BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan tentang desa tertuju pada posisi strategis desa sebagai satuan tata pemerintahan terendah, yang selama ini menjadi ujung tombak bagi pelayanan masyarakat. Dalam buku induk kode dan data wilayah administrasi pemerintahan per provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan seluruh Indonesia akhir tahun 2012 yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri tercatat jumlah desa mencapai 72.944. Sekitar hampir setengahnya (32 ribu desa) merupakan desa yang masuk dalam kategori membutuhkan perhatian khusus1. Dibandingkan jumlah kelurahan di Indonesia yang hanya berjumlah 8.309 di tahun 2012, jelaslah bahwa kajian tentang desa menjadi persoalan menarik2. Prosesi sejarah pengaturan desa, kedudukan, dan kewenangannya sebagai satuan tata pemerintahan sangatlah panjang. Pada zaman pemerintah Belanda, dikeluarkan aturan Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) yang mengatur desa di Jawa dan Madura; serta Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewsten (IGOB) untuk mengatur desa di luar Jawa dan Madura. IGO dan IGOB inilah yang menjadikan bentuk dan corak desa beraneka ragam dengan memiliki ciri-ciri tersendiri3. Kemudian muncul penyeragaman nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa ketika dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1979. 1
http://setkab.go.id/artikel‐12385‐pembangunan‐partisipatif‐melalui‐uu‐desa.html. Diakses tanggal 28 Juni 2014 2 http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2013/05/28/b/u/buku_induk_kode_data_da n_wilayah_2013.pdf. Diakses tanggal 30 Juni 2014 3 http://www.temanggungkab.go.id/sot.php?mnid=131. Diakses tanggal 10 April 2014
1
Undang-undang ini menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara, dimana pemerintahan ada di pusat tetapi dilaksanakan di daerah. Kewenangan desa tidak disebutkan secara jelas hanya dinyatakan bahwa kewenangan, hak-hak, dan kewajiban desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Desa saat itu tidak memiliki hak pengaturan di bidang hak ulayat atau hak wilayah, karena kedudukannya sebagai pemerintahan terendah dibawah kekuasaan kecamatan. Sehingga tidak leluasa mengatur dan mengelola wilayahnya sendiri. Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan desa adalah kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul, kewenangan yang oleh peraturan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta tugas pembantuan dari Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah. Undang-undang ini mengarah ke otonomi desa tetapi tidak memberikan kewenangan kepada Bupati untuk mengatur desa karena yang memberikan
desentralisasi
adalah
negara
bukan
kabupaten.
Sedangkan saat ini kewenangan desa berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Sementara itu, sumber pendapatan desa yang diperoleh dari Pendapatan Asli Desa, Bantuan Pemerintah dan lain-lain pendapatan yang sah cenderung tidak seimbang proporsinya. Dari beberapa sumber pendapatan desa tersebut, sumber yang paling besar berasal dari bantuan Pemerintah dan bantuan Pemerintah
2
Daerah,
maka
pemerintah
desa
mulai
menggantungkan
pembiayaan
penyelengaraan pemerintahan dan pembangunannya melalui dana bantuan dari Pemerintah tersebut. Keberadaan sumber-sumber pendapatan desa ini merupakan awal ketergantungan dari segi pembiayaan, karena sumber-sumber pendapatan asli desa sangat tidak memadai hasilnya, sedangkan sumber-sumber lainnya telah dikenai pajak dan retribusi oleh Pemerintah diatasnya, sehingga desa hanya menikmati hasil pembagian dari pajak dan retribusi tersebut. Hasilnya pun tidak seberapa besar apabila dibandingkan dengan bantuan yang rutin yang diberikan oleh pemerintah4. Pun dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mempersyaratkan adanya perimbangan keuangan kepada desa yang diperoleh dari dana perimbangan Pusat kepada Pemda. Kebijakan yang kemudian disebut dengan desentralisasi fiskal masih saja menimbulkan
ketergantungan
Pemda
terhadap
Pemerintah
Pusat.
