BAB 2 DASAR TEORI 2.1.
Pengertian Dan Sejarah ROV
Berdasarkan Marine Technology Society ROV Committee’s dalam “Operational Guidelines for ROVs” (1984) dan The National Research Council Committee’s dalam “Undersea Vehicles and National Needs” (1996) definisi ROV adalah sebuah robot bawah laut yang dikendalikan oleh operator, untuk tetap dalam kondisi yang aman, pada saat wahana bekerja di lingkungan yang berbahaya. Secara umum, ROV dikenal sebagai suatu kapal selam ukuran kecil yang biasa digunakan pada kegiatan lepas pantai baik untuk keperluan migas maupun penelitian. Kapal selam ini tidak berawak, tetapi dioperasikan oleh operator yang berada pada kapal induk yang membawa wahana ini.
Sebutan ROV muncul pada tahun 1953 oleh Dimitri Rebikoff yang membuat wahana ROV dengan nama POODLE. Teknologi ROV sendiri dikembangkan melalui program PUV (Programmed Underwater Vehicle) yang dibuat oleh LuppisWhitehead Automobile di Austria pada tahun 1864. Setelah itu, teknologi ini terus dikembangkan oleh angkatan laut Amerika Serikat. Tujuan angkatan laut Amerika Serikat saat itu adalah untuk keperluan penyelamatan dan pengambilan objek di dasar laut, seperti ranjau-ranjau kapal yang ditambatkan pada dasar laut. Wahana ini juga berperan dalam pencarian bom atom yang hilang di wilayah laut Spanyol akibat kecelakaan pesawat pada tahun 1966.
Dengan berkembangnya teknologi dewasa ini, generasi ROV saat ini sudah mampu untuk mendukung kegiatan lepas pantai yang lebih berat seperti kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan distribusi migas. Generasi ROV yang pertama kali terlibat pada kegiatan pengeboran minyak lepas pantai adalah RCV-225 dan RCV-150 yang diproduksi oleh HydroProducts. Saat ini sudah terdapat banyak seri ROV yang mampu untuk mendukung segala kegiatan yang bersangkutan dengan industri migas lepas pantai. 6
Perkembangan teknologi yang meningkatkan kemampuan ROV dewasa ini tidak lepas dari kelimuan geodesi dan geomatika. Meningkatnya ilmu penentuan posisi di bawah permukaan air dengan memanfaatkan gelombang akustik memiliki peran terhadap penentuan posisi ROV saat sedang beroperasi di kedalaman laut. Dengan adanya prinsip penentuan posisi akustik bawah air, kemampuan ROV dapat dimaksimalkan.
Gambar 2.1 ROV with Manipulator (sumber: http://skh-careers-oilandgas.wikispaces.com/)
2.2.
Prinsip Penentuan Posisi ROV
Saat wahana ROV beroperasi diperlukan suatu sistem penentuan posisi yang berguna untuk melacak keberadaan ROV di bawah permukaan laut dan juga untuk menentukan posisi objek yang diamati di bawah permukaan laut. Selain itu, posisi ROV menjadi sangat penting mengingat tingginya biaya untuk pengadaan wahana ini, sehingga posisi ROV saat beroperasi harus selalu dipantau untuk menjamin keamanannya.
2.2.1. Komponen Utama Penentuan Posisi ROV Pengoperasian wahana ROV terbagi menjadi 2 komponen penting yaitu vehicle atau ROV itu sendiri dan ruang kontrol. Ruang kontrol terletak di atas permukaan laut baik di kapal, rig, maupun barge. Dalam ruang kontrol terdapat operator ROV yang 7
mengendalikan wahana tersebut beserta seluruh komponen yang menunjang pengoperasian ROV seperti layar monitor yang menampilkan video ROV dan monitor yang menunjukkan posisi ROV.
