BAB 2 DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber Data 2.1.1 Literatur Buku 1. “Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia” karya Leo Suryadinata. 2. “ Tradigital 3ds Max” karya Richard Lapidus. 3. “After Effects CS5 Visual Effects and Compositing” karya Mark Christiansen. 2.1.2 Literatur Internet 1. http://id.wikipedia.org/wiki/Cina_Benteng 2. http://15meh.blogspot.com/2009/03/sejarah-cina-benteng-di-indonesia.html 3. http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/15/kenapa-cina-tangerang-disebut- cinabenteng/ 2.2 Data Historis 2.2.1 Awal Kedatangan Orang Tionghoa Di Batavia Orang China Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan mereka dari Tiongkok: Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan orang Cina Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya Pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
3
4 Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal terhadap China dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Cina Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda.China Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Gambar 2.1 Kaisar Qing
5
Gambar 2.2 Peta distribusi daerah asal leluhur Tionghoa 2.2.2 Asal Muasal Cina Benteng Nama "China Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Saat ini Banten sudah tidak ada lagi, tinggalah pemukiman Tionghoa yang awalnya berdiri di Pasar Llama yang terkenal dengan Petak Sembilan yang ditandai dengan Kelenteng Boen Tek Bio. Orang-orang yang tinggal di dekat benteng itulah yang kemudian menamakan dirinya Cina Benteng. Setelah itu warga keturunan Thionghoa tersebar di pedesaan yang terletak diwilayah Tangerang dan Batavia. Setelah memperoleh izin dari VOC, orang-orang dari Tiongkok datang ke wilayah sebelah timur kali Cisadane untuk membuka hutan belantara untuk mendirikan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik gula, hal ini terjadi setelah 1682 (tahun perjanjian antara VOC dan Banten). Namun pada masa itu industri gula menurun pada 1730an, sehingga menyebakan pengangguran dan menyebakan tragedi pembantaian pada 1740. Setelah itu warga beralih menjadi petani padi hingga sekarang. Orang China Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap (walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan China lainnya di Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok.
6 Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran Betawi-Tionghoa, Cokek yaitu sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam. Hal menarik dari China Benteng adalah biarpun mereka sudah tidak berbahasa China lagi, mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok, ini bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya Dinasti Manchu (Qing), mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu seperti Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah. Orang China Benteng adalah satu-satu nya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang Manchu, karena hanya orang China Benteng yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya Dinasti Manchu. Setelah Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, di Tiongkok sendiri, upacara nikah gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan. Karena adanya revolusi budaya di Tiongkok sendiri pada tahun 1966-1976. Selain itu, banyak orang China Benteng yang sebenarnya adalah keturunan dari keluarga Kekaisaran Dinasti Qing (clan Manchu Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam Bahasa Bandarin). Mereka adalah keturunan dari anak haram hasil hubungan gelap antara Kaisar Qianlong dengan seorang gadis cantik bermarga Wang di provinsi Fujian. Karena sang Kaisar tidak mau hubungan gelapnya diketahui publik, maka untuk menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil hubungan haram tersebut dipaksa memakai nama marga ibunya, yaitu "Wang" dalam mandarin atau "Ong" dalam Hokkien. Mereka adalah orang-orang China Benteng yang bermarga "Ong" dalam dialek Hokkien atau "Wang" dalam dialek Mandarin. Namun tidak semua orang China Benteng bermarga Ong adalah keturunan Aixinjueluo. Mereka yang merupakan keturunan sang Kaisar Qianlong kini mengggunakan nama Indonesia Wangsa Mulya /Wangsa Mulia. Nama Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa sanskerta, Wangsa (dinasti), dan Mulia (murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi "Pure Dynasty". Sedangkan kata "Qing" sendiri berarti "pure". Sehingga secara harafiah Wangsa Mulia berarti "Qing Dynasty". Kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya dan keluarga marga Ong lainnya tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan kekaisaran, namun bagimanapun juga darah dan napas Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri mereka. Mereka hidup modern namun memegang teguh sifat ultra-konservatif seperti feodalisme dan anti feminisme.
7 Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas China di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Gambar 2.3 Kehidupan di Tiongkok pada abad ke-17
Gambar 2.4 Tradisi ciao tao pada cina benteng
8
Gambar 2.5 keluarga cina benteng
Gambar 2.6 Fany Fadilah salah satu cina benteng
9 2.2.3 Persengketaan Tanah Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga China Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk Pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga China Benteng dan Pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda China Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy and tentara Kolonial Belanda. Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh.
Gambar 2.7 Bangunan rumah tua peninggalan Oey Djie San yang rusak berat, dipereteli dan dijual komponennya. Bangunan tua di Karawaci ini terletak di atas tanah sekitar 2 hektar.