Dana
perimbangan untuk desa diambil dari 10% dana perimbangan yang diberikan APBN kepada Pemda yang kemudian disebut Alokasi Dana Desa (ADD). Tujuan pemberian ADD adalah wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri berdasarkan keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan peran Pemerintah Desa dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memacu percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis. 4
http://blog‐fatmamelia.blogspot.com/2012/03/perbedaan‐uu‐no‐5‐tahun‐1979uu‐no‐22.html. Diakses tanggal 30 Juni 2014
3
Namun dana perimbangan yang diberikan kepada Desa senyatanya dalam APBN 2013 dari 1.600 Triliun total anggaran, hanya 2,6% yang diberikan kepada Desa. Dengan jumlah 72.944 desa dialokasikan 42 Triliun dari total APBN. Sejumlah 32 triliun dialokasikan tidak langsung ke desa, sementara sisanya (10 triliun) dialokasikan langsung melalui PNPM. Dana perimbangan yang minim ini masih berpotensi terhadap alokasi program yang salah sasaran dan tidak memberdayakan masyarakat. Permasalahan pemberian ADD kepada desa cenderung mengalami banyak persoalan. Mulai dari kapasitas pengelolaan keuangan aparatur desa sebagai pelaksana kebijakan yang masih rendah, kompetensi teknis SDM yang kurang sehingga memerlukan banyak waktu untuk dilakukan pembinaan terus menerus, tidak tepatnya pencapaian sasaran dan program akibat kurangnya sosialisasi kepada warga hingga partisipasi masyarakat rendah hingga pada tindakan koruptif yang dilakukan oleh aparatur desa. Pemberian ADD juga berimplikasi pada meningkatnya ketergantungan pemerintah desa dalam hal kemandirian keuangan. Desa kurang produktif dalam memanfaatkan potensi dan aset yang dimiliki. Padahal pengelolaan potensi desa yang baik akan meningkatkan PADes. Pengelolaan potensi desa oleh masyarakat, menurut Tjokrowinoto (dalam Darmawan, 2004:87) merupakan salah satu ciri pemberdayaan ( empowering ), diantaranya : (1) prakarsa desa, (2) pemecahan masalah, (3) proses desain program dan teknologi bersifat asli/alamiah, (4) sumber utama adalah rakyat dan sumber daya lokal, (5) organisasi pendukung dibina dari bawah, (6) pembinaan personil berkesinambungan, berdasarkan pengalaman lapangan belajar dari
4
kegiatan lapangan dan (7) fokus manajemen adalah kelangsungan dan berfungsinya sistem kelembagaan. Terkait dengan pengelolaan potensi desa dan pemberdayaan masyarakat desa
seperti
yang
dikemukakan
oleh
Tjokrowinoto,
telah
diupayakan
pembentukkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang merupakan salah satu keputusan desa strategis menyangkut perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa. Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Konsep pembentukkan BUMDes dilatarbelakangi oleh resolusi PBB tentang The International Year of Mikrocredit 2005 yang kemudian diadopsi oleh pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang pelaksanaannya sejalan dengan UndangUndang No. 32 tahun 2004. Pemerintah berusaha mendorong agar Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi (LKM B3K) yang tersebar di desa dapat mentransformasi menjadi BUMDes. Dengan melihat jumlah LKM sebanyak 61.400 lembaga, dapat memilki kekuatan legalitas untuk memberi bantuan modal usaha bagi masyarakat desa. Selain dapat membantu warga untuk memperoleh modal usaha, keberadaan BUMDes sangat menunjang bagi struktur Pendapatan Asli Desa (PADesa). Pendapatan Asli Desa (PADesa) yang terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, serta lain-lain
5
pendapatan asli desa yang sah merupakan sumber pendapatan desa yang diperlukan
untuk
memperkuat
keuangan
desa
dalam
pengelolaan
dan
pembangunan desa. Harapan inilah yang senyatanya diupayakan oleh pemerintah dalam membangun masyarakat desa. Sebagaimana dikemukakan oleh Soetomo (2011:34) pembangunan masyarakat mengandung empat unsur yakni 1) pembangunan masyarakat merupakan proses perubahan, 2) pembangunan masyarakat proses semakin terciptanya hubungan yang harmonis antara kebutuhan masyarakat, dengan potensi sumber daya dan peluang, 3) pembangunan masyarakat merupakan proses peningkatan kapasitas masyarakat untuk merespon berbagai persoalan yang berkembang, dan 4) pembangunan masyarakat merupakan proses yang multi dimensi. Terkait dengan pengelolaan potensi dan peningkatan kapasitas masyarakat, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur BUMDes sebagaimana dinyatakan pada Pasal 213 ayat (1) bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Badan usaha yang didirikan di desa merupakan milik bersama antara pemerintah desa dan masyarakat (bersifat komunal), bukan dimiliki oleh orang perorangan atau pribadi. Oleh karena itu, BUMDes mengutamakan unsur kebersamaan dalam menjalankan usaha, sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat pedesaan yang umumnya memiliki kultur gotong royong, rasa sosial yang tinggi, solidaritas dan kekeluargaan. Makna potensi desa adalah pada permintaan dari produk (barang atau jasa) yang akan ditawarkan melalui BUMDes dengan mengedepankan pendekatan pasar atau jumlah permintaan, dari pada menciptakan pasar baru atau melihat dari
