BAB 1
PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
ota Pontianak merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Barat. Luasnya mencakup 107,82 Km2 yang terdiri dari 6 Kecamatan dan 29 kelurahan. Kota Pontianak dilintasi oleh garis Khatulistiwa yaitu pada 0°2’24” Lintang Utara sampai dengan 0°05’37’ Lintang Selatan dan 109°16’25” Bujur Timur sampai dengan 109°23’01” Bujur Timur. Ketinggian Kota Pontianak berkisar antara 0,10 meter sampai 1,50 meter diatas permukaan laut.
K
Batu layang merupakan salah satu daerah yang berada di Kecamatan Pontianak Utara Dikelurahan Batu Layang dan juga berada di Kecamatan Siantan. Di Batu Layang merupakan daerah yang dialokasikan sebagai tempat pembungan akhir (TPA). TPA Batulayang mulai beroperasi tahun 1996 dengan luas sebesar 13 Ha. Pembebasan lahan dimulai pada tahun 1994/1995 untuk luas lahan sebesar 5,4 Ha. Perluasan lahan berlanjut sampai sebesar 26,6 Ha luas lahan. Saat ini hanya 11 Ha yang sudah dipergunakan dan sebagian dipergunakan sebagai buffer zone. TPA Batulayang menerapkan sistem Lahan Urug Terkendali atau Controlled Landfill Management system Pada saat ini di TPA Batulayang telah dibangun instalasi pengumpulan gas dilengkapi sarana pendukung pembakaran dan sistem monitoring oleh PT. Gikoko Kogyo. penandatanganan kerjasama Pemkot Pontianak dan PT Gikoko Kogyo Indonesia pada tanggal 14 Juli 2007, dalam program yang diberi nama Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) di Tempat Pengelolaan Sampah Akhir (TPA) Batulayang. Pada saat yang sama juga ditandangani Emmision Reduction Purchase Agreement (ERPA) antara World Bank dengan PT Gikoko Kogyo. Selain itu pula PT Gikoko Kogyo juga memasang jaringan pipa serta membangun mesin pengumpul dan pembakar gas. Perangkat tersebut berhasil dioperasikan pada pekan kedua Juni 2007 lalu. PT Gikoko untuk saat ini merupakan satu satunya perusahaan asing di Indonesia yang menerjunkan diri dalam pengolahan TPA dalam rangka mendukung Protokol Kyoto 1997 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pada 2004 Indonesia kemudian meratifikasi Protokol Kyoto sebagai salah satu negara berkembang yang kemudian disebut Negara non Annex 1. Selain kerjasama PT Gikoko dengan Bank Dunia, secara bilateral Indonesia juga
1
bekerjasama dengan Pemerintah Belanda untuk penjualan. Pemerintah Belanda akan membeli 350 ribu Certified Emissions Reductions (CER) dari Pontianak Landfill Gas Flaring Project. Perjanjian kerja sama mengenai CDM antara Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia dan Kementrian Pemukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Belanda telah ditandatangani pada 22 Februari 2005. Reduksi methan akan membantu Pemerintah Belanda sebagai Negara Annex 1 untuk memenuhi kewajibannya mengurangi sebagian dari penurunan emisi gas rumah kaca yang diwajibkan oleh Protokol Kyoto dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara global sebagaimana ditargetkan oleh United Nations Convention on Climate Change. Dengan adanya mesin ini di TPA Batu Layang ini menandakan Pontianak menjadi salah satu kota di dunia ini yang memberikan kontribusi terhadap upaya upaya menurunkan pemanasan global. Seiring dengan perkembangan yang ada ternyata TPA Batu Layang ini tidak dapat menghasil gas metana yang diinginkan. Dari hasil pemantauan di lapangan diperoleh data hasil gas yang dihasilkan ± 30% saja. Sehingga tidak memenuhi kuota yang diinginkan. Oleh karena itu maka dicari akar permasalahan mengapa kegiatan pembuatan Gas Metana dari proses persampahan ini tidak berhasil atau tidak sesuai dengan yang direncanakan. 1.2 INDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Identifikasi permasalahan yang akan ada dilapangan diantaranya adalah 1. 2. 3. 4. 5.
Tingginya muka air di daerah lokasi TPA di Kelurahan Batu layang; Drainase pada saluran yang tidak baik; Tingginya curah hujan di Kota Pontianak; Pengaruh tanah gambut pada proses kimia persampahan; Kondisi jaringan pipa yang terlalu rendah yang mengakibatkan banyaknya air limpasan (hujan atau tanah) yang masuk ke pipa peresapan dibandingkan air sampah; 6. Jenis sampah yang ada tidak dibedakan antara organik dan anorganik; 7. Sirkulasi air limpasan dari limpasan air tidak berjalan lancar.
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh muka air tanah terhadap proses pemasukan air kedalam pipa resapan; 2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh air hujan terhadap proses masuknya air kedalam pipa; 3. Pengaruh tanah gambut terhadap proses kimia persampahan; 4. Untuk Mengetahui pengaruh jenis sampah terhadap proses penghasilan gas metana.
2
1.3.2 MAKSUD PENELITIAN Adapun maksud dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan gambaran mengenai kondisi TPA di Batulayang agar dapat diambil langkah antisipasi penangulangannya; 2. Memberikan masukan ke Pemerintah Kota mengenai kendala yang dihadapi oleh TPA Batu layang 3. Memberikan saran dan masukkan kepada semua pihak yang berminat pada masalah persampahan, khususnya Pemerintah Kota Pontianak
Lokasi TPA Batu Layang
Gambar 1.1 TPA Batu Layang dari Penampakan Rupa Bumi
Gambar 1.2 Lokasi Kegiatan TPA Batu Layang
3
BAB 2
LOKASI PEKERJAAN 2.1 LOKASI PENELITIAN
okasi Penelitian TPA Batu Layang berada di Kelurahan Batu Layang Kecamatan Pontianak Utara. Lokasi TPA Batu Layang berjarak 15 kilometer dari pusat kota Pontianak, untuk akses ke lokasi TPA Batu Layang dapat dicapai dengan kendaraan bermotor atau roda 4 (empat) dengan waktu tempuh ± 15 menit. Lokasi pekerjaan adalah Kelurahan Batu Layang Kecamatan Pontianak Utara. Sketsa lokasi pekerjaan selengkapnya diberikan pada gambar 1.1
L
Kota Pontianak
Gambar 2.1.Peta Orientasi wilayah Republik Indonesia
Kota Pontianak
Gambar 2.2. Peta Orientasi wilayah Kalimantan Barat
4
Lokasi Penelitian Kel. Batu Layang
Gambar 2.3 Peta Lokasi Kegiatan TPA Batu Layang 5
2.2 GEOGRAFIS Wilayah Kota Pontianak secara umum berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pontianak dan kabupaten Kubu Raya , yaitu seperti yang tertulis pada tabel : • Bagian Utara berbatasan dengan : Kecamatan Siantan, Ambawang • Bagian Selatan berbatasan dengan : Kecamatan Sei Raya, Sei. Kakap • Bagian Timur berbatasan dengan : Kecmatan Sei Raya, S. Ambawang • Bagian Barat berbatasan dengan : Kecamatan Sei Kakap • Tabel 2.1 Batas – Batas Wilayah Kota Pontianak No
Nama Kecamatan
Luas Daerah (Km2)
Persentase (%)
1.
Pontianak Selatan
14.54
13.49%
2.
Pontianak Tenggara
14.83
13.75%
3.
Pontianak Timur
8.78
8.14%
4.
Pontianak Barat
16.94
15.71%
5.
Pontianak Kota
15.51
14.39%
6.
Pontianak Utara
37.22
34.52%
107.82
100.00
Kota Pontianak
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pontianak Kecamatan di Kota Pontianak yang mempunyai wilayah terluas adalah Kecamatan Pontianak Utara (34,52 persen), dan yang terkecil adalah Kecamatan Pontianak Timur (8,14 persen). Di dalam wilayah Kota Pontianak banyak terdapat sungaisungai dan parit-parit yang keseluruhannya berjumlah 33 sungai/parit. Sungai/parit tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan sebagai penunjang sarana transportasi. 2.3 KLIMATOLOGI Kota Pontianak termasuk beriklim tropis dengan suhu yang tertinggi ( berkisar antara 28 –32 derajat C dan suhu rata –rata pada siang hari 30 derajat C ) Rata – rata kelembapan nisbi dalam daerah Kota Pontianak maksimum 99,58 % dan minimum 53 % dengan rata – rata penyinaran matahari minimum 53 % dan maksimum 73 % Besarnya curah hujan di Kota Pontianak berkisar antara 3000 mm - 4000 mm per tahun. Curah hujan terbesar (bulan basah) jatuh pada bulan Mei dan Oktober, sedangkan curah hujan terkecil (bulan kering) jatuh pada bulan Juli. Jumlah hari hujan rata-rata per bulan berkisar 15 hari. 2.4 PENDUDUK Jumlah penduduk tetap Kota Pontianak hasil Pendataan Pemilih dan Pendaftaran Penduduk Berkelanjutan kondisi tahun 2008 berjumlah 521.569 jiwa dan penduduk perempuan 259.520 jiwa dan penduduk laki-laki 262.049 yang tesebar pada enam wilayah Kecamatan, yaitu:
6
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Kota Pontianak No 1
Nama Kecamatan
Pontianak Selatan 1. Benua Melayu Laut 2. Benua Melayu Darat 3. Parit Tokaya 4. Akcaya 5. Kota Baru 2 Pontianak Tenggara 1. Bangka Belitung Laut 2. Bangka Belitung Laut 3. Bansir laut 4. Bansir darat 3 Pontianak Timur 1. Parit Mayor 2. Banjar Selasar 3. Saigon 4. Tanjung Hulu 5. Tanjung Hilir 6. Dalam Bugis 7. Tambelan sampit 4 Pontianak Barat 1. Pal Lima 2. Sei Jawi Luar 3. Sungai Jawi Dalam 4. Sungai Beliung 5 Pontianak Kota 1. Sungai Bangkong 2. Darat Sekip 3. Tengah 4. Mariana 5. Sei Jawi 6 Pontianak Utara 1. Batu Layang 2. Siantan Hilir 3. Siantan Tengah 4. Siatan Hulu Kota Pontianak
Jumlah Penduduk (Jiwa) Laki- Laki
Perempuan
Total
42,328 4,953 14,874 7,625 8,517 6,359 19,676 6,096 6,004 4,556 3,020 36,963 1,160 4,381 5,048 8,166 5,553 8,887 3,768 56,044 4,543 12,415 20,123 18,963 50,549 21,269 5,288 4,084 4,292 15,616 56,489 8,928 13,579 15,894 18,088 262,049
43,231 5,243 15,646 7,395 7,978 6,969 20,066 6,217 6,123 4,646 3,080 33,578 1,115 4,040 4,575 7,232 4,974 8,241 3,401 56,623 4,486 12,920 20,209 19,008 54,221 23,091 5,828 4,239 4,543 16,520 51,801 8,353 12,472 14,307 16,669 259,520
85,559 10,196 30,520 15,020 16,495 13,328 39,742 12,313 12,127 9,202 6,100 70,541 2,275 8,421 9,623 15,398 10,527 17,128 7,169 112,667 9,029 25,335 40,332 37,971 104,770 44,360 11,116 8,323 8,835 32,136 108,290 17,281 26,051 30,201 34,757 521,569
7
2.5 LIMBAH A. Limbah Cair Limbah cair di Kota Pontianak secara umum dapat dikategorikan atas limbah rumah tangga dan limbah industri. Limbah rumah tangga sampai saat ini dibuang langsung ke saluran-saluran drainase yang ada melalui parit-parit kota dan sungai alami, langsung dibuang ke Sungai Kapuas. Untuk limbah industri, mengingat lokasi sebaran industri yang umumnya berada di tepi sungai, harus diawasi dengan ketat supaya tidak membuang langsung limbahnya tanpa pengolahan. Air Sungai Kapuas yang dimanfaatkan sebagai air baku PDAM lama kelamaan akan tercemar jika pemerintah tidak mengawasi secara ketat buangan industri langsung ke sungai. Sedangkan limbah cair rumah tangga yang sangat mengganggu umumnya berupa detergent sisa-sisa pencucian. Untuk tahun-tahun ke depan, pengolahan limbah cair industri dapat diupayakan melalui pembuatan IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Akan tetapi, berdasarkan pengalaman di beberapa kota metropolitan dan kota-kota besar (Jakarta, Bekasi, Bandung, dan sebagainya), keberadaan IPAL belum tentu menjamin digunakannya IPAL tersebut sesuai dengan persyaratan yang ditentukan, seperti persyaratan baku mutu air buangan (baku mutu effluent). Seringkali para pelaku industri melakukan berbagai trik, antara lain dengan membuang limbah cairnya pada malam hari tanpa diolah di IPAL (meskipun mereka memiliki IPAL, karena pengolahan limbah itu sendiri pun memerlukan biaya tersendiri), sehingga tidak diketahui oleh petugas instansi terkait (misalnya Bapedalda) maupun masyarakat di sekitarnya. Apabila Pemerintah Kota Pontianak menerapkan sistem IPAL, maka harus diantisipasi sejak dini melalui berbagai kebijakan dan peraturan. B. Limbah Padat Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2012 yang mencapai 703.696 jiwa, maka limbah padat domestik yang dihasilkan dapat dihitung berdasarkan standar timbulan sampah sebesar 2,5 liter/orang/hari, yaitu sebesar 1.759.241 liter/hari atau 1.759 m3/hari. Untuk limbah nondomestik, terdapat timbulan sebesar 20% dari limbah padat domestik, yaitu sebesar 351.848 liter/hari atau 352 m3/hari. Total timbulan sampah yang dihasilkan setiap hari menjadi 2.111.089 liter/hari (2.111 m3/hari). Dari jumlah timbulan sampah ini, kebutuhan akan fasilitas persampahan dapat dilihat pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Rencana Pembangunan Utilitas Persampahan di Kota Pontianak Hingga Tahun 2012 Jenis Utilitas Persampahan Kapasitas Kebutuhan Tong sampah Gerobak (3 rit x1,25 m3)
40 liter 3,75 m3/hari
