KONTEKS SOSIAL | 231
BAB 6
KONTEKS SOSIAL
Ya
ng dimaksud dengan konteks menyangkut dua pendekatan utama. Pertama, peranan atau fungsi dari suatu unsur (atau komponen) terhadap unsur-unsur lain. Kedua, adalah hubungan atau jalinan dari unsur-unsur tersebut sehingga kese luruh annya merupakan suatu kesatuan sistem. Jadi pembahasan konteks sosial dalam tari komunal, kita akan membicarakan hubungan tari dengan kesenian lain (musik, drama, seni rupa, dan sebagainya) dan juga dengan sektor kehidupan lainnya (ekonomi, teknologi, kepercayaan, dan lain lain) yang berada dalam suatu sistem atau tatanan sosial. Pendekatan yang pertama lebih konkret dibanding yang kedua. Pendekatan kedua lebih abstrak. Dalam istilah antropologi, yang pertama bisa kita sebutkan sebagai pendekatan fungsionalisme, dan yang kedua bisa disebut strukturalisme. Dalam buku ini, kita akan menitikberatkan pada pendekatan yang pertama. Tari komunal selalu berkaitan dengan sistem sosial masyarakat tertentu. Dengan demikian, tari komunal lahir dari suatu komunitas, dilakukan dan digunakan oleh komunitas, serta manfaatnya pun untuk komunitas yang bersangkutan. Karena itu, untuk memahaminya kita bisa melihat keterkaitan antara tari komunal dengan komunitasnya. Kita bisa mulai dengan pertanyaan-pertanya-
232 | TARI KOMUNAL
an seperti: bagaimana bentuk tariannya? Bagaimana teknik menari dan cara belajarnya? Bagaimana hubungan antarsenimannya? Siapa dan apa pekerjaan para pelakunya (seniman profesional, anggota masyarakat setempat, atau yang didatangkan dari luar)? Di mana dan kapan diadakannya? Untuk tujuan apa? Siapa saja yang terlibat dan apa peran mereka masing-masing? Bagaimana cara atau pola penyelenggaraannya? Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja hanya sebagian dari berbagai pertanyaan yang relevan. Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat digunakan sebagai dasar awal untuk memahami keberadaan tari komunal. Jika kita bisa menemukan (sebagian) jawabannya, kita akan mulai bisa melihat fungsi dari suatu tarian komunal. Apabila kita memahami fungsinya, kita akan mengerti pula kesalinghubungan antara tarian komunal dengan berbagai aspek kehidupan. Jadi, tarian dari suatu komunitas tidak bisa hanya dilihat (apalagi dinilai) berdasarkan pendekatan estetika saja, yaitu kaidah-kaidah seni yang secara kaprah dianggap memiliki suatu standar atau ukuran “universal.” Namun demikian, patut dicatat pula bahwa banyak tarian komunal yang kini tidak lagi ekslusif hanya ditampilkan untuk kepentingan masyarakat bersangkutan, melainkan telah biasa pula dipertunjukkan dalam forum-forum lain di luar konteksnya. Tariantarian komunal sering tampil di siaran televisi; hiburan umum di berbagai tempat; festival-festival regional, nasional, dan internasional. Dengan demikian, tari komunal pun berubah dari masa ke masa, dan aspek perubahan ini merupakan bagian penting dalam memahami konteks suatu tari. 6.1 FUNGSI TARI KOMUNAL Jika tarian komunal hidup dalam suatu masyarakat, dapat dipastikan bahwa tarian tersebut memiliki fungsi bagi masyarakatnya. Secara umum tarian komunal memiliki beberapa fungsi (peran, manfaat), seperti: hiburan, ekspresi artistik, identitas sosial, sarana atau media kebersamaan (integrasi), media pendidikan dan kritik
KONTEKS SOSIAL | 233
sosial, dan untuk kepentingan ritual. 6.1.1 Hiburan
Tatkala disajikan sebagai hiburan, tarian dapat membuka ruang bagi para partisipannya (pihak yang terlibat) untuk bersuka ria, saling menghibur diri, baik dengan menari bersama ataupun hanya dengan menyaksikannya. Suasana suka-cita seperti ini dapat menghibur setiap orang sebagai pelepas lelah dari ketegangan dan aktivitas kerja sehari-hari. Fungsi hiburan pada tarian komunal tidak hanya dirasakan oleh penonton, melainkan juga oleh para penarinya yang bukan tidak mungkin penari itu adalah juga bagian dari penonton, atau sebaliknya. Lihatlah pertunjukan dangdut, seperti telah disinggung dalam Bab 1, penonton musik ini adalah juga para penarinya. Namun demikian, fungsi tari sebagai hiburan tidak hanya terjadi pada peristiwa yang khusus diadakan untuk hiburan. Guro-guro aron, ritual tahunan pertunjukan tari, memiliki makna berlapis-lapis, yang salah satunya sebagai hiburan. Demikian juga sebaliknya, suatu pertunjukan yang disajikan untuk hiburan, bukan
Gbr. 6.1: Peristiwa pertunjukan kesenian banyak dilakukan di ruang terbuka, tempat umum yang “serba-guna,” dan penontonnya bebas datang, baik pada forum regional, nasional, maupun internasional, (Foto dari festival kesenian Asia-Pasifik di Selandia Baru 1993).