6
sisi penawaran karena risikonya sangat besar. Mengingat BUMDes dikelola oleh kelompok masyarakat yang masih minim pengalaman
dalam mencari
keuntungan bisnis. Sehingga informasi pasar yang akurat berdasar peluang sangat diperlukan dengan tetap berbasis pada ketersediaan sumber daya desa yang ada. Pendirian BUMDes meski inisiatif berasal dari masyarakat lokal, tidak melepaskan tanggung jawab dari pemerintah daerah. Hal ini dapat dipahami karena pendirian BUMDes merupakan lembaga baru yang belum banyak dikenal masyarakat desa, manajemen bisnis yang mulai memikirkan profit, dan pengelola yang mungkin saja belum memahami operasional kerjanya. Oleh sebab itu, diperlukan intervensi pemerintah daerah melalui sosialisasi maupun dana stimulan sebagai tahap awal pembelajaran. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah diatur bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUMDes dengan : a) memberikan hibah dan/atau akses permodalan; b) melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan c) memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa. Namun bukan perkara mudah bagi Pemerintah dan masyarakat desa untuk menggiatkan BUMDes. Kenyataannya dalam Police Paper Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) yang ditulis oleh Yunanto dkk (2014:3-4) menjelaskan ada sejumlah kelemahan yang secara inheren ada pada BUMDes, yaitu: 1. Penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum dilembagakan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa.
7
2. Keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik. 3. Rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa. 4. Belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerjasama antar pihak terkait untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan. 5. Kurangnya responsivitas Pemda untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah melalui Kepmendagri 39/2010 tentang BUMDes mengatur kekuatan
hukum
dan
pengelolaan
BUMDes
menjadi
semangat
untuk
menggerakkan perekonomian desa melalui revitalisasi BUMDes. Pembenahanpembenahan manajemen dan kapasitas SDM diperlukan agar BUMDes dapat berperan optimal dalam upaya peningkatan pendapatan desa. Terlebih lagi dengan pola pembangunan kawasan oleh Pemerintah yang masih bersifat ”urban bias” lama kelamaan akan mengikis kemauan untuk mengeksplorasi potensi yang ada di desa. Sehingga berakibat pada stagnasi perekonomian desa. Hingga saat ini sesunguhnya dibeberapa daerah telah mengembangkan BUMDes. BUMDes banyak diberi kesempatan untuk mengelola aset desa seperti: pasar, kawasan pariwisata, air bersih, dan listrik perdesaan. Pengusaha (swasta dan BUMN) juga banyak yang menjadikan BUMDes sebagai mitra strategis dalam pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility) atau PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan). Namun gaung ini ternyata belum begitu
8
disambut secara baik oleh masyarakat desa karena banyak diantaranya yang seolah tidak dan kurang berkembang. Padahal mengingat banyak kantung-kantung kemiskinan yang terdapat di kawasan pedesaan. Menurut data BPS, pada bulan September 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,55 juta orang (11,47 persen), bertambah sebanyak 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang sebanyak 28,07 juta orang (11,37 persen). Khusus untuk jumlah penduduk miskin di pedesaan naik dari 17,74 juta orang di bulan Maret 2013 menjadi 17,92 juta di bulan September 2013. Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami angka kemiskinan tinggi dengan komposisi masyarakat pedesaan adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terlebih di Kabupaten Gunungkidul. Kemiskinan merupakan permasalahan yang masih menjadi pekerjaan besar bagi Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta
dan
secara
khusus
bagi
Pemerintah
Kabupaten
Gunungkidul. Proporsi penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011 (data Susenas 2011) mencapai 16,14% diatas rata-rata nasional yang “hanya” sebesar 12,94%.
