BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup memiliki kebutuhan, tidak terkecuali manusia. Menurut Asmadi (2008), kebutuhan setiap individu berbeda-beda, namun pada dasarnya mempunyai kebutuhan dasar atau kebutuhan pokok yang sama. Kebutuhan pokok tersebut harus dipenuhi karena sifatnya yang manusiawi dan merupakan syarat untuk mempertahankan kehidupan. Menurut Maslow (dalam Supratiknya, 1993), manusia memiliki lima hirarki kebutuhan pokok, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan untuk merasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk merasa aman berhubungan dengan perlindungan (asuransi, hukum, undang-undang, dan sebagainya), situasi yang dapat diprediksi, serta bebas dari rasa takut ataupun cemas. Kebutuhan mencintai dan dicintai adalah kebutuhan individu untuk merasa akrab dan mesra dengan individu lain, yaitu keluarga, sahabat, serta pasangan hidup. Kebutuhan harga diri berhubungan dengan kemandirian, percaya diri, penghargaan dari orang lain, kebanggaan, dan mendapat apresiasi dari orang lain. Kebutuhan di tingkat tertinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri yang berhubungan dengan kesempurnaan, keseluruhan, kekayaan, kebenaran, kebaikan, dan sebagainya. Namun, Asmadi (2008) mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah kebutuhan fisiologis, misalnya: sandang, pangan, papan, seks, dan udara. Kebutuhan fisiologis bersifat mendesak dan harus menjadi prioritas
utama untuk menjaga homeostasis biologis (mekanisme pengaturan keseimbangan dalam tubuh makhluk hidup). Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, individu yang bersangkutan akan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri. Sebagai contoh, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makan akan merasa kelaparan, kondisi tersebut mengganggu aktifitas dan kesehatan tubuh individu, sehingga tidak dapat melakukan suatu usaha untuk mendapatkan kebutuhan lain, seperti keamanan. Pentingnya memenuhi kebutuhan fisiologis membuka peluang bagi para pengusaha di bidang ritel. Usaha ritel adalah segala aktifitas yang melibatkan proses menjual barang ataupun jasa dalam jumlah kecil ataupun satuan secara langsung kepada konsumen (Londhe, 2006). Menurut Sugiharti (2011), industri ritel di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu ritel tradisional dan ritel modern. Ritel tradisional adalah usaha yang dikelola secara perorangan dan dalam skala kecil atau menengah, misalnya: warung, pedagang kaki lima, dan minimarket. Sedangkan ritel modern adalah usaha yang dikelola oleh organisasi atau lebih dari satu individu. Ritel modern merupakan pengembangan dari ritel tradisional yang mengikuti perkembangan ekonomi masyarakat, teknologi, dan gaya hidup masyarakat yang menuntut kenyamanan saat berbelanja. Ritel modern terdiri dari: department store, supermarket, dan hypermarket. Ritel modern berkembang sangat pesat sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai bisnis ritel dan penanaman modal asing yang ditulis dalam Keppres no. 96 tahun 1998. Di kota-kota besar seperti Jakarta, industri ritel mengembangkan tempat berbelanja yang memberi nilai tambah berupa hiburan
dan kenyamanan, yaitu mal. Mal merupakan suatu tempat berkumpulnya para pengusaha ritel yang memiliki fungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhankebutuhan individu maupun keluarga (Ma’aruf, 2005). Tambunan (2005) mengatakan bahwa secara umum, kaum wanita maupun pria mengunjungi pusat perbelanjaan paling tidak sebulan sekali untuk melakukan aktifitas berbelanja guna memenuhi kebutuhan fisiologis. Huddleston dan Minahan (2011) mengatakan bahwa aktifitas berbelanja tersebut merupakan utilitarian shopping, dimana individu melakukan aktifitas berbelanja untuk mendapatkan produk yang dibutuhkan, dan biasanya dengan perencanaan tentang barang apa yang akan dibelinya, jumlah, anggaran, tempat pembelian, dan lain sebagainya. Namun, Park dan Burns (2005) mengatakan bahwa ada kalanya proses pembelian dilakukan secara spontan oleh konsumen karena ketertarikannya terhadap suatu barang atau jasa, sehingga konsumen tersebut melakukan pembelian pada barang atau jasa yang bersangkutan. Kotler (dalam Semuel, 2007) menambahkan bahwa masyarakat jaman sekarang mengalami perubahan dalam pola berbelanja. Individu melakukan aktifitas berbelanja bukan lagi karena faktor kebutuhan yang bersifat wajib untuk dipenuhi, tetapi untuk memuaskan keinginan. Keinginan merupakan hasrat yang muncul dari dalam diri, namun tidak akan mempengaruhi kelangsungan hidup jika tidak terpenuhi (Andari, 2012). Pola berbelanja seperti itu disebut sebagai hedonic shopping atau recreational shopping (Huddleston dan Minahan, 2011). Individu yang melakukan aktifitas berbelanja tersebut bertujuan untuk merasakan fantasi, dimana individu tersebut membutuhkan pelayanan yang sangat memuaskan, serta
