BAB 2 STUDI PUSTAKA
2.1
Karakteristik Lalu Lintas
2.1.1 Arus Lalu Lintas dan Volume Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997, arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam veh/h (Qveh), pcu/h (Qpcu) atau AADT (Lalu Lintas Rata-Rata Tahunan). Menurut Direktorat Jenderal Bina marga (1997), arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang melalui titik tertentu persatuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan perjam atau smp/jam. Arus lalu lintas perkotaan terbagi menjadi empat (4) jenis yaitu : a.
Kendaraan Ringan / Light Vehicle (LV) Meliputi kendaraan bermotor 2 as, beroda empat dengan jarak as 2.0 – 3.0 m
(termasuk mobil penumpang, mikrobis, pick-up, truk kecil, sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). b.
Kendaraan Berat/ Heavy Vehicle (HV) Meliputi kendaraan motor dengan jarak as lebih dari 3.5 m biasanya beroda
lebih dari empat (termasuk bis, truk dua as, truk tiga as, dan truk kombinasi). c.
Sepeda Motor/ Motor cycle (MC) Meliputi kendaraan bermotor roda 2 atau tiga (termasuk sepeda motor dan
kendaraan roda tiga sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). d.
Kendaraan Tidak Bermotor / Un Motorized (UM) Meliputi kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia, hewan, dan
lain-lain (termasuk becak, sepeda,kereta kuda, kereta dorong dan lain-lain sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). Sedangkan volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu penampang tertentu pada suatu ruas jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu. Volume lalu lintas rata-rata adalah jumlah kendaraan rata-rata dihitung menurut satu 5
6
satuan waktu tertentu, bisa harian yang dikatakan sebagai volume lalu lintas harian rata-rata/LHR atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Average Daily Traffic Volume (ADT). Menurut Morlok, (1988), volume lalu lintas dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
q=
n t
(2.1)
Dimana : q
= Volume lalu lintas yang melalui suatu titik
n
= Jumlah kendaraan yang melalui titik itu dalam interval waktu pengamatan
t
= Interval waktu pengamatan Parameter arus lalu lintas dibagi menjadi 2 kategori:
a.
Parameter makroskopik
:
Mencirikan arus lalu lintas secara keseluruhan.
b.
Parameter mikroskopik kendaraan
: Mencirikan
perilaku
individual
yang di dalam arus lalu lintas satu sama lain saling memberi kesempatan.
Secara makroskopik, arus lalu lintas digambarkan / dicirikan oleh 3 parameter utama: a.
Volume atau tingkat arus (volume or rate of Flow)
b.
Kecepatan (speed )
c.
Kerapatan (density ) Selain itu digunakan pula parameter headway (h), spacing (s), dan occupancy
(R). Terkait pada headway dan spacing, ada parameter clearance (c) dan gap (g).
7
2.1.2 Kecepatan Menurut Tamin O. Z., (1992) kecepatan merupakan didefinisikan sebagai jarak yang dapat ditempuh suatu kendaraan persatuan waktu. Satuan yang biasa digunakan adalah meter/detik atau kilometer/jam. Adapun rumus untuk menghitung kecepatan (Morlok, E.K. 1991) :
V=
d t
(2.2)
Dimana : V
= Kecepatan (km/jam, m/det)
d
= Jarak tempuh (km, m)
t
= Waktu tempuh (jam, detik) Terdapat 3 klasifikasi kecepatan pada lalu lintas:
a.
Kecepatan titik/ sesaat (spot speed) Keadaan dimana kendaraan mengalami kecepatan yang stabil pada suatu titik.
b.
Kecepatan perjalanan (journey speed) Kecepatan rata-rata dimana nilainya dapat ditentukan dari jarak perjalanan dibagi dengan total waktu perjalanan.
c.
Kecepatan bergerak (running speed) Kecepatan rata-rata kendaraan untuk melintasi suatu jarak tertentu dalam kondisi kendaraan tetap berjalan, yaitu kondisi setelah dikurangi oleh waktu hambatan terjadi (misalnya hambatan pada persimpangan).
Kecepatan
bergerak ini dapat ditentukan dari jarak perjalanan dibagi total waktu perjalanan yang telah dikurangi dengan waktu berhenti karena adanya hambatan yang disebabkan gangguan yang terjadi pada lalu lintas. 2.1.3 Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan (DS) didefenisikan sebagai rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut
8
mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Untuk menghitung derajat kejenuhan pada suatu ruas jalan perkotaan dengan rumus (MKJI 1997) sebagai berikut:
DS =
Q C
(2.3)
Dimana : DS
= Derajat kejenuhan
Q
= Arus maksimum (smp/jam)
C
= Kapasitas (smp/jam)
2.1.4 Tingkat Pelayanan Jalan Tingkat pelayanan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu lintas yang melewatinya. Hubungan antara kecepatan dan volume jalan perlu di ketahui karena kecepatan dan volume merupakan aspek penting dalam menentukan tingkat pelayanan jalan. Menurut Warpani, (2002), tingkat pelayanan adalah ukuran kecepatan laju kendaraan yang dikaitkan dengan kondisi dan kapasitas jalan. Morlok (1991) mengatakan, ada beberapa aspek penting lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan antara lain: kenyamanan, keamanan, keterandalan, dan biaya perjalanan (tarif dan bahan bakar). Tabel Error! No text of specified style in document.2.1 Standar Tingkat Pelayanan Jalan Tingkat
Kecepatan Ideal
Pelayanan jalan
(km/jam)
A
> 48.00
Karasteristik Arus
bebas,
volume
rendah,
kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki B
40.00 – 48.00
Arus stabil, volume sesuai untuk jalan luar kota, kecepatan terbatas
C
32.00 – 40.00
Arus stabil, volume sesuai untuk jalan kota, kecepatan dipengaruhi
9
oleh lalulintas D
25.60 – 32.00
Mendekati
arus
tidak
stabil,
kecepatan rendah E
22.40 – 25.60
Arus tidak stabil, volume mendekati kapasitas, kecepatan rendah
F
0.00 – 22.40
Arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, banyak berhenti
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997) 2.1.5 Hubungan Antara Kecepatan, Kepadatan dan Volume Lalu Lintas Hubungan antara kecepatan, volume dan kerapatan dapat digambarkan secara grafis sebagaimana diperlihatkan pada gambar berikut.