234 | TARI KOMUNAL
Gbr. 6.2: Pertunjukan kesenian, banyak mengekspresikan kesenangan, keceriaan, atau pengalaman manis, seperti dalam pertunjukan suatu festival budaya Melayu di Riau, dan ekspresi dari 2 partisipan festival Mardi Grass di USA.
berarti sama sekali tidak mengandung nilai spiritual. 6.1.2 Ekspresi Artistik dan Kesenimanan
Tari komunal seringkali menjadi forum ekspresi estetik para pelakunya. Melalui tarian, para pemain menunjukkan kemampuan artistik mereka melalui gerak. Para penarinya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan khusus, baik yang memiliki bakat alamiah (kodrati), maupun yang melalui pelajaran atau latihanlatihan khusus. Guna menjamin tersalurnya nilai-nilai artistik tersebut, banyak seniman mendirikan grup, memiliki busana dan peralatan tersendiri, baik milik pribadi seniman atau pemimpin grupnya, milik suatu keluarga, ataupun masyarakat. Namun demikian, tidak selalu orang yang memiliki kemampuan khusus itu adalah seniman profesional. Di beberapa wilayah atau komunitas, seringkali ada seorang atau beberapa orang yang senang tampil dalam suatu peristiwa pertunjukan secara spontan, walaupun orang tersebut tidak diminta untuk tampil. Dalam peristiwa guro-guro aron yang diuraikan di atas, misalnya, biasa terjadi penampilan seperti itu, dan seniman seperti itu ternyata terdapat hampir di setiap desa di Tanah Karo. Ia bisa berusia muda, tua, bahkan kakek-kakek atau nenek-nenek sekalipun. Ia bisa tampil menari, menyanyi, atau keduanya, hampir seperti perkolongkolong. Pada acara tersebut umumnya penonton menyukainya. Mungkin pula mereka bangga karena di desanya ada orang yang memiliki keahlian seperti itu. Banyak penonton naik ke panggung
KONTEKS SOSIAL | 235
untuk memberikan uang kepada mereka. Demikian juga dalam acara Bajidoran atau Jaipongan di daerah Subang, Jawa Barat, banyak kalangan penonton yang menampilkan kebolehannya dalam menari. Seperti dalam Guro-guro Aron, mereka sangat diterima, baik oleh penonton maupun oleh grup keseniannya (yang profesional). Mereka dianggap menambah kemeriahan pertunjukan. Kasus ini menunjukkan, dalam suatu konteks sosial terdapat ruang atau forum untuk orang-orang yang memiliki kemampuan kesenimanan yang lebih daripada anggota masyarakat pada umumnya. Orang-orang tersebut ada yang menjadi seniman profesional (seperti perkolong-kolong), ada juga yang tidak. Jadi, seseorang tidak selalu harus menjadi seniman profesional untuk menampilkan kesenian yang menarik. Artinya, seseorang tidak perlu menjadikan kesenian sebagai sumber kehidupan untuk mempertunjukkan kesenian tertentu. Bahkan sebaliknya, banyak komunitas sangat menghargai seseorang yang memiliki kemampuan berkesenian tinggi, namun ia tidak menjadikan kesenian sebagai mata pencahariannya. Ada penari yang kemampuan seninya sangat baik, tetapi penghargaan masyarakat terhadapnya bisa menurun ketika ia menjadi seniman profesional (bayaran). Penari semacam Ronggeng di Jawa atau Melayu, merupakan contoh yang jelas untuk hal ini. Ronggeng, walaupun dari sisi kesenimanannya menjadi kebanggaan masyarakat, belum tentu demikian dari sisi status sosialnya. Dengan kata lain, pandangan artistik suatu masyarakat tidak harus sejalan dengan pandangan moral ataupun keagamaan. Setiap sistem sosial tentu saja memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap seniman dan jenis keseniannya. Jika dalam seni pertunjukan ada konotasi negatif (selain yang positif) terhadap profesionalisme seniman, tapi hal itu jarang terjadi terhadap seniman seni-rupa, seperti pengukir, pelukis, penenun, dan lain-lain. Jadi, konotasi negatif itu bisa saja terjadi hanya pada jenis tari tertentu. Di Bali, misalnya, tidak ada anggapan yang kurang baik terhadap
