Bab 2 Landasan Teori
2.1 Teori Psikologi Kognitif Kognitif adalah cabang dari ilmu Psikologi yang mempelajari suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan atau intelegensia, yang biasanya mencirikan seseorang dengan berbagai minat, terutama berupa ide-ide dalam proses pembelajaran. Sujiono, et al. (2004: 96) memberikan batasan tentang kognitif (intelegensia) menurut beberapa ahli psikologi, antara lain seperti menurut Terman dalam Sujiono, et al. (2004), bahwa kognitif adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, sementara menurut Colvin dalam Sujiono, et al. (2004), kognitif adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan terakhir menurut Hunt dalam Sujiono, et al. (2004) bahwa kognitif adalah teknik untuk memproses informasi yang disediakan oleh indra. Mengacu kepada batasan kognitif dan intelegensia, pada dasarnya kognitif berhubungan erat dengan tingkat intelegensia seseorang. Dalam hal ini kognitif bersifat pasif atau statis yang berupa daya atau potensi untuk memahami sesuatu, sedangkan intelegensia lebih bersifat aktif yang merupakan aktualisasi atau perwujudan dari daya atau potensi tersebut yang dihasilkan berupa aktivitas atau perilaku. Dengan demikian, apabila kognitif seseorang tinggi, maka tingkat intelegensianya tinggi pula. Lebih lanjut Gardner dalam Sindoro (2002) mengatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau menciptakan produk 10
yang berharga atau bernilai dalam satu atau lebih latar belakang budaya. Menurut Gardner setiap individu memiliki kecerdasan majemuk (multiple intellegence). Oleh karena itu menurutnya tidak ada orang yang bodoh atau pintar, yang ada adalah orang yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. Dengan demikian, setiap orang mampu memiliki beberapa jenis kecerdasan, oleh sebab itu lebih baik sedari dini anak diberikan stimulasi berbagai jenis kecerdasan dalam proses perkembangan pembelajarannya. Menurut Gardner dalam Sindoro (2002), ada delapan kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang, yaitu meliputi Linguistic Smart (kecerdasan berbahasa), Logic Smart (kecerdasan logika matematika), Body Smart (kecerdasan fisik), Picture Smart (kecerdasan visual spasial), Self Smart (kecerdasan intrapersonal), People Smart (kecerdasan interpersonal), Music Smart (kecerdasan musikal), dan Nature Smart (kecerdasan natural). Setiap individu memiliki beberapa kecerdasan tersebut, hanya saja berbeda tarafnya. Selain itu, kecerdasan tersebut selain berdiri sendiri, terkadang bercampur dengan kecerdasan yang lain.
2.2 Konsep Mengenai Mnemonic Menurut Solso (2007: 236), menuliskan: A mnemonic (ne-mahn’-ick) is a technique or device, such as a rhyme or an image, that uses familiar associations to enhance the storage and the recall of information in memory”. Terjemahan: mnemonic adalah sebuah teknik atau alat, seperti misalnya sajak yang ber-rima atau sebuah gambar, yang pengasosiasiannya sudah dikenal sebelumnya, untuk meningkatkan penyimpanan serta “memanggil” kembali informasi dalam ingatan.
11
Asal mula kata Mnemonic berasal dari mitologi Yunani seorang dewi yang bernama Mnemosyne dan menjadi dewi untuk memori (Svantesson dalam Prajoko, 1998: 111). Dewi Mnemosyne terlibat percintaan dengan Zeus, dewa tertinggi dalam mitologi Yunani. Dewi memori dipersatukan (menikah) dengan dewa tertinggi Zeus, yaitu keteraturan dan energi. Sebagai akibatnya, mereka mendapatkan sembilan Muse (anak), yang mewakili kreativitas dan imajinasi (Svantesson, 1998: 112). Melalui kronologi mitos kata mnemonic, Svantesson (1998: 112) memberikan simpulan sebagai berikut : Dengan demikian, jika ingin mendapatkan memori yang lebih baik, anda harus mengkombinasikan struktur dengan imajinasi. Keteraturan/struktur + imajinasi/kreativitas = memori Ini merupakan formula bagi kebanyakan teknik mengingat, termasuk teknik yang dikembangkan dalam zaman modern. Penerapan teknik mengingat mnemonic, menurut Svantesson (1998: 115) didasarkan pada tiga elemen yang sama, yaitu logika, imajinasi, serta asosiasi. Asosiasi berasal dari bahasa Latin, ad, yang artinya “mengarah ke” dan socius yang artinya “sesuatu atau seseorang yang bergabung teman”. Kata asosiasi berarti sesuatu yang berhubungan satu sama lain (Svantesson, 1998: 116). Lebih lanjut Svantesson (1998: 115-116) menjelaskan penggunakan teknik mnemonic melalui dua objek. objek pertama adalah sistem aturan yang terbangun secara logis, sering berdasarkan gambar-gambar. Objek kedua adalah kata-kata yang perlu diingat. Melalui sistem aturan dalam hati, kata atau hal yang ingin diingat (objek kedua) dihubungkan dengan objek pertama (gambar-gambar) melalui bantuan asosiasi melewati imajinasi. 12
Tabel 2.1 Contoh Sederhana Penggunaan Teknik Mnemonic No.
