Sejarah Konvergensi Media dalam Konteks Keindonesiaan Ahmad Prasetyadi, Irwansyah Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
1 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
2 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS
3 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Abstrak
x
4 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Abstrak Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini membawa perubahan signifikan terhadap media. Media massa konvensional semacam radio, televisi, surat kabar, film, rekaman suara (sound recording) terkonvergensi berkat berkat kehadiran teknologi digital dan internet yang mampu meleburkan industri media, komputer, dan telekomunikasi menjadi satu. Dengan demikian, penulisan sejarah media konvensional yang cenderung memisah-misahkan berbagai bentuk media kini tidak relevan lagi. Sejarah media mesti ditulis ulang secara terkonvergensi sebagai sebuah kesatuan utuh. Makalah ini berupaya mengkaji sejarah media secara terkonvergen dalam konteks keindonesiaan dengan menggunakan konsep-konsep dalam buku “Media Convergence History” sebagai pisau analisisnya. Makalah ini merupakan kajian literatur yang tidak menggunakan pendekatan kronologi dalam pembahasannya dan memilih pendekatan ‘flashback’ sebagaimana digunakan dalam buku “Media Convergence History” (Janet Staiger dan Sabine Hake, 2009). Dari kajian literaturliteratur yang diperoleh, menyimpulkan bahwa konvergensi media di Indonesia terutama bergerak dalam dimensi industri (industrial convergence) dan budaya (cultural convergence). Technological convergence menuju media baru web 2.0 terhambat oleh lemahnya penegakan hukum terhadap cyber crime.
i i Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Media Convergence History in the Context of Indonesia Abstract The development of information and communication technology today brings significant changes to the media . Conventional mass media such as radio , television , newspapers , films , sound recordings are converged due to the presence of digital technology and the internet which also merge the media industry , computer , and telecommunications . Thus , the writing of conventional media history which tend to isolate various forms of media now no longer relevant . The history of media must be rewritten as a converged and unified entity . This paper seeks to examine the history of media in the context of Indonesia through convergence perspective by using amount of concepts adopted from the book " Media Convergence History " ( Janet Staiger and Sabine Hake , 2009) as the tools of analysis. This paper does not use a chronological approach to its discussion, yet chooses the ' flashback approach' as used in the book " Media Convergence History ". The result of literaure study conducted concluds that the convergence of media in Indonesia is mainly engaged in industrial dimensions ( industrial convergence ) and cultural dimension (cultural convergence ) . Technological convergence towards new media web 2.0 is hampered by the lack of law enforcement against cyber crime .
ii Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Latar Belakang Antara tahun 1931 hingga 1933, studio film Amerika bernama Warner Bros. Inc. memproduksi 18 seri film instruksional “How I Play Golf?” dengan pegolf amatir fenomenal, Bobby Jones, sebagai bintangnya. Film ini merupakan proyek ‘coba-coba’ Warner Bros. untuk mengenalkan teknologi suara di dalam motion picture (film) sehingga film tidak lagi ‘bisu’. Diluar dugaan, film tersebut meraih profit sebesar $600,000 dan mengawali babak baru dunia perfilman yang mengonvergensikan format media visual (motion picture) dan suara (audio) di dalamnya (Harper Cossar dalam Staiger dan Hake; 105, 2009). Konvergensi media dalam dimensi teknologis pun dimulai. Dalam dimensi budaya dan industri, konvergensi media dimulai dari kisah Gennett Records; sebuah studio rekaman anak perusahaan Starr Company asal Amerika Serikat (19171935) yang terkenal dengan musisi-musisi jazz-nya semisal Joe “King” Oliver, Louis Amstrong, atau Bix Beiderbecke. Gennett Records memperkenalkan konvergensi vertikal antara sektor produksi dan distribusi dalam industri rekaman. Produksi piringan hitam yang dikerjakan Gennett kemudian dijual melalui jaringan toko alat musik Starr Stores yang tersebar di seluruh wilayah Amerika Serikat. Pada era yang sama, Konvergensi industri juga diperlihatkan pada kasus dibelinya Victor Records oleh Radio Corporation of America (RCA) pada tahun 1929 karena munculnya radio komersil yang membuat penjualan piringan hitam merosot serta ketidakmampuan studio rekaman tersebut menghadapi depresi ekonomi AS tahun 1930an. Selain itu, konvergensi (budaya) organisasi juga terjadi dengan menjabatnya Fred Wiggin, salah seorang manager Starr Stores untuk wilayah Chicago, sebagai pemandu bakat (talent scouter) yang bertugas mencari dan mengorbitkan musisi untuk label Gennett Records (Kyle S. Barnett dalam Staiger dan Hake; 83, 2009). Dua kisah di atas memperlihatkan bahwa perkembangan media bergerak ke arah terkonvergensinya media baik dalam dimensi teknologi, industri, maupun budaya. Media tidak lagi melaju dalam jalur yang terpisah-pisah, namun bergerak saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain membentuk satu kesatuan utuh. Dimulai dari technological convergence antara format audio dengan visual yang menghasilkan film bersuara, kini konvergensi media berkembang lebih cepat berkat kehadiran teknologi digital dan sistem jaringan komputer yang disebut internet.