Gambar Error! No text of specified style in document.2.1 Hubungan Speed, Flow dan Density (Sumber : http://binusmaya.binus.ac.id , 2011) Dari kurva terlihat bahwa hubungan mendasar antara volume dan kecepatannya adalah dengan bertambahnya volume lalu lintas, maka kecepatan rata-rata ruangannya akan berkurang sampai volume maksimum tercapai (Rohani, 2006). Hubungan antara kecepatan dan kerapatan menunjukkan bahwa kecepatan akan
10
menurun apabila kerapatan bertambah. Hubungan antara volume dan kerapatan memperlihatkan bahwa kerapatan akan bertambah apabila volumenya juga bertambah. 2.1.6 Perhitungan Volume Lalu Lintas Cara menghitung volume lalu lintas adalah dengan mengalikan jumlah kendaraan yang melewati suatu ruas dengan faktor konversi kendaraan yang telah ditetapkan.Kemudian dikonversikan ke dalam smp/jam. 2.1.7 Perhitungan Kecepatan Lalu Lintas Berikut merupakan persamaan dari kecepatan:
V=
d t
(2.4)
Dimana: V
= Kecepatan (km/jam atau m/detik)
d
= Jarak tempuh (km atau m)
t
= Waktu tempuh (jam atau detik)
Kecepatan rata rata dibedakan menjadi 2 menurut Soedirdjo (2002), yaitu: a.
Kecepatan rata-rata waktu,
(Time Mean Speed)
Adalah kecepatan rata-rata dari seluruh kendaraan yang melewati suatu titik dari jalan selama periode waktu tertentu. n
µt =
b.
d
∑ ti i =1
Kecepatan rata-rata ruang
µt =
(2.5)
n
d n
ti ∑ i =1 d
(Space Mean Speed) (2.6)
Dari hasil studi yang dilakukan sebelumnya, untuk menghitung besarnya kecepatan rata-rata ruang dari keseluruhan lalu lintas kendaraan bermotor digunakan rumus :
11
µ sr =
n MC ⋅ µ SMC + n LV ⋅ µ SLV + n HV ⋅ µ SHV n MC + n LV + n HV
(2.7)
Dimana : = Kecepatan rata-rata ruang dari seluruh kendaraan (km/jam) = Jumlah sampel sepeda motor = Jumlah sampel kendaraan ringan = Jumlah sampel kendaraan berat = Kecepatan rata-rata ruang sepeda motor (km/jam) = Kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam) = Kecepatan rata-rata ruang kendaraan berat (km/jam)
2.1.8 Perhitungan Kerapatan Lalu Lintas Menurut Leihitu D. D. J, (2012) Dari nilai volume dan kecepatan yang telah didapat, maka nilai dari kerapatan dapat ditentukan: D=
V U sr
(2.8)
Dimana: D
= Kerapatan (smp/km)
V
= Volume lalu lintas (smp/jam)
Usr
= Kecepatan rata-rata ruang (km/jam)
2.1.9 Ekivalen Mobil Penumpang Menurut MKJI (1997) ekivalen mobil penumpang adalah faktor yang menunjukkan berbagai tipe kendaraan yang dibandingkan dengan tipe kendaraan ringan lain, sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatannya dalam arus lalu lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan yang sasisnya mirip, emp = 1.0). Untuk UM (Kendaraan Tak Bermotor) nilai Emp-nya tidak ada karena termasuk hambatan samping (kendaraan lambat), yaitu sepeda, gerobak, becak, andong dan lain-lain. Tabel Error! No text of specified style in document.2.2 Ekivalen Mobil Penumpang
12
Jenis Kendaraan
Jalan Raya
Perkotaan
1
1
0.5 - 1
0.2 - 0.5
Bus, truk 2 dan 3 sumbu
3
2
Bus tempel, truk > 3 sumbu
4
3
Mobil penumpang, taksi, pick up, minibus Sepeda Motor
(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997)
Tabel Error! No text of specified style in document.2.3 Emp Untuk Jalur Perkotaan Tak Terbagi Emp Arus Lalu Tipe Jalan : Jalan Tak
Lintas Total
Terbagi
Dua Arah
MC HV
(Kend/Jam)
Lebar Jalur Lalu Lintas Wc (m) ≤6
≥6
Dua Lajur Tak Terbagi
0
1.3
0.5
0.4
(2/2 UD)
≥ 1800
1.2
0,35
0.25
Empat Lajur Tak Terbagi
0
1.3
0.4
(4/2 UD)
≥ 3700
1.2
0.25
(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997) Tabel Error! No text of specified style in document.2.4 Emp Jalur Perkotaan Terbagi dan Satu Arah Emp Tipe Jalan : Jalan Satu Arah dan Jalan Terbagi
Dua lajur satu arah (2/1) Empat lajur terbagi (4/2 D) Tiga lajur satu arah (3/1) Enam lajur terbagi (4/2 D)
Arus Lalu Lintas Per Lajur
HV
MC
0
1.3
0.4
≥ 1050
1.2
0.25
0
1.3
0.4
≥ 1100
1.2
0.25
(Kend/Jam)
(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997)
13
2.1.10 Kecepatan dan Kerapatan Menurut Indrajaya Y, (2003) untuk mencari kecepatan ruang tiap jenis kendaraan diperoleh dengan rumus : 50 menit {(t1 + t 2 + ... + t n ) / n} det ik
(2.9)
Dengan catatan bahwa angka 50 m adalah jarak tempuh kendaraan yang disurvei ti adalah waktu yang dibutuhkan untuk melintasi jarak 50 m dalam detik. Mengingat kecepatan yang dihitung dalam satuan Km / jam, maka rumus di atas perlu disesuaikan dengan satuan yang ada sehingga diperoleh rumusan baru : 50 km 1000 jam t1 + t 2 + ... + t n n ⋅ 3600
