BAB 2 Sejarah dan Konteks
Seiring dengan kepopuleran sepak bola yang saat itu telah mencapai level masif di Eropa pada awal abad ke-20, kebutuhan akan adanya organisasi yang mengatur jadwal pertandingan internasional makin mendesak. FIFA didirikan pada tahun 1904 oleh asosiasi-asosiasi sepak bola negara Belgia, Denmark, Perancis, Belanda, Spanyol (diwakili oleh klub Real Madrid), Swedia dan Swiss. Bermarkas di kota Zurich, FIFA didirikan berdasarkan dan dilindungi oleh hukum negara Swiss. Kini induk sepak bola dunia itu memiliki 211 anggota resmi (FIFA, 2016) yang juga merupakan bagian pembentuk Kongres, supreme body di organisasi tersebut. Sebagai sebuah organisasi internasional, model kepengurusan FIFA memiliki banyak celah yang berpotensi memunculkan skandal korupsi. Melalui pertemuan Kongres yang diadakan tiap satu tahun setelah Piala Dunia, FIFA memilih Presiden, Sekretaris Jenderal dan anggota Komite Eksekutif. Dalam Kongres FIFA setiap anggota memiliki kedudukan yang sama berupa satu vote untuk setiap pemungutan suara substantif. Kontrol yang dimiliki FIFA bukan hanya sangat besar terhadap anggota-anggotanya, melainkan juga pada seberapa banyak akses yang bisa dimiliki pemerintahan negara-negara tersebut terhadap FIFA. Sejak awal pendiriannya, FIFA selalu menjaga independensi dari pengaruh luar. Prinsip ini terlihat jelas melalui aturan mengenai sepak bola harus bebas dari pengaruh politik dan pemerintahan yang menjadi pedoman utama bagi para anggotanya. Independensi FIFA dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya mengimplikasikan adanya keinginan dari komunitas sepak bola untuk menjaga kemurnian nilai olahraga dari pengaruh-pengaruh kepentingan tertentu. Pelanggaran terhadap peraturan ini menyebabkan sanksi yang tidak ringan berupa pembekuan asosiasi sepak bola negara anggota yang berarti kehilangan hak untuk mengikuti pertandingan internasional resmi menurut FIFA.
12
Contohnya, Brunei Darussalam mengalami sanksi pembekuan hingga kini sejak hukuman dijatuhkan pada tahun 2009 akibat intervensi pemerintah.
Gambar 1.1 Struktur Organisasi FIFA
Sumber: FIFA Governance Report Project, 2012
Struktur organisasi FIFA berdasarkan statuta menyebutkan bahwa Komite Eksekutif yang dipimpin oleh Presiden merupakan badan utama pengambilan keputusan. Komite Eksekutif terdiri dari 24 orang yaitu sang Presiden, 8 orang Wakil Presiden dan 15 orang anggota lainnya. Tugas utama Komite Eksekutif adalah memutuskan hal-hal terkait operasional organisasi dan kepentingankepentingan substansial lainnya di luar masa sidang Kongres. Salah satu hal yang diputuskan dalam rapat Komite Eksekutif adalah penentuan tuan rumah Piala Dunia. Oleh karena pemungutan suara secara eksklusif dilakukan oleh Komite Eksekutif, kelompok ini kerap menjadi pusat perhatian publik yang mengharapkan semua keputusan yang diambil bersifat murni tanpa kecurangan. Namun, seperti yang akan dijabarkan di subbab selanjutnya dalam pembahasan ini, upaya menjaga kredibilitas FIFA bukannya tanpa kontroversi. 2.1
Skandal Korupsi FIFA Kepopuleran sepak bola di sebagian besar wilayah dunia membuat FIFA memiliki pengaruh cukup signifikan dalam hubungan internasional modern.