11 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Konversi media dari format analog ke digital (digitalisasi) membuat semua bentuk media dapat dikonsumsi hanya dengan satu perangkat (device) saja. Siaran televisi, radio, alunan musik, film, video game, serta media cetak (surat kabar, buku, majalah, dll) dapat diakses dan dinikmati melalui satu perangkat saja, baik itu melalui komputer, laptop, tablet, atau smartphone. Di samping itu, kehadiran internet dengan web 3.0-nya sebagai jaringan yang menghubungkan seluruh perangkat digital sedunia memudahkan sekaligus mempercepat aktifitas komunikasi, interaksi, serta konsumsi media yang manusia lakukan. Technological convergence tersebut memaksa industri media untuk memikirkan dan merestrukturisasi kembali bisnis mereka supaya mampu bertahan dan menghasilkan profit lebih maksimum. Maka terjadilah apa yang disebut sebagai industrial convergence baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, perusahaan media berupaya membangun industri media terkonvergen dengan membuat sektor produksi, distribusi, serta eksibisi berada dalam satu payung perusahaan. Gennett Records mencontohkan konvergensi semacam ini. Sedangkan konvergensi horizontal dilakukan dengan proses pembentukan unit bisnis media baru, akuisisi, merger atau kerjasama perusahaan media yang berbeda untuk satu tujuan bersama. Diakuisisinya Victor Records oleh Radio Corporation of America (RCA) menunjukkan konvergensi horizontal tersebut. Semua bentuk industrial convergence ini pada dasarnya bertujuan untuk kepentingan ekonomis semata, yakni mencapai efisiensi untuk meraih profit maksimum. Dengan adanya konvergensi media seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, menjadi sangat menarik untuk menulis sejarah media dalam konteks ke-Indonesia-an secara terkonvergen. Makalah ini berupaya memetakan sejarah konvergensi media di Indonesia berdasarkan konsep-konsep yang diekstrak dari buku “Media Convergence History” (Staiger dan Hake, 2009) untuk menemukan persamaan dan perbedaan serta menjawab pertanyaanpertanyaan: a. Sedang dimana perkembangan media di Indonesia sekarang? b. Apa yang telah dicapai dalam perkembangan media di Indonesia itu? c. Kemanakah perkembangan media di Indonesia itu akan berlanjut? Pendekatan ‘flashback’ dipilih dalam menulis makalah ini mengingat rujukan utama dan sekunder yang tersedia tidak memungkinkan untuk menulisnya sebagai sebuah kronologi sejarah yang berurutan. Penelitian yang dilakukan dalam makalah ini bertujuan untuk 2 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
mengetahui sekaligus memetakan sejauh mana praktik konvergensi media berjalan di Indonesia secara historis, apa yang telah dicapai dalam perjalanan tersebut, serta arah mana yang dituju.