2.2.4 Kontribusi Dalam Kelangsungan Kolonialisme Belanda Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolinal Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa pada era feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah. Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an. Pada
10 tahun 1946 terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, Pribumi menuduh China berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Poh An Tuy, tentara China Benteng pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta beberapa kelompok olonial
Sunda dan Betawi melakukan peyerangan terhadap orang China Benteng
karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Poh An Tuy yang membela orang China Benteng. Orang-orang China Benteng merasa sangat kehilangan ketika Belanda meninggalkan Tangerang pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu kepada Republik, karena mereka kehilangan pelindung mereka, maka terjadilah penyerangan dan perampasan terhadap orang-orang China Benteng, banyak di antara mereka yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin karena harta leluhur mereka dirampas, orang China Benteng hidup lebih sejahtera selama pada zaman
olonial Belanda daripada setelah Tangerang masuk ke-
dalam Republik Indonesia. Di Belanda pun orang China Benteng mudah ditemui di antara komunitas tionghoa disana, karena kebanyakan orang Tionghoa yg ada di Belanda adalah orang China Benteng yang melarikan diri setelah Tentara Poh An Tuy mengalami kekalahan melawan tentara republik.
Gambar 2.8 Kegiatan para cina benteng
11
Gambar 2.9 Kompeni 2.2.5 Data Pembanding Sebagai pembanding, penulis akan menyertakan tentang Cina Legok, yang berada di desa Budi Mulya atau Legok, kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. Desa ini berada di sebuah gang yang terletak persis di belakang klenteng Hok Ie Kiong. Dahulu, daerah tersebut merupakan daerah pecinan yang di tinggali oleh mayoritas orang keturunan Tionghoa. Seperti halnya daerah-daerah pecinan lainnya, daerah ini menjadi pusat perjudian dan prostitusi terselubung. Terjadilah amalgamasi dan alkulturasi kebudayaan disini. Banyak orang dari berbagai etnis ataupun suku yang masuk di daerah ini, Terutama kaum Pribumi atau etnis Jawa. Walaupun begitu, setiap ada acara kebudayaan Tionghoa, merekalah yang aktif dan menjadi pionir dalam acara-acara tersebut. Walaupun mereka beragama muslim, kristiani ataupun hindu, mereka di persatukan dalam sebuah budaya yang kental, yaitu budaya Tionghoa. Walaupun ciri fisik mereka sudah jauh dari ciri fisik orang Tionghoa, mereka berkulit hitam,bermata belo tidak seperti orang keturunan Tionghoa kebanyakan. 2.3 Analisa Penulis melakukan survey kepada 25 remaja berusia antara 15-22 tahun yang memiliki tingkat pendidikan minimal setara dengan sekolah menengah pertama,serta memiliki ketertarikan ataupun pekerjaan di bidang seni, budaya, sejarah, serta politik dan film dan bermukim di daerah Jabodetabek. Dan hasilnya sangat mengejutkan, ternyata sebagian besar dari mereka (18 orang dari 25 orang) tidak mengetahui tentang Cina Benteng.
12
Tidak
Tahu tentang Cina Benteng
Ya
0
5
10
15
20
Kurva 2.1
Kurva hasil survey seberapa banyak mereka yang mengetahui tentang Cina Benteng.
2.4 Target Audiens 2.4.1 Target Primer Berusia sekitar 15-50 tahun, baik pria maupun wanita, bermukim di daerah Jabodetabek, dan memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Atas, serta memiliki pekerjaan di bidang seni, budaya, sejarah, politik dan film. Tingkat ekonomi B hingga A. 2.4.2 Target Sekunder Berusia sekitar 15-50 tahun, baik pria maupun wanita, memiliki pekerjaan di bidang pendidikan, jurnalistik, maupun desain. Merupakan warga Negara Indonesia maupun bekewarganegaraan asing yang tinggal di Indonesia dan tertarik dengan dunia pendidikan, jurnalistik, maupun desain. Memiliki tingkat ekonomi B hingga A.
13 2.5 Faktor Pendukung dan Penghambat 2.5.1 Faktor Pendukung 1. Isu tentang ras, sejarah, social dan politik memiliki keunikan tersendiri, dan belum banyak orang yang mengetahuinya, sehingga membuat orang tertarik. 2. Perkembangan teknologi baik internet, komputer dan gadget memungkinkan penyebaran informasi dan promosi yang cepat dan luas. 3. Film animasi dokumenter yang mengangkat tentang ras, sejarah, social, budaya dan politik masih sangat sedikit. 2.5.2 Faktor Penghambat 1. Tema yang di usung sangat sensitif terhadap rasisme, sehingga bisa berujung pada pencekalan. 2. Dilihat dari sudut pandang nilai jual, nilai jual film dokumenter tidak sebesar genre film yang lainnya, dan bagi masyarakat awam, kurang menghibur.