Untuk menentukan posisi ROV di dalam laut, diperlukan posisi ruang kontrol sebagai acuan terlebih dahulu. Untuk mendapatkannya digunakan metode DGPS (Differential Global Positioning System) atau RTK (Real Time Kinematic) untuk menentukan posisi definitif ruang kontrol ROV sebagai penentuan posisi utamanya, sehingga posisi ROV relatif terhadap posisi ruang kontrol berada. Dengan demikian saat posisi relatif ROV terhadap ruang kendali diperoleh, dapat diikatkan dengan posisi ruang kendali sehingga diperoleh posisi definitif dari ROV.
Untuk menentukan posisi ROV di dalam laut, digunakan teknologi gelombang suara atau biasa disebut gelombang akustik (Acoustic Underwater Positioning System). Gelombang tersebut dihasilkan melalui alat yang dipasang pada ruang kontrol berada (kapal, rig, atau barge) dan pada ROV. Alat tersebut terbagi menjadi 2 komponen utama, yaitu transmitter sebagai pemancar gelombang akustik dan receiver sebagai penerima gelombang akustik.
2.2.1 Peralatan Penentuan Posisi Bawah Air 1.
Transduser
Transduser merupakan suatu alat yang berfungsi baik sebagai pemancar (transmitter) maupun penerima (receiver) gelombang akustik yang dipasang pada wahana di permukaan laut. Pola gelombang ada yang berbentuk setengah bola (hemispherical) dan segala arah (omnidirectional). Terdapat 2 jenis transduser yaitu unit kapal luar dan unit kapal dalam.
a) Unit Kapal Luar Pada unit kapal luar, transmitter dan receiver tergabung dalam satu alat transduser. Pemasangan dilakukan semi permanen pada lambung kiri atau kanan kapal.
8
b) Unit Kapal Dalam Pada unit kapal dalam, transmitter dan receiver didesain terpisah. Transduser hanya berfungsi sebagai transmitter dan sebagai receiver menggunakan hydrophone. Pemasangan secara permanen dilakukan di bagian bawah tubuh kapal.
Gambar 2.2 One Hull Mounted Transducer HiPAP 501 (sumber: http://www.km.kongsberg.com/)
2.
Transponder
Sama seperti transduser, transponder berfungsi sebagai transmitter dan juga receiver tetapi dipasang di dalam laut sebagai contoh dipasang pada wahana di dalam air. Prinsip kerja dari alat ini pasif, dengan arti hanya akan memancarkan gelombang akustik bila terlebih dahulu menerima gelombang akustik dari transduser. Saat receiver transponder menerima gelombang akustik dari transmitter transduser, transponder melalui transmitter-nya akan mengirimkan gelombang akustik dengan frekuensi yang berbeda yang akan diterima oleh receiver pada transduser. Pola berkas gelombang dari transponder ada yang berupa hemispherical dan ada yang omnidirectional.
9
Gambar 2.3 Transponder Kongsberg cNode (sumber: http://subseaworldnews.com/)
3.
Beacon (Pinger)
Beacon atau pinger berfungsi sebagai suatu transmiter yang dipasang di wahana selam atau dasar laut. Prinsip kerja alat ini aktif, dengan arti alat ini akan terus mengeluarkan gelombang akustik terus menerus tanpa harus menerima gelombang akustik terlebih dahulu seperti transponder. Pola berkas gelombang berupa hemispherical dan omnidirectional.
Gambar 2.4 ULB-364 Series Underwater Location Beacon (sumber: http://www.act-us.info/ )
4.
Responder
Alat ini berfungsi sebagai transmitter yang dipasang di wahana selam atau dasar laut seperti pada beacon atau pinger. Prinsip kerja responder pun sama seperti beacon atau pinger yaitu aktif, yang membedakan adalah responder terhubung dengan kapal 10
melalui kabel sehingga responder hanya akan memancarkan gelombang akustik saat menerima energi listrik melalui kabel. Hal ini berdampak pada wilayah jangkauan responder yang sangat bergantung pada panjang kabel. Pola gelombang responder berbentuk hemispherical dan ada yang omnidirectional.
Gambar 2.5 Type 7730 HPR Responder (sumber: http://www.oceanscan.net/ )
5.