items = Binus
1. 2. 3.
Kampus Kijang Kampus Syahdan Kampus Anggrek
Loci (“tempat” yang diasosiasikan) Lapangan futsal Emporium M24
Berdasarkan contoh daftar tabel di atas, proses ilustrasi Metode Loci seperti berikut ini: pembentukan gambaran mental pertama adalah “Di dalam Kampus Kijang terdapat lapangan futsal”; kedua, “Di sekitar Kampus Syahdan terdapat warnet bernama Emporium”; ketiga, melalui petunjuk kata M24, dalam benak pikiran akan berusaha mencari hal-hal yang berkaitan dengan kata M24 berdasarkan pengalaman mengenai Binus dan atribut-atribut di sekitar Binus, persepsi yang terbersit adalah mikrolet. Dari pengasosiasian M24 yang dimaksud akan membayangkan (berimajimasi) mengenai rute angkutan umum M24, Maka gambaran mental yang terbentuk dari contoh sederhana penggunaan teknik mnemonic nomer 3 adalah “Mikrolet M24 melewati Kampus Anggrek”. Lebih lanjut, setiap kegiatan Mnemonic melibatkan proses struktur ingatan (memory), dan dalam ilmu Psikologi dikenal dengan istilah short term memory (STM) serta long term memori (LTM). Menurut Santrock (2005) ada tiga cara pengkodean (pengenalan) informasi untuk dimasukkan ke dalam memori, yaitu secara visual (gambar), akustik (suara), dan makna (semantik). Prinsip sistem pengkodean ingatan jangka pendek biasanya terjadi pada pengkodean informasi secara akustik (suara), dan dalam ingatan jangka panjang biasanya pengkodean informasi terjadi berdasarkan makna (semantik) maupun visual. Solso (2007: 505) mengatakan bahwa karakteristik dari ingatan jangka pendek berdasarkan lama durasi dan jumlah objek yang dapat diingat secara akurat,
13
adalah 7 ± 2 dengan estimasi durasi selama 12 detik. Dengan kata lain sepanjang 12 detik manusia dapat mengingat 2 objek selam 7 detik. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini. Tabel 2.2 Perbandingan STM dan LTM Perbandingan Kapasitas Durasi Pengkodean
STM Terbatas (7 +/- 2 potongan objek) Singkat (hitungan detik) Akustik (suara)
Efek Perintah
Baru saja terjadi Informasi terakhir yang dipanggil dari ingatan
LTM Kemungkinan tak terbatas Kemungkinan seumur hidup Makna (semantik) Episodik (kejadian) Prosedur (berdasarkan cara) Deklarasi (berdasarkan pernyataan) Primer Informasi yang pertama kali dipanggil dari ingatan
2.2.1 Asosiasi dalam Teknik Mnemonic Teknik Mnemonic dimaksudkan supaya seseorang mempunyai imaji terhadap suatu persepsi. Semakin tidak masuk akal pengasosiasian seseorang, akan semakin bagus untuk melatih penggalian informasi. Kita biasanya melupakan sesuatu yang masuk dalam hidup kita sehari-hari secara begitu mudah daripada hal-hal yang aneh dan baru. Kita dapat menambahkan satu elemen penting ke dalam seni teknik mnemonic, yaitu apabila kita secara sadar menciptakan gambaran-gambaran mental yang unik dan berbeda dalam pengasosiasian, maka kita akan mendapatkan memori yang sempurna (Svantesson dalam Prajoko, 1998: 113). Menurut Svantesson dalam Prajoko, (1998: 129) asosiasi dapat berupa: a. melebih-lebihkan dalam hal bentuk, warna, jumlah, dan ukuran b. absurd, luar biasa c. Fantastik, kombinasi baru
14
d. tidak biasa e. tak terduga-duga f. bergerak g. lucu, membuat orang tertawa h. penuh warna, kontras dengan lingkungannya i. seksual, kasar j. sensual, cantik Teknik mnemonic telah berkembang sehingga membuahkan teknik dan konsep mengingat lainnya, antara lain metode loci (tempat), kata kunci, organisasi skema, akronim dan akrostik, recall of names, serta recall of words. Dalam penulisan skripsi ini, yang akan penulis gunakan dalam pembahasan analisis pada bab 3 nanti hanya terbatas pada teknik metode loci, kata kunci, recall of names, dan recall of words, yang akan dijelaskan pada sub bab berikut ini.