236 | TARI KOMUNAL
para penari topeng, gambuh, barong, dan lain-lain karena tarian (dan penarinya) dianggap sebagai bagian untuk kemuliaan manusia melalui hubungannya dengan dunia spiritual (selain sosial). Akan tetapi tidak demikian halnya pada seniman seperti penari Joged Bumbung (semacam ronggeng). Suatu peristiwa tari komunal biasa diadakan di tempat publik semacam balai desa, misalnya laga-laga (Minang), baruga (Bugis), jambur (Karo). Untuk suatu peristiwa tari komunal, tempat tersebut dihiasi dengan janur kelapa, dedaunan, bunga, kain, kertas, dan sebagainya. Yang mengurusnya orang-orang yang memiliki keahlian di bidang ini. Partisipasi publik pada pertunjukan tari komunal tidak selalu ditunjukkan dengan menari bersama, melainkan biasa pula dengan cara yang lain: seperti menghiasi tempat pertunjukan, memainkan musik pengiring, menyusun busana atau properti penari. Dari gambar yang ada dalam buku ini, kita dapat melihat keragaman bentuk kostum tradisional. Untuk membuat atau memasangnya, ada yang sangat rumit sehingga tidak bisa dipasang sendiri oleh penarinya, membutuhkan bantuan orang lain dan bahkan membutuhkan keahlian khusus. Misalnya, untuk membuat hiasan kepala perempuan seperti tingkuluak tanduak di Minang atau teger limpek di Karo, tidak semua orang bisa. Di kampung-kampung, walaupun mungkin masih banyak orang yang bisa membuatnya, tapi untuk acara khusus seperti pengantinan, biasanya ada perias khusus. Uraian ini menunjukkan bahwa fungsi tari sebagai ungkapan keindahan tidak hanya terdapat pada dunia kesenimanan profesional, melainkan juga pada publik, di berbagai lingkungan sosial, seperti: desa, kota, petani, nelayan, maupun dalam lingkungan keagamaan. Suatu karya seni, bukan hanya merupakan ekspresi seorang seniman, melainkan bisa merupakan refleksi dari energi keber samaan sosial. Jadi, dari satu sisi, energi sosial ini yang membuat tarian memiliki makna atau daya, dan sebaliknya tarian (kesenian) turut membuat peristiwa sosial lebih bermakna. Dalam peristiwa keagamaan, misalnya, kesenian dapat memperindah, menambah
KONTEKS SOSIAL | 237
kekhusukan atau kenikmatan umatnya dalam menjunjung tinggi, berbakti, dan meluhurkan yang dipuja. Sekarang ini, keahlian tersebut banyak dimiliki oleh para perias pengantin atau salon-salon kecantikan, yang terdapat sampai di berbagai pelosok. Fenomena ini menunjukkan bahwa aktivitas seseorang dan keahliannya terhadap properti adat bisa berubah dari yang sifatnya partisipatif ke komersial. Terutama di kotakota besar, banyak perias pengantin dari suatu tradisi berasal dari kelompok masyarakat yang berbeda. Bahkan, perias pengantin bisa berasal dari suatu perusahaan jasa penyewaan pakaian adat yang menyediakan berbagai jenis dari berbagai tradisi komunitas. 6.1.3 Integrasi Sosial