(2.10)
Kemudian untuk mencari kecepatan rata-rata ruang untuk seluruh jenis kendaraan, diperoleh dengan cara sama seperti pada mencari kecepatan ruang tiap jenis kendaraa. Sedangkan untuk menghitung nilai kerapatan adalah dengan membagi volume kendaraan dengan kecepatan rata-rata ruang pada time slice yang bersesuaian. 2.2
Model Linier Greenshield Model ini adalah model paling awal yang tercatat dalam usaha mengamati
perilaku arus lalu lintas. Greenshields (1934) mendapatkan hasil bahwa hubungan antara kecepatan dan kepadatan berbentuk kurva linier (McShane dan Roes,1990). Model Greenshields dapat dijabarkan pada persamaan berikut:
S = Sf −
Sf Dj
⋅D
Dimana : S
= Kecepatan rata-rata ruang (km/jam)
Sf
= Kecepatan pada kondisi arus bebas (km/jam)
Dj
= Kepadatan saat macet (smp/jam)
(2.11)
14
D
= Kepadatan lalu lintas (smp/jam) Dari persamaan diatas terlihat bahwa model ini mempunyai dua konstanta
yaitu
dan
. Kedua konstanta dinyatakan sebagai kecepatan bebas (free-flow-
speed), di mana pengendara dapat memacu kendaraan sesuai dengan keinginannya, dan kepadatan macet (jam density) di mana kendaraan tidak dapat bergerak sama sekali. Hubungan antara volume dan kepadatan didapat dengan merubah persamaan menjadi bentuk S =
F kemudian disubtitusikan ke persamaan 2.11 dan didapatkan D
persamaan 2.12 berikut:
F = Sf ⋅D⋅
Bila D =
Sf Dj
⋅ D2
(2.12)
F maka berdasarkan persamaan 2.12 didapat hubungan volume S
dan kecepatan yaitu :
F = Df ⋅ S −
Dj Sf
⋅S2
(2.13)
Apabila terdapat hubungan yang linier antara kecepatan dan kepadatan, maka hubungan antara kecepatan dengan volume maupun volume dengan kecepatan akan berfungsi parabolik. Besaran kapasitas ruas jalan yang dinyatakan dengan nilai volume maksimum, dihitung dengan mendeferensialkan kepadatan dan kepadatan masing-masing pada persamaan 2.14 berikut:
Fc = D j ⋅
Sf
(2.14)
4
Dimana : = Volume maksimum (smp/jam) Pada
model
Logaritmik
Greenberg
Hubungan
ini
dibuat
dengan
mengasumsikan bahwa arus lalu lintas menpunyai kesamaan dengan fluida. Greenberg menganalisa antara hubungan kecepatan dan kepadatan dengan
15
menggunakan bentuk logaritmik (McShane dan Roes,1990) dengan persamaan 2.15 berikut:
S = S c ⋅ Ln ⋅
Dj
(2.15)
D
Dimana: = Kecepatan pada saat volume maksimum = Kepadatan pada saat macet Jika persamaan F = S . D diperoleh hubungan antara volume dengan kepadatan, berlaku persamaan 2.16 berikut:
F = S c ⋅ D ⋅ Ln⋅ ⋅
Dj D
(2.16)
Sehingga hubungan antara volume dengan kecepatan diperoleh persamaan 2.17 berikut: F = S ⋅ D j ⋅ exp
−S Sc
(2.17)
Besaran kapasitas ruas jalan dinyatakan dengan nilai volume maksimum yang dihitung dengan mendeferensialkan kepadatan dan kecepatan masing-masing pada persamaan 2.16 dan 2.17, akan diperoleh persamaan 2.18 berikut:
Fc =
D j ⋅ Sc
(2.18)
C
Dimana Greenshield dalam penelitiannya mendapatkan hubungan linier antara kecepatan dan kepadatan yang dapat diganti sbb :
Vs = V f −
Dimana : =S
Vf Dj
⋅D
(2.19)
16
= Untuk mendapatkan nilai konstanta Vf dan Dj, maka persamaan di atas dapat diubah menjadi persamaan linier y = a + b.x maka kita bisa memisalkan, y = Vs ; a = Vf ; b = −
Vf Dj
; dan x = D.
Dari persamaan berikut didapatkan hubungan kepadatan arus lalu lintas sbb :
Q = Vf ⋅ D ⋅
Vf Dj
⋅ D2
(2.19)
Dan hubungan antara arus lalu lintas dengan kecepatan, sbb :
Q = D j ⋅ Vs −
Dj Vf
.Vs2
(2.20)
Sehingga : Untuk mendapatkan kepadatan apabila arus lalu lintas maksimum adalah :
Vf dQ = V f − [2 ⋅ ⋅ D] = 0 dD Dj
Untuk Nilai Maksimum
D = D max = 0,5 ⋅ D j
(2.21)
Volume maksimum didapat dengan menggunakan persamaan : Q max =
Vf Dj
⋅4
(2.22)
Kecepatan pada saat Volume maksimum didapat dengan menggunakan persamaan :
V s = Vm =
Vf 2
(2.23)
17
Gambar Error! No text of specified style in document.2.2 Hubungan Kecepatan dan Volume
Gambar Error! No text of specified style in document.2.3 Hubungan Kecepatan dan Kepadatan
Gambar Error! No text of specified style in document.2.4 Hubungan Arus dan Kepadatan
18
2.3
Model Logaritmik Greenberg Untuk analisis hubungan variabel volume dan kecepatan serta kepadatan
menurut Greenberg digunakan persamaan sebagai berikut :
Vs = Vm ⋅ Ln ⋅
Dj
(2.24)
D
dimana : = Kecepatan pada saat volume maksimum = Kepadatan pada saat macet dan
Untuk mendapatkan nilai konstanta
maka persamaan diatas
kemudian diubah menjadi persamaan linier y = a + bx sebagai berikut : .
