16
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Proses penelitian apa pun bentuknya, secara ilmiah adalah untuk dapat memecahkan permasalahan yang diangkat. Namun tidak semudah dibayangkan, karena proses penelitian tanpa pengetahuan teoritis, maka bagaikan berjalan tanpa tujuan. Oleh karena itu, penelitian harus berangkat pula dari berbagai teori sebagai penuntun perjalanan dalam proses penelitian. Namun, teori-teori yang dipergunakan adalah teori yang ada relevansinya dengan variabel-variabel yang hendak diteliti, sehingga teori-teori itu dianggap sebagai landasan untuk melakukan proses penelitian. Teori-teori yang dipergunakan sebagai pedoman penentu arah proses penelitian, dianggap sebagai landasan teori. Sehubungan dengan arah penelitian yang fokus pada variabel yang hendak dianalisis, maka dalam penelitian ini teori-teori yang hendak dipergunakan adalah teori-teori tentang: sumber pendapatan daerah, retribusi daerah, pelayanan parkir, efektivitas, efisiensi, pendapatan asli daerah (PAD) dan potensi. 2.1.1 Sumber Pendapatan Daerah Berdasarkan ketentuan pasal 5, pasal 6 dan pasal 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bahwa sumber penerimaan daerah terdiri dari:
1) Pendapatan Asli Daerah, bersumber dari: (a) Pajak Daerah (b) Retribusi Daerah
17
(c) Hasil perusahaan milik daerah pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan (d) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 2) Dana Perimbangan terdiri dari: (a) Dana Bagi Hasil (b) Dana Alokasi Umum dan (c) Dana Alokasi Khusus 3) Lain-lain Pendapatan Dari sumber penerimaan daerah tersebut diatas, faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi Pendapatan Asli Daerah, sangat ditentukan oleh adanya faktor-faktor internal dan eksternal. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Faktor Internal (a) Tersedianya Dasar Hukum atau Peraturan Perundang-undangan sebagai kebijakan pemerintah untuk pemungutan Pajak Daerah, kontribusi dapat memberikan kewenangan dan landasan yang jelas di dalam pelaksanaannya. (b) Tersedianya sumber daya aparatur yang handal dan profesional di bidang pendapatan akan memberikan dampak yang positif dalam mengembangkan dan mengelola potensi sumber pendapatan dan didukung oleh sumber daya IPTEK. Dengan sumber daya aparatur yang handal dan profesional juga akan dapat meningkatkan atau memberikan pelayanan yang terbaik sebagai pelayanan prima terhadap Wajib Pajak. (c) Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti komputerisasi sistem informasi dan peralatan yang memadai akan dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada wajib pajak.
18
2) Faktor Eksternal (a) Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi Sosial Ekonomi Daerah yang cukup stabil dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tingkat inflasi yang rendah dan pendapatan per kapita masyarakat yang cukup memadai akan memberikan dampak yang positif dalam hal pendapatan daerah, karena kondisi sosial ekonomi akan berdampak pada meningkatnya kemampuan daya beli masyarakat termasuk kewajiban membayar pelayanan parkir. (b) Adanya Perubahan Kebijakan dari Pemerintah Pusat Adanya perubahan kebijakan dari pemerintah pusat dalam bidang pendapatan, juga berpengaruh terhadap kebijakan di daerah sebagai landasan pelaksanaannya. Seperti dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2003 tentang pajak dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pelaksanaaannya Nomor 65 dan 66 tahun 2001 memerlukan perubahan kebijakan di daerah untuk mengimplementasikannya. (c) Tingkat Kesadaran Wajib Pajak Kesadaran wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya sebagai pembayar pajak yang baik akan berpengaruh terhadap kecilnya tunggakan pendapatan dan tunggakan pembayar pajak. Hal ini sangat terkait dengan masalah penegakan supermasi hukum dalam menyelenggarakan dan melaksanakan aturan hukum untuk membayar pajak. 2.1.2 Pengertian Kinerja Menurut Impres No. 7 tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, pengertian kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan,
19
visi, misi organisasi. Indra Bastian (2001a ; 329) mengatakan kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi terutama dalam perumuan skema strategis suatu organisasi. Secara umum dapat juga dikatakan bahwa kinerja keuangan merupakan prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Bastian (2001) menyatakan, bahwa kinerja dapat diukur secara kuantitatifdan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan elemen-elemen indicator kinerja. Elemen indicator kinerja terdiri dari lima elemen, yaitu : a. Indikator masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. b. Indikator keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai ddari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau nonfisik c. Indikator (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung) d. Indikator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir pelaksanaan kegiatan e. Indikator dampak (impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negative pada setiap tindakan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