Hydrophone
Hydrophone berfungsi sebagai receiver yang dipasang pada wahana apung pada jenis transduser unit kapal dalam seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hydrophone akan menangkap gelombang akustik dari transponder, responder, dan beacon (pinger).
Gambar 2.6 Underwater Acoustic Recorder Hydrophone (sumber: http://www.thesextonco.com/)
11
2.2.2. Penentuan Posisi Akustik Terdapat 3 macam metode dalam menentukan posisi bawah air yang dibedakan berdasarkan panjang basis yang dimiliki. Panjang basis tersebut merupakan panjang antara masing-masing transmitter atau masing-masing receiver. Klasifikasi ketiga metode tersebut berdasarkan panjang basisnya menurut Milne (1980) sebagai berikut: Tabel 2.1 Panjang Basis BASIS
PANJANG BASIS
USBL (Ultra Short Baseline)
< 0,5 meter
SBL (Short Baseline)
≈ 5 – 20 meter
LBL (Long Baseline)
> 20 meter
(sumber: Renouf, John, K.,1985.)
Pada metode USBL dan SBL posisi yang akan ditentukan merupakan posisi objek yang berada di dalam laut relatif terhadap posisi kapal, sehingga pada kedua metode ini harus diperhatikan pengaruh pergerakan kapal saat pengamatan berlangsung. Sedangkan pada metode LBL posisi yang akan ditentukan merupakan objek di permukaan atau dalam air relatif terhadap kerangka di dasar laut yang terdiri dari rangkaian transponder, sehingga pengaruh pergerakan kapal sangat kecil dan dapat diabaikan. Untuk membentuk kerangka LBL, posisi definitif transpondertransponder harus diketahui terlebih dahulu.
12
Gambar 2.7
Metode USBL, SBL, dan LBL
Setiap metode memiliki prosedur tersendiri untuk melaksanakannya. Semakin panjang baseline semakin panjang pula prosedur yang harus dilakukan. Akan tetapi, semakin panjang baseline semakin baik pula ketelitian posisi yang dapat diperoleh dan semakin luas jangkauannya. Ketiga metode tersebut dapat digunakan dalam menentukan posisi di dalam laut walau pun tingkat ketelitiannya berbeda. Tingkat ketelitian yang dibutuhkan berbeda-beda dan sangat tergantung dari jenis kegiatan yang dilakukan.
Setiap metode basis tersebut memiliki cara masing-masing dalam melakukan perhitungan untuk menentukan posisi di dalam air. Untuk USBL dibedakan berdasarkan data yang diperlukan, data tersebut erat kaitannya dengan jenis peralatan akustik yang digunakan pada wahana. Pada SBL cara perhitungan dibedakan berdasarkan peralatan akustik yang digunakan, sedangkan pada LBL cara dibedakan berdasarkan objek yang akan diamati.
13
Tabel 2.2 Cara Penentuan Posisi Menurut Metode BASIS
CARA PERHITUNGAN 1. Data kedalaman dan sudut miring (Incidence Angle)
USBL
2. Data jarak dan sudut miring 3. Data kedalaman, jarak, dan sudut miring 1. Konfigurasi Transduser/Hydrophone
SBL
2. Beacon 3. Transponder 1. Navigasi wahana apung
LBL
2. Navigasi wahana selam 3. penjejakan wahana tak berawak
(sumber: Yunus, M.,1989.)
2.3.
Aplikasi ROV
Dengan berkembangnya teknologi yang dialami sepanjang sejarah ROV, penggunaan ROV kini tidak sebatas pada keperluan militer saja melainkan juga untuk keperluan bisnis komersial, maupun akademis dan riset. Khusus untuk tujuan komersil di dalam dunia pengeboran minyak dan gas lepas pantai, secara garis besar aplikasi ROV adalah sebagai berikut: 1.
Menyertai para penyelam, untuk meyakinkan bahwa para penyelam dalam keadaan aman dan siap memberi bantuan.