(2.25)
Dengan memisalkan : y=
;a=
.
( );b=-
dan x =
(D).
Hubungan Volume dan Kecepatan pada model Greenberg ini menggunakan persamaan sebagai berikut : Q = Vs ⋅ D j ⋅ exp
− Vs Vm
(2.26)
Hubungan Volume Dan Kepadatan ini berlaku persamaan sebagai berikut :
Q = Vm ⋅ D ⋅ Ln
Qmaks =
Dj
D j ⋅ Vm e
(2.27)
D = V m ⋅ Dm
(2.28)
Kecepatan pada saat volume maksimum didapat : (2.29)
19
2.4
Model Exponential Underwood Untuk mendapatkan hubungan antara variabel volume, kecepatan dan
kepadatan menurut model eksponensial Underwood digunakan persamaan sebagai berikut : V s = V f ⋅ exp
−D Dm
(2.30)
Dimana : = Kecepatan pada kondisi arus bebas = Kepadatan pada saat volume maksimum Untuk mendapatkan nilai konstanta
dan
persamaan diubah menjadi
persamaan linier.
−D Ln(Vs ) = Ln(V f ) − Dm
(2.31)
asumsi: y = a + bx dengan memisahkan y = ln
; a = ln
;b=
−1 dan x = D Dm
Pada hubungan volume dan kecepatan model Underwood ini berlaku persamaan sebagai berikut :
Vf Q = V f ⋅ Dm ⋅ Ln Vs
(2.32)
Hubungan volume dan kepadatan berlaku persamaan berikut :
−D Q = D ⋅ V f ⋅ exp Dm
(2.33)
Volume maksimum (Qmaks) adalah : Qmaks =
Dm ⋅ V f exp
(2.34)
Kecepatan pada saat volume maksimum (Qmaks) didapat dengan menggunakan persamaan : Vm =
Vf exp
(2.35)
20
2.5
Analisa Regresi Bila variabel bebas linier terhadap variabel tak bebas, maka hubungan dari
kedua variabel tersebut dikenal dengan Analisa Regresi Linier. Besarnya nilai A dan B dapat dicari dengan persamaan dibawah ini (Tamin, 2000).
b=
n ∑ X 1 ⋅ Y1 − ∑ X 1 ∑ Y1
(2.36)
n∑ X 12 − (∑ X 1 )
2
(2.37) Dimana :
A
= Nilai intersep atau konstanta regresi
B
= Koefisien regresi
Y
= Variabel Bebas
N
= Nilai sampel Koefisien korelasi digunakan untuk menentukan korelasi antara variabel tak
bebas dan variabel bebas, atau antara sesama variabel bebas (Tamin, 2000).
r=
n∑ X 1Y1 − ∑ X 1 ∑ Y1
[n∑ X − ∑ X ][n∑ Y − ∑ Y ] 1
Dimana :
1
1
(2.38)
1
r = Koefisien Korelasi
Tabel Error! No text of specified style in document.2.5 Pedoman untuk memberikan interprestasi terhadap Koefisien Korelasi (r) Tingkat Hubungan 0,00 - 0,199 Sangat Rendah 0,20 -0,399 Rendah 0,4 - 0,599 Sedang 0,6 - 0,799 Kuat 0,80 - 1,000 Sangat Kuat (Sumber: Iphan F. Radam, 2008)
2.6
Analisis Hubungan Menurut Riyanto B, (2003), hubungan antara ketiga variabel kecepatan,
kerapatan dan volume disusun berdasarkan data arus lalu lintas dan kecepatan
21
kendaraan yang diambil tiap periode 5 menitan yang disusun dalam suatu daftar secara berpasangan selanjutnya nilai kerapatan dapat dicari dengan persamaan dasar V = D . US. Hubungan antara kecepatan (US), kerapatan (D) dan arus (V), dianalisis dengan menggunakan tiga metode yakni metode Greenshield, Greenberg dan
Underwood. Penyelesaian statistik didekati dengan mencari hubungan antara kecepatan dan kerapatan melalui metode regresi. Hubungan antara kecepatan dan kerapatan masing-masing dengan metode
Greenshield, Greenberg dan Underwood adalah sebagai berikut : U f a. Greenshield : U s = U f − D j
⋅D
(2.39)
Dj b. Greenberg : U s = U m ⋅ Ln D
(2.40)
c. Underwood : U s = U f ⋅ e
−D Dm
(2.41)
Tabel Error! No text of specified style in document.2.6 Model Hubungan Karakteristik F – S – D Lokasi Studi Jenis Model
Hubungan Karateristik
Model Hubungan Karakteristik
S–D
S = 64,97 – 0.141.D
F–D
F = 64.97.D -0,141.D²
F–S
F = 460.78.S – 6,594.S²
S–D
S = 88,91 – 8,53.Ln(D)
F–D
F = 8,53.D.Ln(33632,5/D)
F–S
F = 33632,5.S.e(-S/8,53)
S–D
S = 66,84.e(-D/357,14)
F–D
F = 66,84.e(-D/357,14)
F–S
F = 357,14.S.Ln(66,84 /S)
Greenshield
Greenberg
Underwood
(Sumber : Yuniar D, 2013)
22
2.7
Road Map Penelitian dan Perbandingan antara Penelitian ini dengan Penelitian Sebelumnya.
Tabel Error! No text of specified style in document.2.7 Road Map Penelitian dan Penelitian Sebelumnya
Jurnal
Jenis Jalan Lokasi
Metode
Gregory
Roux J.,
Tamin Z
Mashuri,
Julianto N.
