Volt)
I
= arus listrik yang dipakai (Ampere)
(Telford, 1978)
Besar jarak antara A ke B dan konfigurasi elektroda yang dipakai menentukan kedalaman observasi. Metode resistivitas dengan konfigurasi Schlumberger mempunyai kedalaman penyebaran resistivitas lateral batuan maksimal hanya 1/3 dari panjang jarak elektroda terjauh. Lebih dalam dari itu maka tingkat akurasinya diragukan atau tidak akurat lagi. Sebagai contoh untuk jarak AB 1000 meter maka kedalaman maksimal yang dapat dihitung adalah 500 meter (AB/2 = 500) dan keakuratan hasil observasi maksimal hanya sampai kedalaman ±350 meter. Untuk pemetaan (mapping), umumnya dipakai kedalaman observasi AB/2 = 250 m, AB/2 = 500 m, AB/2 = 750 m, dan AB/2 = 1000 m. Sedangkan untuk penampang (sounding), pada penelitian ini dipakai kedalaman observasi dengan menaikkan jarak AB/2 secara logaritmik. Semakin besar
11
AB/2, semakin dalam jangkauan arus, sehingga informasi yang diperoleh semakin dalam, tapi arus yang diperlukan juga semakin besar.
2.3 Metode Geokimia Tujuan metode geokimia digunakan dalam penelitian eksplorasi panas bumi adalah untuk mengkaji kemungkinan pengembangan sumber daya panas bumi. Data yang sering digunakan dalam metode geokimia adalah data kimia manifestasi air panas, data isotop, data kimia tanah dan gas tanah. Data tersebut digunakan untuk mengkaji kemungkinan pengembangan sumber daya panas bumi yang meliputi berbagai parameter seperti (Lawless, 1996): •
Ukuran sumber daya (Resource Size)
•
Perkiraan temperatur reservoir (Resource Temperature)
•
Permeabilitas formasi (Formation Permeability) Dalam penelitian ini, analisis geokimia dibutuhkan dalam penentuan tipe fluida panas
bumi dan perhitungan suhu pada reservoar panas bumi di bawah permukaan. Penentuan tipe fluida panas bumi adalah dengan menggunakan diagram plot segitiga Cl-SO 4 -HCO 3 (Giggenbach, 1988, op cit Nicholson, 1993). Sedangkan perhitungan suhu pada reservoar panas bumi menggunakan metode geotermometer. Data kimia yang diperlukan dalam penentuan tipe fluida reservoar adalah kandungan relatif dari unsur klorida (Cl), bikarbonat (HCO 3 ), dan sulfat (SO 4 ). Metode yang dilakukan adalah dengan menghitung persentase kandungan relatif dari ketiga unsur di atas. Persentase ketiga unsur tersebut kemudian diplot ke dalam diagram segitiga Cl-HCO 3 -SO 4 . Dalam menghitung temperatur reservoar maka metode yang digunakan adalah geotermometer dari data manifestasi permukaan berupa air panas. Geotermometer didasarkan pada variasi kandungan beberapa unsur dalam fluida panas bumi yang hadir sebagai fungsi dari temperatur. Unsur-unsur tersebut dapat berwujud padat, gas, atau berupa isotop. Kebanyakan geotermometer didasarkan pada suatu reaksi persamaan kimia yang tertentu. Air klorida merupakan tipe air yang baik digunakan dalam mengaplikasikan metode geotermometer dikarenakan pH-nya netral dan mata air yang natural tidak mengalami mixing dengan fluida lain.
12
13