BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bagian ini memaparkan secara detail tentang latar belakang mengapa penelitian ini penting untuk diteliti, berbagai permasalahan penelitian yang kemudian dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian. Selain itu, bab ini juga menjelaskan tujuan, motivasi, kontribusi penelitian, proses penelitian untuk penelitian studi kasus, dan sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat menilai pemerintah gagal memberikan pelayanan publik yang efisien sehingga mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat dan munculnya sinisme penggunaan anggaran publik (Smith, 1990; Schein, 1996). Kecenderungan masyarakat yang merasa tidak puas dengan kinerja program pemerintah menyebabkan semakin tingginya permintaan masyarakat akan akuntabilitas program pemerintah. Munculnya manajemen berbasis kinerja merupakan bagian dari era manajemen baru (New Public Management /NPM) yang berfokus pada pengukuran kinerja organisasi berbasis hasil (outcome) yang bermanfaat bagi masyarakat bukan lagi hanya berbasis pada input dan output semata (Mayne, 1999; Julnes, 2006). Hal ini telah mengubah cara pandang akuntabilitas tradisional yang dulu hanya menilai penggunaan input dan output yang dihasilkan kini beralih menilai kinerja instansi dalam bentuk hasil.
1
2
Awal implementasi sistem pengukuran kinerja instansi pemerintahan di Indonesia mulai mendapat perhatian semenjak diterbitkannya Inpres No.7 tahun 1999. Peraturan ini mewajibkan semua level instansi pemerintahan untuk melaporkan kinerjanya dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Dalam rangka pelaksanaan Inpres No. 7 Tahun 1999 diterbitkan pula Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/1999 tentang Pedoman Implementasi Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang telah disempurnakan dengan Keputusan LAN Nomor 239/IX/6/8/2003. Meskipun, implementasi peraturan tersebut sudah lama tetapi, ternyata penilaian kinerja instansi pemerintah mengakibatkan konsekuensi yang tidak diharapkan seperti adanya kenaikan biaya monitoring, sifat kaku, kurangya inovasi, dan suboptimisasi (Thiel dan Leeuw, 2002). Selain itu, beberapa bukti menunjukkan bahwa penyusunan laporan kinerja dinilai lebih disebabkan adanya peraturan yang mewajibkan pemerintah untuk melaksanakannya bukan karena kesadaran akan arti pentingnya laporan itu bagi peningkatan kinerja instansi pemerintah yang bersangkutan (Sadjiarto,2000; Akbar et al., 2012). Pengukuran kinerja seharusnya tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan informasi yang lebih baik, tetapi juga untuk menilai kinerja manajemen suatu organisasi (Tilbury, 2006). Pada implementasinya, terjadi kesulitan dalam membandingkan pengukuran kinerja dengan organisasi lain karena adanya keterbatasan penggunaan indikator sehingga memerlukan inisiatif untuk dapat mengatasi kesulitan tersebut (Esmaili, 2012). Oleh karena itu, instansi pemerintah
3
perlu menggunakan berbagai indikator kinerja dalam pengukuran kinerja yang mencakup ukuran kinerja finansial dan non finansial dengan tujuan untuk menilai keefektifan kualitas pelayanan pemerintah (Kelly dan Swindell, 2002). Pengukuran kinerja juga perlu menitikberatkan pada berbagai dimensi indikator kinerja manajemen dan kinerja program serta mencakup kompleksitas setiap tingkatan hirarki operasi yang ada dalam organisasi (Selden dan Sowa, 2004). Selama beberapa dekade banyak penelitian dan analisis tentang pengukuran kinerja pelayanan publik secara umum tetapi, hanya sedikit literatur yang berfokus pada pengukuran kinerja pada infrastruktur publik. Permasalahan utama dalam pengukuran kinerja infrastruktur publik terkait kualitas dan biaya pelayanan karena pemerintah menjadi satu-satunya penyedia jasa bidang infrastruktur publik sehingga mengakibatkan kualitas pelayanan menjadi kurang memuaskan dan pemerintah juga tidak mempunyai ukuran yang tepat untuk menilai kinerja pemerintah (Esfahani, 2005). Kualitas infrastruktur publik sangat bergantung pada kemampuan penyedia layanan. Adapun instansi pemerintah di Indonesia yang memiliki tugas pokok dalam pembangunan infrastruktur adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Hasil evaluasi AKIP oleh Kementerian PAN dan RB pada tahun 2012 dan 2013 menunjukkan bahwa LAKIP Kementerian PU tahun 2012 memperoleh nilai B kemudian meningkat menjadi B+ pada tahun 2013. Berdasarkan penilaian tersebut Kementerian PAN dan RB memberikan rekomendasi kepada Kementerian PU sebagaimana, ditampilkan pada Tabel 1.1 di bawah ini:
4
Tabel 1.1. Rekomendasi Kementerian PAN dan RB atas SAKIP Kementerian PU tahun 2012 dan 2013 Rekomendasi atas SAKIP 2012
Rekomendasi atas SAKIP 2013
a. Menyempurnakan rumusan sasaran dan indikator kinerja dalam dokumen perencanaan, terutama di tingkat unit kerja sehingga lebih menggambarkan hasil. b. Menyempurnakan rumusan sasaran dan indikator kinerja dalam dokumen perencanaan dan subkegiatan/ komponen rinci yang akan dilakukan dalam pencapaian kinerja dan memonitor pencapaiannya secara berkala.