2002
.O., 1992
2006
E., 2010
Tol
Arteri
Arteri
Arteri
Arteri
Jakarta
Palu
Semarang
Iloilo
Underwood
Greenshield
Underwood
Cape Town Greenberg
K. L., 2012
JICA STRADA
Jun J.,
Yuniar D.,
Iskandar
2012
2013
H., 2012
Tol
Arteri
Tol
Kalimantan
Bandung
Virginia Utara -
Greenshield
Berdasarkan tabel diatas yang dapat diambil untuk dijadikan refrensi pada penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Mashuri, (2006) melakukan penelitian tentang kepadatan arus lalu lintas yang ada di ruas jalan arteri di Kotapalu. Penelitian ini membahas tentang hubungan parameter
kecepatan,
volume
dan
kepadatan
menggunakan
metode
Greenshield. b.
Tamin Z. O., (1992) melakukan penelitian tentang hubungan antara kecepatan dan volume lalu lintas di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta. Penelitian ini membahas tentang hubungan parameter kecepatan, volume dan kepadatan menggunakan metode Underwood.
c.
Julianto N. O., (2010) melakukan penelitian tentang tentang hubungan antara kecepatan dan volume lalu lintas di ruas Jalan siliwangi, Semarang. Penelitian ini membahas tentang hubungan parameter kecepatan, volume dan kepadatan menggunakan metode Underwood. Perbedaan ketiga penelitian diatas dengan penelitian yang akan penulis bahas
adalah lokasi ruas jalan penelitian yang akan dilakukan bukan jalan arteri melainkan ruas jalan yang dipilih merupakan jalan tol yang mana tidak memiliki hambatan samping yang besar serta perbedaan kapasitas kecepatan yang lebih tinggi. Kemudian data kecepatan dan volume akan digunakan untuk menghitung density kendaraan saat masa peak hour menggunakan dasar perhitungan MKJI, 1997. Dari
MKJI ., 1997
23
data-data yang sudah diolah akan dibuat suatu grafik hubungan antara kecepatan dan density untuk kemudian diperoleh besaran angka kecepatan optimum saat kepadatan
jalan raya cenderung rapat.
2.8
Transportasi Secara umum, definisi transportasi adalah pemindahan manusia atau barang
dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin (Nasution, 2004). Transportasi dapat dikatakan sebagai sebuah kebutuhan turunan, karena transportasi timbul disebabkan adanya maksud atau tujuan yang ingin dicapai melalui transportasi. Misalnya pengiriman barang, berpergian, bekerja dan lain-lain. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan antara asal dan tujuan. Perjalanan dilakukan melalui suatu lintasan tertentu yang menghubungkan asal dan tujuan, menggunakan alat angkut atau kedaraan dengan kecepatan tertentu.
2.9
Persimpangan Persimpangan adalah titik pada jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan
lintasan-lintasan kendaraan saling berpotongan. Persimpangan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah pemukiman. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu permasalahan lalu lintas yang biasa terjadi di persimpangan, antara lain: a.
Volume dan kapasitas, dimana secara langsung mempengaruhi hambatan
b.
Desain geometrik, dan kebebasan pandangan
c.
Kecelakaan dan keselamatan jalan, kecepatan, dan lampu jalan
d.
Parkir, akses dan pembangunan yang sifatnya aman
e.
Pejalan kaki
f.
Jarak antar persimpangan
2.10
Jenis Persimpangan Lalu lintas yang bergerak pada persimpangan dapat dikendalikan dengan
berbagai cara pengendalian. Pengendalian tersebut mengikuti urutan hirarki tertentu
24
sesuai dengan jenis-jenis jalan yang saling berpotongan dan besarnya arus lalu lintas yang memasuki persimpangan. Hirarki ini dibagi atas 4 bagian besar, yaitu: a.
Persimpangan sebidang (at grade) Persimpangan
sebidang
merupakan
persimpangan
yang
kaki-kakinya
berpotongan pada satu bidang datar, sehingga memungkinkan terjadinya konflik antar satu arus dengan arus yang lain yang berpotongan. Jenis sistem pengendaliannya meliputi: •
Jenis tanpa pengaturan lalu lintas (uncontrolled)
•
Jenis pengaturan berhenti atau prioritas (stop)
•
Jenis pengaturan dengan lampu pengatur lampu lalu lintas (traffic light)
•
Jenis pengaturan dengan bundaran lalu lintas (roundabout)
Gambar Error! No text of specified style in document.2.5 Jenis Persimpangan Sebidang (Sumber: Morlok, E.K, 1991)
b.
Persimpangan tidak sebidang (grade separate)
25
Persimpangan tidak sebidang merupakan persimpangan yang kaki-kakinya tidak berpotongan satu sama lain, melainkan saling bersilangan dengan ketinggian yang berbeda antara satu kaki dengan kaki lainnya. c.
Persimpangan tanpa pengaturan lalu lintas (uncontrolled) Persimpangan yang tidak dikendalikan ini umumnya hanya dapat digunakan
pada pertemuan jalan-jalan lokal perumahan yang arus lalu lintasnya pada masingmasing kakinya kecil sehingga konflik yang terjadi juga kecil dan dengan sendirinya tidak memerlukan suatu pengendalian terhadap arus lalu lintas yang bergerak di persimpangan tersebut. d.