52.777,22 tong sampah 563 gerobak sampah
TPS/Kontainer (3 rit x10 m3)
30 m3/hari
70 TPS/Kontainer
Truk sampah (5 rit x 6 m3) Stasiun transfer (per 20.000 penduduk) TPA
30 m3/hari
70 Truk sampah
1/20.000 penduduk
4 stasiun transfer
100 m3/ha
7,71 ha
8
Dalam rencana pengembangan penyediaan utilitas persampahan, arah kebijakan yang ditempuh dapat berupa : Memperbaiki manajemen persampahan yang ada saat ini. Membangun dan menyediakan sarana dan prasarana persampahan, mulai dari tong sampah hingga TPA. Melibatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan sistem retribusi. 2.6 TPA BATU LAYANG
Gambar 2.4 TPA Batu Layang di Kecamatan Pontianak Utara TPA Batulayang mulai beroperasi tahun 1996 dengan luas sebesar 13 Ha. Pembebasan lahan dimulai pada tahun 1994/1995 untuk luas lahan sebesar 5,4 Ha. Perluasan lahan berlanjut sampai sebesar 26,6 Ha luas lahan. Saat ini hanya 11 Ha yang sudah dipergunakan dan sebagian dipergunakan sebagai buffer zone. Di sekitar TPA terdapat masyarakat yang secara garis besar dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu masyarakat Kelurahan Batulayang dan Kelurahan Siantan Hilir. Kelurahan Batulayang (RT 05/04) memiliki 556 penduduk dimana 20% penduduknya bekerja sebagai pemulung dan Kelurahan Siantan Hilir (RT 05/15) memiliki 52 penduduk dimana 80%-nya adalah pemulung. Aktifitas mereka sebagai pemulung adalah mengumpulkan sampah dan menjualnya ke Bandar/lapak
Gambar 2.5 Air Lindi di TPA Batu Layang Pengumpulan air lindi dilakukan menggunakan saluran atau parit yang mereka buat di sekeliling sel sampah. setiap harinya melayani penanganan sampah 840
9
m3. Jumlah tersebut sebenarnya baru melayani 60 persen dari total sampah Pontianak yang mencapai 1.400 m3. Belum tertanganinya sampah kota Pontianak secara keseluruhan disebabkan keterbatasan dana operasional dan armada angkutan sampah. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Batu layang ini berbasis Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) TPA berbasis CDM dimana prosesnya sampah dapat dilakukan dengan sistem pembakaran gas landfill. Sistem pembakaran gas landfill berdampak terhadap pengurangan efek gas rumah. Hal ini sesuai dengan amanat program Kyoto Protokol 1997. Kyoto Protokol itu merupakan proyek pengurangan emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada pemanasan global dan perubahan iklim. Saat ini, diyakini bahwa pengoperasian Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan sistem open dumping menjadi salah satu kontributor utama penghasil gas metana (CH4). Hal ini disebabkan karena metode sanitary landfill di berbagai kota di Indonesia tidak dilakukan dengan benar terutama dalam hal pengolahan leachate, pengumpulan/pengolahan gas methane dan penutupan tanah secara berkala. Dibutuhkan inovasi teknik di TPA terutama untuk pengolahan gas metana yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik dan mengurangi efek gas rumah kaca masih belum banyak dilakukan. Selain lebih ramah lingkungan, TPA dengan sistem pembakaran gas landfill dapat membantu menutup sebagian biaya operasional pengelolaan TPA dari hasil Carbon Emission Reduction (CER) dimana masalah biaya operasional dan pemeliharaan seringkali menjadi kendala TPA-TPA di Indonesia. Saat ini selain TPA Batu Layang Pontianak, sistem pembakaran gas landfill juga sedang diujicobakan pada TPA Sumur Batu, Bekasi, Jawa Barat. Kepala Sub Direktorat Pengembangan Sistem Drainase dan Persampahan Ditjen Cipta Karya, Kati Andraini menjelaskan bila sistem ini berhasil, maka sistem serupa juga akan segera diduplikasikan dan diterapkan di kota-kota besar lainnya seperti Palembang dan Makassar. Dalam bentuk dukungan terhadap TPA Batu Layang, Ditjen Cipta Karya telah mengalokasikan dana sebesar Rp 4,9 miliar dan Rp 1,3 miliar masing-masing pada APBN 2007 dan 2009. Dana tersebut digunakan untuk pembuatan jalan akses, kolam leacheate serta zona cell untuk pemrosesan akhir sampah. Operasionalisasi TPA Batu Layang dilakukan oleh pihak swasta yaitu PT Gigoko Kogyo Indonesia. Kerjasama dengan swasta ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas kinerja pengelolaan TPA yang lebih ramah lingkungan dimana PT. Gikoko berkewajiban membangun fasilitas dan instalasi pembakaran gas metana di lahan penampungan sampah milik Pemkot dan membakar gas metana yang terkandung dalam tumpukan sampah tersebut, sementara itu Pemkot Pontianak berkewajiban menangani leacheate dan penyiapan zona cell. Secara sederhana, prinsip dasar dari proyek CDM di TPA Batulayang ini menggunakan teknologi Landfill Gas Flaring / LGF dimana gas metana yang ada dikumpulkan, kemudian disalurkan ke tungku pembakar, dan selanjutnya dibakar. 10
Implementasi proyek pembakaran metan di TPA Batulayang ini direncanakan akan menghasilkan pengurangan sekitar 1,5 juta ton ekuivalen CO2 selama 21 tahun masa operasionalnya. Kegiatan ini adalah bagian mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism / CDM) yang dikampanyekan dalam Protokol Kyoto untuk menyelamatkan bumi. Hal ini menjadi bagian pengurangan emisi gas rumah kaca seperti yang ditargetkan United Nations Convention on Climate Change. Selain itu, TPA Batu Layang juga telah dapat memberi pemasukan kepada Pemkot Pontianak karena Belanda telah berkomitmen untuk membeli 350.000 CER hasil dari pengolahan TPA tersebut. Hal tersebut berguna bagi Belanda untuk memenuhi sebagian dari penurunan emisi gas rumah kaca yang diwajibkan oleh Protokol Kyoto.
11
BAB 3
SURVEI DAN KAJIAN AWAL 3.1 SURVEI PENDAHULUAN
urvei pendahuluan telah dilakukan oleh Tim bersama dengan pihak Dinas Kebersihan Provinsi Kalimantan Barat untuk melihat kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batu Layang. Survei ini memberikan data mengenai keadaan lokasi dan tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan. Dari hasil survei diperoleh data bahwa pada bulan januari 2009 ( mulai tanggal 4 januari 2009 – 26 Januari 2009), diperoleh data bahwa alat penghasil gas (Flaning sistem) telah menghasilkan Gas Metana (CH4) dan karbon Dioksida(CO2) sebeesar 50 – 60% dan terjadi pada saat bulan kering (tak ada hujan). Kemudian pada saat bulan pebruari sampai juni 2009 diperoleh hasil gas dari flaning system semakin menurun dari 50% sampai 35% dibulan juni tanggal 6 Juni 2009. dan selanjutnya untuk sementara flaning sistem tidak difungsikan lagi menginggat hasil pembakaran yang semakin menurun. Hingga Akhir desember 2009 produksi dinyatakan nol karena tidak menghasilkan gas. Oleh karena itu itu maka akan dicari akar permasalahannya dimana sehingga produksi sistem Flaning tidak mengasilkan gas yang diinginkan.
S
Gambar 3.1 Unit Sistem Flaring Di TPA Batu Layang 3.2 LAYOUT TPA BATU LAYANG
Berdasarkan data dilapangan diperoleh gambar layout sistem Tata Persampahan yang ada di Kelurahan Batu Layang. Dimana komponen sampah terdiri dari 6 unit Sel ( Sel A, Sel B, Sel C, Sel D, Sel,E, Sel F) untuk dilapangan Sel Adan C dijadikan satu menjadi sel A/C. Untuk masing-masing ukuran Sel dapat dilihat sebagai berikut :
12
Gambar 3.2 Layout TPA Batu Layang
13
Sel A Berbentuk memyerupai trapesium dengan ukuran • sisi atas = 36.5m • bawah = 82.5.m • sisi samping kiri = 137m • dan samping kanan = 140.7m • panjang talud (kemiringan samping = 11.7m) • tinggi tinbunan sampah + tanah = 6m (4+2m) • Pada timbunan sampah dipasang pipa PE diamater 3in dengan jarak bervariasi atara 7 dan 8m; • Pada pipa PE dilubangi lubang ±10 cm untuk masuknya air sampah kedalam pipa yang nantinya akan di salurankan ke sistem flaning guna pembakaran gas. • Untuk masing masing pipa jaraknya bervariasi, yakni : o Pipa A7 diameter 100 mm panjang 126m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop. o Pipa A6 diameter 100 mm panjang 126m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop. o Pipa A5diameter 100 mm panjang 126m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop. o Pipa A4diameter 100 mm panjang 126m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop. o Pipa A3 diameter 100 mm panjang 102m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop. o Pipa A2 diameter 100mm panjang 72m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasng drop. o Pipa A1 diameter 100 mm panjang 42m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop. • Untuk pipa di Sel A ini langsung disalurkan ke Flaring system • Untuk lebih jelas perhatikan gambar berikut :
14
Gambar 3.3 Gambar Detail Sel A TPA Batu Layang
15
Gambar 3.4 Siklus Pipa TPA Batu Layang
Sel B Berbentuk memyerupai persegi panjang dengan ukuran • sisi atas dan b • wah = 63.5m • sisi samping kiri dan kanan 69m • panjang talud (kemiringan samping = 10.0m) • tinggi timbunan sampah + tanah = 6m (4+2m) • Pada timbunan sampah dipasang pipa PE diamater 3in dengan jarak bervariasi atara 7 dan 8m; • Pada pipa PE dilubangi lubang ±10 cm untuk masuknya air sampah kedalam pipa yang nantinya akan di salurankan ke sistem flaning guna • Untuk masing masing pipa jaraknya bervariasi, yakni : o Pipa B1 s/d B7 diameter 100 mm panjang 60m dilengakapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa draine diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop.
16
Gambar 3.5 Gambar Tampak Tibunan Sel B TPA Batu Layang Sel D Berbentuk memyerupai persegi panjang dengan ukuran • sisi atas dan bawah = 80.8m • sisi samping kiri dan kanan 55m • panjang talud (kemiringan samping = 5.4m) • tinggi timbunan sampah + tanah = 6m (4+2m) • Pada timbunan sampah dipasang pipa PE diamater 3in dengan jarak bervariasi atara 7 dan 8m; • Pada pipa PE dilubangi lubang ±10 cm untuk masuknya air sampah kedalam pipa yang nantinya akan di salurankan ke sistem flaning guna • Untuk masing masing pipa jaraknya bervariasi, yakni : o Pipa D1 s/d D7 diameter 110mm dan 160 mm panjang 24m dan 30m dilengkapi dengan valve 110 mm dan dipasang pipa drain diujung sebelah bawah dengan diameter 50mm dan diujungnya satunya dipasang drop.
17
Gambar 3.6 Gambar Detail Sel B TPA Batu Layang
Gambar 3.7 Gambar Detail Sel D TPA Batu Layang
18
BAB 4
KAJIAN TEORI 4.1 Pengertian Sampah
S
ampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Pembagian sampah dapat dilakukan dengan berbagai cara terhitung dari kondisi yang dianut oleh kebijaksanaan wilayah setempat. Ada yang berdasarkan sumber penghasilannya, ada yang berdasarkan komposisinya, dan ada pula yang berdasarkan cara penggunaanya. Selain itu ada pula pembagian berdasarkan istilah teknis dan berdasarkan pada sumber yang ditimbulkannya. (Gumbira, 1987) Sampah juga dapat diartikan sebagai material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak. Dalam penanganan sampah, perlu diketahui pengertiannya, yaitu merupakan sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan baik karena telah diambil bagian utamanya atau karena pengolahan maupun yang sudah tidak ada manfaatnya, ditinjau dari segi sosial ekonomi, tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestariannya .(Sadewo, 1983) Dari “Draft Naskah Akademis Rancangan Undang-undang Pengelolaan Persampahan, Japan International Cooperation Agency (JICA), “ ada beberapa pengertian yang berhubungan dengan sampah yaitu: • Timbulan Sampah adalah satuan kegiatan atau proses menghasilkan sampah; • Pengangkutan Sampah adalah kegitan memindahkan sampah dari TPS ke TPA. • Daur Ulang adalah kegiatan pemanfaatan materi yang terkandung dalam sampah anorganik. • Pengomposan adalah kegiatan pemanfaatan ulang sampah organik melalui proses pembusukan. • Sanitary Landfiil adalah lokasi pembuangan sampah yang didesain, dibangun, dioperasikan dan dipelihara dengan cara yang mengguanakan pengendalian teknis terhadap potensi dampak lingkungan yang timbul dari pengembangan dan operasional fasilitas. • Controlled Landfill adalah area pembuangan sampah, dimana sampah dibuang dengan memenuhi standar minimum operasional yang diisyaratkan. • Open Dumping Landfill adalah area pembuangan sampah, dimana sampah dibuang begitu saja tanpa perencanaan maupun memperhatikan standar kesehatan dan lingkungan.