2.1.3 Pengukuran Kinerja Larry D. Stout (Bastian,2001), mengemukakan pengukuran/penilian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah
20
pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produksi jasa ataupun suatu proses. Maksudnya dalah setiap kegiatan organisasi harus dapat diukur dan dinyatakan dalam visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang dihasilkan diukur berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi organisasi. Pengertian pengukuran kinerja menurut Whittaker (Bastian,2001) adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. 2.1.4 Retribusi Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 (disempurnakan menjadi UndangUndang Nomor 34 tahun 2000) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Senada dengan itu, Munawir (1998:8) mengemukakan, bahwa retribusi merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan ini bersifat ekonomis, karena siapapun yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, dia tidak dikenakan iuran itu. Harits dalam Jelantik (2005:20) mengatakan, bahwa retribusi adalah suatu pungutan sebagai pembayaran untuk jasa yang oleh Negara secara langsung diberikan kepada yang berkepentingan. Pelaksanaan pungutan retribusi daerah didasarkan oleh kontra prestasi (balas jasa) sehingga pembayarannya dapat dilakukan berulang kali, siapapun menikmati jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dapat dikenakan retribusi. Adapun yang membedakan antara pungutan retribusi dengan sumber-sumber pendapatan daerah lainnya adalah penerimaan retribusi harus dipacu terus menerus seiring dengan adanya pembangunan daerah. Menurut Harist dalan Jelantik (2005:20), sifat-sifat retribusi antara lain sebagai berikut.
21
1) Paksaan bersifat ekonomi. 2) Ada imbalan langsung kepada pembayar. 3) Walaupun memenuhi persyaratan-persyaratan formal dan material tetapi
tetap ada
alternatif untuk mau dan tidak mau membayar. 4) Retribusi merupakan pungutan yang umumnya bugeter tidak menonjol. Dalam hal-hal tertentu retribusi daerah digunakan untuk suatu tujuan tertentu, tetapi dalam banyak hal tidak lebih dari pengembalian biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat. Kaho (1997:154) mengatakan, bahwa retribusi yang diserahkan kepada daerah yang cukup memadai, baik dalam jenis maupun dalam jumlahnya, namun hasil riil yang dapat disumbangkan sektor ini bagi keuangan daerah masih sangat terbatas karena tidak semua jenis retribusi yang kini dipungut daerah memiliki prosfek positif. Ciri-ciri pokok retribusi daerah sebagai berikut. 1) Retribusi dipungut oleh daerah 2) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang
langsung
dapat ditunjuk 3) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan Sedangkan Waluyo (2006:6) mengatakan, bahwa retribusi memiliki pengertian berbeda jika dibandingkan dengan pajak. Retribusi pada umunya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi tertentu, karena pembayaran tersebut ditunjukkan semata-mata untuk mendapatkan suatu prestasi dari pemerintah. Dari pandangan-pandangan di atas menggambarkan bahwa pemerintah harus memberikan pelayanan atau jasa terlebih dahulu kepada masyarakat dan atas pelayanan yang diberikan, pemerintah berhak melakukan pungutan. Dengan kata lain, pemerintah
22
daerah tidak dapat melakukan pungutan apabila tidak menyediakan atau memberikan pelayanan tertentu terlebih dahulu. Retribusi daerah merupakan bagian dari PAD yang harus ditingkatkan penerimaannya, mengingat PAD adalah sumber yang sering dijadikan ukuran kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Berbeda dengan pajak daerah, kalau dilihat dari sudut lapangannya maka retribusi daerah masih terbuka lebar pengembangannya melalui peningkatan pelayanan, sepanjang jasa pelayanan diberikan betul-betul nyata. Jenis-jenis jasa tertentu yang dijadikan obyek Retribusi Daerah dikelompokkan kedalam tiga golongan yaitu: 1) Retribusi Jasa Umum, yaitu Retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Salah satu diantara jenis retribusi jasa umum adalah retribusi pelayanan parkir. 2) Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 3) Retribusi Perijinan tertentu, yaitu obyek retribusi perijinan tertentu ini adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan atau ketertiban umum, misalnya retribusi ijin mendirikan bangunan, ijin proyek dan ijin usaha.