2.2.2 Metode Loci, Kata Kunci, Recall of Words, dan Recall of Names Menurut Svantesson (1998: 125), metode loci (location) atau metode tempat, berasal dari bahasa latin, locus yang berarti tempat atau lokalitas; di sini maksudnya adalah metode yang dibangun dengan menggunakan tempat. Svantesson membahas teknik mengingat metode loci melalui cerita berikut ini. Alkisah seorang penyair Yunani, Simonides, diundang ke suatu acara baca puisi. Selama acara makan, Simonides diminta untuk keluar oleh seseorang. Begitu dia berada di luar, rumah tersebut ambruk dan orang-orang yang ada di dalamnya tewas seketika. Mencengangkan banyak orang, Simonides dapat memberikan informasi secara detil
15
mengenai jenazah orang-orang yang ada di dalam rumah tersebut. Dia menggunakan teknik dengan mengingat berdasarkan posisi tempat duduk pengunjung. Kata kunci adalah teknik mnemonic dengan menggunakan kata-kata yang sudah ada di dalam ingatan untuk diasosiasikan dengan kata-kata atau konsep baru. Langkah pertama adalah dengan mengasosiasikan kata kunci tersebut dengan kata yang kedengarannya mirip dengan kata kunci tersebut. Setelah itu kita akan mempunyai dua kata yang harus diingat, kata yang kedengaran seperti kata kunci dan kata kunci itu sendiri. Setelah itu kedua kata tersebut diasosiasikan melalui pencitraan (Solso, 2007: 212). Recall of names menurut Solso (2007: 214) dijelaskan sebagai berikut: According to Lorayne and Lucas (1974), who wrote popular The Memory Book, the learning of a name is association with a face involve three steps. The first, remembering the name, may be done by paying close attention to the way the name is pronounced and then by forming a substitute name or phrase for it
Terjemahan: Menurut Lorayne dan Lucas (1974), yang menulis buku The Memory Book, pembelajaran sebuah nama dalam hal pengasosiasian dengan wajah seseorang meliputi tiga langkah. Langkah pertama, mengingat nama tersebut, dapat dilakukan dengan memberikan perhatian lebih dari cara nama tersebut diucapkan, dan kemudian dengan mengganti nama tersebut dengan nama atau frase lain. Recall of words menurut Solso (2007: 214) adalah, “…Something associated with the word in common experience, or a word that rhymed with the TBR (to-be-recall) word,” yang artinya, “…sesuatu yang telah diasosiasikan dengan kata-kata melalui pengalaman umum, atau sebuah kata yang bersajak dengan informasi yang akan “dipanggil” dalam ingatan.”