19
• Tempat Penampungan Sampah Sementara yang selanjutnya disebut TPS adalah tempat yang disediakan oleh pemerintah daerah atau partisipasi masyarakat untuk menampung sampah buangan dari masyarakat. • Tempat Pembuangan Sampah Akhir yang selanjutnya disebut TPA adalah sebagai tempat untuk menampung atau memusnahkan sampah yang memenuhi standar teknis dan operasional untuk sanitary landfill dan dilengkapi dokumen AMDAL.. 4.2 ZAT – ZAT SAMPAH Yang dimaksud degan sampah, sebutan sehari-hari adalah zat-zat bentuk padat yang setelah tidak berfungsi terbuang atau dibuang menjadi bahan yang tak berguna. Tetapi sebenarnya zat – zat buangan ini bila saja rajin mengusahakannya sehingga dapat di kembali. Melihat bentuknya terdapat bermacam – macam sampah, akan tetapi bila kita teliti dari sudut zatnya maka sampah terdiri dari zat anorganik dan zat organik. 4.2.1 Zat Organik Contoh sampah dari zat organik adalah potongan-potongan pelat dari logam, berbagai jenis batu-batuan, pecahan-pecahan gelas, tulang beluang dan lain-lain. Jenis sampah ini dilihat dari fisiknya keras, maka baik peninggian tanah yang rendah atau dapat pula memperluas jalan setapak. Tetapi bila rajin mengusahakannya sampah dari logam dapat kembali dilebur untuk dijadikan barang yang berguna, batu-batuan untuk mengurug tanah yang rendah atau memperkeras jalan setapak, pecahan gelas dapat dilebur kembali dan dijadikan barang-barang yang berguna. Tulang-belulang bila dihaluskan dan diproses dapat dijaikan pupuk dan lain-lain. Beberapa sifat senyawa organik adalah sebagai berikut : • umumnya tidak tahan panas (terurai pada suhu tinggi) • Sebagian besar tidak larut dalam air, tetapi larut dlam eter dan khloroform; • Semuanya berikatan kovalen; • Rekasinya relatif lambat; • Mempunyai rantai yang panjang; • Mempunyai isomer. 4.2.2 Zat Anorganik Dilihat dari proses pengancurannya oleh jasad mikroba, maka sampah organik terdiri atas : a. Zat Organik dari bahan Plastik Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan disertai berkembangnya industri, maka banyak barang-barang atau perkakas dibuat dari bahan plastik. Bahan – bahan dari plastik ini termasuk dalam zat orbanik. Seperti diketahui bahwa bahan zat organik dapat dihancurkan oleh jasad – jasad mikroba, akan tetapi zat plastik tidak dapat. Bila dibuang sembarangan maka zat plastik ini hancurnya memakan waktu lama, yakni antara 40-50 tahun sehingga dikhawatirkan akan bertimbun-timbun sampah-sampah dari plastik.
20
Salah satu usaha yang dapat menghancurkan zat plastik adalah sinar ultaraviolet dari matahari. Ini pun akan memakan waktu lama pula dibandingkan dengan penghancuran zat organik oleh ,mikroba – mikroba lainnya. Jalan tercepat untuk mengancurkan plastik ialah dengan pembakaran. Bila dibakar plastik akan meleleh, gasnya berbau dan menusuk hidung dan pernafasan, Sedangkan asapnya yang hitam dapat mencemarkan udara. Sebaiknya sampah plastik dibakar dalam tungku pembangkaran sampah. Pencemaran kontruksi tungku pembangkar sampah sedemikian sehingga pembakaran sempurna. Sampah plastik juga dapat dimanfatkan kembali, bersama sampah lainnya dapat pula untuk mengurug tanah yang rendah. b. Zat Organik Non Plastik Sampah zat organik bukan sampah banyak sekali macamnya misalkan kayu, dedaunan, bekas pakaian , karet, sisa makanan dan lain-lain. Semua sampah zat organik non sampah dapat diuraikan oleh mikroba-mikroba hingga menjadi bahan mineral, Bahan mineral hasil penguraian ini baik sekali untuk pupuk, jadi penyelesaian sampah ini selain dapat mengurug kembali atau dibakar dapat pula dijadikan pupuk dan gas. Bebaepa sifat bahan anorganik yakni : • Umumnya tahan panas; • Sebagian besar larut dalam air; • Ada yang berikatan ion dan pula yang berkovalen; • Reaksinya relatif cepat; • Tidak mempunyai rantai yang panjang; • Tidak mempunyai isomer 4.2.3. Gas Ammoniak Sumber utama gas amoniak diudara adalah pembusukan sampah dari zat-zat organik, yakni zat-zat yang bersal dari sisa mahluk hidup. Semakin banyak sampah semakin banyak proses pembusukan dan semakin banyak pula terdapat gas diudara. Jadi kadar gas ammoniak diudara menunjukan banyaknya sampah dalam proses pembusukan. Di udara bebas, perbandingan banyaknya gas ammoniak relatif sedikit sekali yakni antara 0,02-0,05 mg/m3 udara. Gas ammoniak (NH3) berasal dari penguraian larutan ammonia mengikuti Reaksi kimia sebagai berikut : NH4OH (larutan ammonia)
NH3 (gas ammoniak)
+ H2O ( air)
Gas ammoniak ini bebau sangat merangsang hidung dan bila kita merasakan rangsangan bau ini tentunya sangat bau, biasanya kita menghindari dan menjauhinya. 4.2.4. Gas Lainnya Disamping bermacam-macam gas yang terdapat dalam golongan normal masih ada gas-gas lainnya dlam jumlah sedikit. Golongan gas mulia terdapat dalam perbandingan yang sangat kecil sekali sehingga perhitungan diabaikan, sifatnya 21
sama dengan zat lemas atau gas nitrogen. Golongan gas mulia ini tedapat dibagian lapisan udara yang tinggi. demikian pula dengas Gas air (H2) Selain itu dalam udara normal juga terdapat gas hidrokarbon, senyawa hidrokarbon ini merupakan senyawa yang terdiri dari atom-atom hidrogen (H) dan karbon (C) , yang jumlahnya juga sedikit. Gologan gas ini kebanyakan berasal dari pembusukan sisa tumbuhan , makanan, bocornya dari gas bumi/ pabrik minyak. Contoh gas golongan ini adalah gas rawa ( gas methan CH4) yang banyak terdapat dirawa-rawa. Campuran dari Alkana akan menghasilkan minyak bumi dan gas, yang mana dalam aplikasinya dalam berupa minyak bumi,gas kompor, bensin dan lain-lain) Pembuatan untuk Alkana inidapat berupa • • • • •
Sintesis Wurtz; Sintesis Grignard; Sintesis Dumas. Mereaksikan alkena dengan gas hidrogen; Mereaksikan aluminium karbida dengan Air. Al4C3 + 12 H2O 3 CH4 + 4 AL (OH)3
Reaksi Alkana kaitan dengan Gas Gas alam yang mengandung 90% metana merupakan bahan baku untuk pembuatan gas Hidrogen (H2), disamping digunakan sebagai bahan bakar gas. Pada suhu 1000o C, metana akan bereaksi dengan uap air untuk menghasilkan gas hidrogen; o CH4 + H2O 1000 C 3 H2 + CO 4.2.5 Prinsip Umum Produksi Gas Sampah Timbunan sampah dapat dianggap sebagai sebuah reaktor biokimia, dengan sampah dan air sebagai masukan utama, dan gas serta air lindi sebagai keluaran. Material yang tersimpan di dalam urugan/ timbunan sampah meliputi material organik yang mengalami degradasi secara biologi dan material anorganik yang tidak dapat didegradasi secara biologi. Sistem pengontrol gas sampah di terapkan untuk mencegah pergerakan yang tidak diinginkan dari gas tersebut ke atmosphere atau pergerakan vertikal dan horisontal melalui tanah sekitarnya. Recovery/ pemulihan gas sampah dapat digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat dibakar/ dinyalakan dibawah kondisi yang terkontrol untuk mencegah gas rumah kaca atau pemanasan di atmosphere. 4.2.6 Kompisisi Dan Karekteristik Gas Sampah Gas sampah tersusun atas sejumlah gas-gas yang hadir dalam jumlah cukup besar (the principal gases) dan sejumlah gas-gas dalam jumlah sangat kecil (the trace
22
gases). Gas-gas yang paling penting (the principal gases) dihasilkan dari dekomposisi material organik sampah. Beberapa ”trace gases”, meskipun hadir dalam jumlah yang kecil, namun dapat bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan. Gas-gas yang dapat dijumpai di dalam timbunan sampah meliputi: 1. Ammoniak (NH3) 2. Karbon dioksida (CO2) 3. Carbon monksida (CO) 4. Hidrogen (H2) 5. Hidrogen sulfida (H2S) 6. Methan (CH4) 7. Nitrogen (N2) 8. Oksigen (O2) Tabel 4.1 Komposisi Gas Sampah Perkotaan Komponen Gas Methan Karbon dioksida Nitrogen Oksigen Sulfida, disulfida, etc Ammoniak Hidrogen Karbon monoksida Gas sisa lainnya Sumber: Tchobanoglous, dkk (1993)
Persentase (Gas Kering), % 45-60 40-60 2-5 0,1-1,0 0-1,0 0,1-1,0 0-0,2 0-0,2 0,01-0,6
4.2.7 Produksi Gasa Utama Sampah (the Principal Gases) Produksi gas sampah berlangsung dalam lima tahapan, sebagai berikut: 1. Fase I (Pengaturan Awal) Pada Fase ini komponen sampah yang bersifat biodegradable mengalami dekomposisi oleh mikroba begitu ditempatkan dalam timbunan sampah dan segera setelah itu. Pada Fase ini dekomposisi secara biologi berlangsung dalam kondisi aerobik, karena terdapat sejumlah udara yang terjebak di dalam timbunan sampah. Sumber utama organisme aerobik dan anaerobik yang bertanggungjawab untuk mendekomposisi sampah adalah dari dalam tanah yang digunakan sebagai tanah penutup harian dan tanah penutup akhir. 2. Fase II (Fase Transisi) Pada fase ini, oksigen sudah habis dan mulai terbentuk kondisi anaerobik. Ketika timbunan sampah mulai menjadi anaerobik, nitrat dan nitrit, yang dapat berguna sebagai penerima elektron (electron acceptor) dalam reaksi secara biologi, sering menjadi berkurang menjadi gas nitrogen dan hidrogen sulfida. Permulaan kondisi anaerobik dapat dimonitor dengan mengukur potensial oksidasi/reduksi sampah.
