BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Pajak Pajak merupakan sumber utama penerimaan dari banyak negara di dunia tidak terkecuali Indonesia yang dalam program penerimaan negara bertujuan untuk meningkatakan efektivitas perpajakan dan penerimaan sumber penerimaan negara. Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan undang-undang. Menurut lembaga pemungutannya, pajak dikelompokkan menjadi dua (Mardiasmo, 2011 : 6), yaitu : 1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara 2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah Pajak pusat dan pajak daerah merupakan suatu sistem perpajakan Indonesia yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat, yang pembinaannya dilakukan secara terpadu, menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2011 : 1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
13
Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi atau pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur : 1) Iuran dari rakyat kepada Negara, yang berhak memungut pajak hanyalah Negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2) Berdasaarkan undang-undang, Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undangundang serta aturan pelaksanaannya. 3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi indvidu oleh pemerintah. 4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Pajak Daerah Pajak Daerah, telah diterima secara luas sebagai sumber potensial Pendapatan Asli Daerah. Sidik (2002) mengatakan bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang paling potensial dan dominan untuk memantapkan otonomi daerah yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab
dan menjadi sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah membutuhkan penerimaan Pajak Daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi kemasyarakatannya (Shome, 2003), sedangkan Feltensein dan Iwata (2005) menyebutkan Pajak Daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi
14
daerah. Situmorang (1994 : 203) mengatakan bahwa pajak daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik Menurut Pasal 1 UU No.28/2004 Pajak Daerah juga didefinisikan sebagai kontribusi wajib pajak kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.1.2.1 Dasar hukum pemungutan pajak daerah Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah, sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memuat prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan. 2) Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, dilakukan dengan memperluas basis Pajak daerah. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan dengan prinsip pajak yang baik. Pajak tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor-impor.
15
Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk jenis Pajak Provinsi, seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang diperluas hingga mencakup kendaraan pemerintah serta Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi Provinsi. 3) Memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, dan untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban kepada masyarakat secara berlebihan. Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum, selain itu untuk menghindari perang tarif pajak antar daerah, untuk obyek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam undang-undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor. Pengaturan tarif demikian, diperkirakan juga memberikan peluang bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah, oleh karena itu dalam undang-undang ini, nilai jual kendaraan bermotor sebagai dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor masih ditetapkan seragam secara nasional, namun sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban yang ditangungnya dan pertimbangan tertentu. Mentri dalam negeri dapat menyerahkan kewenangan penetapan nilai jual kendaraan bermotor kepada daerah. Kebijakan tarif pajak kendaraan bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk menetapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Khusus untuk pajak rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif pajak rokok ditetapkan secara definitif,
16
agar pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiscal nasional dan daerah melalui penetapan tarif cukai nasional. 4) Memperluas basis pajak yang disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan diluar yang telah ditetapkan undang-undang ini. 5) Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang pajak daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana aloasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 ini, kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar, karena daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak dan diskresi dalam penetapan tarif. Pihak lain, dengan tidak diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis pajak baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Darerah menetapkan, Pajak Provinsi terdiri atas 5 jenis pajak yaitu 1) Pajak Kendaraan Bermotor, 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, 3) Pajak Bahan Kendaraan Bermotor, 4) Pajak Air Permukaan, dan 5) Pajak Rokok. Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah
17
ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah, dengan mengacu ketentuan tersebut, Provinsi Bali menerbitkan peraturan daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah dan Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. Peraturan tersebut pada intinya memuat antara lain yaitu 1) Nama, obyek, subyek dan wajib pajak, 2) Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak, 3) Wilayah pemungutan, 4) Masa pajak, 5) Penetapan Pajak, 6) Tata cara pembayaran dan penagihan, 7) Kadaluawarsa, 8)
Pembetulan, pembatalan atau pengurangan sanksi administrative, untuk
melaksanakan pungutan Pajak Daerah dibentuk Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bali dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 12 Tahun 1977. Dinas Pendapatan memiliki peranan penting dan strategis untuk meningkakan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dinas Pendapatan Provinsi Bali mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah berdasakan asas otonomi dan tugas pembantuan bidang pendapatan dan mempunyai fungsi yaitu (1) Perumusan keijaksanaan teknis di bidang pendapatan (2) Penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan dibidang pendapatan (3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang
pendapatan. Landasan operasional pengenaan
pajak, telah diterbitkan pula Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Bali Nomor 973/5651/DISPENDA Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Pajak Air Permukaan di Provinsi Bali. Keputusan tersebut adalah merupakan dasar hukum yang memberikan petunjuk teknis pelaksanaan bagi para petugas di jajaran Dinas Pendapatan Daerah termasuk Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang berada di tingkat Kabupaten/Kota.