16
2.3 Konsep Proses Perolehan dan Penyimpanan Informasi Manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna, hal ini ditandai dengan adanya kesinambungan antara kerja otak manusia dengan alat inderanya, sehingga manusia dapat mengantisipasi siapa dan apa saja yang dapat merangsang alat itu, dan selanjutnya secara fisiologis terjadi rangkaian jawaban atas rangsangan tersebut dalam berbagai bentuk perilaku, emosi, kepribadian intelektualitas, dan lain-lain (Santrock, 2005) Proses perolehan informasi diawali dengan indera reseptor sensoris yang mendeteksi adanya suatu kejadian stimulus dan kemudian dibawa dan diolah di otak. Otak manusia merupakan bagian dari sistem saraf yang terdapat di dalam tubuh dan letaknya terdapat dibagian yang paling atas dari sususan tubuhnya (Suparno, 2000). Dalam organisasi otak manusia terbagi dalam beberapa bagian, yaitu : otak depan, otak belakang, dan otak bagian tengah, dan diantaranya terdapat batang otak (Brainstem), dan yang terakhir adalah sum-sum tulang belakang (Modulla Spinalis). Modulla Spinalis inilah yang menjadi tempat lalu-lalang saraf, baik yang menuju ke otak, maupun sebaliknya (Ibnu, 2001). Persepsi adalah proses penafsiran stimulus yang telah ada di dalam otak manusia (Fauzi, 1997). Meskipun memperolehan stimulus sama pada setiap manusia, akan tetapi interpretasinya akan tetap berbeda. Hal ini disebabkan adanya pengaruh terhadap persepsi manusia, antara lain: 1. Perhatian; perbedaan fokus (perhatian) setiap orang akan menyebabkan perbedaan persepsi. 2. Set; adalah harapan seseorang terhadap rangsangan yang akan timbul. 3. Kebutuhan; kebutuhan yang sesaat atau menetap akan menimbulkan persepsi yang berbeda 17
4. Sistem nilai; sistem nilai mempengaruhi model pemikiran manusia dalam masyarakat sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda 5. Ciri kepribadian 6. Gangguan kejiwaan; gangguan kejiwaan dapat menimbulkan kesalahan persepsi yang disebut halusinasi (Fauzi, 1997: 43-44). Setelah proses persepsi, indera akan melakukan proses pencatatan, dimana fungsi selsel saraf akan membentuk impuls-impuls yang mengaktifkan otot dan kelenjar yang mengakibatkan timbulnya bentuk tingkah laku tertentu. Pencatatan indera timbul bila suatu kekuatan fisik merangsang salah satu organ akhir urat saraf tertentu, dan hal itu menghasilkan sebuah tingkah laku yang sesuai dengan Cortex Cerebrum, dan ini adalah berakhirnya urat syaraf (Santrock, 2005). Saat urat saraf itu berakhir, alat indera akan menerima rangsangan tersebut. Setiap alat indera hanya mereaksi kekuatan dan tugas tertentu saja, seperti mata untuk melihat, hidung untuk bebauan, dan seterusnya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut.
Tabel 2.3 Alat Indera, Penginderaan, dan Kegiatan Indera Alat indera
Perangsang
Cara
Kegiatan
penginderaan
Organis
Mata
Gelombang Cahaya
Visual
Melihat
Telinga
Gelombang udara
Auditoris
Mendengar
Lidah
Cairan Larut
Gustatoris
Mengecap
Hidung
Partikel Gas
Olfaktoris
Membau
Kulit
Mekanis
Panas, Elektris,
Sakit, Panas,
18
Otot
Perubahan Gerakan
Kimiawi
Dingin
Kinestetis
Tekanan dan Gerakan
Alimintari Canal
Kondisi
Jaringan Organis
Lapar, Haus, Perasaan Tenang
Semi Cellular Canal
Gerakan dan
Keseimbangan
Ketangan otot
(Equilibrium)
Keseimbangan
Sumber: Persepsi Kerja Otak (2001)
2.4 Konsep Egalitarian dan Teori Mastery Learning Pada Pendidikan Jepang Pendidikan menurut Halimah, et al. (2006) adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tingkat pendidikan di Jepang relatif tinggi, hal ini ditandai dengan tingginya peserta didik Jepang yang melanjutkan studi ke jenjang universitas dibandingkan dengan Amerika Serikat, menurut Kerbo (1998: 123) sekitar 38% berbanding 24%. Meskipun mereka yang melanjutkan ke universitas lebih tinggi negara Jepang, yang mengejutkan menurut Kerbo (1998: 126) adalah mahasiswa tidak belajar dengan keras setelah mereka masuk universitas, dan universitas di Jepang tidak berpusat pada pembelajaran maupun penelitian seperti kebanyakan unversitas di Amerika. Universitas di Jepang adalah