13
Efek keanggotaan sebuah negara di FIFA memberikan prestige tersendiri yang berbeda dari induk olahraga lainnya. Menurut Sugden (1998) selain bergabung PBB, keanggotaan di FIFA adalah sinyal terkuat bahwa sebuah negara diterima di komunitas internasional. Bergabung sebagai anggota FIFA berarti sebuah negara berkesempatan untuk mengikuti pertandingan serta turnamen-turnamen internasional sepak bola. Dengan terlibat dalam pertandingan sepak bola internasional, negara mendapat manfaat antara lain membangkitkan rasa nasionalisme dan kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Di samping itu, menjadi tuan rumah turnamen sepak bola Piala Dunia merupakan prospek atraktif lain bagi negara. Untuk menengahi berbagai kepentingan dari anggota-anggotanya, FIFA idealnya berperan penting sebagai organisasi induk sepak bola untuk menjaga kepentingan dari sisi olahraga tetap yang utama. Namun, pada kenyataannya sejarah FIFA tidak lepas dari kontroversi. FIFA adalah wajah utama sepak bola dan memiliki kontrol terbesar terhadap jalannya kalender sepak bola internasional. Oleh sebab itu dapat dipahami bila perhatian yang diterima FIFA terkait bagaimana organisasi itu dijalankan jauh lebih besar dan mencolok di media dibanding induk-induk olahraga lain. Kritikkritik dan pemberitaan yang ditujukan kepada FIFA mencakup ruang lingkup yang cukup luas mulai dari korupsi dari dalam institusi itu sendiri hingga skandal-skandal penyuapan yang berkaitan dengan hajatan terbesar FIFA dan olahraga sepak bola tiap empat tahun sekali, Piala Dunia. Meski skandal Piala Dunia 2022 terhitung yang terbesar bila dilihat dari dampak yang ditimbulkan bagi para eksekutif FIFA,tuduhan terkait aksi korupsi maupun ketidaktransparanan kinerja institusi itu bukan hal yang baru diangkat ke permukaan. Publikasi yang mengungkap skandal-skandal FIFA sudah mulai beredar sejak 2006 dengan terbitnya buku “Foul! The Secret World of FIFA:
Bribes, Vote-Rigging and Ticket Scandals” oleh Andrew Jennings. Dalam bukunya, Jennings terutama mengungkapkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Sepp Blater dan orang-orang terdekatnya di FIFA. Perubahan kepemimpinan tidak terjadi di FIFA sejak Blatter memenangi pemilihan presiden pertamanya di tahun 1998 melalui Kongres FIFA ke-51. Setelahnya banyak pula terungkap sisi-sisi kontroversial yang semakin menunjukkan perlunya perubahan di induk olahraga sepak bola sedunia itu, terutama karena struktur kepemimpinan FIFA relatif tidak mengalami perubahan 14
dalam kurun waktu yang cukup lama dengan terpilihnya kembali Sepp Blater sebagai Presiden FIFA untuk keempat kalinya di tahun 2011. Namun, dugaandugaan skandal tidak pernah berhasil menggoyang kedudukan para eksekutif FIFA hingga kejutan datang melalui inisiatif Amerika Serikat. Pengungkapan skandal terkait Piala Dunia 2018 memiliki hubungan yang sangat erat dengan kritik yang diterima FIFA terkait keputusan memberikan hak tuan rumah Piala Dunia 2022 kepada Qatar. Skandal tentang pemilihan Rusia dan Qatar untuk dua Piala Dunia mendatang ini saling berkaitan karena proses bidding untuk keduanya dilakukan bersamaan. Minat warga Amerika Serikat terhadap sepak bola yang relatif masih minim tidak mempengaruhi besarnya peluang dan niat U.S. Soccer (Asosiasi Sepak Bola Amerika Serikat) untuk mengajukan proposal sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Menurut data statistik di tahun 2014 terdapat 111,5 juta orang yang menonton Super Bowl, pertandingan final di musim kompetisi american football NFL (Statistics, 2015). Sebagai perbandingan, hanya 25 juta orang menonton siaran langsung pertandingan tim nasional Amerika Serikat melawan Portugal di Piala Dunia 2014 yang merupakan rekor jumlah penonton sepak bola terbanyak di negara itu (Ensor, 2014). Selama proses kampanye dan pemilihan Amerika Serikat konsisten menunjukkan diri sebagai favorit pemenang bidding. Proposal Amerika Serikat diyakini jauh lebih meyakinkan dibanding pesaing-pesaingnya yaitu Australia, Jepang, Korea Selatan dan Qatar. Namun, keunggulan peluang kemenangan Amerika Serikat tersebut tidak berhubungan langsung dengan kualitas maupun kepopuleran sepak bola di negara tersebut. Proposal Amerika Serikat memiliki keuntungan dari peraturan baru FIFA. Penentuan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 merupakan pertama kalinya peraturan rotasi baru FIFA diterapkan. Sebelumnya, peraturan rotasi FIFA menyebutkan bahwa hak tuan rumah Piala Dunia digilir ke tiap kontinen. Di peraturan baru ini, negara-negara yang berasal dari konfederasi yang sama dengan tuan rumah dua Piala Dunia terakhir tidak bisa mencalonkan diri. Dengan demikian, untuk tuan rumah 2018, negara-negara yang mencalonkan diri berasal dari konfederasi Eropa (UEFA), Asia (AFC) dan Amerika Utara (CONCACAF). Pada perkembangan selanjutnya, dengan mundurnya proposal Amerika Serikat, negara-negara yang bersaing untuk memenangkan bidding 15
