Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Amae Doi (1992, hal. 107) menyimpulkan bahwa pada hakikatnya, amae adalah suatu sikap mengandalkan diri kepada seseorang. Bester dalam Doi yang diterjemahkan oleh Bey (1992), memberikan penjelasan mengenai Amae. Perilaku seperti anak-anak yang selalu ingin dekat dengan ibunya, dipeluk dalam kasih sayang itulah yang disebut orang Jepang sebagai amaeru (kata kerja; amae adalah kata benda). Jika diperluas kata ini mengacu pada perilaku yang sama, yang diserap secara sadar atau tidak sadar, oleh orang dewasa. Dan jika diperluas lagi, kata ini mengacu pada situasi di mana seseorang berasumsi bahwa setiap orang memiliki niat baik padanya, atau mempunyai –mungkin tanpa alasan—pandangan yang optimis terhadap suatu situasi tertentu untuk memuaskan keinginannya untuk menjadi satu dengan, atau terlibat, dalam lingkungannya. (hal. viii)
Bester kemudian juga menambahkan bahwa perilaku seperti anak-anak atau tingkah laku “kekanak-kanakan” ini terkadang mungkin saja, atau bahkan sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang ingin bergantung dan mencari perhatian orang lain. Bagi mereka yang menunjukkan perilaku atau tingkah laku tersebut, kepastian akan niat baik seseorang akan memungkinkan adanya rasa ketergantungan. Bester juga menambahkan, bahwa menurut tradisi, Doi menyebutkan bahwa sikap ini lebih lazim ada pada wanita daripada pria. Doi (1992, hal. 58) juga berpendapat bahwa masyarakat Jepang memberikan posisi yang tinggi atau terhormat bagi sikap kekanak-kanakan. Ini dibuktikan dengan posisi Kaisar di Jepang. Seorang kaisar berada dalam kedudukan di mana ia mengharapkan orang lain yang ada di sekelilingnya yang menangani permasalahan yang telah 1
diserahkan kepadanya, seberapa besarpun itu. Jika diperhatikan, kedudukannya adalah yang paling tinggi, akan tetapi jika dilihat dari sifat ketergantungan, dia bagaikan seorang bayi dalam pangkuan ibu. Hal ini juga bisa dihubungkan dengan pendapat Doi (1992, hal. 37) yang lain, yaitu seseorang yang berlaku amae akan memperlihatkan sikap meninggikan diri dan sombong, apabila dia tidak mungkin melakukan amaeru. Doi (1992, hal. 23) juga memberikan penjelasan bahwa kosa kata dan istilah amae itu sendiri bukanlah satu-satunya ungkapan yang dipakai di dalam psikologi. Di samping kata amae tersebut, masih terdapat sejumlah besar kata-kata lain. Doi mengumpamakan hal ini pada kata sifat amai yang dipakai bukan saja untuk mengartikan rasa “manis” yang dirasakan oleh lidah, akan tetapi juga dipakai untuk mengungkapkan sifat seseorang. Hubungan ini diberi contoh oleh Doi; jikalau seseorang mengatakan bahwa si A bersikap amai terhadap si B, maka itu berarti bahwa si A membiarkan si B berlaku amaeru terhadap si A, yaitu bersikap mengandalkan diri dan juga mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara si A dan si B tersebut. Doi (1992:76-77) menjelaskan prototipe dari psikologis amae ini terletak di dalam psikologi kanak-kanak dalam membuat hubungan dengan ibunya. Dalam perkataan lain, amae ini dipakai untuk menunjuk kepada perilaku sang anak dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada sang ibu. Doi juga menambahkan bahwa seorang bayi baru disebut berlaku amaeru sampai enam bulan kelahirannya. Hal ini dikarenakan pada waktu sebelum itu, sang bayi dan sang ibu masih merupakan suatu kesatuan. Dalam kata lain, kehidupan mental dari sang bayi masih merupakan suatu kelanjutan dari kehidupannya ketika masih dalam kandungan ibu.
