1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang hal agama dan negara menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Jika dilihat dari konteks sejarah, agama dan negara memang merupakan dua hakikat yang berbeda. Agama lebih berorientasi pada kehidupan akhirat, sedangkan negara lebih kepada kehidupan dunia semata. Agama adalah kabar gembira (basyīr) dan peringatan (nażīr),1 sedangkan negara adalah kekuatan yang memaksa. Agama mempunyai ulama dan juru dakwah, sedangkan negara mempunyai birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama dapat memengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, sedangkan negara memengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam, sedangkan negara adalah kekuatan dari luar.2 Menurut paham sekuler yang memisahkan antara peran agama dan negara, agama merupakan urusan pribadi yang tidak layak untuk dihadirkan dalam perdebatan umum, agama hanya layak diangkat pada lembaga dan forum keagamaan seperti masjid, mushalla maupun pengajian. Ketika agama Kristen terpilih sebagai agama resmi negara Barat pada abad pertengahan, Paus diangkat sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala gereja. Namun demikian, karena ajaran Kristen tidak memiliki konsep khusus tentang
1
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 119). 2
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, h. 191.
1
2
negara, maka ketidakmampuannya dalam menjawab persoalan negara menjadi alasan suburnya paham sekular. Akhirnya agama dipisahkan dari urusan negara dan hanya dikhususkan pada urusan yang bersifat kelembagaan agama. 3 Berbeda dengan paham yang dianut oleh umat Islam. Sebagai ajaran yang sempurna Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah (ḥablun minallāh), tetapi juga aspek-aspek lain yang terkait dengan hubungan sosial manusia (ḥablun min an-nās), termasuk persoalan politik dan pemerintahan. Sebagai agama yang bersifat universal, Islam telah mengatur segala hal dari sisi kehidupan manusia mulai dari hal terkecil hingga terbesar sekalipun, termasuk di dalamnya persoalan politik. Dengan demikian, jika saat ini paham sekular bermunculan di kalangan umat Islam, maka hal itu terjadi lebih disebabkan oleh pemahaman yang tidak sempurna terhadap ajaran dan konsep Islam. 4 Ayatullah Khomeini, seorang tokoh pemikir Islam menentang orang-orang yang beranggapan bahwa Islam memisahkan diri dari pemerintahan dan politik. Ia menegaskan bahwa sesungguhnya al-Qur’an dan sunnah Nabi mengandung jauh lebih banyak tentang konsep pemerintahan dan politik dari hal-hal lain. 5 Agama dan negara sejatinya memiliki hubungan integral bahkan simbiosa, yakni hubungan saling memerlukan antara keduanya. Dengan demikian, agama
3
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Magelang: IndonesiaTera, 2001, h. 39. 4
5
Ibid, h. 117.
Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Muslim Politic: Ekspresi Politik Muslim, Pent. Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, h. 63.
3
dan negara tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus selalu berdampingan dalam setiap proses dan pengembangannya. Seorang tokoh nasional, Muhammad Natsir, menyatakan bahwa agama bukan sekedar ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti shalat, puasa dan sebagainya, tetapi agama meliputi semua kaidah dan aturan dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu, agar kaidah dan aturan tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, diharuskan adanya kekuatan berupa kekuasaan dalam negara. Agama dapat berkembang dengan negara, sebaliknya negara memerlukan agama untuk mengembangkan bidang etika dan moral sosial dan politik.6 Kecenderungan terjadinya dikotomi agama dan negara dalam iklim politik di Indonesia disebabkan oleh posisi agama yang dipandang bertentangan dengan negara, sehingga umat Islam tidak begitu gencar memainkan peran politiknya, bahkan terkadang justru menjauh dari pengaruh politik dan pemerintahan. Agama terkadang dipandang bertentangan dengan negara. Padahal, berdasarkan paham relogio-politik, Pancasila dapat dipandang sejalan dengan ajaran Islam dengan posisi saling melengkapi. Selain itu, aktivitas politik Islam yang belum mengembangkan tradisi yang kuat dalam pemerintahan, tidak memainkan peran penting di lembaga-lembaga negara, serta kecenderungan menjaga jarak dari negara.7
6
Khumaidi, Pemikiran Sosial Politik Muhammad Natsir, Jurnal Online: Kontekstualita, Vol. 23, No. 1, Juni 2008, h. 110. 7
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 153.