Untuk proporsi penduduk miskin di Kabupaten
Gunungkidul mencapai 23,03%. Angka kemiskinan tersebut menempatkan DIY pada urutan nomor 1 di Pulau Jawa dan nomor 24 secara nasional pada peringkat tahun 2012 berdasarkan tingginya angka kemiskinan5. Berikut data mengenai
5
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.2014. Laporan Penyaluran Bantuan Keuangan Khusus Dari Pemerintah DIY Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013
9
perbandingan jumlah penduduk miskin dan garis kemiskinan Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2011-20126. Tabel.1.1. Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta Kabupaten/Kota
September 2011 Garis Kemiskinan (Rp/kap/bulan -
September 2012
Penduduk Miskin Jumlah
Garis Kemiskinan (Rp/kap/bulan -
Penduduk Miskin Jumlah
%
%
(000)
(000)
1. Kulonprogo
240.301
92,8
23,62
256.575
92,4
23,32
2. Bantul
264.546
159,4
17,28
284.923
158,8
16,97
3. Gunungkidul
220.479
157,1
23,03
238.438
156,5
22,72
4. Sleman
267.107
117,3
10,61
288.048
116,8
10,44
5. Yogyakarta
314.311
37,7
9,62
340.324
37,6
9,38
257.909
564,3
16,14
270.110
562,1
15,88
DIY
Sumber : Susenas, Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta
Dari tabel diatas dapat kita peroleh informasi bahwa garis kemiskinan menurut pendapatan perkapita penduduk
di Kabupaten Gunungkidul paling
rendah selama tahun 2011-2012 dibanding kabupaten/kota lain di Provinsi Yogyakarta. Namun jumlah penduduk miskin berada pada posisi kedua setelah Kabupaten Bantul. Tingginya angka kemiskinan tersebut membebani upaya untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY dan secara nyata menjadi indikator untuk mengubah kebijakan pembangunan di DIY agar lebih efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul berimbas pada rendahnya Indeks Pembangunan 6
http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=site/page&view=sosduk.tabel.4‐5‐28. Diakses tanggal 12 Juli 2014
10
Manusia. IPM tahun 2011 di Kabupaten Gunungkidul menempati urutan terendah untuk semua komponen sehingga menyebabkan peringkat IPM Kabupaten/Kota seluruh Indonesia di posisi 285. Ketimpangan peringkat ini sangat jauh dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta. Berikut data mengenai IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Yogyakarta tahun 20117 : Tabel. 1.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut Komponen dan Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta 2011 Kabupaten/Kota
Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata Lama Sekolah
Pengeluaran Riil per kapita yg disesuaikan
IPM
Peringkat IPM
1. Kulonprogo
74,38
90,69
8,2
630,38
74,49
106
2. Bantul
71,31
91,03
8,82
646,08
74,53
107
3. Gunungkidul
70,97
84,66
7,65
625,2
70,45
285
4. Sleman
75,06
92,61
10,3
647,84
78,2
14
5. Yogyakarta
73,44
98,03
11,48
649,71
79,52
1
73,22
90,84
9,07
646,56
75,77
4
DIY
Berdasarkan beberapa data kemiskinan dan pembangunan manusia tersebut, program pemberdayaan masyarakat yang melatih kemandirian berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat mutlak dibutuhkan. Cita-cita ini hanya bisa diwujudkan dengan menggali potensi lokal dan partisipasi seluruh warga. Sebagaimana dijelaskan oleh Kartasasmita dalam Zubaedi (2007:103) bahwa upaya pemberdayaan harus dilakukan dengan menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat ( empowering) dan perlindungan terhadap praktik eksploitasi dan persaingan tidak sehat. Sementara itu, menurut Waterston dalam 7
Ibid.