Persimpangan prioritas Metode pengendalian terhadap pergerakan-pergerakan kendaraan pada
persimpangan sangat diperlukan, dengan maksud agar kendaraan-kendaraan yang melakukan pergerakan konflik tersebut tidak akan saling bertabrakan. Konsep utama dalam sistem prioritas merupakan suatu aturan untuk menentukan kendaraan mana yang dapat berjalan terlebih dahulu. Sistem pengendalian ini mempunyai prinsipprinsip tertentu, yaitu: •
Aturan-aturan prioritas harus secara jelas dimengerti oleh semua pengemudi
•
Prioritas harus terbagi dengan baik, sehingga setiap orang mempunyai kesempatan untuk bergerak
•
Prioritas harus terorganisasi, sehingga titik-titik konflik dapat teratasi dan diperkecil
•
Keputusan-keputusan yang dilakukan oleh pengemudi harus dijaga agar sesederhana mungkin
•
2.11
Jumlah total hambatan-hambatan terhadap lalu lintas harus diperkecil
Geometrik Persimpangan Geometrik persimpangan merupakan dimensi yang nyata dari suatu
persimpangan. Oleh karena itu, perlu di ketahui beberapa defenisi berikut ini :
26
a.
Approach (kaki persimpangan), yaitu daerah pada persimpangan yang
digunakan untuk antrian kendaraan sebelum menyeberangi garis henti. b.
Approach width (WA), yaitu lebar pendekat atau lebar kaki persimpangan.
c.
Entry Width (Qentry), yaitu lebar bagian jalan pada bagian pendekat yang
digunakan untuk memasuki persimpangan, diukur pada garis perhentian. d.
Exit width (Wexit), yaitu lebar bagian jalan pada bagian pendekat yang
digunakan kendaraan untuk keluar dari persimpangan. e.
Width Left Turn On Red (WLTOR), yaitu lebar bagian pendekat yang
digunakan kendaraan untuk belok kiri pada saat lampu merah. Untuk kelima hal tersebut diatas dapat dilihat dalam gambar berikut :
Gambar Error! No text of specified style in document.2.6 Geometrik Persimpangan dengan Lampu Lalu Lintas (Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997)
f.
Effective approach width (We), yaitu lebar efektif kaki persimpangan yang
dijelaskan dalam gambar berikut : (MKJI 1997) •
Untuk pendekat tipe O dan P
27
Gambar Error! No text of specified style in document.2.7 Lebar Efektif Kaki Persimpangan (Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997)
Jika WLTOR > 2 m, maka : We = WA – WLTOR, atau We = Wentry (digunakan nilai terkecil) Jika WLTOR < 2 m, maka : We = WA, atau We = Wentry (digunakan nilai terkecil) •
Kontrol untuk approach tipe P Wexit = Wentry (1 – PRT – PLT – PLTOR)
Dimana : PRT
= Rasio volume kendaraan belok kanan terhadap volume total
PLT
= Rasio volume kendaraan belok kiri terhadap voluume total
PLTOR
= Rasio volume kendaraan belok kiri langsung terhadap volume total
28
2.12
Lampu Pengaturan Lalu Lintas Lampu pengaturan lalu lintas merupakan alat sederhana yang berfungsi untuk
mengatur para pengemudi untuk berhenti atau berjalan. Alat ini memberikan prioritas bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara berurutan (bergantian) dalam suatu periode waktu. Terdiri dari tiga buah lampu, yaitu merah, kuning, dan hijau (dengan waktu-waktu yang tepat dialokasikan kepada masing-masing pergerakan lalu lintas). Menurut UU no. 22/2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan: Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas atau APILL, lampu lalu lintas adalah lampu yang mengendalikan arus lalu lintas yang terpasang di persimpangan jalan, tempat penyeberangan pejalan kaki (zebra cross), dan tempat arus lalu lintas lainnya. Berdasarkan cakupannya, jenis lampu lalu lintas dibedakan menjadi : a.
Lampu lalu lintas terpisah Pengoperasian lampu lalu lintas yang pemasangannya didasarkan pada suatu tempat persimpangan saja tanpa mempertimbangkan persimpangan lain.
b.
Lampu lalu lintas terkoordinasi Pengoperasian lampu lalu lintas yang pemasangannya mempertimbangakan beberapa persimpangan yang terdapat pada arah tertentu.
c.
Lampu lalu lintas jaringan Pengoperasian lampu lalu lintas yang pemasangannya mempertimbangkan beberapa persimpangan yang terdapat dalam suatu jaringan yang masih dalam satu kawasan.
Beberapa istilah yang digunakan dalam operasional lampu persimpangan bersinyal (Liliani, 2002)) : a.
Siklus Merupakan urutan lengkap suatu lampu lalu lintas.
b.
Fase (phase) Pengaturan pemisahan arus lalu lintas Waktu Hijau Efektif Periode waktu hijau yang dimanfaatkan pergerakan pada fase yang bersangkutan.
29
c.
Waktu Antar Hijau Waktu antara lampu hijau untuk satu fase, dengan awal lampu hijau untuk fase lainnya.
d.
Rasio Hijau Adalah perbandingan antara waktu hijau efektif dan panjang siklus.
e.
Merah Efektif Waktu selama suatu pergerakan atau sekelompok pergerakan secara efektif, tidak diijinkan bergerak. Dihitung sebagai panajng siklus dikurangi waktu hijau efektif.
f.
Lost Time
Waktu hilang dalam suatu fase karena keterlambatan start kendaraan dan berakhirnya tingkat pelepasan kendaraan yang terjadi selama waktu kuning.
2.13
Fase Lalu Lintas (phase) Dalam pengaturan lalu lintas pada persimpangan yang berupa konflik antara
arus kendaran, dapat dilakukan dengan pemisahan waktu. Pengaturan pemisahan arus lalu lintas disebut fase (phase). Banyaknya fase ditentukan oleh banyak konflik yang harus diselesaikan pada persimpangan. Pada umumnya, di beberapa persimpangan terdapat lebih dari 2 konflik utama. Oleh karena itu, dibutuhkan juga lebih dari 2 fase. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, fase sinyal umumnya mempunyai dampak yang besar pada tingkat kinerja dan keselamatan lalulintas sebuah simpang, daripada jenis pengaturan. Waktu hilang sebuah simpang bertambah dan rasio hijau untuk setiap fase berkurang, bila fase tambahan diberikan. Maka sinyal akan efisien bila dioperasikan hanya pada dua fase, yaitu hanya waktu hijau untuk konflik utama yang dipisahkan. Tetapi dari sudut keselamatan lalu-lintas, angka kecelakaan umumnya berkurang bila konflik utama antara lalu-lintas belok kanan dipisahkan dengan lalu-lintas terlawan, yaitu dengan fase sinyal terpisah untuk lalu-lintas belok kanan.