2
Doi (1992, hal. 77) kemudian melanjutkan penjelasannya, bahwa seiring dengan pertumbuhan mental dari sang bayi tersebut, lambat laun sang bayi menyadari bahwa dirinya dan ibunya bukan lagi suatu kesatuan, bahwa mereka adalah bentuk kehidupan yang berdiri sendiri-sendiri, dan sang bayi merasa ibunya adalah seorang yang mutlak bagi dirinya. Hasrat yang kuat untuk mengikat hubungan erat itulah yang disebut Doi sebagai amaeru. Doi (1992, hal. 74) berpendapat bahwa pengucapan kata amae berakar dari istilah ama, dari bahasa bayi uma-uma yang berarti mengungkapkan hasrat seorang bayi untuk menyusu, atau untuk makan. Pendapat Doi ini didukung oleh Kitayama (2009, hal. 2) yang mengatakan bahwa kata “ma” memang memiliki hubungan dengan kata-kata yang diucapkan oleh seorang bayi, dan memberi contoh hal yang sama yang juga ada di dalam bahasa lainnya dan bukan hanya di dalam bahasa Jepang. Contohnya adalah dalam bahasa inggris, melalui kata mother, mouth, dan munch yang dalam pengucapannya menjadi “mather”, ”mauth”, dan “manch”. Hal ini juga menunjuk pada salah satu pendapat Doi (1992, hal. 10) yang mengatakan bahwa, walaupun istilah amae merupakan istilah yang unik ada di dalam bahasa Jepang, perilaku amae itu sendiri merupakan perilaku yang universal dan ada di tempat-tempat lainnya di luar Jepang. Pendapat yang dikatakan oleh Doi tersebut didukung oleh Vogel dalam Smith dan Nomi (2000) yang mengatakan bahwa,”. I see amae (indulgence) as the universal basic instinct, more universal than Freud's two instincts, sex and aggression." (para. 2). Yang berarti “. Saya melihat amae sebagai insting dasar yang universal, lebih universal lagi daripada dua insting Freud, sex dan agresi”. 3
Selain bersifat universal, tingkah laku amae ini juga ditemukan tidak hanya pada anak-anak. Doi (1992, hal. 78) menjelaskan bahwa perilaku amae ini juga bisa ditemukan bahkan setelah seseorang melewati masa kanak-kanak dan tumbuh dewasa sekalipun. Contoh dari penjelasan ini adalah pada saat membina hubungan-hubungan baru diantara sesama manusia. Perilaku amae dengan bentuknya yang berbagai ragam juga tetap muncul pada saat-saat tersebut. Doi dalam Johnson (1993, hal. 163) mengatakan bahwa contoh bentuk ini juga bisa berupa ungkapan-ungkapan perasaan yang berhubungan dengan rasa frustasi, atau penolakan, atau rasa melebih-lebihkan, dan juga konversi dari amaeru. Perkataan Doi ini juga didukung oleh Johnson (1993, hal. 161) yang mengatakan bahwa di dalam keseluruhan aspek dari tulisan Doi, Johnson menemukan bahwa terdapat perhatian yang jelas mengenai pemanjaan ketergantungan yang ditunjukkan dengan cara yang dilebih-lebihkan, atau ekspresi perserongan dari amae yang diilustrasikan oleh Doi dengan memakai berbagai kata-kata dan ekspresi khas Jepang yang umum. Berikut adalah kata dan ekspresi khas Jepang umum yang dikatakan oleh Doi dalam Johnson (1993, hal. 164-165) tersebut: a) Suneru
j) Higamu
b) Uramu
k) Higaisha-ishiki
c) Futekusareru
l) Kuyashii
d) Hinekureru
m) Amanzuru
e) Sumanai
n) Wadakamaru
f) Kodawaru
o) Toriiku
g) Toraware
p) Tereru
h) Yakekuso ni naru i) Wagamama 4
Di dalam penelitian ini penulis tidak akan menjelaskan semua kata-kata tersebut. Diantara kumpulan kata dan ekspresi khas Jepang umum yang telah dikatakan Doi dalam Johnson tersebut, penulis hanya akan memfokuskan penjelasan kepada kata Higaisha-ishiki, Futekusareru, dan Tereru.