23
Produksi gas methan berlangsung ketika nilai potensi oksidasi/reduksi pada interval 150 – 300 milivolts. Ketika potensi oksidasi/reduksi terus mengalami penurunan, mikroba yang berperan untuk mengkonversi material organik sampah menjadi gas methan dan karbon dioksida memulai proses tiga langkah (three-step process), dengan mengubah materi organik komplek menjadi asam-asam organik dan produk-produk antara lainnya. Dalam Fase ini, pH air lindi (leachate) mulai turun karena hadirnya asamasam organik dan pengaruh tingginya konsentrasi CO2 dalam timbunan sampah. 3. Fase III (Fase Asam) Pada Fase ini, aktivitas mikroba bertambah cepat untuk membentuk asamasam organik dan lebih sedikit gas hidrogen. Langkah pertama dari tiga langkah proses meliputi hidrolisis senyawa-senyawa dengan massa molekul yang lebih besar (lemak, polisakarida, protein, dan nukleid asid) menjadi senyawa yang sesuai untuk bagi mikroorgnisme sebagai sumber energi dan sel karbon. Langkah kedua disebut ”Acidogenesis”, meliputi konversi mikroba terhadap senyawa-senyawa yang dihasilkan pada Langkah Pertama menjadi senyawa-senyawa antara dengan massa yang lebih rendah sebagai asam asetik (acetic acid = CH3COOH) dan konsentrasi rendah Fulvic dan asam organik komplek lainnya. Karbon dioksida (CO2) adalah gas utama yang dihasilkan selama Fase III. Sejumlah kecil Gas Hidrogen (H2) juga terbentuk. Mikroorganisme yang berperan dalam proses ini secara keseluruhan digolongkan kepada Mikroorganisme Nonmethanogenik, yang terdiri atas bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Nilai pH air lindi pada fase ini mengalami penurunan sampai 5 atau lebih rendah karena kehadiran asam organik dan tingginya konsentrasi CO2 di dalam timbunan sampah BOD5 dan COD serta conductivity air lindi meningkat secara signifikan karena pemecahan asam-asam organik dalam air lindi. Juga, karena rendahnya nilai pH dalam air lindi. Sejumlah unsur-unsur anorganik yang merupakan logam berat larut selama Fase ini. Banyak nutrien yang penting juga hilang dalam air lindi saat Fase ini. Jika air lindi tidak disirkulasi ulang (recycle), nutrien penting tersebut akan hilang dari sistem. Adalah penting untuk dicatat bahwa jika air lindi tidak terbentuk, produk-produk yang terbentuk selam Fase ini akan menetap dalam timbunan sampah sebagai unsur-unsur yang terserap dan di dalam air tertahan oleh sampah. 4. Fase IV (Fase Fermentasi Methan) Pada Fase ini, group kedua dari mikroorganisme, yang mengubah asam asetik (acetic acid) dan gas hidrogen dalam fase asam menjadi CH4 dan CO2, menjadi lebih dominan. Mikroorganisme yang berperan dalam Fase 24
ini adalah mikroorganisme anaerobik tulen yang disebut Methanogenic sebagai methanogens atau methane formers. Dalam Fase ini, pembentukan gas methan dan asam berlangsung simultan, meskipun laju pembentukan asam sangat kurang. Karena asam-asam dan gas hidrogen yang diproduksi oleh pembentuk asam telah dirubah menjadi CH4 dan CO2 dalam Fase ini, pH dalam timbunan sampah akan meningkat mendekati nilai netral pada interval 6,8 – 8. Sebaliknya, jika terbentuk air lindi, pH-nya akan meningkat, dan konsentrasi BOD5 dan COD serta nilai konduktivitas aair lindi akan menurun. Dengan pH yang lebih tinggi, lebih sedikit unsur-unsur anorganik terdapat dalam larutan, sehingga konsentrasi logam berat juga berkurang. 5. Fase V (Fase Maturasi) Fase ini berlangsung setelah perubahan bahan organik menjadi CH4 dan CO2 pada Fase IV. Laju pembentukan gas sampah berkurang dengan signifikan pada Fase ini, karena sebagian besar nutrien yang tersedia telah dipindahkan dengan air lindi selama fase-fase sebelumnya dan substrat yang menetap dalam air lindi secara lambat mengalamai biodegradasi. Gas sampah utama yang terbentuk dan berkembang dalam Fase V adalah CH4 dan CO2, bergantung kepada ukuran penutupan timbunan sampah, jumlah gas nitrogen dan oksigen yang diterdapat dalam gas sampah. Selama Fase ini, air lindi sering mengandung humic dan fulvic acids, yang sulit diproses lebih lanjut secara biologi Bahan Organik + H2O --------Lainnya (Sampah Organik)
Bahan Organik + CH4 + CO2 + Gas-gas yg. Didegradasi
4.3 TANAH GAMBUT 4.3.1 Pembentukan Tanah Gambut Gambut adalah material yang terbentuk dari pelapukan bahan organik dari hasil dekomposisi jaringan vegetasi.atau dapat pula dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis-lapis hingga ketebalan > 30cm. Unsur utama material gambut adalah C (karbon) dengan bobot isi sekitar 100 kg/m3. Gambut pada daerah tropis kebanyakan terbentuk pada masa Holosen dengan sebagian kecil terbentuk pada masa Pleistosen (Anshari dkk, 2004). Pada proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik (bukan pedogenik seperti tanah-tanah mineral) yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (hardjowegeno,1986). Dataran sungai yang terbentuk umumnya mempunyai pengatusan yang jelek berupa cekungan hingga sisa-sisa tumbuhan yang umumnya adaptif tertibun oleh karena kondisi anaerob, maka timbunan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir tidak mengalami perombakan. Secara bertahap dengan kurun waktu yang panjang, timbunan sisa tumbuhan ini menjadi lantai hutan gambut. Unsur-unsur utama 25
pembentuk gambut adalah karbon, hydrogen, nitrogen, oksigen dan beberapa oksida dalam jumlah kecil seperti SiO2 , Al2O , Fe2O5 dan sulfur. 4.3.2
Ragam Jenis Gambut
Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan asal bahan dan penyusunannya, tingkat, kesuburan, wilayah iklim , proses pembentukan, lingkungan, tingkat kematangan dan ketebalan lapisan bahan organiknya. Berdasarkan bahan asal atau penyusunannya gambut dibedakan atas gambut lumutan, gambut seratan dan gambut kayuan 1. Gambut lumutan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman air, termasuk plankton dan sejenisnya; 2. Gambut seratan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman sphagnum dan rumputan; 3. Gambut kayuan adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan serta tanaman semak dibawahnya. Berdasarkan tingkat kesuburan, gambut dibedakan menjadi 3(tiga) golongan yakni gambut eutronik, gambut oligottrofik dan gambut mesotrofik; 1. Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral terutama kalsium karbonat (CaCO3), sebagian besar berada pada daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rerumputan serta bersifat netral atau alkalin; 2. Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat masm (pH < 4); 3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara 2 golongan diatas. Berdasarkan wilayah iklim gambut dibedakan antara gambut tropik dan gambut beriklim sedang. 1. Gambut tropik adalah gambut yang berada di kawasan tropik atau sub tropik; 2. Gambut Iklim sedang adalah gambut yang berada di kawasan eropa yang umumnya memiliki 4 musim; Gambut tropik umumnya mempunyai tingkat keasaman yang lebih tinggi (pH 45). Gambut tropik mengalami curah hujan yang tinggi, evaporasi yang tinggi, suhu tahunan yang tinggi dan bahan asal berupa bahan yang terdiri dari kayukayuan. Berdasarkan proses pembentukannya, gambut dibedakan atas gambut ombrogen dan gambut topogen : 1. gambut ombrogen adalh gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan; 2. gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi. Berdasarka sifat kematangannya gambut dapat dibedakan atas 3 jenis yakni gambut fibrik, gambut hemik dan gambut saprik.
26
1. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah dicirikan dengan tingginya kandungan bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keasliannya dengan ukuran beragam, dengan diameter antara 0.15mm hingga 2mm; 2. Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang; 3. Gambut Saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang. Berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya, gambut dibedakan dalam 4 kategori yakni : 1. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50 – 100 cm; 2. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100 – 200 cm; 3. Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200 – 300 cm; 4. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara > 300cm; 4.3.3 Klasifikasi Tanah Gambut Klasifikasi tanah gambut dikelompokan sebagi berikut : 1. Jika dalam keadaan jenuh air dengan genangan dalam periode yang lama dan dengan meniadakan akar-akar tanaman hidup mengandung a. 18% bobot karbon organik (setara dengan 30% bahan organik) atau lebih jika mengandung fraksi lempung (clay) sebesar 60% atau lebih; b. 12% bobot karbon organik (setara dengan 20% bahan organik) atau lebih jika tidak ada fraksi lempung; c. 12%+ (lempung dengan kelipatan 0,1 kali) persen bobot karbon dioksida jika mengandung lempung < 60% 2. Jika tidak pernah tergenang, kecuali beberapa hari dan mengandung 20% bobot atau lebih karbon organik. 4.3.4 Sifat Dan Ciri Fisik Tanah Gambut a. Ketebalan Gambut Ketebalan gambut disuatu kawasan cukup beragam sekalipun dalam luasan yang sempit (1-5 ha) umumnya kawasan gambut membentuk kubah sehingga makin mendekati sungai ketebalan makin tipis; b. Lapisan Bawah Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marin atau pasir. Gambut terhampar di atas pasir kuarsa yang mempunyai keseburan rendah, deibandingan lempung marin. Lapisan lempung marin umumnya mengandung
27
pirit (FeS2).sehingga jika lapisan atas gambut terkuras habis misalkan oleh pembakaran maka akan terbentuk tanah asam sulfat asam Dalam keadaan tergenang (anaerob) tanah sulfat asam tidak menimbulkan masalah bagi tanaman karena pirit bersifat stabil. Tetapi pada keadaan aerob karena pengeringan alami maka pirit berubah menjadi tidak stabil atau teroksidasi sehingga melepaskan asam sulfat dan oksida besi, akibatnya terjadi peningkatan keasaman baik pada tanah maupun pengeringan (pH 2-5) c. Penurunan Muka Air Penurunan muka air atau amblesan yang terjadi ditanah gambut sangat tergantung kegiatan yang ada dan pengatusan. Besar kecilnya amblesan dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut umur reklamasi, dan ketebalan lapisan gambut; Gambut fibrik lebih besar mengalami amblesan dibandingkan dengan gambut hemik dan saprik;. Tabel 4.2 Laju Amblesan Di Lahan Gambut No 1. 2. 3. 4.
Ketebalan gambut (cm) 0 – 100 100 – 200 200 – 300 > 300
Laju amblesan (cm/bulan) 0.42 0.60 0.72 0.92
d. Kadar Lengas Tanah Kadar lengas gambut ditentukan oleh kematangan gambut, kadar lengas tanah gambut jauh lebih besar dibandingkan tanah mineral. Kadar lengas gambut yang belum mengalami perombakan sebesar 500% - 1000% bobot, sedangkan yang mengalami perombaka sebesar 200%-600% bobot (boelter,1969). Tabel 4.3 Kemampuan Menyerap dan Menyimpan Air dari Tiga Gambut No 1. 2. 3. 4. 5.
Nilai Lengas Fibrik Kemampuan maksimum memegang air (%) 1.057 Kesetaraan lengas 166 Kebutuhan air untuk penjenuhan 100 cm 101 gambut kering (g) Kebutuhan air setara dengan 100 cm3 gambut 16 kering (g) Berat 100 cm3 gambut kering 11
Hemik Saprik 374 289 112 110 91 110 27
38
27
39
Tabel 4.4 Hubungan Kematangan, Warna dn Kadar lengas maksimum tanah Gambut No 1.
Tingkat Kematangan Fibrik
Kerapatan < 0.1
2.
Hemik
0,07 – 0.18
3.
Saprik
> 0.2
warna Coklat muda kekuningan, coklat tua, coklat kemerahan Coklta tua, Coklat kemerahan Coklat tua, coklat hitam, hitam
Kadar lengas maksiimum (%) 850 - > 3000 450 – 850 < 450
28
4.3.5 Sifat Dan karekteristik Tanah Gambut Tanah gambut terdiri dari unsur-unsur organic yang hampir seluruhnya dari sisa vegetasi. Tanah gambut ditemukan disetiap tingkat dekomposisi (pembusukan ). Dalam pengertian teknik, tanah gambut lebih banyak dilihat dari segi “ physical properties” nya yaitu unsur-unsur seperti kandungan air, angka pori, kandungan organis, kerapatan relatif, permeabilitas, perilaku konsilidasi dan lain-lain. Namun dari semua unsur di atas yang dianggap penting di gambut karena secara langsung berhubungan dengan pertanyaan mengenai strukturnya adalah hubungan gambut dengan kandungan air.Air merupakan bagian komponen dari suatu sistem biologis dan teknis. Penahanan (retention ) air Secara fisik dan kimiawi pada gambut sangat sangat penting artinya dalam setiap pembahasan dalam karakteristik permeabilitas dan geser, serta pembuangan (expulsion ) air dari dalam sistem yang mengalami pembebanan. Berbagai macam air yang terlihat pada gambut adalah sebagai berikut : 1. Air bebas dalam rongga-rongga besar dari gambut. 2. Air kapiler dalam rongga-rongga yang sempit. 3. Air yang diikat secara fisik atau air serapan. 4. Air yang diikat secara kimiawi. 5. Air yang diikat secara koloidal. Terdapat dua jenis struktur gambut yang ekstrim, yaitu gambut seratan (fibrous Peat ) dengan stuktur terbuka dimana celah-celahnya diisi dengan suatu tanaman stuktural sekunder yang terdiri dari unsur-unsur sreat halus, dan jenis satunya lagi adalah gambut butiran ( amorphous granular peat ) yang memiliki kandungan partikel mikroskopis dengan kadar tinggi dan kandungan koloidal dalam jumlah besar. Pada gambut seratan ( fibrous peat ) sebagian besar air yang dikandung adalah air bebas dan air kapiler. Jika gambut ini berada dalam kedaan normal, jelas ini memiliki angka pori yang besar dan akibatnya apabila diberi pembebanan akan mengalami fase konsolidasi primer yang besar. Pengurangan tekanan air pori berlangsung sangat cepat dan beban dipindahkan ke struktur organis pada suatu tahapan yang sangat dini. Studi mikroskopis ternyata menunjukan sangat permeable terhadap air, hal ini bahwa semua molekul air dalam massa gambut saling berhubungan, jadi menghilangkan air yang terperangkap. Pada gambut butiran ( amorphous granular peat ) mengandung lebih sedikit air bebas dan air kapiler, sebaliknya lebih banyak air yang terikat secara fisik koloidal. Angka pori mula-mula sama dengan gambut seratan, cukup tinggi namun apabila diberikan pembebanan, pori-pori dan salurannya cepat tersumbat oleh unsur koloidal dan akibatnya permebilitas tanah menurun secara drastis. Oleh karena itu akibat selanjutnyan gambut jenis ini mempunyai fase konsolidasi primer jauh lebih lama total setlemennya pun lebih kecil bila dibandingkan dengan jenis yang lain.