30
Pergerakan arus lalu lintas pada persimpangan juga membentuk suatu manuver yang menyebabkan sering terjadi konflik dan tabrakan kendaraan, diantaranya adalah: a. Berpencar (diverging)
b. Bergabung (merging)
c. Bersilangan (weaving)
d. Berpotongan (crossing)
(Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas & Angkutan Kota, 1999)
2.14
Persyaratan Persimpangan Sebidang
a.
Persimpangan harus mempunyai kemudahan pandang ke arah memanjang dan menyamping, sesuai dengan jarak pandang masuk dan jarak pandang untuk keselamatan.
b.
Jarak pandang masuk diperlukan untuk pengendara di jalan minor masuk ke jalan utama, didasarkan pada asumsi kendaraan pada jalan utama tidak mengurangi kecepatan.
c.
Jarak pandang aman persimpangan disediakan untuk kendaraan agar dapat berhenti sebelum persimpangan.
d.
Gradien alinyemen vertikal diusahakan serendah mungkin/datar.
e.
Kelandaian relatif belokan persimpangan tidak lebih dari 2%, fungsi utama kelandaian untuk mengalirkan air permukaan (run-off drainage).
31
f.
Persimpangan pada daerah tikungan harus dihindarkan sejauh mungkin, minimal lebihbesar dari jarak pandang henti, yaitu dimulai dari titik peralihan tangen ke lengkung(TC/TS) sampai ke daerah persimpangan.
2.15
Jalan Layang (Fly Over) Jalan layang adalah jalan yang dibangun tidak sebidang, melayang
menghindari daerah/kawasan yang selalu menghadapi permasalahan kemacetan lalu lintas, serta melewati persilangan kereta api untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas dan efisiensi. Jalan layang merupakan perlengkapan jalan bebas hambatan untuk mengatasi hambatan karena konflik dipersimpangan, melalui kawasan kumuh yang sulit ataupun melalui kawasan rawa-rawa.
2.16
Kapasitas Kapasitas jalan adalah kemampuan ruas jalan untuk menampung arus atau
volume lalu lintas yang ideal dalam satuan waktu tertentu, dinyatakan dalam jumlah kendaraan yang melewati potongan jalan tertentu dalam satu jam (kendaraan/jam), atau dengan mempertimbangan berbagai jenis kendaraan yang melalui suatu jalan digunakan satuan mobil penumpang sebagai satuan kendaraan dalam perhitungan kapasitas, maka satuan yang digunakan oleh kapasitas adalah satuan mobil penumpang per jam (smp/jam). Rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas jalan raya menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997 adalah: C = C0 x FCw x FCSP x FCSF x FCCS
(smp/jam)…………………(2.40)
Di mana: C
=
Kapasitas (smp/jam),
Co
=
Kapasitas dasar (smp/jam),
FCW
=
Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas,
FCSP
=
Faktor penyesuaian pemisah arah,
FCSF
=
Faktor penyesuaian hambatan samping dan
FCCS =
Faktor penyesuaian ukuran kota.
32
2.17
Kapasitas Dasar C0 Kapasitas dasar C0 ditentukan berdasarkan tipe jalan sesuai dengan nilai yang
tertera pada tabel berikut. Tabel Error! No text of specified style in document.2.8 Kapasitas Dasar
Tipe Jalan
Kapasitas dasar
Keterangan
(smp/jam)
Jalan 4 lajur berpembatas median
1.65
per lajur
1.5
per lajur
atau jalan satu arah
Jalan 4 lajur tanpa pembatas median Jalan 2 lajur tanpa pembatas median
total dua
2.9
arah
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997)
Kapasitas dasar untuk jalan yang lebih dari 4 lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan kapasitas per lajur pada tabel 2.40, meskipun mempunyai lebar jalan yang tidak baku.
2.18
Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah (FCSP) FCSP ini dapat dilihat pada Tabel 2.9. Penentuan faktor koreksi untuk
pembagian arah didasarkan pada kondisi arus lalu lintas dari kedua arah untuk jalan tanpa pembatas median. Untuk jalan satu arah dan/atau jalan dengan pembatas median, faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah adalah 1.0. Tabel Error! No text of specified style in document.2.9 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah
Pembagian arah (%-%)
FCSP
2-lajur 2-arah tanpa pembatas median (2/2 UD)
50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
1.00
0.97
0.94
0.91
0.86
33
4-lajur 2-arah tanpa pembatas median (4/2 UD)
1.00
0.99
0.97
0.96
0.94
(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997)
2.19
Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan (FCW) Faktor koreksi FCW ditentukan berdasarkan lebar jalan efektif yang dapat
dilihat pada tabel 2.10 berikut. Faktor koreksi kapasitas untuk jalan yang mempunyai lebih dari 4 lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan faktor koreksi kapasitas untuk kelompok jalan 4 lajur.