23
Jenis-jenis retribusi daerah yang ada di Kota Denpasar berjumlah 13 yang terdiri dari: 1) Retribusi Pelayanan Kesehatan 2) Retribusi Pelayanan Persampahan 3) Retribusi Penggantian Biaya KTP dan Akte Capil 4) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum 5) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 6) Retribusi Jasa Usaha Terminal 7) Retribusi Jasa Usaha Rumah Potong Hewan 8) Retribusi Ijin Mendirikan bangunan 9) Retribusi Ijin Gangguan 10) Retribusi Usaha Perikanan 11) Setoran Lahan BPP 12) Retribusi SIUP, SIUP MB, IUI, TDP 2.1.5 Pelayanan dan Retribusi Parkir Pada mulanya pemukiman penduduk tidak memerlukan adanya pelayanan parkir yang ditangani secara khusus oleh Pemerintah Kota karena penduduk sendiri masih dapat mengatasi masalah perparkiran. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang tergolong tinggi yaitu 4019,3 jiwa/km² berdasarkan sensus pada tahun 2000. Denpasar sebagai Ibu Kota Provinsi dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan Kota Denpasar sarat dengan permasalahan kota, salah satunya
adalah
permasalahan kependudukan
yang
menyebabkan kemacetan lalu lintas dan masalah perparkiran yang menjadi beban yang harus ditanggung Pemerintahan Kota dikarenakan perkembangan jumlah penduduk dan pemukiman yang semakin pesat dengan aktivitas manusia yang lebih luas. Aktivitas-
24
aktivitas yang dilakukan oleh penduduk dan masyarakat kota menimbulkan semakin sempitnya lahan parkir. Peraturan Walikota Denpasar nomor 38 tahun 2006 tentang susunan organisasi dan tata kerja Perusahaan Daerah Parkir menyatakan parkir adalah menempatkan dengan memberhentikan untuk sementara kendaraan di tempat parkir yang telah ditentukan dengan dikenakan pembayaran. 2.1.6 Efektivitas Devas (1989:279-280) menyatakan, bahwa efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah haruslah sedemikian rupa, sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan penelitian dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya. Apabila dikaitkan dengan penerimaan retribusi pelayanan parkir maka efektivitas yang dimaksud adalah seberapa besar realisasi penerimaan berhasil mencapai target penerimaan retribusi pelayanan parkir yang seharusnya dicapai pada suatu periode tertentu. Osborne (1997:389) mengatakan, bahwa efektivitas adalah merupakan ukuran dari suatu kualitas output. Ketika kita mengukur evektivitas, kita akan menjadi tahu apakah investasi kita berguna atau tidak. Efektivitas penerimaan retribusi parkir merupakan perbandingan antara realisasi penerimaan retribusi dengan potensi yang ditetapkan guna mengetahui berhasil tidaknya pencapaian tujuan penerimaan retribusi parkir. Menurut Mardiasmo dan Mahpatih (2000:II,5) untuk menghitung evektivitas tersebut digunakan rumus sebagai berikut. Efektivita s
Realisasi Penerimaan Retribusi x 100 % ..................................... (2.1) Target Penerimaan Retribusi
25
Berikut disampaikan pedoman kriteria penilaian efektivitas penerimaan retribusi pelayanan parkir diukur dengan menggunakan kriteria skala interval sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.7. Tabel 1.7 Kriteria Efektivitas Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Efektivitas Penerimaan Retribusi Parkir (%) Diatas 100 90-100 80-89 60-79 Kurang dari 60 Sumber : Fisipol UGM, 1991
Kriteria Efektivitas Penerimaan Retribusi Parkir Sangat efektif Efektif Cukup efektif Kurang efektif Tidak efektif
2.1.7 Efisiensi Osborne (1997:389) mengatakan, bahwa efisiensi adalah ukuran berapa banyak biaya untuk masing-masing unit output. Ketika kita mengukur efisiensi, kita tahu berapa banyak biaya yang kita tanggung untuk mencapai hasil tertentu. Beberapa cara untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan meningkatkan output dengan input yang sama, atau dengan output dengan proporsi yang besar dengan kenaikan input yang proporsional atau juga dengan menurunkan input dengan proporsi yang besar dan menurunkan output secara proporsional. Menurut Mardiasmo dan Mahpatih (2000:II,5) untuk menghitung efisiensi tersebut digunakan rumus sebagai berikut. Efisiensi
Biaya Pengelolaa n Pelayanan Parkir X100% ..................... (2.2) Realisasi Penerimaan Retribusi
Berikut pedoman kriteria efisiensi biaya pengelolaan pelayanan parkir diukur dengan skala interval sebagaimana nampak pada Tabel 1.8. Tabel 1.8 Kriteria Efisiensi Pengelolaan Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir
26
Efisiensi Pengelolaan Penerimaan Retribusi Parkir (%) Diatas 100 90-100 80-89 60-79 Kurang dari 60 Sumber : Fisipol UGM, 1991
Kriteria Efisiensi Pengelolaan Penerimaan Retribusi Parkir Tidak efisien Kurang efisien Cukup efisien Efisien Sangat efisien
2.1.8 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Junto UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah serta sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah menurut undang-undang tersebut terdiri dari: 1) Hasil Pajak Daerah Hasil Pajak Daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada semua obyek seperti orang / badan, benda bergerak/tidak bergerak.