4
Berbicara tentang relasi agama dan negara, maka hal tersebut pun dapat mengarah pada pembicaraan tentang relasi ulama dan politik, yakni tentang peran ulama8 sebagai juru dakwah sekaligus sebagai negarawan dan politisi yang mengeluti dunia perpolitikan. Fenomena ulama politisi merupakan hal yang umum di Indonesia, terlebih ketika menjelang pemilu, peran ulama sangat gencar diburu oleh para politisi partai. Para politisi sering menjadikan ulama sebagai tameng dan sarana untuk merekrut suara dan dukungan yang lebih banyak terhadap bendera partai yang dikibarkan. Sedikit demi sedikit hal ini akan menyeret para tokoh ulama ke dalam gerbong politik praktis sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan di kalangan para tokoh ulama yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan.9 Terjunnya para tokoh ulama ke dalam kancah perpolitikan juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap umat, yakni sikap fanatisme yang berlebihan. Fenomena ini bukanlah hal yang asing dalam pentas perpolitikan di Indonesia. Meskipun banyak faktor yang menjadi latarbelakang hal tersebut. Suatu hal yang sangat ironis ketika para pendukung partai menjadikan agama sebagai dalih ketika partainya didukung oleh seorang tokoh agama. Para pengikutnya pun berkesimpulan bahwa hanya partai tersebutlah yang paling
8
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir [35]: 28). Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Seorang yang alim, yakni orang yang memiliki pengetahuan syariat secara mendalam, memahami dampak baik dan buruk dari sebuah perbuatan sehingga ia mampu mengerjakan dan meninggalkan suatau pekerjaan berdasarkan apa yang dikehendaki Allah dan syariat-Nya. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.11, Cet.2, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 30. 9
Abu Yasid, Fiqh Today: Fatwa Tradisionalis untuk Orang Modern (Buku Dua: Fikih Politik-Fanatik Parpol Haram), Jakarta: Erlangga, 2009, h. 14.
5
benar. Klaim kebenaran ini akhirnya menimbulkan fanatisme berlebihan, sehingga dengan jargon berjihad di jalan Allah, tidak jarang muncul anggapan bahwa membela partai sama dengan membela agama. 10 Fakta buruk seperti disebutkan di atas memang sering terjadi dalam permainan politik di Indonesia, namun bukan berarti semua ulama dapat terseret jauh oleh kepentingan para penguasa. Masih banyak ulama yang mampu memainkan perannya sebagai pembela agama melalui kekuatan politik yang dimainkannya. Tidaklah salah jika seorang ulama memutuskan untuk terjun ke medan politik dengan memprioritaskan kepentingan merah putih dalam memainkan peran politiknya yang objektif untuk menegakkan agama, dengan catatan ia tidak terjebak pada arus polititk tertentu yang terkadang memiliki kepentingan subjektif yang tidak sejalan dengan kepentingan agama.11 KH. Haderanie H. N. merupakan salah satu dari sekian banyak ulama lokal Kalimantan yang memiliki kedudukan dan pengaruh besar di masyarakat. Sejak tahun 1966, ia mulai aktif berdakwah memberikan pembinaan kepada para jamaah pengajian yang tersebar di berbagai daerah di Banjarmasin, Palangka Raya, Muara Teweh dan Barito Utara. Pada tahun 1972 ia sempat bermukim di Surabaya dan fokus memberikan pengajian di berbagai daerah di pulau Jawa, termasuk di Jakarta dan Yogyakarta.12
10
11
Ibid, h. 4.
