BAB 11 KAJIAN PUSTAKA 1.1
Kajian yang relevan sebelumnya Sepanjang pengetahuan peneliti, bahwa penelitian ini belum pernah dikaji oleh
orang lain, hanya ada penelitian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut. Makna simbolik syair salamat pada upacara adat gunting rambut di BolaangMongondow (Rini Pasambuna 2011). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah makna simbolik syair salamat adat gunting rambut di Bolaang-Mongondow; struktur syair salamat pada upacara adat gunting rambut di Bolaang-Mongondow. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa, syair sastra lisan salamat sering digunakan dalam perayaan adat gunting rambut. Dengan melihathasil kajian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini lebih menunjukkan eksistensi puisi lisan salamat pada upacara adat gunting rambut di Bolaang-Mongondow. Dengan demikian, terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan peneliti saat ini. Persamaannya terletak pada kajian yang keduanya mengkaji tentangsalamat, walaupun demikian ada banyak penelitan sebelumnya, terutama dari segi adat berbeda kalau peneliti sebelumnya mengkaji salamat pada upacara adat gunting rambut, tetapi penelitian yang akan dilakukan yaitu salamat pada upacara adat mogama’, selain itu juga penelitian sebelumnya hanya menggunakan teori semiotik, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan teori struktural semiotik.
1.2
Sastra Lisan
2.2.1 Pengertian Sastra Lisan Istilah sastra lisan dalam bahasa Indonesia, merupakan terjemahan bahasa Inggris oral literature. Menurut Hutomo ( 1991: 1), sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusatraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Endraswara (2011:151) mengatakan bahwa sastra lisan adalah karya yang penyebarannya dari mulut ke mulut secara turuntemurun. Dalam satra lisan akan didapatkan berbagai gambaran keadaan pola hidup masyarakat zaman dulu, karena di mana pun sastra diciptakan akan selalu merefleksikan pola hidup masyarakatnya. Melalui karya sastra, dapat dilihat gambaran kehidupan masyarakat pada saat sastra itu diciptakan. Oleh sebab itu, lebih tepat jika sastra itu dikatakan sebagai rekaman yang selalu mencerminkan kehidupan masyarakatnya (Zaidan, 2002:26). Hal ini sanada dengan pernyataan Zaimar (dalam Didipu, 2011:27) bahwa dalam suatu karya sastra terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi suatu masyarakat. Jadi, dengan melihat teori-teori di atas, maka peneliti dapat memberikan makna secara terstruktur bahwa sastra lisan tidak dapat terpisahkan antara sstruktur yang satu dengan struktur lainnya. Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari sastra daerah yang menjadi simbol atau identitas kebudayaan yang dimiliki oleh suatu daerah. Karena dengan adanya sastra lisan, suatu daerah memiliki nilai tardisi yang ditinggalkan oleh para leluhur kepada generasi pewaris budaya, khususnya di daerah
Bolaang Mongondow, diantaranya cerita rakyat, pantung dan yang menjadi perhatian peneliti saat ini yaitu sastra lisan salamat. 2.2.2
Ciri-ciri Sastra Lisan Sebagai salah satu bentuk sastra daerah, sastra lisan mempunyai ciri yang tidak