29
Kadar pirit dan Sulfur Sebagian besar gambut berada dilapisan marin yang mengandung pirit dan juga sebagian lahan berasosiasi dengan tanah mineral sulfat. Tanah mineral sulfat dicirikan oleh kandungan pirit >2% atau kada S>0.75% terletak pada jeluk < 50% dari permukaan tanah. Pirit terbentuk dari reduksi sulfat (oleh bakteri Desulfovibrio,sp atau desulfomaculum,sp) yang diikuti pembentukan besi – sulfida dari sulfur terlarut dengan besi (ferro). Besi sulfida (FeS) selanjutnya bereaksi dengan elemen sulfur menjadi FeS2, yang disebut pirit. Pirit dalam keadaan anaerob bersifat stabil, tetapi dalam keadaam aerob akan teroksidasi menghasilkan hidrogen (H+) dan ion sulfat (SO4)2 . reaksi kimia dapat dilihat sebagai berikut : 2FeS2 + O2 + H+ 2 Srh + 3 O2 + 2 H2O FeS2 +
15 7 O2 + H2O 4 2
2 FeS + 4 Srh + 2 H2O 2 SO42 + 2H+ Fe (OH)3 + 2 SO42 + 2H+
Oksidasi pirit ini akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2-3
4.4 AIR TANAH Air tanah adalah semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah dan berada di dalam ruang antar butir atau rekahan-rekahan serta celah-celah batuan pada zona jenuh air. Terdapatnya air tanah di bawah permukaan tanah dapat dibagi dalam daerah jenuh dan daerah tidak jenuh. Dalam daerah jenuh semua rongga terisi oleh air di bawah tekanan hidrostatik. Sedangkan daerah tidak jenuh terdiri atas rongga-rongga yang berisi sebagian oleh air, sebagian oleh udara. Daerah tidak jenuh terletak di atas daerah jenuh hingga ke permukaan tanah dan bagian bawah daerah jenuh dapat dibatasi oleh batas lapisan jenuh atau lapisan kedap air bisa berupa tanah liat atau batuan dasar (bedrock). Air yang berada di dalam daerah jenuh dinamakan air tanah dan air yang berada di dalam daerah tidak jenuh dinamakan air mengambang atau air dangkal. Daerah tidak jenuh dibagi menjadi daerah dangkal, daerah antara dan daerah kapiler (Ir. Mohammad Bisri,1990). Daerah air dangkal dimulai dari permukaan tanah sampai ke daerah akar utama, tebalnya beragam menurut jenis tanaman dan jenis tanah. Daerah antara ini berada diantara batas bawah dari daerah air dangkal sampai batas atas dari daerah kapiler. Daerah ini memungkinkan mengalirnya air ke bawah dari daerah dekat permukaan tanah sampai permukaan air tanah. Sedangkan daerah kapiler berada antara permukaan air tanah sampai batas kenaikan kapiler dari air. Hampir semua air tanah dapat dianggap sebagai bagian dari daur hidrologi, termasuk air permukaan dan air atmosfer. Uap air yang mengembun dapat masuk ke dalam tanah secara langsung untuk membentuk bagian dari air tanah atau mungkin masuk ke sungai atau reservoir dan kemudian meresap ke dalam tanah. Hanya setelah tertahan oleh dedaunan, intersepsi penampungan cekungan dan kelembaban tanah, air hujan yang mengembun dapat dengan cepat mencapai
30
daerah yang jenuh (saturated zones) air tanah. Air dapat disimpan di bawah tanah hanya setelah presipitasi yang lama dengan intensitas yang cukup. Pori-pori tanah dekat dengan permukaan bumi dikenal sebagai daerah aerasi yang pada umumnya berisi udara dan air dalam berbagai jumlah. Lebih jauh ke dalam perut bumi adalah daerah yang jenuh dimana seluruh celah-celah dipenuhi dengan air. Daerah ini dapat dibatasi pada bagian atasnya dengan suatu permukaan terbatas yang jenuh (permukaan bebas dan piezometrik) atau suatu lapisan kedap air dan pada bagian bawahnya oleh suatu lapisan tanah liat yang kedap air atau batuan. Permukaan air tanah bebas dikatakan tidak terkekang (unconfined) sedangkan air tanah yang terkekang (confined) dibatasi pada bagian atas dan bawahnya oleh suatu lapisan yang kedap air. Formasi geologi yang mempunyai bangunan yang dapat menampung air yang cukup besar dan geraknya melalui formasi tersebut disebut akuifer. Air dapat memasuki formasi dari tanah atau dari kumpulan air pada permukaan tanah, bergerak dengan jarak yang jauh atau pendek dan timbul kembali pada permukaan sebagai suatu mata air atau oleh kegiatan manusia atau tumbuh-tumbuhan. Jumlah air yang memasuki daerah air tanah dari sungai (yaitu sungai yang permukaannya lebih tinggi dari permukaan air tanah dan kemudian meresap ke dalam tanah) dibatasi oleh karakteristik material yang mendasari terutama luasnya, permeabilitas dan kandungan airnya. Air tanah dapat muncul kembali sebagai suatu penerima apabila permukaan air bawah tanah lebih tinggi daripada permukaan sungai.
4.4.1
AIRTANAH DANGKAL (BEBAS)
Tanah di zone air dangkal ini berada dalam keadaan tidak jenuh, kecuali jika terdapat banyak air di permukaan tanah seperti air yang berasal dari curah hujan dan irigasi. Zone tersebut dimulai dari permukaan tanah sampai ke zone akar utama (major root zone). Tebalnya beragam menurut jenis tanaman dan jenis tanah. Briggs telah mengklasifikasikan air dangkal dalam 3 kategori yang tergantung pada konsentrasinya di dalam zone air dangkal. Air higroskopis yang dihisap dari udara membentuk lapisan air yang sangat tipis di permukaan partikelpartikel tanah. Gaya-gaya adhesinya sangat besar, sehingga tidak dapat diserap oleh akar-akar tanaman. Air kapiler hadir sebagai lapisan tipis merata di sekeliling partikel-partikel tanah. Air tanah dangkal merupakan air tanah yang berada di lapisan perangkap air tanpa lapisan penutup yang kedap air. Endapan pasir di daerah penyelidikan yang tersingkap umumnya merupakan manifestasi dari aliran air tanah bebas dan oleh sebagian masyarakat dimanfaatkan untuk membuat sumur gali. Air tanah bebas ini kedudukan muka air tanah hingga 2 meter dan yang sering dijumpai dalam bentuk sumur gali yang jumlahnya sangat terbatas. Kondisi air tanah bebas ini termasuk air tanah tidak tertekan, dimana kedudukan muka air tanahnya relatif dangkal.
31
4.4.2 AIR TANAH DALAM Air tanah dalam adalah air tanah yang terdapat dalam kondisi tertekan hingga tak tertekan yang tidak mungkin lagi ditemukan dengan cara penggalian sumur.
4.5 MEKANISME INFILTRASI Di lapangan proses mekanisme infiltrasi terjadi pada hujan yang pertama kali sebelum ada genangan, air seluruhnya di serap oleh tanah permukaan. Setelah adanya genangan, berarti tanah permukaan sudah jenuh maka kemampuan tanah permukaan untuk meloloskan air sangat kecil. ada tiga tahap, yaitu proses sebelum genangan, transisi dan sesudah genangan.
Gambar 4.1 Sebelum genangan, transisi dan sesudah genangan.
4.5.1
-
Sebelum genangan yaitu pada waktu ( t ) kecil yang dominan adalah gaya kapiler, air mudah diserap tanah.
-
Transisi terjadi pada saat adanya perubahan dari sebelum genangan ke adanya genangan hal ini yang dominan adalah gaya kapiler dan gaya gravitasi.
-
Sesudah genangan yaitu pada saat waktu t besar sekali yang dominan adalah gaya gravitasi, kemampuan meloloskan air kecil, sehingga timbul genangan air di permukaan tanah.
GAYA-GAYA YANG MEMPENGARUHI INFILTRASI
Infiltrasi ( peresapan ) adalah gerakan air melalui permukaan tanah masuk ke dalam tanah, berbeda dengan perkolasi, yaitu proses aliran air dalam tanah secara vertical akibat gaya berat. Memang keduanya saling berpengaruh, akan tetapi secara teoritik hendaknya pengertian keduanya dibedakan. Bila air pertama kali berada di atas permukaan tanah, karena berat sendirinya maka air tersebut akan bergerak ke bawah melalui lubang tanah yang lebih besar sementara poripori permukaan yang lebih kecil mulai masuk air akibat kapilaritas. Air gravitasi yang bergerak ke bawah juga di resap oleh pori-pori kapiler. Ketika pori-pori kapiler pada permukaan sudah penuh dan kapasitas pengambilannya berkurang, laju infiltrasi menjadi berkurang. Pada tanah yang homogen, infiltrasi berkurang 32
secara perlahan-lahan sampai lajur aerasinya jenuh. Biasanya tanah berlapis-lapis, dan lapisan tanah bagian bawah sering kurang permeabel dibanding dengan tanah permukaan. Dalam hal ini, laju infiltrasi akhirnya dibatasi sampai perkolasi yang melalui lapisan bawah tanah. Infiltrasi dari curah hujan biasanya terjadi dengan tinggi air yang sangat dangkal di permukaan tanah. Jumlah air yang berinfiltrasi umumnya hanya beberapa inci perhari dan jarang mencukupi untuk membuat jenuh kedalaman tanah yang besar. Saat hujan berhenti, air gravitasi yang tersisa pada tanah terus bergerak ke bawah dan dalam waktu bersamaan terambil dalam rongga-rongga pori kapiler. Biasanya air yang berinfiltrasi di distribusikan beberapa kaki keatas, dengan sedikit ataupun sama sekali tanpa kontribusi kepada air tanah, kecuali bila tanah tersebut sangat permeabel atau lajur ampainya sangat tipis. Target pengoperasian ini Penjenuhkan tanah dibawah sampai muka air tanah. Pada kondisi ini, variasi waktu infiltrasinya komplek, dengan peningkatan sementara pada kelajuan yang diakibatkan oleh penurunan perlahan-lahan. Larinya udara dalam tanah sekitar cekungan infiltrasi, aksi bakteri, perubahan temperatur air, perubahan struktur tanah, dan faktor-faktor lainnya mempengaruhi variasi ini. Gerakan lengas dalam tanah di tentukan oleh potensial lengas dengan mengikuti persamaan berikut : q = −k
∂φ ∂x
Dimana : q = aliran persatuan waktu melalui satuan luas yang tegak lurus arah aliran. x = jarak sepanjang garis aliran. k = koefisien permeabilitas . φ = potensial Persamaan di atas menyatakan bahwa aliran bergerak dari daerah dengan potensial tinggi menuju daerah dengan potensial yang lebih rendah. Konduktivitas naik terhadap kadar lengas dan berkurang terhadap ukuran poripori Dengan demikian, gerakan kapiler berkurang jika tanah mengering dan sekurang kurangnya pada tanah berbutir halus. Tekanan uap dalam tanah di kontrol oleh temperatur. Gerakan uap adalah dari temperatur tinggi ( tekanan uap tinggi ) menuju temperatur rendah. Perpindahan uap merupakan suatu faktor yang penting dalam gerakan infiltrasi jika kadar lengasnya di turunkan sampai suatu titik dimana lengas kapilernya tidak menerus. Namun, pada kondisi ini, kadar lengas dan gradien temperatur biasanya sedemikian kecilnya sehingga jumlah lengas yang dipindahkan dapat diabaikan. Di daerah yang musim dingin, jika permukaan tanah membeku, gradien tekanan uapnya mengarah ke atas dan menjadi lebih menonjol oleh tekanan uap es yang lebih rendah relatif terhadap air pada temperatur yang sama. Jadi ketika tanah beku mencair, kadar lengasnya mungkin lebih tinggi dari waktu membeku. Sebaliknya, selama musim panas, gradien tekanan uap akan mengarah ke bawah jika tidak dipakai untuk penguapan dan transpirasi.
33
4.5.2 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU INFILTRASI. Di atas telah di jelaskan bahwa faktot-faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi ada delapan faktor, di antaranya pemanpatan oleh curah hujan dan pemanpatan oleh orang dan hewan, hal ini bisa diwakili oleh koefisien permeabilitas. Sedangkan pengaruh tumbuh-tumbuhan tehadap infiltrasi sukar ditentukan, karena tumbuh-tumbuhan juga mempengaruhi intersepsi. Meskipun demikian, tumbuh-tumbuhan penutup meningkatkan infiltrasi jika dibanding dengan tanah terbuka, sebab : 1. Tumbuhan penutup menghambat aliran permukaan, sehingga memberikan Waktu tambahan pada air untuk memasuki tanah. 2. Sistem akarnya membuat tanah lebih mudah di masuki. 3. Daun-daunnya melindungi tanah dari tumbukan oleh tetes air hujan yang jatuh dan mengurangi muatan air hujan di permukaan tanah. 4. Dalam genangan di atas permukaan dan tebal lapisan yang jenuh. Air genangan di lekukan permukaan tanah masuk ke dalam tanah, terutama disebabkan oleh gravitasi yang bekerja pada air itu. Bila ruang –ruang lapisan tanah di dekat permukaan telah jenuh, maka air itu jatuh melalui pipa-pipa halus yang panjangnya sama dengan tebal lapisan yang jenuh (1). Tekanan air yang bekerja di ujung atas setiap pipa halus itu adalah sama dengan dalamnya genangan air ( D ). Jadi jumlah tekanan yang mengakibatkan aliran adalah (D + 1) Tetapi mengigat air yang mengalir melalui pipa-pipa halus itu menemui tahanan (gaya geser) yang sebanding dengan 1, maka infiltrasi hampir tidak berubah. Variasi 1 mempengaruhi gaya luar air yang jatuh dan jika besar di bandingkan dengan D maka tahanan terhadap air yang jatuh adalah besar. Tetapi bila D dan 1 sama, maka pada permulaan curah hujan, air mudah masuk ke dalam tanah karena gaya luar adalah besar bila di bandingkan dengan tahanan itu. Inilah salah satu sebabnya mengapa pada permulaan curah hujan kapasitas infiltrasi tanah itu relatif besar. 5. kelembaban tanah. Besarnya kelembaban tanah pada lapisan atas sangat mempengaruhi laju infiltrasi. Potensial kapiler bagian bawah lapisan tanah yang menjadi kering (oleh evaporasi) kurang dari kapasitas menahan air normal akan meningkat jika lapisan teratas di basahi oleh curah hujan. Peningkatan potensial kapiler ini, bersamasama dengan gravitasi akan mempercepat infiltrasi. Bila berkurangnya kelembaban tanah diisi oleh infiltrasi, maka selisih potensial kapiler akan menjadi lebih kecil. Pada waktu yang bersamaan kapasitas infiltrasi pada permulaan curah hujan akan berkurang tiba-tiba, yang di sebabkan oleh pengembangan bagian koloidal dalam tanah. Jadi kelembaban tanah itu adalah sebagian dari sebab pengurangan tiba-tiba dari kapasitas infiltrasi. 6. Penyumbatan oleh bahan – bahan yang halus. Kadang-kadang dalam keadaan kering banyak bahan halus yang di endapkan di atas
34
permukaan tanah. Bila infiltrasi terjadi maka bahan halus akan masuk ke dalam tanah bersama air itu. Bahan- bahan ini akan mengisi ruangruang dalam tanah yang mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi. Hal ini merupakan juga sebuah faktor yang menurunkan kapasitas infiltrasi selama curah hujan. 7. Stuktur tanah. Lubang dalam tanah yang di gali oleh binatangbinatang yang kecil dan serangga, akar-akar tanaman yang mati, mengakibatkan permeabilitas yang tinggi. Akan tetapi mengingat jenis tanah ini sangat peka terhadap gaya pemanpatan curah hujan maka sering sekali harga kapasitas infiltrasi itu tiba-tiba berkurang selama curah hujan.