Tari komunal melibatkan banyak orang sehingga terjadi suatu interaksi. Interaksi seperti ini bisa menjalin hubungan kekerabatan, persaudaraan, solidaritas, kedekatan, persahabatan dan rasa saling menghargai di antara para partisipan tarian komunal. Dengan demikian, acara tari bersama menjadi ajang penguatan ikatan sosial. Dari segi ini, tari bukan hanya sebagai produk sosial melainkan juga sebaliknya sebagai suatu instrumen yang turut membentuk pertalian sosial. Peristiwa tari komunal mengikuti dan sekaligus memberikan pola kebudayaan yang terorganisasi di mana berbagai individu dapat bertemu. Hal ini menguatkan pandangan yang telah disebukan dalam Bab 1, bahwa kebudayaan bukan hanya ciptaan manusia, melainkan juga turut membentuk karakter manusianya. Jika di atas disebutkan bahwa seniman memiliki peran tersendiri dalam suatu lingkungan sosial sebagai orang yang mempunyai kemampuan lebih dibanding dengan anggota masyarakat pada umumnya. Kelebihan seniman adalah terlihat dalam wujud karya seninya seperti halnya golongan profesi lain, umpamanya arsitek, bengkel, dan lain-lain. Demikian pula dari sudut pandang kemampuan sosial lainnya, seperti kaum kaya lebih mempunyai kemampuan mendukung dana, kaum miskin memberikan kontribusi tenaga, kaum intelektual dalam memberi penerangan atau me-
238 | TARI KOMUNAL
mimpin musyawarah, agamawan dalam mengembangkan wawasan kerohaniahan, dan sebagainya. Jika peristiwa pertunjukan tari komunal berfungsi sebagai forum yang mewadahi berbagai media ungkap rasa, nilai, dan suasana batin maka yang merasa terwadahi ungkapannya pun bukan hanya para penari, melainkan semua pihak yang berpartisipasi. Karena itu, peristiwa tari bukan hanya penting dari sisi kesenian, melainkan penting sebagai forum sosial, di mana interaksi sosial terjadi melalui bahasa atau idiom yang berbeda dari forum-forum sosial lainnya seperti umpamanya pada acara membangun lumbung desa secara gotong royong, musyawarah bersama, pilihan umum, dan lain-lain. Dalam forum tari komunal perasaan yang bisa terungkap dari setiap orang mungkin sangat kompleks karena keberagamannya: kegembiraan, syukur, kebanggaan, keberanian/heroisme, kedamaian, keakraban, hormat, takut dan gentar, permohonan maaf, minta berkah, keluhan, dan lain sebagainya. Tapi justru kompleksitas perasaan itulah yang perlu tersalurkan, terwadahi atau terkelola dalam suatu forum sosial secara alamiah (“organik”) sehingga sebagian (besar atau kecil) dari persoalan itu bisa terselesaikan pula. Jika itu terjadi, forum tari komunal bisa merupakan suatu instrumen sosial yang bisa menguatkan rasa kebersamaan, sehingga integrasi
a
KONTEKS SOSIAL | 239 Gbr. 6.3: Pertunjukan kesenian, seperti kegiatan sosial lainnya, menciptakan forum di mana orang berinteraksi, yang bisa menumbuhkan rasa kebersamaan pada seluruh atau sebagian yang terlibat. Suatu festival kesenian Minangkabau, di antaranya randai (a) yang diadakan di Nagari Lasi, Agam, Sumbar, oleh anak-anak madrasah setempat peserta program Apresiasi Seni Pertunjukan PSB-Universitas Muhammadiyah Surakarta, membuka kesempatan dan minat penduduk setempat untuk datang di situlah interaksi kultural-sosial terjadi. Pertunjukan tortor Batak oleh para siswa SMA di Jakarta (b), mengundang penonton untuk mencoba atau “mencicipi” tariannya secara bersama-sama, baik bagi penonton (b) yang sudah terbiasa menari ataupun yang baru pertama kali kenal, bagi keturunan Batak maupun yang lainnya pengalaman empiris yang mungkin menumbuhkan rasa “persaudaraan.” Upacara 4-tahunan mengganti atap makam keramat (memayu) di Trusmi, Cirebon, Jabar, dilakukan bukan hanya oleh masyarakat di desa itu, melainkan ribuan orang dari kabupaten lain pun datang terlibat, turut menyumbang dan bekerja. Dengan peristiwa sukarela seperti itu, rasa kesatuan (integritas) atau solidaritas yang tidak direkayasa mungkin menumbuhkan atau menguat lagi dengan semacam forum “silaturahmi.”