jauh berbeda dengan ciri sastra daerah. Vansina (dalam Tuloli, 2000:7) menyatakan ciri-ciri sastra lisan sebagai berikut: (1) milik bersama seluruh masyarakat, (2) diturunkan dari satu generasi lain melalui penuturan, (3) berfungsi dalam kehidupan, dan kepercayaan masyarakat, (4) bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk tingkah laku dan hasil kerja, (5) diciptakan dalam variasi banyak sepanjang masa, (6) bersifat anonim, (7) mengandalkan formula, kiasan, simbol, gaya bahasa, dan berbagai gejala kebahasaan lain dalam penampilan atau penceritaannya atau komposisi. Dari kajian sastra lisan yang populer di masyarakat ada juga yang dikemas dalam bentuk permainan. Hal ini yang menyebabkan sastra lisan lebih menarik, di samping di dalamnya memang kaya nilai-nilai humanis yang patut diserap. Apalagi, penyampaian sastra lisan seperti diiringi dengan sindiran-sindiran dan senda guaru yang penuh kegembiraan. Selain itu juga, pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh Hutomo (dalam Didipu 2011: 28). Menurut Hutomo sastra lisan mempunyai ciri-ciri berikut ini. (1) penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut, (2) lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf, (3) menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra daerah merupakan
warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial). Oleh sebab itulah, sastra daerah disebut juga sebagai fosil hidup, (4) tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat, (5) bercorak puitis, teratur dan berulang-ulang; maksudnya, a) untuk menguatkan ingatan, b) untuk menjaga keaslian sastra daerah supaya tidak cepat berubah, (6) tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek hayalan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra daerah itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya, (7) terdiri dari berbagai versi, dan (8) Bahasa : umumnya menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, bahkan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap. Dilihat dari ciri-ciri sastra lisan tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa sastra lisan harus lebih melihat kedudukannya dalam masyarakat. Karena, perkembangan sastra lisan itu lebih ditentukan oleh masyarakatnya. Selain itu sastra lisan harus lebih mengutamakan daya tarik sastra itu sendiri, agar masyarakat lebih tertarik untuk melaksanakan sastra lisan tersebut. Karena, pada hakikatnya manusia sebagai makhluk homo ludens yang gemar bermain. 2.2.3
Fungsi Sastra Lisan Menurut Bascom (dalam Sudikan 2007: 50), sastra lisan mempunyai empat
fungsi, yaitu: (a) sebagai sebuah bentuk hiburan (as a from of amusement), (b) sebagai pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan (it plays in validating culture, in justifying its ritual and institution to those who perform and observe them), (c) sebagai alat pendidikan anak-anak (it plays in education, as pedagogical device),
(d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (maintaining conformity to the accepted patterns of behavior, as means of applyung social pressure and exercising social control). Fungsi sastra lisan juga diungkapkan oleh Dundes (dalam Sudikan 2007: 5051), menyatakan bahwa ada beberapa fungsi sastra lisan yang bersifat umum, yaitu: (a) membantu pendidikan anak muda (aiding in the education of the young), (b) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok (promoting a group’s feeling of solidarity), (c) memberi sangsi sosial agar orang berperilaku baik atau memberi hukuman (providing socially sanctioned way is for individuals to act superior to or to censure vehicle for social protest), (d) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan (offering and enjoyable escape from reality), dan (e) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan (converting dull work into play). Selanjutnya fungsi sastra lisan menurt Fineggan (dalam Sudikan 2007: 51), menyatakan bahwa fungsi sastra lisan sebagai senjata yang potensial di dalam memperjuangkan kelas sosial (the class strunggle). Ruth Fineggan juga menguraikan pengaruh puisi lisan. Menurut Fineggan (dalam Sudikan 2007: 51) pengaruh puisi lisan tidak harus tergantung pada beberapa sifat-sifat absolut atau permanen dalam teks, tetapi pada lingkungan tempat puisi tersebut disampaikan, posisi sang penyair, dan mungkin yang lebih utama justru sifat dan harapan khalayak penikmat (audience). Puisi yang sama pada kesempatan yang sama dapat memainkan beberapa peran untuk bagian audiens yang berbeda