4.5.3
KOEFISIEN PERMEABILITAS.
Untuk aliran air pada lapisan jenuh sempurna, maka di gunakan rumus empiris Darcy, Hukum Darcy merupakan pembuktian empiris dari kesetimbangan momentum. Darcy (1950) meneliti aliran air pada tabung yang berisi pasir yang homogen. Secara matematis hasil percobaan Darcy dapat dinyatakan : (h − h ) Q = K.A 1 2 L Dimana Q = debit (m3/det) A = luas penampang (m2) K = harga kelulusan air (m/det) h1 − h2 = kelandaian hidrolik L
4.5.4 Tinggi Tekanan Kapiler Dalam Tanah Ruangan pori-pori di dalam tanah satu dengan lainnya berhubungan dari segala arah dan membentuk jaringan yang rumit. Jika jaringan semacam ini di masuki oleh air dari bawah, maka bawah jaringan tersebut menjadi jenuh – sempurna. Sedangkan pada bagian atasnya, air menempati ruang pori yang sempit dan udara mengisi ruang pori yang lebih luas.
4.5.5 Tinggi Genangan Genangan air di atas permukan tanah akan banyak mempengaruhi masuknya air ke dalam tanah. Makin tinggi genangan airnya makin besar tekanan air pada permukaan tanah. Air yang sudah masuk ke dalam tanah akan terdesak oleh beratnya air yang ada di atasnya. Sehingga infiltrasi akan berlangsung terus kecuali, apabila tanah sudah jenuh 100 % dan lapisan tanah bawah impermeable, maka infiltrasi akan berhenti. 4.5.6 Waktu Infiltrasi Pengaruh waktu terhadap infiltrasi besar sekali makin lama waktu infiltrasi maka makin kecil laju infiltrasi. Hal ini disebabkan karena tanah makin jenuh dan sebagian rongga tanah sudah terisi oleh tanah- tanah yang lembut. Sehingga air makin kurang ruang geraknya.
35
4.6 SISTEM DRAINASE
4.6.1 Uraian. Banyaknya penumpukan sampah akan terbentuk suatu timbunan yang sangat tinggi. Didalam area TPA Batu Layang tumpukan sampah telah mencapai 3 –5m. selain tu pula pada timbunan persampahan tadi telah dipasang pipa-pipa drainse dengan diamter 3in dengan jarak 3m. Timbunan sampah BTA ini akan berpengaruh terhadap sistem pembuangan air permukaan yang berasal dari air hujan dan air dangkal yang ada di dalam tanah. Selain itu pula adanya air kotoran sampah (lindi) juga berpengaruh terhadap kapasitas Saluran. Yang mana hali ini menimbulkan dampak yang cukup besar pada sisklus hidrologi. Sehingga berpengaruh besar pula terhadap sistem drainasenya. sebagai contoh ada beberapa perkembangan beberapa kawasan saluran tertutup sehingga menibulkan kemacetan dan pergerakan aliran sehingga dapat berpengaruh terhadap proses infiltasinya. Jaringan drainase yang melingkap pada seluruh alur timbunan sampah, baik alur luar maupun dalam dan bermuara di mulu TPA batulayang. Drainase melayani pembuangan kelebihan air pada suatu kawasan dengan mengalirkannya melalui permukaan tanah (surface drainage) atau lewat bawah permukaan ( sub surface drainage) untuk dibuang ke badan air.
4.6.2 Drainase Permukaan. Drainase Permukaan dimaksudkan untuk menampung, mengalirkan dan kemudian membuang air (hujan) agar tidak merusak konstruksi jalan. Air hujan yang tidak segera terbuang akan merusak lapisan – lapisan perkerasan jalan dan juga dapat menurunkan nilai daya dukung dari subgrade.
4.6.3 Drainase dibawah Permukaan. Drainase dibawah permukaan adalah drainase yang dibuat untuk menghindarkan perkerasan dari pengaruh Tekanan hidrostatis dari aliran dibawah permukaan. Drainase dibawah permukaan ini diperlukan kalau pada tempat-tempat tertentu konstruksi jalan terjadi rembesan-rembesan atau mata air yang timbul karena adanya tekanan hidrostatis dari aliran di bawah permukaan. 1. Pengaruh Tekanan Hidrostatis relatif kecil. Apabila aliran air ke atas tidak dihalang-halangi oleh filter/ blanket maka perkerasan jalan akan dirembesi air. Untuk menghindarkan hal ini maka dibawah lapisan perkerasan dipasang Filter/ balnket agar air yang naik dari bawah permukaan ke atas akibat dari tekanan hidrostatis dapat dibelokan ke selokan samping. 2. Pengaruh Tekanan Hidrostatis Cukup besar. Pada kasus ini aliran permukaan harus segera dicegat sebelum mencapai daerah shoulder dengan konstruksi seperti di atas. Yakni pemasangan Filter/ Blanket dibawah side ditch dan kemudian pada dasarnya dipasang selokan tambahan berbentuk lingkaran yang berlubang-lubang di atasnya untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan masuknya air dari filter. Air pada saluran tambahan kemudian dibuang keluar.
36
4.6.4 Drainase Resapan. Pada sistem drainase resapan ini diharapkan air yeng tergenang, dikeringkan dengan cara peresapan, melalui drainase yang berada dibawah permukaan tanah. Dan drainase sistem ini tidak lepas dari kondisi tanah yang terdapat dilahan tersebut.
4.6.5 Pergerakan Air tanah. Aliran air melalui pori tanah diperlukan dalam memperkirakan jumlah rembesan air yang terkait dalam pelaksanaan pekerjaan dalam tanah, misalnya adalah pembuatan saluran drainase. 4.6.6 Hubungan denga air pori. Karena air hanya mengalir melalui ruang pori, maka kecepatan nyata rembesan lewat tanah (vs) diberikan rumus : Vs = V/n V = Vs . n Atau Vs = ki / n , dengan n merupakan angka pori.
4.6.7 Subsurface drainase . Faktor – faktor yang perlu diperhitungkan adalah sebagai berikut : A. Daya Resap Tanah. (q1) Rumusan daya resap tanah ini adalah sebagai berikut : q1 = p. v (untuk tiap satuan luas) dimana q1 = daya resap tanah (mm/etmal). v = Kecepatan resapan (m/detik) p = Prosentasi pori. B. Kemampuan Mendrain Pipa (q2) Untuk lebih jelas perhatikan gambar berikut : Muka tanah V sin α
V
S H
I α Pipa drain bawah tanah
A
A
Gambar 4.2 drainase resapan di bawah permukaan tanah Dari gambar diatas dapat ditentukan hubungan sebagai berikut : H , maka harag α dapat ditentukan tg α = 0,5. A H S= sin .α
37
S v. sin α H t= v. sin ²α t=
dari kedua persamaan ini didapat
Isi tampung efektif (I), didapat : 4 4 H 4 I = F .q.T = F . p.v. = F . p.H 5 5 v 5 Untuk tiap satuan luas , menjadi : 4 I = p.H 5 Kekuatan sistem drain (q2) , dirumuskan sebagai berikut : 4 p.H I 4 5 q2 = = = p.v. sin ²α satuannya (mm/etm) H t 5 v. sin .α dari rumus-rumus di atas nampak jelas bahwa ; α (alpa ) semakain besar, q2 menjadi besar. Sehingga jika : H tetap. α naik, pada kondisi ini galian tetap, jumlah A turun pipa bertambah Atau α naik, pada kondisi ini galian tambah, H naik. A tetap jumlah pipa tetap 4.6.8 Water Content, θ Water kontent (kandungan udara) di rumuskan sebagai berikut : Volume air dalam bongkah tan ah θ= Volume bongkah tan ah Keadaan water content. θmin = 0 θmak = φ (porositas). Porositas di rumuskan sebagai berikut : Volume pori − pori dalam bongkah tan ah φ= Volume bongkah tan ah θ = Field Saturated = besarnya kandungan air maksimum yang dapat ditahan oleh tanah. θr = Residuent water content = Jumlah minimum air yang tetahan oleh tanah dalam presen natural Maka didapat : 0 < θr < θ < θ < φ
38
BAB 5
PENGAMBILAN DATA 5.1 Data Topografi Pekerjaan pengukuran topografi dimaksudkan untuk mendapatkan data mengenai keadaan topografi pada daerah lokasi survey. Data topografi ini kemudian diolah dan disajikan ke dalam bentuk gambar situasi.. Pengukuran polygon dilakukan dengan menggunakan metode terbuka untuk Kawasan Pembuangan sampah TPA Batu Layang. Dari hasil survey lapangan diperoleh : Posisi Patok (P0) : X = 322389,000 m UTM Y = 9995532,000 m Z = + 9.234 m
Gambar 5.1 Pengukuran di Jalan TPA Batu Layang
Pengukuran situasi juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi lapangan, termasuk di dalamnya fasilitas dan bangunan yang sudah ada di lapangan. Adapun pengukuran dilakukan dengan mengacu pada ketentuan sebagai berikut : 1. Referensi bidang horizontal digunakan hasil pengukuran poligon 2. Referensi ketinggian digunakan pengukuran sifat datar 3. Jarak dihitung dengan metode optis Hasil pengukuran situasi detail adalah peta situasi yang sudah dilengkapi dengan bangunan seperti pada gambar berikut.
39
Gambar 5.2. Pengukuran di TPA Batu Layang
5.2 Penyelidikan Mekanika Tanah Tujuan penyelidikan mekanika tanah ini adalah untuk mendapatkan datadata serta gambaran mengenai keadaan, jenis dan sifat-sifat mekanis tanah di lokasi pekerjaan. Data-data tersebut untuk selanjutnya digunakan sebagai kriteria untuk menentukan daya dukung tanah dalam perhitungan pondasi bangunan terminal beserta fasilitas yang diperlukan. Pada pekerjaan penyelidikan tanah ini, lingkup pekerjaan yang akan dilaksanakan terdiri dari: 1) Penyelidikan tanah di lapangan, yang meliputi pekerjaan pekerjaan boring. 2) Pekerjaan test laboratorium dari contoh tanah yang diambil.
Gambar 5.2. Pengambilan Data Boring di Batu Layang 5.3 Pekerjaan Boring Pekerjaan boring dilaksanakan pada 3 (tiga) titik lokasi, yakni titik B-1, B-2 & B-3 yang letaknya dapat dilihat pada Gambar di atas Pengeboran dengan alat hand bor pada titik B1 ,B2, & B3 dilakukan hingga kedalaman 2.60m dari permukaan tanah. Hasil dari pekerjaan hand boring berupa boring log menyajikan gambaran jenis-jenis tanah pada setiap kedalaman pengujian. Pekerjaan boring ini bertujuan untuk untuk mengetahui formasi/struktur lapisan tanah/batuan di bawah permukaan tanah.
Penyelidikan tanah melalui boring juga memberikan beberapa hal penting antara lain : 40
1) 2) 3) 4)
Letak lapisan tanah keras. Perkiraan jenis lapisan tanah. Perkiraan ketebalan tiap jenis lapisan tanah. Pengambilan contoh tanah untuk di uji laboratorium yang selanjutnya dapat diperoleh parameter-parameter tanah yang diperlukan sehubungan dengan perencanaan. Pengambilan contoh tanah tak terganggu (undisturbed sample) dilakukan dengan menggunakan tabung contoh tanah yang berdiameter 76 mm dengan panjang 60 cm, serta memiliki rasio area < 10 %. Tabung yang berisi contoh tanah tersebut kemudian ditutup dengan lilin agar kondisi tanah tetap terjaga dari penguapan. Selanjutnya tabung tersebut diberi tanda berupa nomor titik, kedalaman dan tanggal pengambilan.