3 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Tinjauan Teoretis
“How I Play Golf?”; Ketika Audio dan Visual Terkonvergen Konvergensi media dalam dimensi teknologis dapat dilihat akar sejarahnya pada produksi 18 seri film instruksional pendek “How I Play Golf?” antara tahun 1931-1933 oleh studio Warner Bros. Inc. Film pendek ini merupakan proyek uji Warner Bros. Inc. dalam hal menggabungkan teknologi suara dengan motion picture, menguji slow motion technological style dalam film, serta mengorbitkan artis baru (Bobby Jones) dengan resiko investasi finansial seminimum mungkin (Cossar dalam Staigner dan Hake; 102, 2009). Film bersuara ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari khalayak dengan perolehan profit sebesar $600,000 dan mengawali babak baru dunia perfilman yang mengonvergensikan format media visual (motion picture) dan suara (audio) di dalamnya (Cossar dalam Staiger dan Hake; 105, 2009). Sejak saat itu, perkembangan sejarah film selalu dilihat sebagai perkembangan konvergen antara teknologi audio dengan teknologi visual. Film menjadi media audio-visual yang terkonvergen.
4 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Marvel Inc. dan X-Men; Bisnis Franchise Konten Media Media terkonvergen salah satunya berjalan karena adanya praktik waralaba di dalam industri media. Sebuah perusahaan media mampu membentuk jaringan usaha media terkonvergen dengan sistem ini. Jenkins (2006) mengatakan bahwa waralaba media merupakan produk konvergensi atas praktik produksi (Thompson, 2007). Sebut saja Marvel Publishing, Inc., sebuah perusahaan yang menelurkan karakter-karakter superhero yang populer secara global seperti X-Men, Spiderman, Batman, Captain America, Hulk, dll melalui medium komik (bacaan). Dengan modal awal komik, karakter-karakter populer tersebut kemudian diwaralabakan kepada berbagai industri media untuk diproduksi dalam medium selain komik seperti film, video game, asesoris, mainan, dll. Dengan mewaralabakan karakterkarakter tidak nyata seperti ini saja, keuntungan yang diterima Marvel Publishing, Inc. sangat besar dan karakter-karakter buatan Marvel menjadi populer di seantero dunia karena sistem waralaba ini. Singkatnya, determinisme ekonomi (melalui praktik franchise/waralaba) turut menciptakan konvergensi media sebagai upaya untuk menjual konten melalui beragam medium, channel, dan platform. Bisnis Bioskop Meksiko era 1920an; Ketika Modal dan Kultur Transnasional Mendominasi Pada dekade 1920an, sekitar 500 film Amerika Serikat membanjiri pasar film Meksiko. Film-film tersebut menawarkan model gender, relasi kelas, serta gaya hidup ala AS bagi khalayak Meksiko. Dalam kedigdayaan film AS tersebut, industri film domestik Meksiko tidak mampu bersaing dan terus merosot. Tercatat hanya dirilis rata-rata enam film per tahun antara tahun 1916 hingga 1929 (Garcia Riera dalam Serna dalam Staigner dan Hake; 70, 2009). Melihat begitu larisnya film-film AS di Meksiko, para investor AS datang ke Meksiko untuk bekerjasama, mengakuisisi, atau mendirikan bioskop di Meksiko. Sangat mengherankan, publik Meksiko justru mengapresiasi modal transnasional yang dibawa para investor AS dan menganggap mereka sebagai “truly progressive nacionalist” (Garcia Riera dalam Serna dalam Staigner dan Hake; 70, 2009). Industrial Media Convergence yang diperlihatkan dalam kasus bioskop Meksiko di atas berada pada sektor distribusi dan eksibisi. Terjadi konvergensi industri secara vertikal melalui kerjasama antara distributor film dengan pemilik bioskop untuk membanjiri pasar film Meksiko dengan film-film AS. Hal itu diketahui dari dominasi investor AS dalam bisnis 5 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