Dari penjelasan fungsi sastra lisan di atas,dapat disimpulkan bahwa suatu kebudayaan, khususnya sastra lisan tidak terlepas dari fungsi itu sendiri. Artinya, jika sastra lisan tidak memiliki fungsi maka dengan sendirinya sastra lisan itu tidak akan digunakan oleh masyarakat, sebab dari fungsi itulah dapat dilihat keberadaan sastra lisan pada suatu masyarakat. 2.2.4
Ragam Sastra Lisan Sastra lisan memiliki kekayaan ragam dan variasi, yang didukung pula dengan
ciri-ciri kesastraan yang beragam. Ragam sastra lisan itu dapat ditemui pada masyarakat yang belum mengenal baca tulis sampai pada masyarakat modern yang sudah mempunyai tradisi baca tulis yang meliputi peristiwa, curahan rasa dan pengungkapan pikiran leluhur dari masyarakat pemilik sastra lisan (Tuloli, 2000:143). Sastra lisan diwujudkan dalam ragam-ragam, dan setiap teks sastra lisan dapat dimasukkan pada ragam tertentu. Ragam itu terkait erat pada budayanya, dan setiap budaya mempunyai seperangkat ragam, oleh karena itu merupakan salah satu kekeliruan jika memindahkan secara langsung ragam sastra lisan dari satu lingkungan budaya kelingkungan yang lain, Tuloli(2000:97). Mengenai peragaman sastra lisan terdapat berbagai pandangan parah ahli. Hutomo, ( dalam Rafik, 2012: 54) mengemukakan bahwa sastra lisan dapat dibagi atas beberapa bagian sebagai berikut: (1) bahan yang bercorak cerita, (a) cerita-cerita biasa, (b) mitos, (c) legenda, (d) epik, (e) cerita tutur, (f) memori; (2) bahan yang bercorak bukan cerita seperti (a) ungkapan, (b) nyanyian, (c) peribahasa, (d)teka-teki, (e) puisi
lisan, (f) nyanyian sedih pemakaman, (g) undang-undang atau peraturan adat; (3) bahan yang bercorak tingkah laku (drama) seperti (a) drama panggung dan (b) drama arena. Selain itu juga peragaman sastra lisan yang dikemukakan Tuloli (2003: 9) bahwa peragaman sastra lisan pada umumnya bisa dilihat dari segi (1) bentuk dan isinya, (2) fungsi praktis dalam masyarakat dan budaya, dan (3) sisitem penampilan atau penceritaannya. Finege (dalam Tuloli, 2003: 9) menjelaskan, untuk mengetahui jenis sastra lisan kita memerlukan pengetahuan tentang keseluruhan latar belakang sastra dan sosio-budaya, yang meliputi pula berbagai hal tentang penampilan, audiens, dan konteks. Kadang-kadang kita menemukan isi cerita lisan yang sama tetapi dibawakan dalam beberapa bentuk atau ragam yang berbeda-beda. Secara umum, sastra lisan dapat diklasifikasikan dalam empat ragam, yaitu ragam epik, ragam balada, ragam ode, dan puisi lirik (Tuloli: 2003: 10-12). Epik adalah ragam sastra lisan yang bersifat naratif (berisi cerita) yang panjang dan menceritakan tentang kepahlawanan tokoh penting atau perbuatan seorang prajurit yang gagah berani, (Tuloli, 2003: 10; Semi, 1988: 106 ). Balada adalah suatu lagu atau nyanyian yang disampaikan secara lisan, yang menceritakan suatu cerita. Balada disebut juga lagu rakyat yang naratif, Abrams (dalam Tuloli, 2003: 11). Ode merupakan ragam puisi yang diungkapkan dengan kata-kata pujian dan semangat, biasanya ditujukan kepada seseorang tokoh, pahlawan bangsa atau negara,Tuloli (2003: 12). Selanjutnya puisi lirik adalah sejenis puisi pendek yang bukan naratif dan dapat dinyanyikan. Puisi lirik juga terbagi atas puisi adat, filsafat, kata-kata arif, pepatah, dan teka-teki.