2.
Inspeksi atau pemeriksaan anjungan atau kilang minyak, dari mulai pemeriksaan visual sampai menggunakan alat tertentu untuk memonitor efek dari korosi, kesalahan konstruksi, mencari lokasi keretakan, estimasi biologi untuk pencemaran.
3.
Inspeksi jalur pipa, mengikuti jalur pipa bawah laut untuk mengecek adanya kebocoran, menentukan perkiraan umur pipa dan meyakinkan bila instalasi pipa dalam kondisi baik.
4.
Survei, baik visual maupun survei menggunakan gelombang suara, diperlukan sebelum pemasangan pipa, kabel, dan fasilitas bawah laut lainnya.
14
5.
Pendukung pengeboran dan konstruksi, dari inspeksi visual, memonitor pelaksanaan pengeboran dan konstruksi, sampai melakukan perbaikanperbaikan jika diperlukan.
6.
Memindahkan benda-benda berbahaya di dasar laut, terutama di sekitar fasilitas bangunan seperti kilang minyak. ROV terbukti lebih bisa menekan biaya untuk menjaga daerah tersebut tetap aman dan bersih.
7.
Menentukan posisi dari objek-objek yang diamati, seperti titik kerusakan pipa, objek ang dianggap berbahaya, maupun titik di mana terdapat free-span.
Di bidang telekomunikasi, yaitu mendukung pekerjaan pemasangan kabel telekomunikasi bawah laut, selain memonitor, juga menjaga agar pemasangan kabel sesuai dengan prosedur sehingga terlindung dari gangguan nelayan (kapal trawler) dan kemungkinan kapal membuang jangkar. Dalam bidang riset, antara lain yang telah disebutkan diatas, salah satunya menginvestigasi perubahan-perubahan yang terjadi di dasar laut pasca gempa dan tsunami, maupun penelitian objek dasar laut seperti kapal karam yang memiliki nilai sejarah. Dalam kasus instalasi pipa bawah laut, ROV ambil bagian di setiap tahapan survei. Terdapat tiga tahapan utama dalam survei instalasi pipa bawah laut, yaitu Pre-Lay Survey, Pipeline Installation, dan As Laid Survey. Pada ketiga tahapan tersebut, ROV memiliki peran yang berbeda dalam mendukung terlaksananya kegiatan survei.
2.4.
Proses Instalasi Pipa Bawah Laut
Diperlukan 3 macam rangkaian kegiatan untuk memasang pipa bawah laut. Ketiga proses konstruksi tersebut berupa Pre-Lay Survey, Pipeline Installation, dan As Laid Survey. Penjelasan setiap tahap konstruksi pipa sebagai berikut.
2.4.1. Pre-Lay Survey Tahap Pre-Lay Survey merupakan tahap sebelum pemasangan pipa dilakukan. Kegiatan survei ini berdasarkan pada kegiatan Pre-Engineering Survey yang dilakukan sekitar 2 sampai 3 tahun sebelum tahapan pemasangan pipa ini berjalan. 15
Pada survei ini jalur yang akan di survei lebih lebar dibandingkan dengan survei rute pemasangan pipa, hal ini dilakukan untuk meninjau wilayah jangkar dari kapal tongkang yang akan digunakan untuk pemasangan pipa. Tujuan dari Pre-Lay Survey adalah sebagai berikut: 1.
Menyediakan informasi mengenai dasar laut, seperti data batimetri dan menyediakan informasi mengenai posisi pipa yang telah existing
2.
Mengidentifikasi endapan puing-puing yang berbahaya yang teridentifikasi pada saat survei rute pipa dilakukan
3.
Menyediakan informasi lanjutan dari puing-puing yang telah diketahui sebelumnya melalui Pre-Engineering Survey
Jenis kegiatan survei yang dilakukan pada Pre-Lay Survey: 1.
Side Scan Sonar
2.
Sub-Bottom Profiler
3.
Echo sounder
4.