2.1.1 Tereru Doi (1992, hal. 25) menjelaskan bahwa seseorang yang kelihatan tereru, atau kikuk, memiliki kemiripan dengan seseorang yang kodawaru. Kemiripan ini terletak pada ketidakmampuan mereka untuk menyatakan hasrat mereka untuk amaeru secara terbuka. Akan tetapi terdapat perbedaan antara kodawaru dan tereru. Perbedaan antara seseorang yang tereru dengan seseorang yang kodawaru terletak pada alasan dari ketidakmampuan mereka untuk melakukan amaeru. Bagi seseorang yang kodawaru alasan tersebut adalah karena rasa khawatir akan penolakan, sedangkan pada seseorang yang tereru alasannya adalah karena rasa malu untuk memperagakan sikap amaeru kepada orang lain. Johnson (1993) memberikan penjelasan lain mengenai tereru. In describing a superficial denial of amae, the word tereru stands for excessive shyness or social awkwardness, which becomes so severe as to thwart the individual’s ability to amaeru. This occurs in intensely bashful people who are inept in interpersonal relation, and hence unable to transact their dependency needs with other people. (hal. 171) Terjemahan: Dalam mendeskripsikan penolakan amae yang superfisial, kata tereru menunjuk pada rasa malu yang berlebihan atau kecanggungan sosial, yang menjadi sangat parah hingga menggagalkan kemampuan seorang individu untuk melakukan amaeru. Ini terjadi pada orang-orang yang merasa sangat segan yang tidak mahir dalam melakukan hubungan yang interpersonal, membuatnya tidak dapat menunjukkan keinginan untuk bergantung kepada orang lain. 5
Arti kata tereru itu sendiri dikatakan oleh Johnson (1993, hal. 165) sebagai “Menjadi sangat pemalu atau merasa segan yang tidak biasa”. Johnson (1993) juga menambahkan perkataannya tersebut dengan mengatakan, “desire to amaeru is deflected by incapacity to relate smoothly to others” (hal. 165). Yang artinya “Keinginan untuk amaeru dikesimpangkan karena ketidakmampuannya untuk berhubungan dengan mulus dengan orang lain.”
2.1.2 Higaisha-Ishiki Doi Takeo (2007) menjelaskan mengenai asal usul higaisha-ishiki, 被害的心理は日本人の心理の根底に単喰っている極めて日常的なものと考え られるが、このことと関連して興味深いことは、被害者意識というような熟 語造られていることである。(hal. 210) Terjemahan: Mentalitas dilukai merupakan unsur yang luas sekali tertanam dalam mentalitas orang Jepang, karena hal tersebut maka dicetuskanlah sebuah istilah khusus, yaitu higaishaishiki. Doi (1992, hal. 141) menjelaskan ucapan-ucapan yang sangat biasa dipakai dalam melukiskan alam pikiran seperti ini, yaitu kata jama sareru atau jama ga hairu yang bisa diartikan sebagai “sesuatu yang mengganggu”, atau “sebuah rintangan yang datang dari luar yang mengganggu”. Doi (1992, hal. 142) juga menjelaskan bahwa setelah perkembangan jaman, istilah ini dipakai dalam makna yang luas dalam percakapan sehari-hari, dan mencakup apapun yang dianggap mengganggu ketenangan pikiran seseorang. Ia juga menambahkan bahwa dengan mengadakan perubahan kecil dalam pemakaian kata kerja yang menyusul istilah jama, seseorang dapat menyatakan berbagai macam ungkapan. Seperti contohnya pada 6