bioskop di Meksiko dan jumlah film AS yang masuk dan dipertunjukkan. Konvergensi industri vertikal terjadi dalam sektor eksibisi itu sendiri. Selain melakukan akuisisi dan mendirikan bioskop baru, para investor AS melakukan kerjasama bisnis dengan pengusaha bioskop lokal. Membanjirnya film dan bioskop transnasional di Meksiko, ternyata berpengaruh pada budaya orang Meksiko itu sendiri. Dengan terpaan film AS yang tentu membawa pesan ideologis serta menawarkan model gender, relasi kelas, serta gaya hidup ala AS, khalayak Meksiko terkultivasi dengan menempatkan investor AS sebagai nasionalis progresif yang sebenarnya. Gennett Records dan Victor Records; Pionir Industrial Convergence Vertikal dan Horizontal Konvergensi media dalam dimensi industri secara vertikal diperlihatkan oleh Gennett Records; sebuah studio rekaman anak perusahaan Starr Company asal Amerika Serikat (19171935) yang terkenal dengan musisi-musisi jazz-nya semisal Joe “King” Oliver, Louis Amstrong, atau Bix Beiderbecke. Gennett Records memperkenalkan konvergensi vertikal antara sektor produksi dan distribusi dalam industri rekaman. Produksi piringan hitam yang dikerjakan Gennett kemudian dijual melalui jaringan toko alat musik Starr Stores yang tersebar di seluruh wilayah Amerika Serikat. Selain itu, seluruh Starr Store se-Amerika Serikat juga berfungsi sebagai information-gathering center bagi Gennett Records untuk menjaring selera musik khalayak lokal di masing-masing wilayah. Pada era yang sama, Konvergensi industri juga diperlihatkan pada kasus dibelinya Victor Records oleh Radio Corporation of America (RCA) pada tahun 1929 karena munculnya radio komersil yang membuat penjualan piringan hitam merosot serta ketidakmampuan studio rekaman tersebut menghadapi depresi ekonomi AS tahun 1930an. Fred Wiggins; Manager Toko Starr Stores sekaligus Pemandu Bakat Gennett Records (1917-1935) Konvergensi budaya, khususnya budaya organisasi, ditunjukkan pula oleh Kyle S. Barnett (dalam Staiger dan Hake, 2009) dengan mencontohkan kasus studio rekaman Gennett Records. Gennett adalah sebuah studio rekaman yang merupakan anak perusahaan Starr Company, perusahaan yang bergerak dalam indutri alat musik (piano) di AS. Selain memiliki 6 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Gennett, Starr Company juga memiliki Starr Store yang menjadi jaringan distributor produkproduk Starr Company yang tersebar di seluruh negara bagian di AS. Fred Wiggin, manager Starr Stores wilayah Chicago, merangkap jabatan sebagai pemandu bakat (talent scouter) yang bertugas mencari dan mengorbitkan musisi untuk label Gennett Records (Kyle S. Barnett dalam Staiger dan Hake; 83, 2009). Selain karena alasan efisiensi, penunjukkan Wiggins sebagai pemandu bakat merupakan cermin fleksibilitas organisasi dan bergesernya budaya fordism (spesialisasi) dalam studio rekaman tersebut. Hal ini terlihat mirip dengan konvergensi newsroom dalam usaha pers. Dari berbagai dimensi konvergensi yang ada, media cenderung bergerak ke arah pemusatan. Dari dimensi teknologi, pemusatan bergerak ke arah digitalisasi semua bentuk media dan pemanfaatan internet untuk distribusi dan eksibisinya. Dari dimensi industri, pemusatan bergerak ke arah konglomerasi bisnis media, terjadinya akuisisi, merger, atau praktik kerjasama bisnis terkonvergen untuk mencapai efisiensi dan maksimalisasi profit. Sedangkan dari dimensi budaya, konvergensi media bergerak dua arah. Bagi khalayak, konvergensi media justru membuat khalayak tidak hanya menjadi pihak yang pasif. Partisipasi aktif khalayak difasilitasi converged media sehingga mampu menjadi user generated content seperti dalam kasus youtube.com.
7 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam makalah ini dilakukan melalui metode kajian literatur. Literatur utama yang digunakan sebagai pisau analisis adalah buku “Media Convergence History” (Janet Staiger dan Sabine Hake, 2009) yang memuat sejarah perkembangan media, khususnya di wilayah Eropa dan Amerika, melalui pendekatan ‘flashback’. Apa yang dikaji di dalam buku tersebut dideduksikan dalam makalah ini untuk menjelaskan kasus atau subjek yang sama namun dalam konteks keindonesiaan. Dalam makalah ini, terdapat empat perusahaan lintas zaman yang dianggap mewakili industri yang berbeda akan digunakan sebagai sampel penelitian yakni; Kompas Gramedia Group, studio rekaman Lokananta, gerai makanan waralaba Kentucky Fried Chicken, serta perusahaan bioskop PT. Nusantara Sejahtera Raya (21 Cineplex). Keempat sampel tersebut dinilai cukup representatif untuk menjelaskan sejarah konvergensi media dalam konteks keindonesiaan dalam dimensi industri, teknologi, serta budaya.