11
Usman ( 1998 : 45 ) pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa memiliki elemen dasar yakni mengutamakan pembangunan pertanian dengan padat karya, memperluas kesempatan kerja, intensifikasi tenaga kerja dengan mengembangkan industri kecil di pedesaan, mandiri dan meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, mengembangkan daerah perkotaan yang memberi daya dukung pembangunan pedesaan, serta membangun kelembagaan yang mampu melakukan koordinasi proyek multisector. Potensi alam yang memiliki peluang besar menarik pendapatan di Kabupaten Gunungkidul adalah sektor pariwisata. Hingga akhir Oktober, tercatat retribusi tempat rekreasi menyumbang pendapatan asli daerah Rp.12,5 M dan diperkiran akan terus naik hingga akhir tahun mencapai 13 M lebih8. Jumlah ini melampaui target PAD dari sektor pariwisata yang diperkirakan sebesar 7,6 M9. Tercatat ada sekitar 67 lebih obyek wisata yang berada di Kabupaten Gunungkidul dengan menjual keindahan pantai, gua, pegunungan dan desa wisata. Pengelolaan potensi wisata tersebut sebagian besar telah dikelola oleh masyarakat secara mandiri, dimana salah satu lembaga yang mewadahi aktivitas pariwisata ialah BUMDes10. Di Kabupaten Gunungkidul jumlah BUMDes hanya ada 27 BUMDes dari total 144 Desa. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul terus berupaya mendorong pembentukkan BUMDes mengingat peran BUMDes yang strategis dalam membantu mengurangi tingkat kemiskinan. Terlebih memahami kondisi wilayah 8
http://www.koran‐sindo.com/read/920713/151/gunungkidul‐optimistis‐raup‐rp13‐miliar‐dari‐ retribusi‐wisata. Diakses tanggal 17 November 2014 9 http://bisniswisata.co/view/kanal/?open=1&alias=berita&id=6252. PAD Pariwisata Gunungkidul Capai 8,454 M. Diakses tanggal 17 November2014. 10 http://kedaisusu01.blogspot.com/2012/10/daftar‐obyek‐wisata‐di‐gunungkidul.html. Diakses tanggal 17 November 2014
12
dan masyarakat Gunungkidul yang terbatas oleh sarana prasarana dan ekonomi. Usaha ini semakin sulit karena minimnya kesadaran dari pemerintah desa dan warga untuk membentuk BUMDes baru. Salah satu BUMDes yang memilki sektor usaha yang berkembang adalah BUMDes Desa Bleberan, Kecamatan Playen. Desa Bleberan merupakan salah satu desa terpelosok di Gunungkidul. Jumlah penduduk miskin di Desa Bleberan yang mendapatkan Bantuan Keuangan Khusus dari Pemprov DI. Yogyakarta sebanyak 152 Rumah Tangga Sasaran (RTS). Jumlah ini paling banyak dibanding 13 desa lainnya di Kecamatan Playen. Namun di balik ketertinggalannya, desa ini memiliki potensi alam yang sangat menarik, seperti air terjun Sri Getuk, gua alam dan susur Sungai Oya. Bentang alam sungai berupa karst dari batu kapur memberi kesan yang sangat indah. Potensi desa inilah yang digarap oleh pemerintah desa dan warga masyarakat agar mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi desa. Hingga di tahun 2012, pengelolaan potensi wisata oleh BUMDes Desa Bleberan meraup pendapatan 1,06 miliar rupiah yang dialokasikan untuk dana stimulan dusun dan dana sosial Dari jumlah pendapatan yang diperoleh BUMDes, dialokasikan sekitar 30% untuk modal, 20% untuk pendapatan asli desa, 20% untuk pengembangan potensi, 15% pelatihan, 5% dana sosial dan 10% untuk honor pengurus. Hingga saat ini BUMDes Desa Bleberan mempunyai unit usaha (yang telah berjalan) antara lain jasa pengelolaan air bersih dan pengembangan desa wisata dengan obyek wisata air terjun Sri Gethuk dan Gua Rancang Kencono. Atas pendirian BUMDes Desa Bleberan tercatat mampu menambah Pendapatan Asli Desa. Berikut adalah perkembangan PAD dan APBDes Desa Bleberan tahun 2007-2010:
13
Tabel.1.3. Data Pendapatan BUMDes Desa Bleberan Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul Tahun 2007-2010.
Meski kontribusi BUMDes terhadap PAD Desa Bleberan mengalami kenaikan di tahun 2009, namun pencapaian ini justru mendapat respon yang kurang baik dari sejumlah warga desa. Berdasarkan liputan dari Radio Agrososro FM Gunungkidul, di awal Januari 2014 sejumlah warga melakukan protes terhadap pengelolaan BUMDes Desa Bleberan. Menurut Kepala Dusun Sawahan, Suhardi, menyatakan kekecewaan dengan pengelolaan Sri Gethuk. Warga di dusunnya tidak bisa ikut mengelola dengan alasan sudah terlalu banyak pemandu wisata. Sri Gethuk yang pengelolaannya masuk dalam Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bleberan tidak pernah ada laporan rutih tahunan dan hanya ada laporan sementara pendapatan pada 2012 lalu yang mencapai lebih dari Rp.1 miliar. Menurut Suhardi, di Bleberan ada 11 dusun tetapi yang mengelola hanya warga Dusun Menggoran Satu dan Menggoran Dua. Setiap dusun pernah diberikan uang Rp3 juta pada di pertengahan 2013.11. Protes warga ini diakui oleh pengelola BUMDes Desa Bleberan, bahwa pengelolaan potensi wisata Sri Gethuk menimbulkan kecemburuan sosial di antara warga. Sementara laporan pendapatan dan pengeluaran BUMDes tidak dapat dilaporkan kepada masyarakat secara kontinyu karena belum tertata rapi. Oleh 11
https://id‐id.facebook.com/argososrofm/posts/716965478328253. Diakses tanggal 15 Juli 2014.