Berdasarkan penjelasan di atas yang menyatakan bahwa sastra lisan sangat banyak jenis dan ragammnya maka ragam sastra lisan di daerah Bolaang Mongondow, yaitu itum-itum, modende, dan salamat. Itum-itumadalah sastra lisan yang berisi do’a tolak bala’. Modende merupakan puisi yang dinyanyikan untuk menghibur atau menidurkan anak kecil. KemudianSalamat adalahpuisi lisan berbentuk lirik yang digunakan dalam upacara adat mogama’. Salamat merupakan sebuah ungkapan yang sudah tersusun rapi dengan kata-kata yang indahdan menarik tetapi tidak terkait oleh bait, baris, dan rima yang diucapkan oleh tokoh adat dari kedua belah pihak secara berbalasan. Setelah melihatperagaman sastra lisan yang sudah dikemukakan di atas, maka sastra lisan salamat dapat dikategorikan kedalam jenis puis lirik. Hal ini disebabkan sastra lisan salamat berkaitan dengan adat. Pengkategorian ini juga dilihat dari segi fungsinya sebagaimana yang dilakukan oleh Tuloli dalam meragamkan sastra lisan Gorontalo, khusunya tuja’i. Artinya puisi lisan salamat pada suku BolaangMongondow sama dengan tuja’i dalam sastra lisan Gorontalo. 2.3
Puisi Lisan
2.3.1
Hakikat Puisi Lisan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Depdiknas, 1997:794). Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang penyajiannya sangat mengutamakan keindahan bahasa dan kepadatan makna. Menurut Samuel Taylor Coleridge (dalam Pradopo, 2012: 6) mengemukakan puisi itu adalah kata-kata terindah
dalam susunan terindah. Sedangkan menurut Dunton (dalam Pradopo, 2012: 6) berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Dengan puisi seorang penyair dapat mengungkapkan ekspresi perasaannya. Puisi adalah sintesis dari pelbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk, Mulyana (dalam Semi, 1988: 93). Menurut Worsword (dalam Semi, 1988: 93) mengemukakan puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik.Hakikat puisi itu dapat dibedahkan apabila dia dibandingkan dengan prosa. Menurut Read (dalam Semi, 1988: 94) bila dibandingkan dengan prosa, puisi lebih bersifat intuitif, imajinatif, sintesis. Intuisi adalah satu daya atau kemampuan melihat sesuatu kebenaran atau kenyataan tanpa pengalaman langsung atau dibantu oleh suatu proses logika. Pada dasarnya intuisi itu, lebih banyak merupakan hasil kumpulan latihan berfikir yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan begitu sesuatu dapat dilihat atau diamati dengan cara tertentu dengan menggunakan indra keenam, yaitu perasaan. Imajinasi merupakan segi kedua yang membedakan hakikat puisi dan prosa.Walaupun dalam karya prosa dapat ditemui adanya imajinasi, namun imajinasi dalam puisi sangat berperan dan menentukan. Imajinasi bersifat abstrak karena itu wujud konkretnya hanya dapat diketahui oleh yang bersangkutan saja. Hanya dengan melahirkannya dalam bentuk tanda dalam hal ini bahasa, imajinasi itu akan diketahui oleh orang lain.
Sintesis berarti suatu kesatuan, suatu gabungan atau ikatan yang merupakan lawan dari analisis yang berarti terurai, yang terlihat unsu-unsur yang membentuk keseluruhan. Puisi dapat dikatakan sebagai suatu proses terpadu, sedangkan proses merupakan suatu konstruksi yang tersusun atas tahap demi tahap. Suatu karakteristik dari kesintesisan puisi adalah pernyataan yang disampaikan bersifat unik, ia tidak langsung mengacu kepada sesuatu yang diungkapkannya, tetapi dapat mengandung pengertian yang luas atau pengertian ganda. Kalaupun arti yang ditimbulkannya bisa sama dengan arti yang digunakan dalam prosa, kesan yang muncul dalam bahasa puisi akan berbeda. Hakikat Puisi yang dikemukakan di atas berlaku pula untuk puisi lisan. Artinya meskipun puisi lisan itu disampaikan secara lisan, tetapi hal-hal yang dikemukakan berkaitan dengan puisi di atas keberadaannya tetap ditemukan dalam puisi lisan, yang membedahkannya hanyalah cara penyampaiannya. Hakikat lain dari puisi lisan adalah harus menuntut adanya penutur yang mahir dalam membawakannya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa puisi lisan itu anonim, sehingga tuntutan akan kemahiran penutur sangat diutamakan. Terlebih lagi apabila puisi lisan itu berkaitan dengan adat. Maka yang menjadi penuturnya adalah pemangku adat. 2.3.2
Struktur Puisi Lisan Pada umumnya struktur puisi baik puisi lisan maupun puisi tertulis hampir
sama. Perbedaannya terletak pada kelengkapan struktur. Dalam hal ini, ada unsur yang terdapat dalam struktur puisi tertulis sulit ditemukan dalam puisi lisan. Sebagai contoh adalah tipografi atau perwajahan puisi. Hal ini dikarenakan puisi lisan hanya dituturkan