Novel Ali, Perbedaan Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, h. 33.
6
Usaha dakwah yang dilakukan KH. Haderanie H. N. tidak hanya disampaikan melalui lisan. Ia juga menanamkan wawasan agamanya pada beberapa karya tulis yang telah diterbitkan, antara lain Ilmu Ketuhanan: Ma’rifah, Musyāhadah, Mukāsyafah dan Maḥabbah (4M), diterbitkan oleh CV. Amin, Surabaya tahun 1991; Menyingkap Tabir dalam Ibadah Haji, diterbitkan oleh CV. Amin, Surabaya tahun 1994. Keluarga Sejahtera dalam Bahasa Agama, diterbitkan oleh CV. Amin, Surabaya, dan sebagaiya. 13 Peran KH. Haderanie H. N. tidak hanya pada tataran keagamaan saja, namun juga berperan sebagai tokoh negarawan dan politisi yang handal. Pada tahun 1955, ia membangun organisasi NU di Kabupaten Barito. Pada usia 23 tahun, ia diangkat sebagai ketua DPRD Peralihan Kabupaten Barito. Pada tahun 1967, ia diangkat sebagai anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Tingkat I Kalimantan Tengah. Sejak tahun 1972, ia sudah tidak terdaftar pada organisasi partai politik, namun dalam kepengurusan NU ia merupakan anggota Mustasyar Pengurus Besar NU Pusat dan Mustasyar Pengurus Wilayah NU Kalimantan Tengah. Pada tahun 2004, ia menjabat sebagai Anggota MPR RI Utusan Daerah Kalimantan Tengah.14 Peran ganda yang dimainkannya tersebut merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti. Di saat banyak dari para ulama yang dipandang negatif atau bahkan
12
Fadli Rahman, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah: Paradigma Baru Neo Sufisme di Kalimantan Tengah, Malang: In-Trans Publishing, 2007, h. 23. 13
Kliping dan catatan pribadi Jumadi Irin tentang KH. Haderanie H. N., h. 20.
14
Fadli Rahman, Ma’rifah Musyahadah…, h. 21.
7
gagal ketika terjun ke medan politik, KH. Haderanie H. N. justru mendapat karismatik yang tinggi dari para pendukung. Hal inilah yang menjadi alasan peneliti untuk menggali lebih dalam tentang pemikiran yang mendorong KH. Haderanie H. N. untuk terjun ke medan politik dan bersinggungan langsung dengan urusan dunia dan para penguasa. Padahal dalam bidang keagamaan ia adalah seorang tokoh panutan yang memiliki kharismatik yang tinggi di masyarakat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana pemikiran politik KH. Haderanie H. N.? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan pemikiran politik KH. Haderanie H. N. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yakni: 1. Secara teoritis dapat menambah khazanah keilmuan di bidang politik Islam. 2. Secara praktis dapat memberikan inspirasi kepada calon dan politisi Islam dalam berpolitik agar berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber kajian bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang perpolitikan Islam.
8
E. Sestematika Penulisan Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab I memuat pendahuluan yang terdiri dari latarbelakang masalah, rumusan masalah serta tujuan dan kegunaan penelitian. Selanjutnya kajian pustaka, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II mengkaji tentang Ulama dan dinamikanya, seperti definisi, kriteria, tipologi, serta hubungannya dengan pendidikan dan organisasi. Selanjutnya mengkaji tentang politik dan dinamikanya, seperti bentuk negara, relasi agama dan negara, sistem pemilihan kepala negara, demokrasi dan hak asasi manusia. Bab III mengkaji tentang KH. Haderanie H. N. dalam potret sejarah, seperti latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan hingga aktivitas keagamaan dan kiprahnya di bidang politik. Bab IV membahas dan menganalisa tentang pemikiran politik KH. Haderanie H. N. Bab V pembahasan terakhir berupa penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian, dan diakhiri dengan saran-saran.