14
sebab itu pemerintah desa berharap agar warga masyarakat dapat mengembangkan potensi lain yang ada di padukuhan masing-masing. Berdasarkan latar belakang permasalahan dan beberapa kajian literatur tersebut diatas, menarik untuk dapat mengkaji kapasitas BUMDes dalam mengelola potensi yang ada di desa tersebut, dengan mengambil obyek penelitian yakni BUMDes Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.
B. Rumusan Masalah Pemerintah selama ini telah menjalankan berbagai program pembangunan masyarakat pedesaan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kesejahteraan Namun hasilnya terkadang masih jauh dari harapan pemerintah dan masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya programprogram tersebut, diantaranya intervensi pemerintah yang besar sehingga menghambat daya kreativitas dan inovasi masyarakat desa. Pada akhirnya, intervensi yang besar berimplikasi pada sistem dan mekanisme kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berjalan efektif, meningkatkan ketergantungan terhadap Pemerintah dan mengurangi semangat kemandirian. Masyarakat desa Bleberan secara bersama-sama mendirikan BUMDes di tahun 2007, berawal dari ide untuk mengolah potensi wisata Air Terjun Sri Getuk dan Wisata susur Gua. Upaya ini dimaksud untuk meningkatkan nilai tambah dari potensi desa yang ada sekaligus mendorong ekonomi masyarakat desa setempat. Namun demikian keberhasilan BUMDes Desa Bleberan untuk memperoleh keuntungan bukan tanpa permasalahan. Lembaga ekonomi yang mulai berpikir
15
profit oriented namun masih dikelola oleh kelompok yang belum berpengalaman memerlukan usaha penguatan kapasitas secara berkelanjutan. Berdasarkan latar belakang diatas, maka pokok permasalahan pada penelitian ini adalah : Bagaimanakah kapasitas BUMDes dalam Pengelolaan Potensi Desa? Pokok permasalahan ini kemudian diturunkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian antara lain : 1. Bagaimanakah kapasitas organisasi BUMDes Desa Bleberan dalam pengelolaan potensi wisata desa? 2. Hambatan-hambatan apa saja yang ada dalam upaya penguatan kapasitas organisasi BUMDes Desa Bleberan? 3. Upaya atau pendekatan apa yang dapat dilakukan guna mengatasi hambatan yang muncul?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini antara lain : 1.
Mengetahui kapasitas organisasi BUMDes Desa Bleberan dalam pengelolaan potensi wisata desa.
2.
Mengetahui berbagai hambatan yang muncul dalam upaya penguatan kapasitas tersebut.
3.
Mengetahui solusi yang akan digunakan untuk mengatasi hambatan yang muncul dalam penguatan kapasitas BUMDes Desa Bleberan.
16
D. Manfaat Penelitian Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak yang berminat maupun terkait dengan kajian lembaga ekonomi alternatif di wilayah pedesaan dan pembangunan masyarakat berbasis potensi wilayah, khususnya kepada : 1.
Civitas Akademika, penelitian ini dapat memberikan wawasan dan masukan dalam hal penguatan kapasitas organisasi lokal desa.
2.
Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan terutama berkaitan dengan kebijakan pemerintahan desa, pembangunan ekonomi kawasan pedesaan berbasis potensi wilayah dan penguatan kapasitas institusi ekonomi lokal .
3.
Masyarakat, memberikan pengetahuan dan gambaran umum penguatan kapasitas lembaga ekonomi pedesaan.
E.
Tinjauan Pustaka Sebelum memilih topik penelitian mengenai penguatan kapasitas BUMDes
dalam pengelolaan potensi wisata desa, penulis melakukan tinjauan pustaka terlebih dahulu. Tinjauan pustaka bertujuan untuk memberi informasi kepada pembaca hasil penelitian lainnya yang berkaitan erat dengan dengan penelitian yang dilakukan, dan mengisi celah dalam penelitian sebelumnya. Tinjauan ini juga menyediakan kerangka kerja dan tolok ukur untuk mempertegas pentingnya penelitian yang dilakukan serta membandingkan membandingkan hasil-hasilnya dengan penemuan lain (Creswell, 2010 :40). Penulis melakukan tinjauan pustaka pada jurnal tentang kapasitas individu, masyakarat lokal dalam pariwisata, dan Badan Usaha Milik Desa/Lembaga Ekonomi Usaha Desa.