sehingga aspek tipografi tidak bisa dideteksi. Perwajahan hanya bisa dilihat dan tidak bisa didengar. Itulah sebabnya dalam penelitian ini tidak semua unsur pembentuk puisi dianalisis, hanya ada beberapa unsur yang dipandang relevan dengan puisi lisan dianalisis. struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah Abrams, (dalam Nurgiyantoro, 2007:36). Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro,2007:36). Secara umum terdapat dua unsur yang membentuk bangunan puisi yaitu unsur fisik dan unsur batin. Menurut Semi, (1988: 107) bentuk fisik dan mental sebuah puisi dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan bunyi, lapisan arti, dan lapisan tema. Lapisan bunyi yakni lapisan lambing-lambang bahasa sastra. Lapisan ini disebutnya sebagai bentuk fisik puisi. Lapisan arti adalah sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa. Lapisan tema adalah suatu dunia pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penciptaan puisi, atau sesuatu efek tertentu yang didambakan oleh pencipta puisi. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi. Menurut Waluyo Ada empat unsur yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi, serta amanat. Selain itu, ada lima unsur yang
merupakan metode puisi terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, ritma dan rima Struktur yang dikemukakan Semi di atas sejalan dengan strata norma Roman Ingarden. Menurut Ingarden (dalam Pradoppo 2010: 15) bahawa struktur puisi terdiri atas tiga lapis. Lapis pertama adalah lapis bunyi, lapis kedua adalah lapis arti, lapis ketiga adalah lapis dunia. Lapis bunyi adalah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek agak panjang dan panjang apabila puisi dibacakan. Lapis arti berupa rangkaian fonem suku kata, kata, prasa, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi bait dalam keseluruhan puisi. Lapis dunia dapat berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan berupa cerita atau lukisan.Sebagai sebuah struktur ketiga lapisan itu memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Adanya lapisan pertama menimbulkan adanya lapisan kedua. Demikian pula adanya lapisan kedua menimbulkan adanya lapisan ketiga. 2.4
Simbolik Simbolik merupakan suatu tanda yang tidak memiliki hubungan langsung
dengan kenyataan. Simbolik dalam bahasa Indonesia sering disamakan dengan lambang. Simbolik atau lambang dapat dijumpai pada apa yang tertulis, apa yang kita dengar dari seseorang yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Menurut Peirce simbolik dapat dibedakan dengan ikon dan indeks, dengan catatan bahwa simbolik disesuaikan dengan perjanjian atau kesepakatan yang bersifat arbitrer. Simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon, kata kerja: symbalein yang berarti tanda pengenal yang menjelaskan dan mengaktualisasikan suatu perjumpaan dan
kebersamaan yang didasarkan oleh suatu kewajiban atau perjanjian. Dapat juga dikatakan bahwa simbol adalah tanda indrawi, barang atau tindakan, yang menyatakan realita lain di luar dirinya. Simbol memiliki lingkup makna dan kandungan isi yang amat luas, karena itu merupakan sarana ulung untuk mengungkapkan sesuatu tentang Allah. Simbol berbeda dengan tanda. Simbol melibatkan emosi individu, gairah, keterlibatan dan kebersamaan. Selain itu, simbol juga terbuka terhadap berbagai arti dan tafsiran, tergantung bagaimana setiap individu memaknai simbol itu sendiri. Menurut Pierce (dalam Endraswara 2011: 65) ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu: (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang di foto atau peta dengan wilayah geografisnya; (2) indeks yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Misalnya, asap menandakan adanya api, mendung menandakan akan turun hujan; (3) simbol yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbriter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misalnya, bendera putih sebagai simbol ada kematian. Sehubungan dengan pendapat tersebut, Kempson (dalam Pateda, 2008: 79) menjelaskan makna dari segi kata, kalimat, dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkmunikasi. Senada hal itu, Pateda (2008: 79) berpendapat bahwa makna itu lebih dekat dengan kata. Oleh karena itu, dari pendapat ini bahwa semiotik sebagai wadah yang digunakan dalam menafsirkan kode, lambang, tanda, maupun makna.