a. Menyempurnakan rumusan sasaran dan indikator kinerja dalam dokumen perencanaan (Renstra,PK dan RKT) Pekerjaan Umum sehingga lebih menggambarkan hasil. b. Melaksanakan review secara berkala terhadap Indikator kinerja utama (IKU). c. Menyempurnakan pengisian rencana Aksi atas kinerja dengan memilih sasaran unit kerja yang berorientasi hasil dan indikator c. Agar dipertimbangkan untuk mulai kinerja yang SMART. melakukan pengukuran kinerja d. Agar dipertimbangkan untuk secara individu yang mengacu pada/ mulai melakukan pengukuran mendukung IKU unit kerja kinerja secara individu yang organisasi. mengacu pada/mendukung IKU d. Agar dilakukan evaluasi atas unit kerja organisasi, pencapaian Rencana Aksi dalam e. Agar dilakukan evaluasi program rangka pengendalian kinerja dan dalam rangka menilai memberikan alternatif yang keberhasilan program sehingga diperlukan. dapat memperbaiki perencanaan dan kinerja. f. Agar dilakukan evaluasi atas pencapaian Rencana Aksi dalam rangka pengendalian kinerja dan memberikan alternatif yang diperlukan. Sumber : Modul Pelatihan Pusat Kajian strategis Kementerian PU Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa penyempurnaan rumusan dan indikator kinerja menjadi rekomendasi yang berulang setiap tahun bahkan sejak SAKIP tahun 2010. Apabila indikator kinerja yang tidak berbasis hasil terus digunakan maka, akibatnya akan berdampak pula pada Rencana Aksi yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu adanya indikator kinerja yang tepat dan terukur
5
serta dapat menunjang proses pengukuran kinerja di berbagai level organisasi Kementerian PU. Hasil evaluasi tersebut juga menunjukkan bahwa LAKIP pada level Kementerian belum menunjukkan kesesuaian rumusan antara sasaran dan indikator kinerja yang berbasis pada hasil. Hal ini mengakibatkan kesalahan dalam penyempurnaan sasaran dan indikator kinerja pada instansi level di bawahnya. Salah satu infrastruktur penting yang dibangun Kementerian PU adalah sarana/parasana pengelolaan sumber daya air karena sering terjadi masalah terkait infrastruktur publik khususnya dalam penyediaan air yang berkelanjutan di berbagai daerah. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) merupakan unit organisasi dalam Kementerian PU yang memiliki tugas dalam pengelolaan SDA yang mencakup wilayah sungai lintas provinsi, lintas negara, dan strategis nasional. Dalam struktur organisasi Ditjen SDA terbagi ke dalam beberapa unit pelaksana teknis pembangunan infrastruktur SDA yang terdiri dari 12 Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), 19 Balai Wilayah Sungai (BWS), dan 1 Balai Bendungan. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak merupakan salah satu unit kerja yang mempunyai tugas pokok dalam pembangunan infrastruktur khususnya dalam pengelolaan SDA. Cakupan wilayah kerja BBWS Serayu Opak meliputi wilayah sungai di Yogyakarta dan Jawa Tengah. BBWS Serayu Opak dalam melaksanakan tugasnya ditengarai juga masih terkendala dalam perumusan sasaran strategis dan indikator kinerja dari perencanaan strategis sampai pelaporan
6
kinerja. Apabila permasalahan ini terus berlanjut maka indikator kinerja yang ditetapkan tidak dapat menunjukkan keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur pengelolaan sumber daya air . Secara umum, hal ini mungkin disebabkan oleh proyek infrastruktur publik memiliki perbedaaan karakteristik seperti perbedaan sifat proyek yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan berbagai macam standar desain, kontraktor, praktik konstruksi dan persyaratan operasional serta kesulitan menilai dampak keberhasilan pembangunan proyek yang dapat dirasakan masyarakat (Ugwu dan Haupt, 2005). Hal ini menimbulkan keinginan peneliti untuk mengevaluasi implementasi indikator kinerja pada sistem pengukuran kinerja khususnya dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air yang disediakan oleh BBWS Serayu Opak dengan menggunakan model Ongoing Performance Measurement and Management (OPM&M).
1.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka, permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah BBWS Serayu Opak ditengarai menggunakan indikator kinerja yang belum berbasis pada hasil dan kurangnya penyempurnaan sasaran strategis dan indikator kinerja yang tepat. Salah satu kemungkinan penyebabnya karena belum adanya alat ukur yang tepat dalam menetapkan indikator kinerja yang lebih baik daripada saat ini sehingga masih mengacu pada peraturan yang ada.