34
Tabel Error! No text of specified style in document.2.10 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan
Tipe Jalan
Lebar Efektif Jalan (m)
FCW
Per lajur
4 lajur berpembatas median atau jalan satu arah
3.00
0.92
3.25
0.96
3.50
1
3.75
1.05
4.00
1.09
Per lajur 3.00
0.91
3.25
0.95
3.50
1
3.75
1.05
4.00
1.09
4 lajur tanpa pembatas median
Dua Arah
2 lajur tanpa pembatas median
5
0.56
6
0.87
7
1
8
1.14
9
1.25
10
1.29
35
11
1.34
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)
2.20
Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCSF) Faktor koreksi untuk ruas jalan yang mempunyai bahu jalan didasarkan
pada lebar jalan efektif (WS) dan tingkat gangguan samping yang penentuan klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.11. Faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping (FCSF) untuk jalan yang mempunyai bahu jalan dapat dilihat pada tabel 2.12 berikut. Tabel Error! No text of specified style in document.2.11 Klasifikasi Gangguan Samping
Kelas
Jumlah Gangguan
Gangguan
per 200 meter per
Samping
jam (dua arah)
Sangat Rendah
< 100
Rendah
100 - 299
Sedang
300 - 499
Tinggi
500 - 899
Sangat Tinggi
> 900
Kondisi Tipikal
Permukiman Permukiman, beberapa transportasi umum Daerah industri dengan beberapa toko di pinggir jalan Daerah komersial, aktivitas pinggir jalan tinggi Daerah komersial dengan aktivitas perbelanjaan pinggir jalan
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)
36
Tabel Error! No text of specified style in document.2.12 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping Untuk Jalan Yang Mempunyai Bahu Jalan
Faktor Koreksi Akibat Gangguan Samping dan Akibat Lebar Bahu Tipe Jalan
4-lajur 2-arah berpembatas median (4/2 D)
4-lajur 2-arah tanpa pembatas median (4/2 UD)
2-lajur 2-arah tanpa pembatas median (2/2 UD) atau jalan satu arah
Kelas Gangguan Samping
Jalan Efektif LebarBahu Jalan Efektif ≤ 0.5
1.0
1.5
≥ 2.0
Sangat Rendah
0.96
0.98
1.01
1.03
Rendah
0.94
0.97
1.00
1.02
Sedang
0.92
0.95
0.98
1
Tinggi
0.88
0.92
0.95
0.98
Sangat Tinggi
0.84
0.88
0.92
0.96
Sangat Rendah
0.96
0.99
1.01
1.03
Rendah
0.94
0.97
1.00
1.02
Sedang
0.92
0.95
0.98
1
Tinggi
0.87
0.91
0.94
0.98
Sangat Tinggi
0.8
0.86
0.90
0.95
Sangat Rendah
0.94
0.96
0.99
1.01
Rendah
0.92
0.94
0.97
1
Sedang
0.89
0.92
0.95
0.98
Tinggi
0.82
0.86
0.9
0.95
Sangat Tinggi
0.73
0.79
0.85
0.91
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)
37
Faktor koreksi kapasitas untuk gangguan samping untuk ruas jalan yang mempunyai kereb dapat dilihat pada Tabel 2.13 yang didasarkan pada jarak antara kereb dan gangguan pada sisi jalan (WK) dan tingkat gangguan samping. Tabel Error! No text of specified style in document.2.13 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping untuk Jalan Yang Mempunyai Kereb Faktor Koreksi Akibat Gangguan Samping dan Jarak Gangguan Kereb Tipe Jalan
4-lajur 2-arah berpembatas median (4/2 D)
4-lajur 2-arah tanpa pembatas median (4/2 UD)
2-lajur 2-arah tanpa pembatas median (2/2 UD) atau jalan satu arah
Kelas Gangguan Samping
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Jarak: Kereb - gangguan ≤ 0.5 0.95 0.94 0.91 0.86 0.81 0.95 0.93 0.90 0.84 0.77 0.94 0.92 0.89 0.82 0.73
1.0 0.97 0.96 0.93 0.89 0.85 0.97 0.95 0.92 0.87 0.81 0.96 0.94 0.92 0.86 0.79
1.5 0.99 0.98 0.95 0.92 0.88 0.99 0.97 0.95 0.90 0.85 0.99 0.97 0.95 0.90 0.85
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)
Faktor koreksi kapasitas untuk jalan 6 lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan faktor koreksi kapasitas untuk jalan 4 lajur dengan menggunakan persamaan berikut: FC6,SF = 1- 0.8 x (1 – FC4,SF) FC6,SF
= faktor koreksi kapasitas untuk jalan 6 lajur
FC4,SF
= faktor koreksi kapasitas untuk jalan 4 lajur
(2.42)
≥ 2.0 1.01 1.00 0.98 0.95 0.92 1.01 1.00 0.97 0.93 0.90 0.99 0.97 0.94 0.88 0.82
38
2.21
Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCSF) Faktor koreksi dapat dilihat pada Tabel 2.14 dan faktor koreksi terebut
merupakan fungsi dari jumlah penduduk kota. Tabel Error! No text of specified style in document.2.14 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota
Ukuran Kota (juta
Faktor Koreksi untuk
penduduk)
Ukuran Kota
< 0.1
0.86
0.1 - 0.5
0.90
0.5 - 1.0
0.94
1.0 - 1.3
1.00
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)
Untuk perhitungan kapasitas ruas jalan untuk jalan antar kota dan jalan bebas hambatan, bentuk persamaan yang digunakan persis sama dengan persamaan (2.40), tetapi mempunya faktor koreksi kapasitas yang berbeda. Tabel Error! No text of specified style in document.2.15 Satuan Mobil Penumpang untuk Berbagai Jenis Jalan Kota
Smp Arus Lalu Lintas Tipe Jalan Kota
Dua Arah
Kendaraan
(kend/jam)
Berat
Sepeda Motor
(koefisien)
≤6m
>6m
0
1.3
0.5
0.4
≥ 1800
1.2
0.35
0.25
0
1.3
0.4
≥ 3700
1.2
0.25
2 lajur tak terpisah
4 lajur tak terpisah
39
2 lajur 1 arah dan
0
1.3
0.4
4 lajur terpisah
≥ 1500
1.2
0.25
3 lajur 1 arah dan
0
1.3
0.4
6 lajur terpisah
≥ 1100
1.2
0.25
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)