Namun hal ini memahami tanda dan makna akan melihat pada sistem simbol yang sebagai hubungan konvensional. Aliran simbolik biasanya berupa karya yang mengungkapkan pikiran dan perasaan menggunakan simbolik tertentu. Simbol-simbol itu diabstraksikan agar pembaca lebih tertarik dan penasaran. Oleh karena itu tugas peneliti pada karya-karya yang beraliran simbolik yaitu : (1) memilih karya-karya yang memuat simbolik, (2) membaca cermat karya simbolik tersebut, kemudian memasukan data-data yang memuat simbolik, (3) simbolik-simbolik tersebut dikategorikan sehingga satu dengan yang lain mudah dimengerti, (4) menafsirkan makna simbolik-simbolik yang ada dalam karya sastra tersebut. Makna sebaliknya selalu dikembalikan kedalam konteks struktur dan konteks zaman, (5) temukan implikasi dan relevansi simbolik-simbolik tersebut dengan era yang sedang berjalan, (Endraswara, 2003: 35). Berdasarkan pandangan di atas, maka penelitian tentang “Makna simbol bahasa dalam puisi lisan salamat pada upacara adat mogama’Desa Kombot suku Bolaang Mongondow” lebih dikhususkan pada teori yang dikemukakan oleh Peirce pada bagian ketiga yaitu simbolik. Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa simbolik merupakan sebuah tanda yang memiliki makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. 2.5
Teori Strukturalisme Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang
terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan
pengarang) lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu, Hawkes (dalam Sudikan 2007: 57). Menurut Yasa (2012: 13) strukturalisme memandang teks sebagai sebuah struktur. Struktur tersebut dibangun oleh sejumlah unsur yang saling berhubungan dalam rangka mencapai keutuhan tunggal. Endraswara (2011: 49) mengatakan bahwa Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki sruktur yang saling terkait satu sama lain. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihbungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan. Mencermati dari penjelasan di atas, bahwa suatu karya sastra tidak mempunyai makna apabila telepas dari unsur lainnya. Artinya unsur dari karya sastra sangat berhubungan erat dengan unsur lain untuk pemaknaannya. Karena, suatu karya sastra tidak dapat berdiri sendiri tanpa dibangun oleh unsur lainnya. 2.6
Teori Semiotik
2.6.1
Konsep Dasar Semiotik Semiotik berasal dari kata Yunani:sameion yang berarti tanda. Semiotik adalah
model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda Endraswara (2011: 64). Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara respresentatif. Istilah semiotik
sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama, merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik maupun semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu populer. Biasanya semiotik lebih mengarah pada tradisi Saussurean. Tradisi ini diikuti ketat oleh Piercean dan selanjutnya oleh Umberto Eco. Sedangkan istilah semiologi banyak digunakan oleh Barthes. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam arti yang luas sebagai teori semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan apa manfaatnya dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda dan makna. Dengan perantaraan tanda dan makna dalam proses kehidupan manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Hal ini manusia mengadakan pemahaman lebih baik terhadap dunia kehidupannya. Dengan demikian manusia adalah homo semioticus, Janz (dalam Ratna, 2009: 97). 2.6.2
Konsep Semiotik Peirce Dalam analisis semiotik, Peirce (dalam Endraswara 2011: 65) menawarkan
sistem tanda yang harus diungkap. Menurut dia, ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu: tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai ada kaitan representasi (menghadirkan). Kedua tanda itu akan melahirkan interpretasi dibenak penerima. Hasil interpretasi ini merupakan tanda baru yang diciptakan oleh penerima pesan.
Menurut Pierce (dalam Endraswara 2011: 65) ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu: (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang di foto atau peta dengan wilayah geografisnya; (2) indeks yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Misalnya, asap menandakan adanya api, mendung menandakan akan turun hujan; (3) simbol yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbriter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misalnya, bendera putih sebagai simbol ada kematian.