8 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Pembahasan I. Kompas Gramedia Group; Multimedia, Multiplatform, Multichannel
Technological Convergence Kompas Gramedia Group Kompas Gramedia Group melakukan konvergensi teknologis dimulai pada tahun 1998. Dengan semboyan 3M (Multimedia, Multiplatform, dan Multichannel), Kompas Gramedia Group memanfaatkan media seluruh bentuk media yang ada baik digital maupun analog. Digitalisasi media cetak pada Kompas Gramedia Group terlihat pada website www.kompas.com yang menyediakan konten online, e-newspaper untuk media digital, serta kompasiana.com untuk mengakomodir layanan citizen journalism. Digitalisasi siaran TV dari Kompas TV network disediakan melalui website www.kompas.tv yang menyediakan layanan live streaming untuk program-program Kompas TV. Sayang sekali, film “Sang Penari” yang diproduksi oleh Kompas Gramedia Production tidak bisa diakses secara online, baik melalui www.kompas.tv maupun situs resminya www.sangpenari.com. Radio Sonora FM dan Otomotion FM juga dapat dinikmati dengan live streaming meskipun tidak melalui website resminya www.sonora-network.com. Live streaming Sonora FM via internet bisa nikmati 9 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
melalui www.indonesia.listenradios.com atau situs penyedia radio live streaming online lainnya. Dengan melihat hal di atas, dapat dikatakan bahwa Kompas Gramedia Group merupakan salah satu perusahaan media yang sangat serius dengan technological convergence di era digital ini. Industrial Media Convergence Kompas Gramedia Group Konvergensi Vertikal Kompas Gramedia Group melakukan industrial convergence secara vertikal sejak mendirikan toko buku Gramedia sejak tahun 1970 (konvergensi industri vertikal sektor distribusi) dan membangun percetakan Gramedia untuk mencetak media mereka sendiri yang mulai beroperasi pada bulan Agustus 1972 (konvergensi industri vertikal sektor produksi hulu). Konvergensi Horizontal Kompas Gramedia Group mengawali industrial convergence secara horizontal melalui pendirian unit bisnis Radio Sonora, berkedudukan di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat pada tahun 1972. Hingga kini, Sonora FM telah tumbuh menjadi 10 stasiun di 10 kota besar Indonesia. Selain Sonora FM, Kompas Gramedia Group juga memiliki Eltira FM dan Motion FM. Pada tahun 1987, Kompas Gramedia mengambil-alih kepemilikan (akuisisi) perusahaan penerbitan harian Sriwijaya Post di Palembang. Inilah cikal bakal dari grup koran regional Tribun yang kini memiliki 13 cabang di berbagai daerah di Indonesia. Selain Tribun dan Sriwijaya Post, Kompas Gramedia Group juga mengakuisisi harian pagi Surya (1986), koran Swadesi yang namanya diubah menjadi Serambi Indonesia di Banda Aceh (1988), koran Pos Kupang (1992), koran Banjarmasin Post (1994). Selain memperluas unit usaha surat kabar, Kompas Gramedia Group juga memperluas usaha di media cetak lain seperti majalah (35 judul), tabloid (13 judul), serta penerbitan buku (7 penerbit). Kompas Gramedia Group juga memiliki media online (kompas.com, kompasiana.com), e-newspaper, , serta Kompas Gramedia TV (mempersiapkan proyek KOMPAS GRAMEDIA TV Network, Kompas Channel, KOMPAS GRAMEDIA Vision, dan Kompas TV; dimulai tahun 2009). 10 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Cultural Media Convergence Kompas Gramedia Group Kompas
Gramedia
Group
merilis
sebuah
situs
bernama
Kompasiana
(www.kompasiana.com) yang menjadi situs citizen journalism. Melalui situs ini, khayalak tidak hanya menjadi konsumen pasif Kompas, namun juga berperan sebagai user generated content dengan mengunggah konten media yang dibuatnya sendiri atau berinetarksi dengan user lainnya di dalam forum Kompasiana. Kompasiana membuat terkonvergensinya peran user dan author dalam satu orang sekaligus.