5.4 Hasil Penyelidikan Tanah di Lapangan Dari hasil pekerjaan Hand boring diperoleh gambaran per lapisan tanah, posisi pengambilan sampel contoh tanah tak ter-ganggu (undisturbed sample). Tanah pada kedalaman 2.60 meter mempunyai nilai Indeks plastis rendah yakni 14.084 –17.421 % dan Nilai Batas Cair diatas 86,529% - 161,686% (sedang) , Gs (2,435-2.55) dan termasuk jenis diskripsi tanah MH. Dari nilai Gs yang diperoleh dikatakan jenis tanah lempung/lanau organik. Hail uji sifat teknis tanah pada umumnya seluruh sampel mempunyai nilai qu (compression strenght) yang relatif rendah (0,024 – 0,058 kg/cm²) termasuk jenis tanah lempung lunak dan tidak padat. Ditinjau dari nilai sudut gesek, nilai yang diperoleh dari seluruh sampel berkisar antara 4.974°-5.200°. Tanah ini termasuk jenis tanah lempung lunak dan tidak padat.
5.5 Data Curah Hujan Pengumpulan data hidrologi dimaksudkan untuk mendapatkan data-data hidrologi klimatologi sebagai masukan didalam menentukan besaran perencanaan seperti curah hujan maksimum dengan perioda ulang tertentu, dan analisa hidrologi untuk keperluan drainase. Pada prinsipnya data hidrologi didapat dengan cara mengumpulkan data sekunder ataupun primer dengan menghubungi langsung instansi terkait dengan masalah tersebut. Instansi yang dihubungi adalah Badan Meteorologi dan Geofisika. Dan gagian Navigasi Propinsi Kalimantan Barat Data yang diambil adalah data Curah dari stasiun Supadia dan Data Navigasi yang dianggap mewakili daerah kejadian. Data yang diambil adalah hasil pengamatan dari tahun 1986 – 2009. Data-data hidrologi hasil dari pengamatan stasiun tersebut disajikan sebagai berikut : Curah hujan harian maksimum 1 harian , 2 harian dan 3 harian disajikan dalam Tabel 5.1
41
Tabel 5.1 Data Curah Hujan Maksimum Stasiun Supadio (1986 - 2009) No
Tahun Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata - rata Jumlah
Data Curah Hujan (xi) mm 1 hr 2 hr 3 hr 90.6 119.1 165.8 116.8 129.9 142.4 153.1 162.4 203.9 119.6 140.6 177.8 93.4 126.5 130 82.7 136.6 170.8 109.3 120 127.1 144.9 158.5 182.5 127.6 130.4 132.9 120.3 141.3 154.2 96 115 161 122 61 77 145 60 90 177 39 52 101 103 98 121.5 157.8 160.4 60.0 90.00 109.00 96.7 138.5 155.4 110.8 148 161.1 116 92.2 129.6 94.9 121.5 157.8 104 110.8 139.8 208 211.2 226.7 99 104.9 148.9 117.09 121.59 143.92 2810.200 2918.200 3454.100
Sumber : Data Supadio Kalimantan Barat
42
BAB 6
ANALISA DATA 6.1 Analisis Data Hidrologi Analisis frekwensi dilakukan pada stasiun hujan yang telah dipilih terhadap data hujan harian maksimum dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku. Karena diasumsikan bahwa data hujan adalah seri data stokastik maka penentuan metoda dalam analisis frekwensi ini harus relevan yaitu dengan cara plotting data ke kertas probability atau dengan cara analisis distribusi data. Dalam pekerjaan ini digunakan metoda analisis frekuensi yang sudah umum digunakan pada analisis distribusi data, yaitu Metoda Gumbel.
Penerapan Metoda Gumbel Persamaan umum analisis frekwensi data dengan Metoda Gumbel adalah : XTr = X + K. S dimana : XTr Tr X K S
= debit/hujan rencana = perioda ulang = harga rata-rata = faktor frekwensi = standar deviasi , ditetapkan dengan persamaan : ( Xi − X )2 ∑ S= (N − 1)
dimana : Xi = harga data ke i N = jumlah data Tabel 6.1 Perhitungan Curah Hujan Maksimum dengan Metoda Gumbel a. Hujan 1 harian maksimum No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tahun Pengamatan 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996
Xi 90.6 116.8 153.1 119.6 93.4 82.7 109.3 144.9 127.6 120.3 96
Xi - X -26.49 -0.29 36.01 2.51 -23.69 -34.39 -7.79 27.81 10.51 3.21 -21.09
(Xi - X)² 701.808 0.085 1296.600 6.292 561.295 1182.787 60.710 773.303 110.425 10.293 444.858
43
No 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Tahun Pengamatan 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata - rata Jumlah
Xi 122 145 177 101 121.5 60.0 96.7 110.8 116 94.9 104 208 99 117.09 2810.200
Xi - X 4.91 27.91 59.91 -16.09 4.41 -57.09 -20.39 -6.29 -1.09 -22.19 -13.09 90.91 -18.09
(Xi - X)² 24.092 778.875 3589.008 258.942 19.433 3259.458 415.820 39.585 1.192 492.470 171.392 8264.325 327.308
0.000
22790.358
Sumber : Hasil analisa data perhitungan pada stasiun Supadio Pontianak Standart deviasi S = 31.478 mm ; Jumlah data n = 24 Yn
= 0.5296 ; Sn = 1.0864
Nilai Periode Ulang : Yt
R2 = 0.3665 R5 = 1.4999 R10 = 2.2502 R25 = 3.1985 R50 = 3.9019 R100 = 4.6001 Didapat besarnya frekwensi curah hujan sbb : R2 = R5 = R10 = R25 = R50 = R100 =
112.37 145.21 166.95 194.42 214.80 235.03
mm mm mm mm mm mm
44
b. Hujan 2 harian maksimum Tabel 6.2 Perhitungan Curah Hujan Maksimum dengan Metoda Gumbel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Tahun Pengamatan Xi 1986 119.1 1987 129.9 1988 162.4 1989 140.6 1990 126.5 1991 136.6 1992 120 1993 158.5 1994 130.4 1995 141.3 1996 115 1997 61 1998 60 1999 39 2000 103 2001 157.8 2002 90.00 2003 138.5 2004 148 2005 92.2 2006 121.5 2007 110.8 2008 211.2 2009 104.9 Rata - rata 121.59 Jumlah 2918.200
Xi - X -2.49 8.31 40.81 19.01 4.91 15.01 -1.59 36.91 8.81 19.71 -6.59 -60.59 -61.59 -82.59 -18.59 36.21 -31.59 16.91 26.41 -29.39 -0.09 -10.79 89.61 -16.69
(Xi - X)² 6.208 69.028 1665.320 361.317 24.092 225.250 2.533 1362.225 77.587 388.418 43.450 3671.350 3793.533 6821.383 345.650 1311.043 998.033 285.892 697.400 863.870 0.008 116.460 8029.653 278.612
0.000 31438.318
Standart deviasi S = 36.971 mm ; Didapat besarnya frekwensi curah hujan sbb : R2 R5 R10
116.04 mm 154.61 mm 180.15 mm
R25 R50 R100
212.42mm 236.35mm 260.12mm
45
c. Hujan 3 harian maksimum Tabel 6.3 Perhitungan Curah Hujan Maksimum dengan Metoda Gumbel Xi Xi - X (Xi - X)² No Tahun Pengamatan 1 1986 165.8 21.88 478.698 2 1987 142.4 -1.52 2.313 3 1988 203.9 59.98 3597.500 4 1989 177.8 33.88 1147.798 5 1990 130 -13.92 193.790 6 1991 170.8 26.88 722.490 7 1992 127.1 -16.82 282.940 8 1993 182.5 38.58 1488.352 9 1994 132.9 -11.02 121.459 10 1995 154.2 10.28 105.661 11 1996 161 17.08 291.698 12 1997 77 -66.92 4478.398 13 1998 90 -53.92 2907.456 14 1999 52 -91.92 8449.440 15 2000 98 -45.92 2108.723 16 2001 160.4 16.48 271.563 17 2002 109.00 -34.92 1219.465 18 2003 155.4 11.48 131.771 19 2004 161.1 17.18 295.124 20 2005 129.6 -14.32 205.086 21 2006 157.8 13.88 192.631 22 2007 139.8 -4.12 16.981 23 2008 226.7 82.78 6852.390 24 2009 148.9 4.98 24.792 Rata - rata 143.92 Jumlah 3454.100 0.000 35586.520 Sumber : Hasil analisa data perhitungan pada stasiun Supadio Pontianak Standart deviasi S = 52.320 mm ; Didapat besarnya frekwensi curah hujan sbb : R2 136.07 mm R5 190.65 mm R10 226.78 mm R25 272.45 mm R50 306.33 mm R100 339.95 mm dari hasil tinjauan data Curah Hujan diperoleh bahwa curah pertahunnya sangata tinggi antara 2500 – 3500 mm/tahun dengan curah hujan hariannya diatas 100 mm/hari.
46
6.2 Analisis Data Tanah Penyelidikan tanah menunjukan, bahwa lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batu Layang berklasifikasi tanah gambut. untuk analisa pada gambut yakni sebagai berikut :
Kandungan air pada lahan gambut sangat tinggi, yakni mempunyai porositas antara 70 – 90%;
Massa jenisnya sangat kecil, yakni berkisar 1,2 gr/cm3;
Tanah gambut mempunyai tingkat subsiden yang cukup besar apabila terjadi penurunan muka air tanah yakni antara 12 – 20cm; sehingga perlu mendapat perhatian agar kandungan air tidak berfluktuasi terlalu besar;
tanah gambut yang merupakan bahan sisa tumbuhan yang dalam proses dekomposisinya unaerobic (terhambat) dan mengandung tanah mineral yang terkristal sebesar ± 5%;
Kandungan hara relatif rendah dan banyak mengandung asam-asam organik yang menyebabkan pH rendah (pH antara 3-5) dan mempengaruhi proses pembusukan oleh mikro organisme;
Kualitas gambut dipengaruhi oleh bahan penyusun, ketebalan, tingkat dekomposisi dan tata air serta lingkungan gambut tersebut;
Tanah gambut mempunyai drainase (pembuangan air) yang jelek dan genangan air, dan penurunan permukaan.
6.3 Analisis Data Debit Permukaan Debit maksimum di sungai atau saluran alam dengan periode ulang (rata-rata) yang sudah ditentukan yang dapat dialirkan tanpa membahayakan bangunan. Untuk menganalisis banjir maksimum yang akan terjadi untuk periode ulang tertentu digunakan debit rencana Dalam menentukan debit saluran ini, metode yang digunakan adalah Metode Rational, Untuk rumus rational yakni : Qp = 0,278 C. I. A ( A dalam km²) Dimana Q C I A
= Debit puncak (m3/detik) = Koefisien Pengaliran = Intensitas hujan (mm/menit) = Luas Daerah Tangkapan
Penyempurnaan rumus yakni mengurangi kelemahan rumus ini dengan dikoreksi dengan koefisien Penampungan, sehingga persamaan menjadi Qp = C. Cp . I. A Koefisien Cp dapat diperoleh dengan Dimana : tc
C
p
=
2.tc 2.tc + td
= waktu konsentrasui total (menit)
47
td Cp
= waktu pengaliran disaluran = Koefisien Penampungan
Waktu Konsentarsi Waktu konsentrasi adalah lamanya pengaliran air hujan di titik yang terjauh dari inlet saluran sampai outlet saluran it (menit). Untuk daerah rural dan urban waktu konsentrasi memiliki karekteristik yang berbeda. Untuk waktu konsentrasi digunakan rumus : Kirpich L t c = 0.0195 So
0.77
……………Jam
Dimana : L
= panjang saluran
So
= kemiringan dasar saluran
Koefisien Limpasan Koefisien Limpasan merupakan harga untuk berbagai bentuk permukaan daerah yang nilainya berbeda-beda. Nilai koefisien limpasan dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 6.4 Tabel Koefisien Limpasan C Penggunaan tanah Daerah Perdagangan Daerah Pemukiman Kepadatan rendah < 10 rmh/ha Kepadatan antara , 10 - 20 rmh/ha Kepadatan antara , 20 – 30 rmh/ha Kepadatan tinggi > 30 rmh/ha Taman, Kuburan Daerah Pertanian, hutan perdu Kemiringan daerah > 20% Kemiringan daerah < 20% Daerah terbuka Daerah Persawahan Rimba Daerah Perindustrian
Koefisien Limpasan C 0.90 0.25 0.40 0.55 0.70 0.18 0.55 0.45 0.75 0.45 0.35 0.80
Perhitungan intensitas Curah Hujan
Perhitungan Intensitas Curah Hujan digunakan Rumus Mononobe untuk data curah hujan harian maksimum. Berdasarkan Periode ulang 5 tahun (berdasarkan 2/3
R 24 data jumlah penduduk) : I = 24 24 tc Perhitungan dengan menggunakan data Curah Hujan Harian Maksimum di atas
48
R1 (harian) periode ulang 5 Tahun = 145 mm/hari R2 (harian) periode ulang 5 Tahun = 154,61 mm/hari R3 (harian) periode ulang 5 Tahun = 190,65 mm/hari Selanjutnya perhitungan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6.5 Perhitungan Waktu Konsentrasi No 1 2 3 4
Panjang Saluran L (m) 200 200 200 200
Kemiringan Saluran So 0.003 0.003 0.003 0.003
Waktu Konsentrasi tc 101.029 jam 101.029 jam 101.029 jam 101.029 jam
Tabel 6.6 Perhitungan Intensitas Curah Hujan (data CH 1 Harian) No 1 2 3 4
R24 195 195 195 195
tc 101.029 101.029 101.029 101.029
Intensitas CH 21.19273 21.19273 21.19273 21.19273
Tabel 6.7 Perhitungan Intensitas Curah Hujan (data CH 2 Harian) No 1 2 3 4
R24 154.61 154.61 154.61 154.61
tc 101.029 101.029 101.029 101.029
Intensitas CH 16.80312 16.80312 16.80312 16.80312
Tabel 6.8 Perhitungan Intensitas Curah Hujan (data CH 3 Harian) No 1 2 3 4
R24 190.65 190.65 190.65 190.65
tc 101.029 101.029 101.029 101.029
Intensitas CH 20.71997 20.71997 20.71997 20.71997
Perhitungan Debit Limpasan dengan menggunakan Metode Rational Tabel 6.9 Perhitungan Debit Limpasan (data CH 1 Harian) Sel Koefisien Limpasan Intensitas Curah Hujan C I (mm/hari) A 0.75 21.19273 B 0.75 21.19273 C 0.75 21.19273 D 0.75 21.19273
Luas Areal A (m2) 5,803.88 4,347.00 5,803.88 4,120.80
Debit (Q) m3/detik 2.56 1.92 2.56 1.82
49
Tabel 6.10 Perhitungan Debit Limpasan (data CH 2 Harian) SEL Koefisien Limpasan Intensitas Curah Hujan Luas Areal Debit (Q) C I (mm/hari) A (m2) m3/detik A 0.75 21.19273 2.03 5,803.88 B 0.75 21.19273 1.52 4,347.00 C 0.75 21.19273 2.03 5,803.88 D 0.75 21.19273 1.44 4,120.80 Tabel 6.11 Perhitungan Debit Limpasan (data CH 3 Harian) SEL Koefisien Limpasan Intensitas Curah Hujan Luas Areal Debit (Q) C I (mm/hari) A (m2) m3/detik A 0.75 21.19273 2.51 5,803.88 B 0.75 21.19273 1.88 4,347.00 C 0.75 21.19273 2.51 5,803.88 D 0.75 21.19273 1.78 4,120.80 Tabel 6.12 Perhitungan dimensi saluran pada kondisi Awal. No 1 2 3 4
b 5.5 5.5 5.5 5.5
y 0.721 0.604 0.721 0.585
A 4.49 3.69 4.49 3.56
R 0.53 0.47 0.53 0.45
S1/2 0.017 0.017 0.017 0.017
V 0.57 0.52 0.57 0.51
A 4.49 3.69 4.49 3.56
Q 2.56 1.92 2.56 1.82
dari hasil perhitungan di atas diperoleh kedalaman air di saluran sebesar 0,721 m yang merupakan tinggi genangan air di saluran.