2018 seluruhnya Eropa yang terdiri dari Belgia dan Belanda, Inggris, Rusia, serta Portugal dan Spanyol. Dengan demikian, untuk 2022 negara-negara yang bersaing berasal dari Amerika Utara dan Asia. Ketika pemenang bidding tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 diumumkan pada 2 Desember 2010, kemenangan Qatar menuai kontroversi karena tidak sesuai ekspektasi. Alasan-alasan dikemukakan banyak pihak untuk menunjukkan bahwa Qatar bukanlah pilihan yang tepat untuk menjadi tuan rumah. Piala Dunia secara tradisional diadakan di bulan Juni-Juli ketika mayoritas kompetisi liga lokal dalam masa jeda akhir musim. Namun, masa pertengahan tahun di Qatar bukanlah waktu yang dianggap tepat untuk menyelenggarakan Piala Dunia karena iklim yang sangat panas membuat pemain-pemain yang berasal dari negara non-tropis kesulitan beradaptasi. Solusi memang diraih dengan memundurkan pelaksanaan Piala Dunia 2022 ke bulan Desember, namun pemilihan Qatar tetap disorot sebagai keputusan yang ceroboh. Kontroversi seputar pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022 membuka kembali celah untuk menyinggung skandal-skandal FIFA di masa lalu dan berujung pada dugaan penyuapan oleh anggota Komite Eksekutif FIFA, badan yang bertanggung jawab menentukan tuan rumah Piala Dunia. Ungkapan kekecewaan diutarakan oleh tokoh-tokoh sepak bola dunia. Presiden Federasi Sepak bola Jerman Theo Zwanzinger dan Direktur Klub Bayern München Ulli Hoeness mendesak FIFA untuk melakukan peninjauan kembali terhadap pemberian hak tuan rumah Piala Dunia kepada Qatar (BBC, 2011). Situasi makin memanas setelah seorang whistleblower mengungkapkan bahwa Qatar memberi sejumlah uang kepada FIFA untuk membeli vote dari beberapa anggota Komite Eksekutif FIFA (BBC, 2011). Pengakuan
whistleblower tersebut, yang kemudian diketahui sebagai salah satu anggota tim sukses Qatar, menjadi milestone penting dalam tahap penyelidikan terhadap FIFA karena pada sekitar waktu yang bersamaan di tahun 2011 Amerika Serikat memulai penyelidikan melalui FBI dan Department of Justice. Pada bulan Juli 2012, sebagai upaya untuk memulihkan reputasi, FIFA menunjuk Michael J. Garcia, seorang pengacara berkewarganegaraan Amerika Serikat untuk memimpin kelompok investigator Komite Etik FIFA. Garcia mengutarakan niatnya untuk menyelidiki proses bidding dan keputusan untuk memberikan hak tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 kepada Rusia dan Qatar. 16
Pada bulan September 2014, Garcia menerbitkan laporan setebal 350 halaman mengenai hasil temuannya tentang kasus-kasus korupsi FIFA. Namun, pada November 2014, hakim Jerman Hans-Joachim Eckert yang ditunjuk FIFA sebagai ketua adjudikasi Komite Etik mengeluarkan hasil review terhadap laporan Garcia yang menolak temuan bahwa Rusia dan Qatar memenangi proses pemilihan melalui cara yang tidak sportif. Dengan demikian, Rusia dan Qatar secara legal tetap mempertahankan haknya menjadi tuan rumah. Berikut adalah timeline penyelidikan Amerika Serikat terhadap FIFA seperti yang dilaporkan laman Goal (2016):
•
27 Mei 2015 Oknum-oknum pejabat tinggi FIFA ditangkap di Swiss dengan dakwaan korupsi oleh polisi federal Amerika Serikat
•
1 Juni 2015 Otoritas Amerika Serikat mengklaim Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke dan mantan anggota Komite Eksekutif FIFA Jack Warner dibayar 10 juta dollar untuk memberikan vote pada Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010
•
2 Juni 2015 Sepp Blatter mengundurkan diri sebagai Presiden FIFA
•
25 September 2015 Pihak prosekutor Swiss menyatakan adanya pembayaran kepada Presiden UEFA Michel Platini di tahun 2011
•
19 Februari 2016 Dalam wawancara dengan The Times, Blatter bersikukuh Qatar tidak melakukan kecurangan untuk mendapatkan tuan rumah Piala Dunia 2022
•
26 Februari 2016 Gianni Infantino terpilih sebagai Presiden FIFA dengan dukungan 115 dari 207 suara, termasuk dari Amerika Serikat.
17