II. Studio Rekaman Lokananta: Konvergensi Industri dengan RRI
Lokananta merupakan studio rekaman paling tua di Indonesia yang berdiri pada 29 Oktober 1956 di kota Surakarta. Pada mulanya, Lokananta hanya berdiri untuk kepentingan RRI dalam memperbanyak piringan hitam 98 lagu daerah se-Nusantara untuk disebarkan ke cabang RRI seluruh Indonesia. Pada awalnya pun Lokananta tidak memiliki studio sendiri. Semua rekaman dilakukan di studio milik RRI di seluruh Indonesia. Paling banyak dilakukan di RRI Solo. Akses istimewa ini didapat karena memang Lokananta lahir sebagai perusahaan transcription service untuk mendukung kinerja RRI pada saat itu. Hasil rekaman pun pada awalnya tidak dijual untuk umum, melainkan hanya dibagikan secara terbatas untuk seluruh stasiun RRI di Indonesia. Tapi karena banyaknya permintaan pendengar RRI untuk mengoleksi album terbitan Lokananta, akhirnya pada tahun 1959 perusahaan negara di bawah
11 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Departemen Penerangan ini mulai menjual hasil piringan hitamnya secara mandiri untuk khalayak umum. Pada tahun 1972, Lokananta mengadopsi teknologi kaset untuk memenuhi demand khalayak yang lebih suka dengan format kaset daripada vynil serta bersaing dengan studio rekaman swasta seperti Remaco, Mesra, Elshinta, Dimita, serta Golden Hand. Meskipun merupakan perusahaan negara nasional, Lokananta mengkhususkan diri dengan musik keroncong, langgam jawa, lagu daerah, serta merekam murattal Al Qur’an dan suara adzan. Hal itu bisa dipahami mengingat lokasi Lokananta yang berada di tengah salah satu pusat kebudayaan Jawa (Surakarta) dan mayoritas religius (muslim). Industrial Media Convergence Lokananta Lokananta merupakan bagian dari perusahaan jawatan negara Radio Republik indonesia. Lokananta berfungsi sebagai studio rekaman, pabrik pengganda kaset, sekaligus talent scouting center bagi RRI. Artis-artis yang diorbitkan oleh Lokananta seperti Waldjinah (musisi keroncong) menjadi ikon RRI, bahkan Waldjinah pernah mendapat gelar sebagai Bintang Radio Jenis Keroncong Tingkat nasional tahun 1965 dan pialanya diserahkan langsung oleh Presiden Soekarno. III. Kentucky Fried Chicken (KFC); Brand Image untuk Produksi, Distribusi, dan Eksibisi Konten Musik
KFC merupakan gerai makanan dan minuman cepat saji (fast-food) dengan konsep waralaba (franchise) yang saat ini telah memiliki 430 gerai di 95 kota seluruh Indonesia (berita-bisnis.com, Juni 2012). KFC memiliki target pasar anak muda melihat produknya 12 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
berupa fastfood (Fabian Galael dalam swa.co.id, Oktober 2012). Melihat bisnis fastfood yang semakin kompetitif dengan adanya pesaing dengan target pasar sama seperti McDonalds, Pizza Hut, atau Hoka-hoka Bento, direktur pengelola (CEO) KFC Indonesia, Fabian Galael, berinovasi dengan merambah industri musik untuk memperkuat brand positioning KFC di Indonesia mulai tahun 2011. Fabian mendirikan dua label
(studio rekaman) sekaligus. PT. Music Factory
Indonesia (MFI) dijadikan label untuk mengorbitkan artis atau grup band Indie melalui audisi musisi KFC. Artis yang berhasil diorbitkan antara lain Juliet. Sedangkan PT. Swara Sangkar Mas menjadi label yang digunakan untuk melakukan kerjasama/kolaborasi penerbitan album kompilasi musisi-musisi ternama Indonesia dengan studio-studio rekaman besar di tanah air seperti Musica Studio, Aquarius, E-Motion, Sony Emi Studio, dll. Tercatat musisi-musisi besar yang membuat album kompilasi via label Swara Sangkar Mas adalah Agnes Monica, Smash, Dewa, Armada, Rossa, Slank, dan sebagainya. Di samping usaha industri rekaman sektor produksi tersebut, KFC Indonesia juga bergerak dalam usaha distribusi dan eksibisi musik. Beberapa label besar seperti Musica Studio atau Aquarius yang tidak