2) Hasil Retribusi Daerah Hasil retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata. 3) Hasil Pengelolaan Kekayaaan Daerah yang dipisahkan Yang dimaksud dengan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain bagian laba dari BUMN, hasil kerjasama dengan pihak ketiga. 4) Lain-lain PAD yang sah
27
Yang dimaksud dengan nilai-nilai PAD yang sah antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah. 2.1.9 Potensi Penerimaan Daerah Potensi merupakan kemampuan dan kesanggupan untuk menghasilkan penerimaan dalam keadaan seratus persen. Kemampuan itu terdiri dari ability (kecakapan, bakat dan kemampuan), capability (kesanggupan), competence (kecakapan, kemampuan dan wewenang), capacity (cakap, daya muat/tampung, daya tahan dan kekuatan), aptitude (keahlian), skill (kepandaian) dan talent (bakat, pembawaan). Potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah guna menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel-variabel ”yang dapat dikendalikan” (yaitu variabel kebijakan dan kelembagaan) dan ”yang tidak dapat dikendalikan” (yaitu variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumbersumber penerimaan daerah (Mardiasmo dan Mahpatih, 2000:8). Untuk menghitung besarnya rasio pertumbuhan setiap jenis retribusi, menurut Widodo (1990 : 22) dipergunakan rumus sebagai berikut:
i
GXi ................................................................................................... (2.3) GXT
Dimana : α GXi GXT i
= Koefisien pertumbuhan suatu jenis PAD = Tingkat pertumbuhan suatu jenis PAD = Rata-rata pertumbuhan suatu jenis PAD = Suatu jenis retribusi
28
Sedangkan untuk menghitung rasio kontribusi setiap jenis retribusi parkir terhadap retribusi parkir, menurut Widodo (1999 : 22) digunakan rumus sebagai berikut :
i
Si ....................................................................................................... (2.4) ST
Dimana : β Si ST i
= Koefisien pertumbuhan suatu jenis PAD = Kontribusi suatu jenis PAD = Rata-rata pertumbuhan suatu jenis PAD = Suatu jenis pretribusi
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Sebagai acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2004) dengan judul ”Analisis Potensi dan Efektivitas Retribusi Pasar di Kabupaten Gianyar” . Penelitian ini dilakukan pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Gianyar. Permasalahan yang diangkat adalah berapakah besarnya nilai potensi retribusi pasar pada tahun 2004 di Kabupaten Gianyar dan bagaimanakah tingkat efektivitas penerimaan retribusi pasar selama tahun 2004 sampai tri wulan dua di Kabupaten Gianyar. Variabel penelitian yang digunakan adalah potensi, efektivitas dan efisiensi. Kesimpulannya bahwa potensi retribusi pasar dengan metode sistematis hasil perhitungannya lebih besar dibandingkan dengan metode agregatif, tingkat efektivitas penerimaan retribusi pasar berdasarkan target yang ditetapkan dengan perhitungan metode agregatif berada pada kualifikasi kinerja sangat berhasil sedangkan berdasarkan perhitungan metode sistematis berada pada kualifikasi pasar berdasarkan target yang ditetapkan dengan metode agregatif dapat menyebabkan penilaian kinerja yang berbeda dengan fakta yang ada. Persamaan penelitian ini sama-sama menjadikan retribusi daerah
29
sebagai pokok kajian dalam pembahasannya. Perbedaannya adalah terletak pada lokasi, waktu penelitian dan teknik analisis yang dipergunakan. Penelitian lainnya adalah Suyatna (2003) dengan judul Potensi Pendapatan Daerah Kabupaten Badung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi sumbersumber PAD di Kabupaten Badung. Analisis ynag digunakan adalah deskriptif komparatif dan statiska, dengan hasil adalah pajak daerah menunjukkan klasifikasi prima dalam sebelas tahun terakhir, sumber-sumber PAD menunjukkan trend positif dan derajat kemandirian fiskal Kabupaten Badung cukup tinggi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel yang di analisis, tempat penelitian dan tahun penelitian. Terdapat persamaan pada alat analisis yang digunakan, meskipun secara keseluruhan tidak persis sama.
Jadi sepanjang yang penulis ketahui bahwa terhadap penelitian ini belum
ditemukan keadaan yang menunjukkan persamaan secara persis.