6.4 Analisis Data Resapan Air Dalam Tanah untuk menghitung besarnya resapan air yang masuk dalam tanah, dapat dihitungan dengan rumus Rumusan daya resap tanah ini adalah sebagai berikut : q1 = p. v (untuk tiap satuan luas) jika diketahui data p (porositas) dari hasil penyelidikan tanah sebesar 70 %, kecepatan resapanair dalan tanah v = 500 mm/hari, kedalaman pipa = 4m = 4.000mm dan jarak antar pipa 7m (7.000 mm). maka diperoleh sudut α sebagai berikut : H tg α = , maka harga α dapat ditentukan 0,5. A 4 tg α = =1.1428 maka α = 48o48’ 0,5.7 H 4 S= = = 5.369 m sin .α sin 48 H 4.000 t= = = 15 hari v. sin ²α 500 x sin 2 48 maka waktu yang diperlukan air untuk meresap sampai ke pipa drain selama ± 15 hari. Daya resap air = 0.70 x 500 = 350 mm/hari 50
Kemampuan untuk mendrain sistem drainase pipa Isi tampung efektif (I), didapat : 4 I p.v. sin 2 α = 0.8 x 0.70 x 500 sin2 α = 155,353 mm/hari 5 Untuk tiap satuan luas , menjadi : 4 I = p.H = 0.8 x 0.70 x 500mm/hari = 280 mm =0.28m 5 dengan memasukan nilai hujan R1 (harian) periode ulang 5 Tahun = 145 mm/hari R2 (harian) periode ulang 5 Tahun = 154,61 mm/hari R3 (harian) periode ulang 5 Tahun = 190,65 mm/hari maka diperoleh ketbalan curah hujan h1,h2.h3 sebagai berikut: h1 = 145 x 15 hari = 2175 mm h2 = 154,61 x 15 hari = 2312,4 mm h3 = 190,65 x 15 hari = 2859,75 mm Panjang pipa masing sebagai berikut : sel A Untuk A1(LA1) = 42m jarak pipa (A) = 7m luas yang dilayanni pipa = 7 x 42 = 294 m2 = 0.0294 Ha Kemampuan sistem drainasi ; q = 155,33 mm/hari 1 lt/detik/ha 1 mm/hari = 8,64 Maka debit yang harus dilayani pipa : 1 Q maks = x 155,33 x 0.0294 = 0.528 liter/detik 8,64 Untuk A1(LA2) = 72m jarak pipa (A) = 7m luas yang dilayanni pipa = 7 x 72 = 504 m2 = 0.0504 Ha Kemampuan sistem drainasi ; q = 155,33 mm/hari 1 lt/detik/ha 1 mm/hari = 8,64 Maka debit yang harus dilayani pipa : 1 x 155,33 x 0.0504 = 0.906 liter/detik Q maks = 8,64 Untuk A1(LA3) = 102m jarak pipa (A) = 7m luas yang dilayanni pipa = 7 x 102 = 714 m2 = 0.0714 Ha Kemampuan sistem drainasi ; q = 155,33 mm/hari 1 1 mm/hari = lt/detik/ha 8,64 Maka debit yang harus dilayani pipa : 1 Q maks = x 155,33 x 0.0714 = 1.284 liter/detik 8,64
51
Untuk A1(LA4-A7) = 126m jarak pipa (A) = 7m luas yang dilayanni pipa = 7 x 126 = 882 m2 = 0.0882 Ha Kemampuan sistem drainasi ; q = 155,33 mm/hari 1 1 mm/hari = lt/detik/ha 8,64 Maka debit yang harus dilayani pipa : 1 x 155,33 x 0.0882 = 1.586 liter/detik Q maks = 8,64 untuk sel lainnya perhitungan dilakukan dengan menggunakan tabel
Tabel 6.13 Perhitungan Debit Ynag harus dilayani tiap Pipa pada Sel B Luas yang No Bagian Sel Panjang Pipa Jarak antar pipa dilayani Pipa L (m) A (m) (Ha) 1 B1 60 8 0.048 2 B2 60 7 0.042 3 B3 60 7 0.042 4 B4 60 7 0.042 5 B5 60 7 0.042 6 B6 60 7 0.042 7 B7 60 7 0.042
Debit yang dilayani (ltr/detik) 0.863 0.755 0.755 0.755 0.755 0.755 0.755
Tabel 6.14 Perhitungan Debit Ynag harus dilayani tiap Pipa pada Sel B No Bagian Sel Panjang Pipa Jarak antar pipa L (m) A (m) 1 D1 24 8 2 D2 30 7 3 D3 30 7 4 D4 36 7 5 D5 30 7 6 D6 30 7
Luas yang dilayani Pipa (Ha) 0.0192 0.021 0.021 0.0252 0.021 0.021
Debit yang dilayani (ltr/detik) 0.345 0.378 0.378 0.453 0.378 0.378
6.5 Analisis Data Pergerakan Air Dalam Tanah Untuk menghitung aliran unsteady dalam suatu aliran tanah digunakan bebarapa metode yakni schapery dan metode brakel. rumus kedua metode tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
Metode shapery S 1 / 2 cosh x. 2 . T . t N h = H + .2t.1 − 1/ 2 S l. S cosh 2.T .t
dimana : h = tinggi muka air di DATUM
52
H N S t x T l
= tinggi muka air di saluran = infiltrasi (m/hari) = koefisien storage = waktu (hari) = jarak dari titik awal (m) = tranmisivity (KH) (m2/hari) = jarak dari tengah-tegah ke saluran (m)
Gambar 6.1 Grafik Muka Air tanah Metode Scapery
Metode Brakel
Persamaan Metode Brakel adalah sebagai berikut : N l2 −t2 3.T .t h=H+ .1 − exp − 2 2.T S .l selanjutnya untuk memasukan data digunakan program matchad.
(
)
Gambar 6.2 Grafik Muka Air tanah Metode Brakel
53
6.6 Analisis Data Topografi Dari hasil pengukuran data topografi diperoleh data peta situasi sebagai berikut ;
diperoleh data topografi, yang sekarang bahwa timbunan sampah telah mengalami penurunan yang cukup besar. Untuk saluran drainse yang ada elevasi untuk pembungan air kodisi lebih tinggi; Ada pembungan air ke sungai melewati saluran alam yang tidak berfungsi dengan baik diserta elevasi buangan yang cukup tinggi. danya timbul genangan pada jalan rabat beton yang dibuat, karena elevasinya tertutup Hujan Muka Tanah
mat infiltrasi
Memberikan distribusi air ke saluran
Gambar 6.3 Masuknya Muka Air tanah ke dalam saluran dan pipa Hujan
mat
Memberikan distribusi air ke dalam
Gambar 6.4 Gambaran Masuknya Muka Air tanah ke dalam saluran dan pipa
54
Genangan air
Saluran Alam
Gambar 6.1 Gambar Peta Situasi di TPA Batu Layang
54
Gambar 6.2 Potongan Gambar Penampang di TPA Batu Layang
55
BAB 7
PENUTUP 7.1 KESIMPULAN Dari beberapa kajian yang telah dilakukan didapat hal-hal yang disimpulkan sebagai berikut : a. Tanah lokasi untuk lokasi persampahan merupakan sebagian besar merupakan tanah gambut; dengan pH tanah berkisar 3 – 5. b. Pada tanah lokasi letak muka air tanah dangkalnya sangat tinggi , mendekati lapisan permukaan tanah ± 0.cm, sedangan aliran air muka tanah ini sangan mempengaruhi proses masuknya air kedalam tanah, sehingga menimbulkan kenaikan muka air pada kawasan dibawahnya, infiltrasi airnya kecil.; c. Telah terjadi penurunan kondisi persampahan, selama ± 2 Tahun sebesar 1m sehingga akan mempengaruhi letak perpipaan yang fungsinya untuk mendapatkan Gas, sehingga jika penurunan terjadi akan menimbulkan masukan muka air dangkal kedalam pipa yang menyebabhkan masuknya sebagian air kedlam pipa gas. d. Tingkat curah hujan yang tinggi antara 2500mm – 3000mm menyebabkan akan masuknya air ke dalam lahan dan tumpukan sampah sehingga menimbulkan genangan dan sumbangan air infiltrasi yang masuk ke Pipa; e. Saluran drainase yang tidak berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan genangan, karena air yang akan keluar melalui saluran mempunyai elevasi pembuang yan cukup tinggi; f. Lokasi TPA Batu Layang secara keseluruhan terletak pada lahan yang cukup rendah dan bergambut dengan sistem drainase yang buruk sehingga menimbulkan genangan di sekitar sel timbunan sampah, terutama pada selsel yang sedang dioperasikan bagi proyek CDM. Muka air yang tinggi di sekitar sel akan mempengaruhi muka air di dalam timbunan tanah yang berdampak pada beberapa hal diantaranya: • Berkurangnya volume sampah yang dapat didekomposisi secara optimal oleh bakteri karena terendam air dan adanya sifat fisik sampah yang mampu menyerap air • Tergenangnya sebagian jaringan pipa gas sampah sehingga sirkulasi dan distribusi gas menjadi terhambat dan berkurang; • Rembesan air tanah yang bersifat asam akan mengganggu proses dekomposisi sampah mengingat proses dekomposisi secara biologi hanya dapat berlangsung dengan optimal pada interval pH 6,8 – 8 7.2 SARAN a. Perlu ditinjau Feasibility Study (FS) yang dilakukan oleh konsultan PT. GIKOKO KOGYA sebelum dimulainya proyek CDM, termasuk karakteristik sampah Kota Pontianak baik karakteristik kimia, fisik, dan biologi, yang mana
56
merupakan dasar bagi PT. GIKOKO KOGYA dalam menginvestasikan proyek CDM b. Meninjau program perawatan sarana dan prasarana yang dilakukan oleh PT. GIKOKO KOGYO untuk menjamin tetap berjalannya sistem dalam program CDM, karena terdapatnya beberapa prasarana pengelolaan gas tersebut yang sampai saat ini belum diperbaiki, diantaranya: • Terdapatnya kerusakan yang cukup besar (> 50%) lapisan penutup plastik sampah pada sel A dan C • Lapisan tanah atas yang berfungsi sebagai peredam panas pada sel A,B, dan C sudah banyak berkurang karena proses erosi • Pada sel D tidak terdapatnya lapisan tanah penutup timbunan sampah sebelum dilakukannya penutupan oleh lapisan plastik (geo membran), padahal lapisan tanah ini juga berfungsi sebagai penyedia bakteri perombak sampah yang terdapat di dalam tanah. • Perbaikan sistem drainase yang ada sekarang dengan cara Menghilangan genangan air yang ada di sekeliling sel dengan cara mebuat elevasi buang yang cukup besar dibandingan di lokasi genangan; • Untuk saluran tengah sebaiknya ditimbun saja karena mesti dibuat drainase tetap akan menimbulkan genangan air.
57