19
tempat dimana mahasiswanya dapat mengembangkan hubungan kemanusiaan, serta belajar ilmu sosial melalui kehidupan umum mahasiswa di Jepang. Ketatnya pendidikan Jepang berbanding dengan negara-negara maju lainnya, seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 2.4 Figur Perbandingan Pendidikan Jepang Dengan Negara-Negara Barat Negara
sekolah Kehadiran di Efektivitas Hasil tes ilmu dalam universitas sekolah pengetahuan setahun Jepang 243 35.3% 75.5 20.2 Jerman 210 28.1 75.2 Belanda 200 64.6 19.8 Perancis 185 28.6 49.7 Inggris 192 20.9 40.6 16.7 Amerika Serikat 180 45.7 47.6 16.5 Sumber : Keizai Koho (1995); Shapiro (1992). Hal. 58, 60, 66. Penelitian Cummings (1990: 135) menyebutkan bahwa pendidikan di Jepang menganut asas egalitas, yaitu persamaan derajat dalam hal mengenyam pendidikan. Kesederajatan tidak hanya dari segi gender, tapi juga pemerataan pada : (1) Kebijakan pemerintah mengenai kesamaan fasilitas sekolah, (2) satu standar pendidikan untuk seluruh bangsa, (3) Tata tertib sekolah. Cummings (1990: 144) juga menuliskan tentang egalitarian dalam pendidikan Jepang menyebabkan keseragaman kebudayaan pendidikan yang berdampak positif dalam pemerataan pengembangan “manusia Jepang seutuhnya”. Salah satu tugas pengajar Jepang dalam mengembangkan “manusia Jepang seutuhnya” di sekolah adalah penempatan siswa agar belajar menampilkan diri. Sedari dini sejak sekolah dasar, siswa diajarkan untuk berani tampil mengekspresikan keterampilannya di depan kelas, seperti membaca karangan-karangan sederhana dari buku dongeng. Hal ini sangat merangsang
20
intelektualitas siswa untuk terus dikembangkan dalam periode tahun-tahun persekolahan berikutnya. Berikutnya adalah teori Mastery Learning, dimana Cummings (1990: 196) menyebutkan bahwa teori ini menyajikan suatu kerangka untuk menganalisa proses belajar dan tampaknya sangat cocok untuk menyoroti perbedaan khas yang ada dalam pendidikan di Jepang. Uraian yang paling jelas mengenai teori Mastery Learning dan hubungannya dengan pendidikan Jepang adalah, “kebanyakan siswa dapat mempelajari apa yang diajarkan sekolah jika halnya disajikan secara menarik dan sistematis”. Mastery Learning dan hubungannya dengan pengembangan “manusia Jepang seutuhnya” dikatakan oleh Cummings (1990: 197) sebagai berikut, “ahli-ahli didik Jepang tidak pernah banyak menaruh perhatian kepada kemampuan bawaan siswa. Mereka condong beranggapan bahwa tiap siswa dapat menguasai bahan pelajaran kalau berusaha sungguh-sungguh. Semangat lebih kuat daripada benda; asumsi ini yang diterapkan dalam lingkungan pendidikan Jepang yang beraneka ragam”.
2.5 Konsep Pendidikan Jepang Melalui Teknik Desain Visualisasi. Pemvisualisasian merupakan hasil aplikasi dari ilmu desain, yaitu Visual Communication Design, desain yang berkaitan dengan aspek komunikasi secara visual. Resume presentasi Miyazaki (2008) mengatakan bahwa pendekatan secara desain visualisasi dikaitkan dengan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jepang setempat, dilakukan untuk memunculkan identitas ke-Jepangan dalam setiap karya-karya visualisasi yang mereka buat, dan kerap kali muncul secara tidak sadar.
21
Beliau mengatakan di Jepang terjadi perubahan visi dalam ilmu visualisasi desain, dari yang disebut Man Made Things atau desain yang menghasilkan benda, menjadi Man Made Living, atau desain sebagai solusi kehidupan masyarakatnya. Miyazaki dalam (2008) menyebutkan bahwa pergeseran budaya menimbulkan pertanyaan dalam diri masyarakat Jepang, yang mulai merasakan kehilangan keJepangannya. Kesadaran akan karakter nasional ini kemudian menggerakkan pendidikan desain Jepang moderen yang juga mengadopsi desain yang terinspirasi dari luar, tapi mampu menyesuaikan dengan budaya lokal Jepang.
22