Magnetometer survey
Proses ini dilakukan untuk mendeteksi fitur-fitur berbahaya melalui hasil sonar. Bila terdeteksi hal seperti itu maka diperlukan data visual untuk mengamati dan menganalisis objek tersebut. Data visual ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah selanjutnya, apakah akan dilakukan pemindahan objek yang dideteksi berbahaya atau dilakukan perubahan rencana jalur pipa untuk menghindari objek tersebut.
2.4.2. Pipeline Installation Pipeline Installation merupakan tahap berikutnya setelah dipastikan bahwa area jalur rencana pipa aman dan layak untuk dipasang pipa. Terdapat 4 metode untuk melakukan Pipeline Installation, yaitu sebagai berikut:
16
1.
Tow-in-Pipeline Installation
2.
S-Lay Pipeline Installation
3.
J-Lay Pipeline Installtaion
4.
Metode Reel Barge
Penggunaan metode pemasangan pipa tersebut tergantung pada jenis dan ukuran dari pipa yang akan dipasang. Setelah pipa selesai diletakkan di dasar laut, bagian vertikal pada pipa disebut riser, digunakan untuk menghubungkan pipa bawah laut ke fasilitas produksi yang biasanya terletak pada sebuah platform. Proses ini dinamakan Tie-in/Riser Installation. Selama tahap ini dilaksanakan diperlukan data visual untuk memantau jalannya pemasangan pipa. Biasanya digunakan ROV untuk memperoleh data visual secara langsung berjalannya pemasangan pipa. Kamera ROV diharapkan mampu memberi informasi apakah pemasangan berjalan lancar sesuai rencana atau terjadi kesalahan seperti pipa keluar dari jalur rencana atau adanya kesalahan teknis lain yang mungkin terjadi. Pemantauan ini dilakukan agar bila terjadi kesalahan dapat langsung terdeteksi dan langsung dapat dilakukan langkah penanggulangan untuk mengatasi situasi tersebut sebelum kesalahan menjadi semakin parah dan merambat ke bagian lain.
2.4.3. As Laid Survey Tahap terakhir dari pemasangan pipa adalah As Laid Survey yang bertujuan untuk melakukan
perekaman posisi dan status dari pipa setelah pipa dipasang secara
langsung. Survei ini dilakukan pada saat proses pemasangan pipa bawah laut atau dilakukan sesaat setelah proses pemasangan pipa sudah selesai maupun secara berkala untuk kedepannya. Dengan dilakukannya tahap ini akan diperoleh hal-hal seperti berikut: a.
Posisi horizontal dari pipa bawah laut dengan referensi perencanaan awal
b.
Profil vertikal dari pipa bawah laut dengan memperhatikan kondisi dasar laut dari berbagai sisi pada pipa bawah laut tersebut
c.
Rekaman video dari kedua sisi dan bagian atas dari pipa bawah laut.
d.
Profil melintang dengan batas interval tertentu 17
e.
Data lokasi dan dokumentasi kondisi fisik dari pipa bawah laut
f.
Data lokasi dan dokumentasi dari free-span dan buckles
g.
Data lokasi dan dokumentasi dari debris di sekitar lokasi pipa yang dapat menghalangi penggalian
h.
Menentukan posisi dari masing masing field joint dan CP anode
Dapat dilakukan beberapa cara untuk mendapatkan data-data di atas. ROV juga memiliki peran untuk mendapatkan data-data tersebut. Kamera pada ROV diharapkan mampu merekam data visual mengenai kondisi nyata pipa di dasar laut. Diperlukan suatu metode untuk menentukan koordinat posisi berbagai objek-objek dan juga informasi adanya rongga di bawah pipa (free-span). Selain itu diperlukan juga data kedalaman pipa baik secara real-time maupun terhadap suatu datum. Kemungkinan adanya kerusakan pada pipa yang dapat berakibat pada kebocoran diharapkan dapat dideteksi melalui kegiatan ini.
Gambar 2.8 ROV Pipeline Inspection (sumber: http://www.gnom-rov.com/)
18