17
Kajian tentang kapasitas SDM lokal pada industri perhotelan di Kelurahan Kuta ditulis oleh Nur Abdu Rahman dan Dewi Sawitri Tjokropandojo (2014), dikatakan bahwa masyarakat memiliki peluang yang sangat besar dalam memanfaatkan kesempatan terutama dalam mendukung kebutuhan tenaga kerja pada indutri pariwisata. Namun kendala yang ditemui oleh masyarakat Kuta dalam memanfaatkan peluang tersebut, seperti adanya ketidaksesuaian antara kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri pariwisata perhotelan dengan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh rendahnya kualitas pendidikan, minimnya pengetahuan dan keterampilan di bidang industri pariwisata khususnya perhotelan, serta sikap dan perilaku atau etos kerja yang dimiliki oleh masyarakat lokal itu sendiri. Sementara sarana prasarana pariwisata di Kelurahan Kuta sudah memenuhi syarat sebagai tujuan wisata. Kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri pariwisata perhotelan di Kelurahan Kuta dilihat dari kompetensi kognitif, kompetensi fungsional dan kompetensi sosial yang dimiliki oleh calon tenaga kerja tersebut. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh,sebagian besar masyarakat lokal di Kelurahan Kuta memiliki tingkat pendidikan SMU/SMK, Begitu pula dengan kompetensi fungsional (tingkat keterampilan), rata-rata masyarakat lokal telah memiliki keahlian kerja sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri pariwisata perhotelan di Kelurahan Kuta. Sedangkan kompetensi sosial, rata- rata masyarakat lokal belum mampu memenuhi permintaan. Seluruh industri pariwisata perhotelan di Kelurahan Kuta membutuhkan calon tenaga kerja yang memiliki tingkat kompetensi sosial karena berhubungan dengan sikap atau perilaku yang dimiliki oleh tenaga kerja dalam menyelesaikan suatu pekerja.
18
Kajian
selanjutnya
mengenai
kapasitas
komunitas
lokal
dalam
pemanfaatan potensi wisata di Kawah Cibuni dilakukan oleh Andelissa Nur Imran (2012). Kapasitas komunitas yang dimiliki warga Kawah Cibuni sudah cukup mampu untuk ikut serta dalam pengembangan kawasan ekowisata di Kawah Cibuni. Mereka memiliki modal dasar yang dapat digunakan dalam membantu pengembangan ekowisata di Kawah Cibuni. Pengadaan fasilitas pendukung wisata dilakukan sendiri oleh komunitas lokal. Akan tetapi, hal ini belum didukung oleh finansial yang mencukupi. Komunitas lokal masih menggunakan dana mereka masing-masing untuk melakukan kegiatan konservasi di Kawah Cibuni. Selanjutnya,Gilang Pamungkas (2013) menulis tentang kapasitas jejaring stakeholder dalam pengelolaan ekowisata dengan studi kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Pengelolaan ekowisata membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Partisipasi pemangku kepentingan atau stakeholder erat kaitannya dengan kapasitas yang dimiliki stakeholder sebagai salah satu modal dalam pengelolaan ekowisata. Kapasitas ini khususnya adalah kapasitas pengembangan jejaring stakeholder yang mutlak dibutuhkan dalam pengelolaan ekowisata yang bersifat multisektoral. Pengukuran dilakukan melalui domain jejaring kerjasama berdasarkan Indeks Kapasitas Komunitas. Studi ini menunjukan bahwa kapasitas jejaring Stakeholder saat ini sudah memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi sumber daya dan menjalankan program pengelolaan ekowisata. Meskipun untuk menuju jejaring yang mapan dan mampu menjadi sumber daya bagi program masih memiliki kelemahan yaitu belum adanya prosedur formal untuk menjalankan program serta rasa kepemilikan dari stakeholder.