kata jama suru yang berarti “mengganggu”, dan jama ni naru yang berarti “keadaan mengganggu”, atau jama ni suru yang berarti “ditanggapi sebagai suatu gangguan”. Sebelumnya, Doi sendiri menulis sebuah makalah yang memberikan penjelasan pada hubungan antara kesadaran jama dan mentalitas amae yang diterjemahkan oleh Arifin Bey, di mana di dalamnya ia (1992) menuliskan: Prototype amae jelas sekali ada hubungannya dengan kanak-kanak; di dalam keadaan ini, ada suatu usaha untuk memonopoli sasaran amae—yaitu sang ibu—dan suatu rasa cemburu yang kuat akan timbul jika si ibu memalingkan perhatiannya pada orang lain. Orang lain dianggap sebagai jama, yaitu sesuatu yang menghalangi dia, dan oleh sebab itu dia berusaha untuk mengusir mereka. Setidak-tidaknya orang yang sedang amaeru merasakan adanya jama, barang kali ada hubungan dengan kenyataan bahwa puastidaknya terhadap amae pada akhirnya tergantung pada pribadi yang ia andalkan secara pasif. Karena sasaran amae tidak seluruhnya mungkin dikendalikan oleh seseorang yang amaeru, timbullah kemungkinan yang bersangkutan akan merasa dirugikan atau dilukai atau merasa terganggu. (hal. 142) Pendeknya, Doi mengatakan bahwa perasaan terganggu, yaitu perasaan telah dirugikan, mempunyai hubungan yang erat dengan mentalitas amae, dan dominasi mentalitas amae di dalam masyarakat Jepang inilah yang memunculkan kesadaran yang kuat terhadap pemikiran jama. Johnson (1993) juga memberikan penjelasan mengenai higaisha-ishiki yaitu, “feeling or awareness of having been the injured party” (hal. 165). Yang artinya “Perasaan atau kesadaran (bahwa dirinya) telah menjadi pihak yang terluka.” Johnson (1993, hal. 170) juga menambahkan bahwa di dalam perasaan higaishaishiki terdapat rasa kronis yang merasa bahwa diri seseorang telah diperlakukan secara tidak adil, dimana ia menunjukkan rasa sakit yang mendalam dan merasa dirinya adalah korban.
7
2.1.3 Futekusareru Doi (2007) menjelaskan futekusareru bersamaan dengan yakekuso ni naru, “「ふ てくされる」「やけくそになる」というのはすねの結果起きる現象である。” (hal. 46). Yang artinya “Futekusareru dan Yakekuso ni naru adalah fenomena yang diakibatkan oleh rasa dongkol.” Alternatifnya, Doi yang diterjemahkan oleh Bey (1992, hal. 24-25) mengatakan futekusareru dan yakekuso ni naru, masing-masing berarti suatu sikap menantang dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kurang bertanggung jawab atau suatu tingkah laku yang dapat digolongkan ke dalam sikap dongkol. Johnson (1993, hal. 164) mengartikan futekusareru sebagai, “untuk menantang secara terbuka terhadap orang lain di dalam tindakan atau cara bicaranya”. Johnson (1993, hal. 166) juga menjelaskan bahwa futekusareru dan hinekureru merupakan dua bentuk perserongan amae yang mencari perhatian melalui tingkah laku yang kasar, dan melalui penjelasan tersebut Johnson mengartikan futekusareru sebagai “Untuk menunjukkan sikap dongkol, untuk menjadi dengki”. Ia juga menambahkan, sikap perlawanan ini disebabkan oleh kemarahan yang tidak dipendam sepenuhnya. Johnson (1993, hal. 166) juga memberikan penjelasan tambahan lagi, bahwa Futekusareru juga dipakai untuk menyamarkan keinginan untuk diperhatikan, dan untuk menghukum sasaran yang dimintai perhatian dengan melepaskan cara bicara atau sikap yang agresif.