7
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Apakah indikator kinerja dalam dokumen perencanaan sampai pelaporan kinerja pada Ditjen SDA dan BBWS Serayu Opak telah menunjukkan kesesuaian informasi secara logis? b. Mengapa indikator kinerja pada pelaporan kinerja BBWS Serayu Opak kurang sesuai dengan perencanaan dan belum berbasis pada hasil? c. Komponen teori isomorpisme institusional manakah yang dapat menjelaskan implementasi indikator kinerja?
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diungkapkan sebelumnya maka, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: a. Mengevaluasi kesesuaian informasi (hubungan logika) indikator kinerja Ditjen SDA dan BBWS Serayu Opak dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. b. Mengetahui faktor-faktor penyebab ketidakselarasan implementasi indikator kinerja pada dokumen perencanaan sampai pelaporan kinerja BBWS Serayu Opak dan indikator kinerja belum berbasis pada hasil. c. Mengidentifikasi komponen teori isomorpisme institusional yang menjelaskan implementasi indikator kinerja BBWS Serayu Opak.
8
1.5. Motivasi Penelitian Penelitian ini dilandasi adanya keinginan untuk memperoleh pemahaman tentang pengukuran kinerja pada BBWS Serayu Opak dan Ditjen SDA dengan cara melakukan evaluasi implementasi indikator kinerja dengan menggunakan pendekatan OPM&M. Selain itu, peneliti ingin menerapkan ilmu yang telah didapat selama ini saat menempuh kuliah mengenai sistem manajemen sektor publik khususnya tentang pengukuran kinerja instansi pemerintah.
1.6. Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dan kontribusi praktis dalam implementasi kebijakan tentang pengukuran kinerja yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Kontribusi teoritis Memberikan
kontribusi
teoritis
khususnya
terkait
teori
isomorpisme
institusional dalam pengukuran kinerja instansi pemerintah. 2. Kontribusi praktis a. Memberikan alternatif pengukuran kinerja kepada Ditjen SDA dan BBWS Serayu Opak dalam mengevaluasi implementasi indikator kinerja dengan menggunakan pendekatan OPM&M yang lebih komprehesif dalam menilai kinerja instansi pemerintah. b. Memberikan manfaat bagi para penyusun kebijakan khususnya untuk instansi Kementerian PU dalam menentukan indikator kinerja yang tepat untuk mengevaluasi capaian kinerja program yang tidak hanya menilai dari
9
segi pembangunan infrastruktur fisik saja tetapi juga pada seberapa besar dampak pembangunan infrastruktur SDA yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
1.7. Proses Penelitian Merujuk pada buku Panduan Penulisan Tesis dan Kasus 2015 maka, proses penelitian ini menjelaskan garis besar tentang tahapan dalam mempersiapkan penelitian studi kasus sebagaimana, digambarkan sebagai berikut : 2. Tujuan Penelitian
3. Pondasi Teoretikal Penelitian Studi Kasus 1. Pertanyaan Penelitian
4. Model Penelitian Studi Kasus
5. Temuan dan Analisis
Gambar 1.1 Contoh Proses Penelitian Studi Kasus Sumber: Panduan Pedoman Umum Penulisan Tesis 1.8. Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun secara sistematis agar diperoleh pembahasan yang jelas dan terstruktur. Adapun sistematika penelitian yang akan disusun yaitu sebagai berikut: Bab 1 : Pendahuluan Bagian ini menguraikan rencana penelitian yang dijabarkan ke dalam latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian,
10
tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 : Tinjauan Pustaka Bagian ini akan membahas mengenai teori yang melandasi penelitian ini dan berbagai penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Bab 3 : Latar Belakang Kontekstual Penelitian Studi Kasus Bagian ini menjelaskan secara deskriptif tentang objek penelitian dan aplikasi teori atau konsep yang dimuat di studi literatur objek penelitian untuk mendapatkan pemahaman spesifik mengenai karakteristik objek penelitian terkait dengan teori yang digunakan. Bab 4 : Rancangan Penelitian Studi Kasus Bagian ini menguraikan mengenai rasionalitas objek penelitian, desain penelitian, sumber data, metode pengumpulan dan analisis data. Bab 5 : Pemaparan Temuan Bagian ini berisi uraian temuan dalam invesigasi yang mampu menggambarkan fakta yang dapat menjawab tujuan penelitian. Bab 6 : Ringkasan dan Pembahasan Bagian ini menjelaskan secara lengkap dan mendalam mengenai analisis data dan diskusi hasil temuan peneltian studi kasus. Bab 7 : Simpulan dan Rekomendasi Bagian ini berisi simpulan akhir, keterbatasan penelitian dari sudut pandang
keilmuan
bersangkutan.
dan
memberikan
rekomendasi
bagi
instansi