19
Kajian pemberdayaan melalui pengembangan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan wisata juga dilakukan oleh Andi Maya Purnamasari (2011). Penelitian dilakukan di Kampung Wisata Toddabojo Provinsi Sulawesi Selatan. Tantangan utama adalah belum adanya kapasitas yang cukup pada masyarakat untuk secara mandiri dapat mengelola pembangunan di daerahnya termasuk pembangunan pariwisata. Dengan produk wisata yang ditawarkan, maka arahan yang paling tepat adalah mengangkat karakter asli Kampung Toddabojo dalam strategi pengembangan produk wisatanya, dan kemudian disusun kerangka pengembangannya, sehingga kegiatan pariwisata di Kampung Toddabojo dapat menjadi bentuk pariwisata yang berkelanjutan. Untuk mendukung hal tersebut peningkatan kualitas masyarakat harus menjadi perhatian utama, agar masyarakat mampu menciptakan produk-produk kepariwisataan yang mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif di pasar internasional sehingga mampu meningkatkan dan mewadahi potensi masyarakat dan potensi pariwisata di Kampung Toddabojo untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang selama ini mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian. Sementara itu, penelitian terhadap kapasitas lembaga usaha ekonomi desa dilakukan oleh Ridwan Hamidi dan Zulkarnaini. Hasil pengembangan kapasitas lembaga usaha ekonomi desa simpan pinjam (UED-SP) Desa Muara Musu, Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu dalam upaya penanggulangan kemiskinan belum memadai. Kondisi ini disebabkan penyaluran dana usaha desa (DUD) belum tepat sasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas lembaga UED SP adalah masih rendahnya kemampuan dan pemamhaman pengelola terhadap program UED SP baik secara implementasi maupun secara teknis
20
administrasi. Hal ini dipengaruhi belum optimalnya pembinaan yang dilakukan oleh unsur penyelenggara program. Penelitian lain terhadap BUMDes dilakukan oleh Coristya Berlian,R.dkk dengan topik “Keberadaan BUMDes sebagai Penguatan Ekonomi Desa”. Keberadaan BUMDes sudah sesuai dengan perda Kabupaten Malang yang kemudian diatur oleh desa dengan peraturan desa mengenai Badan Usaha Milik Desa. Akan tetapi semua bidang usaha tidak berjalan dan tidak dapat menyokong pendapatan desa disebabkan akses permodalan yang tidak lancar. Kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak terlaksana dengan baik. Sehingga eksistensi BUMDes di Desa Landungsari, Kecamatan Dau Kabupaten Malang tidak dapat dikatakan memdukung ekonomi desa. Secara umum, hasil penelitian yang ditulis dalam jurnal mengenai topik kapasitas masyarakat lokal belum mencerminkan kapasitas masyarakat/komunitas yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan indikator yang dipakai sifatnya individual dan belum mengukur kapasitas masyarakat yang sesungguhnya. Selain itu, peran dari lembaga desa yang mengkoordinir berbagai individu masyarakat tidak dibahas. Penilaian terhadap kapasitas dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh. Padahal penguatan kapasitas merupakan suatu proses yang memiliki keterkaitan dengan berbagai unsur internal dan eksternal organisasi. Sementara pada jurnal yang membahas mengenai peran lembaga ekonomi desa, tidak membahas
secara
BUMDes/Lembaga
mendalam Usaha
mengenai
Ekonomi
Desa
penyebab terhadap
kegagalan
penguatan
dari
ekonomi
masyarakat desa.
21
Tesis ini berusaha untuk melengkapi kekurangan dari beberapa jurnal yang membahas mengenai penguatan kapasitas BUMDes dalam pengelolaan potensi desa. Penilaian kapasitas masyarakat lokal melalui organisasi desa BUMDes akan dijelaskan dari tiga tingkatan yakni level sistem, organisasional dan individual. Hal ini bertujuan agar bahasan kapasitas BUMDes khususnya di Desa Bleberan dapat digambarkan secara komprehensif dan menunjukkan kepada pembaca bahwa penguatan kapasitas memiliki keterkaitan antar beberapa level. Analisis level dalam penguatan kapasitas BUMDes Desa Bleberan ini juga menggunakan indikator yang yang tidak hanya berasal dari internal organisasi namun juga indikator eksternal organisasi. Bagian akhir dari tesis ini akan ditutup dengan sebuah bahasan mengenai dinamika penguatan kapasitas BUMDes Desa Bleberan terhadap penguatan ekonomi masyarakat desa dilihat dari peran aktor dalam BUMDes, potensi konflik, dukungan nilai-nilai lokal, keberlanjutan usaha BUMDes, dan sinergitas serta urgensi penguatan kapasitas BUMDes Desa Bleberan. Dengan demikian, harapan penulis bagi pembaca adalah memperoleh penjelasan dan penilaian mengenai penting atau tidaknya keberadaan BUMDes bagi pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat desa.
22