18
2.1.3 Pelayanan Publik Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus,
menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekelompok orang, artinya obyek yang dilayani adalah masyarakat yang terdiri dari individu, golongan dan organisasi (sekelompok anggota organisasi). Pelayanan masyarakat (publik) adalah segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparatur pemerintah, termasuk pelaku bisnis BUMN/BUMD dan Swasta dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dari peraturan undang-undang yang berlaku
(Sianipar, 2000 : 6), dalam
pengertian pelayanan publik tersebut secara kongkrit diutarakan beberapa hal, 1) Pelayanan itu merupakan suatu tugas utama aparatur pemerintah termasuk pelaku bisnis, 2) Obyek yang dilayani masyarakat (publik), 3) Bentuk pelayanan itu berupa barang dan atau jasa yang sesuai dengan kepentingan kebutuhan masyarakat dan peratutan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Suwandi (2005 : 9) pelayanan publik ada yang bersifat regulatif (public regulation) seperti mewajibkan masyarakat untuk mempunyai KTP, IMB, membayar pajak dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan publik lainnya adalah penyediaan public goods, yaitu memenuhi kebutuhan riil masyarakat, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, infra strukur, dan sebagainya. Kepuasan didifinisikan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dirasakan dengan harapannya, oleh karena tingkat kepuasan adalah perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan, dengan demikian apabila dikaitkan dengan masyarakat, maka masyarakat dapat merasakan hal-
19
hal sebagai berikut yaitu, 1) Bila kinerjanya dibawah harapan, maka masyarakat akan merasa kecewa, 2) Bila kinerjanya sesuai harapan, masyarakat akan merasa puas, 3) Bila kinerjanya melebihi harapan, masyarakat akan sangat puas.
2.1.4 Kompetensi Sumber Daya Manusia ( SDM ) Aparatur Sumber Daya Manusia adalah daya yang bersumber dari manusia. Daya yang bersumber dari manusia ini dapat pula disebut tenaga atau kekuatan (energi atau power) yang melekat pada manusia itu sendiri dalam arti memiliki kemampuan (competency) yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude), Sinaga dan Hadiati (2001 : 2). Hoohiemstra dalam Sinaga (2001 : 34), mengemukakan bahwa kompetensi (competency) atau kemampuan didefinisikan sebagai dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil. Mustopadidjaya dalam Anita Kristina (2002), menyebutkan kompetensi jabatan SDM Aparatur (PNS) berarti kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS berupa pengetauan, ketrampilan, sikap dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, disinilah kompetensi menjadi satu karakteristik yang mendasar individu atau seseorang mencapai kinerja tinggi dalam pekerjaannya. Karakteristik itu muncul dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan perilaku untuk menciptakan aparatur yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi dalam melayani masyarakat yang aparatur perpajakan berorientasi melayani masyarakat dengan kompetensi yang dimiliki serta dengan hati yang bersih, untuk itu diperlukan strategi peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur, dimana kompetensi yang memadai merupakan sesuatu yang mutlak yang perlu dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur perpajakan Indonesia, dalam
20
hubungannya dengan pelayanan aparat dibidang perpajakan, maka kompetensi sumber daya manusia aparat perpajakan sangat stragis dalam upaya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Semua negara termasuk Indonesia mempunyai rencana strategis yang berhubungan dengan sistem perpajakan dan hal tersebut didukung oleh pengembangan sumber daya manusia aparatur yang handal, berintegrasi dan kompeten.
2.1.5 Kepatuhan Wajib Pajak Pasal 1, Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 menyebutkan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan Daerah. (Salamun, 1991) memberikan definisi kepatuhan wajib pajak sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan mulai dari menghitung memungut memotong, menyetorkan, hingga melaporkan kewajiban pajak oleh wajib pajak sesuai peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku, sedangkan Nurmantu (2003 : 148) mendefinisikan kepatuhan wajib pajak, sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Pada kenyataannya tidak dapat dihindari bahwa peran serta wajib pajak dalam sistim pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya rencana penerimaan pajak. Suryadi (2006 : 121) , menyebutkan bahwa dalam mengukur kinerja penerimaan pajak di Indonesia, ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan, diantaranya kesadaran dan kepatuhan wajib pajak, dan pelayanan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak merupakan bentuk kesadaran wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakan. Kesadaran wajib pajak merupakan indikator penentu yang mempengaruhi
21
penerimaan pajak. Kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan yang sukarela bukan kepatuhan yang dipaksakan, sedangkan Manik Asri (2009) berpendapat bahwa kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi dimana wajib pajak mengetahui, memahami, dan melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar dan sukarela. James dalam Gunadi (1995) menyatakan bahwa besarnya tax gap mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak (tax compliance), oleh sebab itu kepatuhan wajib pajak merupakan faktor utama yang mempengaruhi realisasi penerimaan pajak. Chau (2009) berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak suatu negara diantaranya adalah tingkat kepatuhan wajib pajak masyarakat di negara tersebut, apabila masyarakat semakin sadar dan patuh akan peraturan perpajakan maka akan sangat berimbas kepada peningkatan pendapatan pajak dalam negeri. 2.1.6 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ( BBNKB ) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan kedalam badan usaha. Obyek pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) adalah penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor. Beberapa ketentuan mengenai obyek BBNKB, adalah sebagai berikut : 1) Penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor berupa
kendaraan
beroda beserta
gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat, dan jenis kendaraan bermotor yang dioperasikan di air, dengan ukuran isi kotor 5 GT (lima Gross Tonagge) sampai dengan 7 GT (tujuh Gross Tonnange).