memiliki jalur distribusi sendiri (tidak punya toko sendiri) dan kebingungan menghadapi pembajakan, bekerjasama dengan KFC untuk mendistribusikan CD musik mereka melalui 430 gerai KFC di seluruh Indonesia. KFC sendiri rata-rata mampu menjual 100.000 keping CD per bulan. Agnes Monica di bawah label Aquarius mampu menjual 1,9 keping CD albumnya di KFC. Usaha sektor eksibisi dilakukan KFC dengan menyelenggarakan konser-konser musik di gerai-gerai KFC tertentu seperti di Kemang, Jakarta Selatan. Konser musik itu diisi oleh band-band indie yang diorbitkan KFC dan musisimusisi dari label besar yang turut menjual CD album lewat KFC seperti Slank, Agnes Monica, Dewa, dll. Saat ini, Fabian Galael tengah menjajaki kerjasama dengan produsen gadget seperti Apple dan Samsung untuk menjual produk-produk mereka di gerai-gerai KFC juga. Industrial Media Convergence KFC menjadi contoh paling bagus saat ini untuk melihat industrial convergence dalam dunia industri rekaman Indonesia. Sebagai pemain baru dalam industri ini, KFC langsung bergerak menciptakan grup industri musik dari sektor produksi (label MFI dan Swara Sangkar Mas), distribusi sekaligus eksibisi/pertunjukan secara terkonvergen melalui 430 gerai KFC 13 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
yang tersebar di seluruh Indonesia. Isu pembajakan menjadi berkah bagi KFC karena labellabel besar yang sudah mapan puluhan tahun justru tidak memiliki jalur distribusi terkonvergen seperti KFC. Brand image KFC sebagai tempat nongkrong anak muda menjadi kelebihan tersendiri yang sangat potensial untuk dijadikan lahan berjualan musik pop yang notabene merupakan musik anak muda.
Perlu dicatat bahwa dalam industri musik Indonesia, technological convergence ke arah penggunaan jaringan internet sebagai jalur distribusi maupun eksibisi bagi khalayak tidak dilakukan oleh pemain-pemain industri ini. Isu utama yang menghambat adalah masalah pembajakan. Meskipun UU ITE telah disahkan, namun penegakan hukum dan pemberantasan cyber crime termasuk pembajakan, masih sebatas wacana saja. Pemberantasan produk bajakan lebih banyak dilakukan untuk CD musik fisik. Pemerintah tidak cukup kuat melindungi industri musik dari pembajakan sehingga para pemain usaha ini labih memilih distribusi melalui media CD atau ringback tone ponsel. IV. PT. Nusantara Sejahtera Raya; Konglomerat Sektor Distribusi-Eksibisi Film di Indonesia
Nusantara Sejahtera Raya merupakan konglomerasi bisnis media yang bergerak pada sektor distribusi dan eksibisi film di Indonesia. Pada sektor distribusi, Nusantara Sejahtera Raya memiliki empat unit bisnis yang merupakan importir film yaitu; PT Camila Internusa (film-film
MPAA.Hollywood),
PT
Satrya
Perkasa
Esthetika
Film
(film-film
MPAA.Hollywood), PT Amero Mitra Film (film-film non-MPAA/Nollywood), serta PT 14 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Omega Film (film-film MPAA.Hollywood). Sedangkan pada sektor eksibisi, Nusantara Sejahtera Raya juga memiliki empat label bioskop; Cinema 21, Cinema XXI, The Premiere, dan IMAX. Jaringan bioskop Nusantara Sejahtera Raya memiliki 629 layar yang tersebar di 130 lokasi di seluruh Indonesia. Padahal total jumlah bioskop yang beroperasi di seluruh Indonesia sendiri terhitung sebanyak 172 unit dengan jumlah layar mencapai 676 unit. Sehingga, praktis Nusantara Sejahtera Raya menguasai 93% pasar bioskop nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Nusantara Sejahtera Raya melakukan konvergensi industri secara vertikal dan memonopoli pasar distribusi dan eksibisi film di Indonesia. Dari kasus-kasus yang dijadikan sampel analisis, memperlihatkan bahwa konvergensi media paling banyak terjadi di Indonesia berada pada sektor indutsri (industrial convergence). Kompas Gramedia Group, Lokananta, KFC, serta Nusantara Sejahtera Raya (NSR) melakukan konvergensi media baik secara vertikal maupun horizontal. Kecenderungan pasar untuk terkonsentrasi merupakan gejala alami dalam negara yang menerapkan ekonomi liberal seperti Indonesia. Dalam dimensi ini, konvergensi media global yang dicontohkan buku “Media Convergence History” relatif sama dengan fakta lapangan di Indonesia. Dalam dimensi cultural convergence, industri media di Indonesia mulai mengakomodir aspirasi dan partisipasi aktif khalayaknya melalui forum-forum online seperti yang ditunjukkan oleh Kompasiana yang juga mengakomodir citizen journalism. Sedangkan dalam dimensi technological convergence, Kompas Gramedia Group melakukan digitalisasi sekaligus pemanfaatan jaringan internet dalam semua bentuk medianya kecuali film (tidak ada fasilitas streaming online). Lokananta hanya melakukan digitalisasi rekaman suara jika ada permintaan (CD on Demand) dan tidak memiliki situs untuk distribusi dan promosi produknya. KFC Music melakukan digitalisasi dan promosi via internet, tanpa distribusi online. NSR tengah dalam rangka mengembangkan format layar lebar digital tanpa pita seloloid pada jaringan bioskopnya di Indonesia. Bagi industri film dan musik, dapat dipahami mereka tidak menggunakan media online untuk mendistribusikan produknya karena penegakan hukum terhadap cyber crime masih lemah. Pergerakan sejarah media di Indonesia ke arah convergence media dihambat oleh masalah regulasi ini. Dengan demikian, konvergensi teknologi media seperti pada kasus pengarsipan digital di AS, penjualan konten media secara online, dll tidak dapat ditemui di Indonesia karena persoalan pembajakan yang tidak ditindak tegas.
15 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Model Sejarah Konvergensi Media Indonesia
16 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah: a. Media di Indonesia tengah bergerak ke arah konvergensi dalam berbagai dimensi. Akan tetapi, dimensi teknologis terhambat karena masalah lemahnya penegakan hukum terhadap cyber cryme. b. Apa yang telah dicapai perkembangan media di Indonesia adalah konvergensi teknologis, industri, dan kultural dalam berbagai bentuk media. Dimensi industri dan kultural lebih dominan daripada dimensi teknologis. Khusus untuk media film dan rekaman suara (musik), perkembangan tengah terhambat oleh persoalan penegakan hukum. c. Perkembangan akan mengarah pada terwujudnya convergence media dengan sebuah prasyarat. Prasyarat tersebut adalah penegakan hukum terhadap cybercrime.
17 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014
Daftar Pustaka Buku Staiger, J. & Hake, S. (2009). Convergence Media History, NY: Routledge. Publikasi Ilmiah Moulton, Carter (2012). Reading Accents: Subtitles and Spectatorship in Multiplex Cinema. Diakses
pada
27
November
2012
dari
http://www.cartermoulton.com/text/reading.accents.pdf Internet Beritabisnis.com (21 Juni 2012). Inilah Para Jawara Bisnis Resto Cepat Saji. Diakses pada 30 November 2012 dari http://www.berita-bisnis.com/data-bisnis/1105--inilah-parajawara-bisnis-resto-cepat-saji.html Beritabisnis.com (26 Agustus 2012). Cinema 21; Jawara Bisnis Bioskop. Diakses pada 30 November 2012 dari http://www.berita-bisnis.com/data-bisnis/1251-cinema-21-jawarabisnis-bioskop.html Kompasgramedia.com. About Kompas Gramedia; History. Diakses pada 28 November 2012 dari http://www.kompasgramedia.com/aboutkg/history Rollingstone.co.id (27 Oktober 2012). Lokananta: Menyelamatkan Musik Indonesia. Diakses pada
29
November
2012
dari
http://rollingstone.co.id/read/2012/10/27/145255/2073969/1100/lokanantamenyelamatkan-musik-indonesia SWA.co.id (18 Oktober 2012). Kisah Resto Ayam Jualan CD. Diakses pada 29 November 2012 dari http://swa.co.id/business-strategy/kisah-resto-ayam-jualan-cd
1 Sejarah konvergensi ..., Ahmad Prasetyadi, FISIP UI, 2014