(c)
sosial pun bisa terpelihara. Karena adanya integrasi itulah, masingmasing budaya melahirkan suatu “identitas.” 6.1.4 Identitas Kebudayaan
Sistem interaksi atau hubungan timbal balik seperti disebutkan di atas, setelah berlangsung lama membentuk kesatuan nilai-nilai sosial, yakni “kesepakatan” yang terbentuk melalui kebersamaan hidup. Kesatuan ini membuat suatu kelompok masyarakat berbeda dengan yang lainnya. Inilah yang biasa disebut sebagai identitas sosial atau identitas budaya. “Kesepakatan” itu belum tentu merupakan rumusan dari hasil musyawarah para warganya, melainkan sebagian besar tertanam dalam wilayah bawah-sadar melalui pengalaman hidup sehari-hari yang wajar. “Kesepakatan” ini kemudian menumbuhkan kepekaan atau kesadaran atas peran dan
240 | TARI KOMUNAL
tanggung jawab diri dari masing-masing individu terhadap kepentingan kebersamaan komunitas. Dengan itu, kita dapat melihat antara dua jenis kepentingan: yakni untuk diri sendiri, dan untuk bersama. Kedua jenis kepentingan ini, seperti telah disinggung dalam Bab 2, sama pentingnya. Dalam kehidupan, seseorang tentu saja harus memperhatikan dan berjuang untuk keinginan dirinya sendiri, tapi secara bersamaan ia harus juga memperhatikan kepentingan orang lain, baik secara orang per orang maupun secara kesatuan sosial. Dengan demikian, sistem sosial pun memiliki norma-norma untuk kelancaran hidup bersama itu, tapi dengan tetap memberi ruang gerak yang cukup bebas pada masing-masing individu. Ruang interpretasi dan ekspresi yang dimiliki oleh masing-masing individu itu, bukan hanya untuk kepentingan individunya, melainkan bisa pula memberi keuntungan pada komunitasnya. Seorang atau sekelompok seniman dari suatu desa, umpamanya, ketika dikagumi oleh masyarakat lain dalam forum nasional ataupun internasional, akan turut memberi kebanggaan pada seluruh anggota masyarakat bersangkutan. Demikian pula sebaliknya, aturan-aturan sosial yang harus diikuti oleh setiap anggotanya, jika diterima dengan baik secara seimbang (adil) tidak akan dirasakan sebagai belenggu, melainkan sebagi modal kehidupan yang bisa mendewasakannya. Dengan lain kata, jika berjalan positif, individu berperan dalam mengembangkan sistem sosial, dan sistem sosial berperan pula untuk perkembangan seorang individu. (lihat kembali diskusi mengenai peran individual dan sosial dalam Bab 2). Karena itu, “kesepakatan” kehidupan sosial ini tidak pernah bisa dirumuskan secara lengkap dan baku, verbal ataupun tertulis, tidak seperti misalnya aturan atau formula-formula program komputer. Yang dapat dirumuskan, umumnya adalah yang pokok-pokoknya saja, sedangkan yang kecil-kecilnya tidak. Dalam tari, yang kecilkecil ini justru yang bisa menghidupkan yang pokok. Demikian pula identitas, yang sering dibicarakan sebagai topik diskusi kebudayaan, tidak akan pernah bisa dirumuskan secara
KONTEKS SOSIAL | 241
menyeluruh, lengkap, dan baku. Karena identitas itu juga milik semua orang yang terangkum dalam kelompok sosial, maka ruang keterbukaan interpretasi dari masing-masing individu pun harus memiliki tempat. Ketika identitas sosial dirumuskan (biasanya oleh suatu kelompok yang berpengaruh), identitas itu akan menjadi beku atau mati. Identitas yang hidup pun harus bergerak sesuai dengan sistem kehidupan, yang tak pernah berada dalam suatu posisi diam yang langgeng. Misalnya, tari Jajar tumbuh dalam komunitas muda-mudi Katolik (Mudika) Keuskupan Menado (3 wilayah provinsi: Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah). Awal munculnya sekitar 30 tahun yang lalu, dipertunjukkan tiap dua tahun dalam acara Pertemuan Berkala Mudika sekeuskupan. Kini, tari