22
2) Dikecualikan dari penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor adalah : 1) kereta api, 2) kendaraan bermotor yang semata-mata dipergunakan untuk pertahanan dan keamanan negara, dan 3) Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah. 3) Penyerahan kendaraan bermotor, termasuk pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia kecuali, untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan, untuk diperdagangkan, untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia, dan digunakan untuk pameran, penelitian, contoh dan kegiatan oleh raga internasional. 4) Penguasaan kendaraan bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan secara berturut-turut dianggap sebagai penyerahan. Tidak termasuk penguasaan kendaraan bermotor karena perjanjian sewa beli.
2.1.6.1 Tata Cara Pendaftaran dan Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak BBNKB Tata cara pengurusan dan pembayaran pajak BBNKB : 1) Wajib pajak BBNKB melengkapi berkas berupa BPKB asli, STNK asli, kwitansi jual beli mobil asli, KTP asli pemilik yang akan di balik nama 2) Wajib pajak mengisi formulir Surat Pendaftaran dan Pendataan Kendaraan Bermotor ( SPPKB ) yang sekaligus berfungsi sebagai pernyataan tidak terjadi perubahan spesifikasi kendaraan bermotor Dasar pengenaan BBNKB adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang diperoleh berdasarkan harga Pasaran Umum atas suatu Kendaraan Bermotor. Harga pasaran umum
23
terhadap Kendaraan Bermotor yang tidak diketahui, Nilai Jualnya ditentukan berdasarkan, (1) isi selinder dan/atau satuan daya; (2) tahun penggunaan; (3) jenis dan type; (4) merek dan tahun pembuatan; (5) berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang diijinkan; 6) dokumen impor untuk jenis Kendaraan Bermotor tertentu. Tarif Pajak BBNKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah sebagai berikut : 1) Tarif BBNKB atas penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor pertama ditetapkan sebesar 15%. 2) Tarif BBNKB atas penyerahan kepemilikan kedua dan selanjutnya ditetapkan sebesar 0,5% 3) Tarif BBNKB atas penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor karena warisan dan hibah ditetapkan sebesar 0,5% 4) Tarif BBNKB khusus kepemilikan kendaraan bermotor alat-alat berat yang tidak menggunakan jalan umum masing-masing ditetapkan sebagai berikut : 1) penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor pertama sebesar 0,75%
2) penyerahan kepemilikan
kendaraan bermotor kedua dan seterusnya sebesar 0,075% 3) penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor karena warisan sebesar 0,075%.
2.1.6.2 Penetapan BBNKB Penetapan Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dilaksanakan sebagai berikut : 1) Setiap wajib pajak, orang pribadi, badan dan instansi pemerintah
mendaftarkan
penyerahan kendaraan bermotor dikantor Samsat dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga) hari sejak saat penyerahan dengan menggunakan data obyek dan subyek pajak. Data obyek dan subyek tersebut memuat, (1) nama dan dan alamat orang pribadi, badan
24
atau instnsi pemerintah yang menerima penyerahan; (2) dasar penyerahan; (3) harga penjualan; (4) jenis, merk, tipe, isi, slinder, tahun pembuatan, warna, bahan bakar, nomor rangka dan nomor mesin; (4) gandengan dan jumlah sumbu. Pendaftaran dilaksanakan di kantor Samsat. Setiap pendaftaran kendaraan bermotor dipungut BBNKB. Berdasarkan data dan subyek pajak tersebut di atas, BBNKB ditetapkan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersahkan. 2) Apabila terjadi perubahan atas kendaraan bermotor dalam BBNKB, baik perubahan bentuk dan/atau pergantian mesin, wajib melaporkan dengan mengisi data obyek dan subyek pajak paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ubah bentuk dan/atau ganti mesin selesai dilaksanakan. Setiap wajib pajak BBNKB terlambat mendaftarakan kendaraannya dikenakan sanksi administrative sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak.