8
2.2 Teori Fiksi Burhan Nurgiyantoro (2002, hal. 2) mengatakan bahwa fiksi merupakan sebuah cerita rekaan. Ia mengatakan hal tersebut karena, fiksi merupakan karya naratif yang di dalamnya tidak menyaran kepada kebenaran yang ada dalam sejarah. Hal ini berarti bahwa karya fiksi merupakan sebuah karya yang menceritakan sesuatu yang memiliki sifat yang berupa rekaan, atau berupa khayalan, atau merupakan sesuatu yang tidak ada dan sungguh-sungguh terjadi, sehingga ia tidak perlu mencari kebenarannya di dunia nyata. Istilah dari kata fiksi selalu dipertentangkan dengan realitas di dalam penggunaannya, yaitu sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan dengan data empiris. Data empiris inilah yang dapat membedakan sebuah karya fiksi dengan karya nonfiksi atau dengan karya ilmiah. Unsur-unsur yang terdapat di dalam sebuah cerita seperti misalkan tokoh, latar, alur, dan konflik, yang terjadi di dalam sebuah karya fiksi juga bersifat imajinatif. Menurut Alternbernd dan Lens di dalam Nurgiyantoro (2002, hal. 2) fiksi dapat diartikan sebagai sebuah karya atau prosa yang memiliki sifat yang imajinatif. Akan tetapi, karya atau prosa tersebut, biasanya masuk akal, dan di dalamnya juga mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan yang terjadi di antara sesama manusia. Sebuah karya fiksi adalah hasil dari pengamatan dan juga pengalaman sang pengarang terhadap kehidupan, yang telah didapat dan dialami olehnya dengan cara yang selektif, dan dibentuk dengan tujuan yang sekaligus memasukkan unsur hiburan di dalamnya, dan memberikan penerangan kepada pengalam di dalam kehidupan manusia.
9
Nurgiyantoro (2002, hal. 3) juga mengatakan bahwa fiksi menceritakan berbagai masalah yang terdapat dalam kehidupan manusia, di dalam melakukan interaksinya dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan dengan sesama, interaksinya dengan dirinya sendiri, dan juga interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dari dialog, kontemplasi, dan reaksi dari sang pengarang kepada lingkungan di sekitarnya dan juga kepada kehidupannya. Nurgiyantoro juga menambahkan penjelasannya, bahwa walaupun bentuknya berupa khayalan, tidaklah benar jika fiksi dianggap hanya sebagai hasil kerja lamunan belaka. Alasan dari perkataan ini adalah karena fiksi adalah sebuah penghayatan dan penerungan secara intens, perenungan terhadap hidup dan juga terhadap hakikat kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab.
2.3 Teori Penokohan Nurgiyantoro (2002, hal. 164) mengatakan bahwa sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan dalam cerita, tokoh dan penokohan juga merupakan unsur yang penting di dalam sebuah karya naratif. Sebuah plot cerita memang bisa dipandang sebagai tulang punggung dari sebuah cerita, akan tetapi kita dapat mempersoalkan tokoh yang muncul di dalam cerita tersebut. Siapa tokoh yang sedang diceritakan, siapa tokoh yang melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu, dan lain-lainnya lagi, semuanya adalah urusan tokoh dan penokohan. Nurgiyantoro (2002, hal. 165) juga menjelaskan bahwa istilah “tokoh” ini menunjuk kepada orangnya, yaitu kepada sang pelaku dari cerita tersebut. Kemudian ia juga mengatakan, bahwa tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk kepada kualitas pribadi seorang tokoh. 10
Nurgiyantoro (2002, hal. 165) juga menambahkan penjelasannya, bahwa penokohan dan karakterisasi—karakterisasi sering disamakan artinya dengan kata karakter dan perwatakan—menunjuk kepada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu di dalam sebuah cerita. Ini mendukung perkataan Jones dalam Nurgiyantoro bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan di dalam sebuah cerita.
11