Jajar telah dianggap sebagai bagian dari identitas Mudika Keuskupan Menado. Padahal, 35 tahun yang lalu, tari Jajar tidak ada. Ketika muncul pertama kali, dan beberapa tahun berikutnya tarian itu belum dianggap sebagai identitas sosial keuskupan itu. Bahkan mungkin tarian itu melahirkan kontroversi, yang sebagian orang menganggapnya “melanggar” norma. Jadi, dalam kasus itu, proses kehidupan itulah yang menumbuhkan identitas, dan bukan rumusan identitas yang memaksakan cara hidup. Dari kasus tari Jajar, mungkin kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa dalam suatu komunitas tidak harus memiliki identitas yang sama. Misalnya, tidak semua komunitas Mudika di Nusantara memiliki tari Jajar, di keuskupan lainnya tari ini tidak dijumpai, dan itu tidak dianggap masalah. Dari kasus ini minimal kita bisa melihat 4 unsur yang berkaitan dengan identitas tari Jajar, yakni: muda-mudi (usia), Katolik (agama), keuskupan Manado (geografis), dan lahir tahun 70an (waktu). Namun demikian, kita tidak bisa merumuskan kelahiran suatu jenis tari komunal harus berdasarkan pada keempat hal tersebut. Kelahiran tari Jajar yang berkembang sampai sekarang, bukan
242 | TARI KOMUNAL
a
b
c Gbr. 6.4: Ungkapan identitas dari suatu fenomena pertunjukan umumnya kompleks. Pada suatu upacara pernikahan di Tomohon, Minahasa, Sulut (a); kita bisa menangkap nilai budaya lokal dan strata sosialnya (misal “keluarga bangsawan”) melalui tari Cakalele; budaya modern-Barat dengan jas pengantin dan meja-kursi tempat tamu; dan lingkungan agamanya, Katolik, karena pernikahan di gereja. Pada upacara grebeg Maulud di Keraton Surakarta, prajurit berbaris untuk mengawal prosesi gunungan makanan, prosesi gamelan sekaten, dan lain-lain (b); kita bisa menangkap reflesi identitas: Jawa dari kain dan (sebagian) topi yang dipakai, dan makanan yang dihidangkan dan hiasan-hiasan lain; Islam karena peristiwa Maulid dan dilakukan di lingkungan mesjid; kekuatan Sunan masa lalu, karena kini kasunanan Solo tidak memiliki kekuasaan politik. Demikian juga untuk peresean di Lombok yang dilakukan di halaman mesjid adat, pada waktu upacara Maulid adat, selain identitas budaya lokal dan kepercayaannya, kita bisa melihat identitas laki-laki dan muda-dewasa, sesuai dengan yang mainnya (c).
merupakan rancangan atau desain seseorang pada tahun 30-an untuk menjadi identitas Mudika tahun 2000-an. Karena tari Jajar memiliki keterkaitan dan mendapat dukungan sosial, maka tarian itu diterima dan digemari sampai sekarang. 6.1.5 Terduga dan Tak Terduga
Keterdugaan dan ketakterdugaan merupakan sifat alamiah kebudayaan, yang hidup dan tumbuh, tidak semua bisa dipastikan sebelumnya. Jika kita ibaratkan dengan menanam tumbuhan, misalnya saja, menanam biji jambu, yang bisa terduga adalah akan tumbuh jambu. Tapi, apakah biji itu akan benar-benar tumbuh, akan subur, berapa cabang dahannya, seberapa lebat daunya, dan lainlain, kita tidak bisa meramalkannya. Karena itu pula, usaha merumuskan atau membakukan identitas kebudayaan, bertentangan
KONTEKS SOSIAL | 243
dengan sifat kebudayaannya sendiri, yang dinamis, bergerak, responsif terhadap pengalaman kehidupan sosial, dan berubah dari waktu ke waktu, dari situasi ke situasi. Identitas budaya dilahirkan oleh kehidupan, dan bukan sebaliknya. Yang lebih mungkin dilakukan adalah usaha menanam, memupuk, memelihara, dan mengadakan studi bukan membakukan rumusannya. Inspirasi atau ilham, suatu aspek yang dominan dalam kesenian, merupakan suatu misal yang jelas tentang ketidakterdugaan. Kita tidak pernah tahu macam apa dan kapan inspirasi akan datang kalau tahu dan bisa diagendakan, bukanlah inspirasi