kenikmatan emosional, seperti membelanjakan uangnya untuk identitas diri dan aktualisasi diri (Huddleston dan Minahan, 2011). Menurut Verplanken dan Herabadi (2001), hedonic shopping banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Hedonic shopping terjadi minimal empat kali setahun, yaitu menjelang Bulan Ramadhan atau Idul Fitri, Imlek, Natal, dan Tahun Baru. Menjelang hari-hari tersebut, publikasi diskon dan layanan khusus akan meningkatkan keinginan individu untuk berbelanja, baik pakaian, makanan, ataupun aksesoris penghias ruangan. Pada dasarnya, perayaan keagamaan bertujuan untuk mengarahkan hidup individu agar lebih religius, namun terjadi pergeseran dari makna perayaan tersebut. Individu terdorong untuk melakukan pembelian dengan tujuan untuk mengikuti perkembangan mode, menaikan derajat sosial, dan alasan-alasan lain yang sebenarnya kurang penting (Denden, 2011). Schiffman dan Kanuk (2007) menyatakan aktifitas berbelanja tersebut termasuk pola berbelanja konsumen yang disebut sebagai belanja impulsif. Belanja impulsif merupakan bagian dari pola pembelian dimana keputusan untuk membeli dilakukan ketika konsumen berada di dalam toko dan mengalami perasaan tiba-tiba, merasakan perasaan yang sangat kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk membeli sesuatu dengan segera. Engel dan Blackwell (1994) mendefinisikan belanja impulsif sebagai suatu tindakan pembelian yang tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan untuk membeli ditentukan pada saat berada di dalam toko. Assael (1993) mengatakan bahwa aktifitas belanja impulsif dilakukan oleh masyarakat dari status sosial ekonomi manapun, tanpa kontrol diri, serta cenderung mengabaikan dampak buruk yang mungkin terjadi. Menurut Sugiharti
(2011), dampak buruk yang dapat dialami oleh pelaku belanja impulsif antara lain: pengeluaran anggaran rumah tangga yang tidak sesuai rencana, kualitas produk yang tidak sesuai dengan harapan, terlibat hutang, kesulitan dalam membayar tagihan kartu kredit, serta dampak negatif lain yang dapat menimbulkan masalah-masalah baru, seperti konflik rumah tangga. Verplanken dan Herabadi (2001) juga mengatakan bahwa para pelaku belanja impulsif sedikit melibatkan proses kognitif dan lebih melibatkan faktor emosi, yaitu perasaan puas dan bahagia. Hal ini menjadikan wanita sebagai individu yang memiliki peluang lebih besar untuk melakukan pembelian impulsif dibandingkan dengan pria (Utami dan Sumaryono, 2008), karena kaum wanita lebih mengutamakan sisi emosionalitas daripada kaum pria yang lebih menggunakan sisi rasionalitas. Menurut Erikson (dalam Adelar, 2008), wanita usia 41 sampai 65 tahun berada dalam tahap middle adulthood, yang berarti seseorang diharapkan mampu menghasilkan sesuatu dan lebih memikirkan generasi muda lainnnya. Namun Adelar (2008) mengatakan bahwa wanita pada usia 40-an jaman sekarang sering bersolek karena pengaruh iklan-iklan kecantikan. Kaum wanita bersaing untuk tampil modis dengan membeli produk-produk yang sebenarnya tidak ada dalam daftar belanja mereka. Widawati (2011) menyimpulkan bahwa faktor eksternal, seperti iklan-iklan kecantikan serta faktor internal, yaitu keinginan untuk tampil modis, merupakan faktor yang mempengaruhi belanja impulsif. Artinya, pertimbangan-pertimbangan yang mendasari belanja impulsif tidak terlepas dari konsep ataupun variabel-variabel psikologis, salah satunya adalah locus of control (Widawati, 2011). Rotter (dalam Schultz dan Schultz, 2005)
mengatakan bahwa locus of control merupakan atribut kepribadian untuk membedakan satu individu dengan individu lainnya berdasarkan derajat keyakinan dalam mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka, serta dapat mempengaruhi tingkah laku, sikap, perasaan, pola pikir, serta keputusan untuk membeli. Rotter (dalam Schultz dan Schultz, 2005) membagi locus of control menjadi dua kontinum, yaitu locus of control eksternal dan locus of control internal. Individu dengan locus of control eksternal memiliki keyakinan bahwa kontrol atas kehidupan seseorang berasal dari luar dirinya. Individu tersebut akan lebih mudah dipengaruhi oleh stimulus dari luar dirinya, misalnya orang lain dan iklan. Sedangkan individu dengan locus of control internal percaya bahwa kontrol atas perilaku adalah tanggung jawab diri sendiri, serta merasa mampu untuk mengendalikan suatu peristiwa. Sebagai contoh: individu dengan locus of control eksternal akan merasa kesulitan untuk melakukan tawar-menawar harga dengan pedagang ataupun tidak mampu menolak tawaran pedagang tersebut. Sedangkan individu dengan locus of control internal lebih mudah menolak produk yang ditawarkan apabila produk tersebut memang tidak dibutuhkan . Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, antara locus of control dengan perilaku belanja impulsif terdapat hubungan positif yang signifikan (Widawati, 2011). Namun, penelitian tersebut hanya mengkaji keterkaitan antara belanja impulsif dan locus of control, serta memilih partisipan pengguna kartu kredit saja. Maka, penelitian ini dirancang untuk melihat seberapa besar pengaruh locus of control, baik internal maupun eksternal, terhadap perilaku belanja impulsif yang dilakukan oleh konsumen wanita tanpa menggolongkan partisipan
sebagai pengguna ataupun bukan pengguna kartu kredit. Maka, penelitian ini dirancang untuk melihat seberapa besar pengaruh locus of control, baik internal maupun eksternal, terhadap perilaku belanja impulsif yang dilakukan oleh konsumen wanita yang berada pada tahap middle adulthood.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penelitian ini ingin mengetahui: Bagaimanakah pengaruh locus of control terhadap belanja impulsif?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Melihat pengaruh locus of control terhadap belanja impulsif.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis a.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi ilmu
Psikologi, khususnya dalam mempelajari perilaku konsumen mengenai locus of control eksternal dan perilaku belanja impulsif. b.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti-peneliti
lain yang ingin melakukan penelitian di bidang serupa, yaitu mengenai perilaku berbelanja. 1.4.2 Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran bagi para pelaku belanja impulsif.