2.1.6.3 Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Tata cara Pembayaran dan Penagihan dilakukan sebagai berikut : 1) Gubernur menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran Pajak BBNKB yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) setelah saat terutangnya. 2) Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak BBNKB yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan BBNKB, dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkan. 3) Gubernur atas permohonan Wajib Pajak BBNKB setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak BBNKB
25
untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak BBNKB, dengan dikenakan bunga 2% (dua persen) sebulan. 4) Pajak BBNKB yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. 5) Penagihan Pajak BBNKB dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 6) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD. 7) Gubernur dapat menerbitkan STPD, jika : 1) pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar, 2) dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; 3) wajib pajak dikenakan sanksi administrative berupa bunga dan/atau denda. 8) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD, ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
2.1.7 Efektivitas Penerimaan Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Berbagai penelitian maupun teori telah banyak membahas mengenai efektivitas, baik pada sector privat maupun sector publik (birokrasi) sesuai dengan perspektif dan kegunaan yang ingin diperolehnya. Efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat luas, oleh beberapa para ahli dan pakar ilmu pengetahuan, belum ada keseragaman pandangan mengenai konsep
26
efektivitas tersebut, hal ini disebabkan adanya sudut pandang yang berbeda dalam melihat konsep efektivitas menurut disiplin ilmu masing-masng, sehingga melahirkan konsep yang beragam pula, dengan demikian maka hal tersebut akan berpengaruh pula terhadap perbedaan dalam mengukur efektivitas itu sendiri (Soekristiono, 2003 : 36). Efektivitas merupakan penggambaran kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasiakan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah ( Halim, 2004:129 ) Etzion dalam Lubis dan Huseini (1987 : 54 – 55) mengemukakan bahwa efektivitas dapat dinyatakan sebagai sutu tingkat keberhasilan dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran. Efektivitas merupakan suatu konsep yang amat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan dalam mencapai sasaran. Rivanto (1985 : 113) mengatakan bahwa efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauhmana seseorang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan, hal ini dapat diartikan bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan sesuai dengan perencanaan, baik dalam hal waktu, biaya, maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif. Efektivitas pungutan pajak dapat membantu Pemerintah Provinsi Bali dalam menentukan kebijakan yang ditempuh guna meningkatkan penerimaan Pajak BBNKB sehingga dapat mengoptimalkan PAD.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak Bea
Balik
Nama Kendaraan Bermotor Kualitas pelayanan yang baik akan mendorong seseorang untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak (Supadmi, 2009). Penelitian yang dilakukan Setijo dan Sumadi (2006), tentang
27
pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan wajib pajak pada obyek pajak penghasilan di KPP, Yogyakarta, menyatakan kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Yudi (2011) mengatakan dalam penelitiannya, tentang pengaruh kualitas dan kewajiban moral terhadap kepatuhan wajib pajak kendaraan bermotor pada kantor bersama Samsat, Denpasar menyatakan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak Kendaraan Bermotor. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka hipotesis pada penelitian ini adalah : H1 : Kualitas pelayanan publik berpengaruh positif dalam efektivitas penerimaan Balik Nama Kendaraan Bemotor
Pajak Bea
2.2.2 Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia ( SDM ) Aparatur Terhadap Efektivitas Peneriman Pajak BBNKB Dalam hubungannya dengan pelayanan dibidang perpajakan, maka kompetensi SDM aparat perpajakan sangat stragis dalam upaya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak Kristina (2009 : 7). Anggiat dan Hadiati mengatakan bahwa Kemampuan (competency) aparatur meliputi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan sikap atau perilaku (attitude). Kristina (2009) dalam penelitiannya tentang Pengembangan SDM Aparatur melalui pendekatan soft HRM sebagai titik tumpu reformasi perpajakan menyatakan SDM Aparatur mempunyai peranan penting dalam mendukung suksesnya reformasi perpajakan. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka hipotesis pada penelitian ini adalah : H2 : Kompetensi SDM Aparatur berpengaruh positif terhadap efektivitas penerimaan Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bemotor.
28
2.2.3 Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Efektivitas Peneriman Pajak BBNKB Kepatuhan wajib pajak merupakan bentuk kesadaran wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Kepatuhan wajib pajak merupakan indikator penentu yang mempengaruhi penerimaan Negara, oleh karena itu setiap kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak hanya dilakukan dengan menambah jumlah wajib pajak, tetapi juga disertai dengan peningkatan kepatuhan wajib pajak Sari (2012 : 23). Kamila (2010) dari hasil penelitiannya yang berjudul pengaruh tingkat kepatuhan, pemeriksaan pajak serta perubahan penghasilan kena pajak terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi pada KPP Pratama Surakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kepatuhan wajib pajak berpengaruh positif terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka hipotesis pada penelitian ini adalah : H3 : Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh positif terhadap efektivitas penerimaan Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bemotor.
29