namanya, melainkan rancangan. Spontanitas, merupakan bagian dari inspirasi. Yang menuntun kita bukanlah rancangan, melainkan kewajaran, kelayakan, atau ketepatan pilihan, yang sesuai dengan tuntutan saat demi saat. Kepekaan dan respons orang terhadap inspirasi, tentu saja berbeda-beda. Seniman yang baik, di antaranya, adalah yang terlatih atau mendapat anugrah Tuhan (atau bakat) dalam menangkap, mengolah, atau menerjemahkan inspirasi tersebut menjadi produk kesenian. Dari pendekatan ini pula, kesenian memiliki sifat kemanusiaan, alamiah, dan rohaniah sekaligus. Tari, yang memiliki ketiga sifat di atas bisa dilihat dari bentukbentuknya yang eksplisit (tampak, nyata), dan nilai-nilai yang implisit (simbolis, tidak tampak, tersembunyi). Dari contoh-contoh yang telah dibicarakan pada bab-bab yang lalu, di mana dalam tari komunal terdapat posisi melingkar, berkumpul, atau berpegangan satu sama lain, adalah contoh bentuk-bentuk yang eksplisit, yang merupakan bagian dari ekspresi kebersamaan atau kekeluargaan. Sedangkan gerak-gerak yang abstrak, kostum, properti, dan lainlain, mungkin memiliki nilai-nilai simbolis, yang juga mempunyai makna kultural atau spiritual. Namun demikian, perlu juga dimengerti bahwa gambaran atau simbol tidak selalu paralel dengan yang disimbolkannya. Umpamanya saja, gambaran kebersamaan sosial tidak selalu digambarkan dengan gerakan-gerakan yang sama (unison) seperti halnya dalam realitas kehidupan bahwa kebersamaan itu tidak berarti semua orang harus melakukan pekerjaan yang sama. Komposisi atau ge-
244 | TARI KOMUNAL
rakan yang “terpecah” tidak berarti menggambarkan perpecahan. Gerakan berlawanan tidak selalu menggambarkan perlawanan atau pertentangan. Kesenian tidak bisa dimaknai dengan cara sederhana seperti itu. Jika gerakan tari bermakna (seperti menghias, menunjuk, menggupay, mendayung, dan lain-lain), tidak selalu bahwa seluruh gerakan dalam tarian tersebut dapat dimaknai secara verbal. Bandingkan misalnya dengan lukisan, jika ada bagian yang menggambarkan sesuatu (muka, hidung, daun, binatang, dan lain-lain), bagian lainnya yang merupakan garis-garis dan warna belum tentu bisa diterjemahkan maknanya. Bagian yang “tidak bisa dimaknai” itu memiliki makna penting sebagai lukisan. Demikian juga dalam tari dan kesenian lainnya. Ingatlah, dalam Bab 1 telah disebutkan bahwa tari mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata atau media lain. 6.1.6 Forum Dialog dan Kritik Sosial
Uraian di atas mungkin memberi kesan bahwa dalam suatu komunitas, terutama yang kecil lingkupnya, selalu terjadi kesatuan. Hal itu baru benar dari satu sisi saja. Sisi lainnya, dalam suatu komunitas hampir pula selalu terjadi ketegangan atau pertentangan, yang ditimbulkan oleh lahirnya gagasan atau minat-minat individual atau kelompok-kelompok yang tidak sama. Perbedaan pendapat dalam suatu komunitas tidak selalu berarti negatif. Lahirnya inovasi atau kreativitas sosial, tergantung dari tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru. Jika gagasan baru (kreativitas) itu diterima masyarakat, didukung oleh komponen sosial, maka gagasan itu akan melahirkan karya produktif. Sebaliknya, jika gagasan itu ditolak, kesepakatan melalui musyawarah (verbal) tidak tercapai, bukan saja tidak akan menjadi sesuatu yang tidak produktif, melainkan dapat menimbulkan suatu ketegangan atau krisis sosial, baik antarindividu maupun antarkelompok. Terkait dengan ini, tari komunal memiliki fungsi pemulihan sosial. Melalui aktivitas tari bersama, mungkin dapat meredakan bahkan menghapuskan konflik-konflik yang ada. Dengan lain kata, perselisihan dan pertikaian antarkelompok