BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi
pembangunan kesehatan, yaitu memelihara kesehatan yang bermutu (promotif), menjaga kesehatan (preventif), mengobati (kuratif) dan rehabilitatif yang merata dan terjangkau. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 32 menyatakan bahwa upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, diantaranya adalah pencegahan dan penyembuhan terhadap kecacingan. Sesuai dengan berlakunya UU No.25/1999 tentang pelayanan kesehatan secara keseluruhan dan merata terwujud dengan berhasilnya pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan terhadap kecacingan melalui pemberian obat cacing setiap 6 bulan sekali dan pembuatan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) yang sehat dan teratur, serta pendidikan kesehatan tentang hygiene dan sanitasi lingkungan. Pelayanan kesehatan ini pun belum merata di masyarakat sehingga prevalensi kecacingan belum menurun secara signifikan (Depkes RI, 2001). Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 424/MENKES/SK/VI/2006 diharapkan di Indonesia angka prevalensi kecacingan < 10% dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010. Penyebaran kecacingan melalui kontak dengan tinja. Tinja yang mengandung banyak telur bisa terbawa angin, banjir, nyamuk, lalat yang menempel di setiap tempat seperti makanan, sayuran mentah, buah-buahan, air limbah rumah, debu dan lain-lain. Berbagai tempat akan tercemar dengan telur cacing bila keadaan sanitasi lingkungan buruk seperti tidak tersedianya air bersih, tidak ada sarana pembuangan
Universitas Sumatera Utara
air limbah, tidak ada tersedianya jamban sehingga masyarakat punya kebiasaan buang air besar di sembarangan tempat (Nevi, 2006). Menurut data WHO dalam Nevi (2006), seperempat penduduk dunia terinfeksi kecacingan kronis. Diperkirakan 1,4 milyar orang kecacingan Ascaris lumbricoides (cacing gelang), 1 milyar orang oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 1,3 milyar orang kecacingan Ancylostoma duodenale (cacing tambang). Sebagian besar penderita kecacingan tinggal di negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia tergolong cukup tinggi, yaitu 70%-90% dan sebagian besar yang menjadi korban adalah anak-anak usia sekolah, terutama sekolah dasar dan golongan penduduk yang kurang mampu. Tingginya prevalensi kecacingan belum dianggap suatu masalah kesehatan yang penting, padahal kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Dari sisi kesehatan, kecacingan menyebabkan kekurangan gizi, anemia, pertumbuhan, gangguan kognitif anak, kecerdasan dan produktifitas penderitanya karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia (Nevi, 2006). Salah satu hasil pemantauan pengawasan lingkungan permukiman terhadap kualitas tanah permukaan di Indonesia, menunjukkan bahwa sebesar 53,06% tanah permukaan di lingkungan permukiman positif ditemukan adanya telur cacing gelang (Hasyimi, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat dari Amerika, IRD (International Relief and Development) pada tahun 2004, terhadap 1805 murid anak Sekolah Dasar di Kab. Kebumen, menemukan angka prevalensi kecacingan 82,60% (1491 murid). Penelitian lain di Kab. Temanggung (2004) terhadap 84 murid SD/MI menemukan angka prevalensi kecacingan 87% (73 murid).
Universitas Sumatera Utara
Menurut kedua penelitian ini ada tiga jenis cacing yang dominan yaitu cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang (Dinas Kesehatan Prop. Jateng, Profil Kesehatan, 2003). Dalam laporan hasil survei prevalensi kecacingan pada 10 propinsi 2004, Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60,4%) dalam hal kecacingan (Ditjend PPM-PL, 2004). Di propinsi Sumatera Utara (2004) angka prevalensi kecacingan kurang lebih 73%, dan pada tahun 2005 angka prevalensi cacing gelang 56,6% (236 orang), cacing cambuk 39,56% (165 orang) dan cacing tambang (3,9%) (11 orang) (Data P2ML Propinsi Sumatera Utara). Pada tahun 2005, Dinas P2ML (Pemberantasan Penyakit Menular Lingkungan) Sumatera Utara juga melakukan survei kecacingan, tetapi belum juga menunjukkan penurunan yang signifikan, dapat di lihat dari data surveilans terhadap 1000 responden tentang hasil positif kecacingan dengan peringkat sebagai berikut yaitu untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, angka prevalensi cacing gelang 70,06% (103 orang), cacing tambang 25,17% (37 orang), cacing cambuk 4,76% (7 orang) dan daerah Tapanuli Utara, angka prevalensi cacing gelang 70% (105 orang), cacing tambang 17,85% (25 orang), caing cambuk 7,14% (10 orang). Pada tahun 2005, Dinas Kesehatan Samosir melakukan pemeriksaan tinja di 8 Kecamatan terhadap 1000 responden menunjukkan angka prevalensi cacing gelang 70,3% (703 orang), cacing tambang 12,4% (124 orang), cacing cambuk 10,5% (105 orang) dan penelitian kedua dilakukan di Kecamatan Simanindo desa Ambarita oleh dokter Jhonson dari LSM Jepang menemukan 4 orang anak SD Negeri yang terinfeksi cacing pita. Di antara keempat jenis cacing tersebut, cacing gelang merupakan jumlah yang paling dominan.
Universitas Sumatera Utara
Dinas Kesehatan Samosir (2007), melakukan pemeriksaan tinja di 40 Sekolah Dasar yang ada di 8 (delapan) Kecamatan Kabupaten Samosir menunjukkan Kecamatan Simanindo yang paling tinggi, dari 529 responden ditemukan angka prevalensi cacing gelang 66,91% (354 orang), cacing cambuk 1,32% (7 orang), cacing pita 2,45% (13 orang). Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Maret 2008 di sekolah dasar negeri Kecamatan Simanindo terhadap 265 murid yang dijumpai, sebagian besar murid tidak menggunakan sepatu saat bermain di halaman sekolah, bermain kelereng di tanah, tidak mencuci tangannya sebelum dan sesudah bermain, sebagian besar murid jajan di luar sekolah yang hidangan makanannya tidak bersih. Ada juga murid buang air besar di sembarangan tempat dan tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah buang air besar dan buang air kecil sehingga mengakibatkan kecacingan pada anak tersebut. Melihat penampilan fisik murid, sebagian besar pakaiannya kurang bersih, kuku tangan dan kaki yang panjang dan hitam. Keadaan ini disebabkan dari kurangnya perhatian ibu terhadap kebersihan anaknya sendiri. Di Kecamatan Simanindo para ibu ditemukan jarang masak sayuran, air dan daging sampai masak. Perilaku ibu seperti cara memelihara kebersihan rumah, kebersihan makanan, kebersihan per orangan (merawat kebersihan tangan,jari dan kuku, kebersihan gigi dan mulut, kebersihan rambut), dan praktik psikososial adalah faktor penting yang berpengaruh terhadap proses tumbuh-kembang anak. Demikian pula faktor lingkungan seperti ketersediaan air bersih di dalam rumah dan pengetahuan ibu (Anwar, 2000). Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes (Yuwono, 2001) dan hasil penelitian di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar responden (90,6%) tidak memiliki jamban, perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan), umur, ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan dalam peningkatan angka prevalensi kecacingan pada anak. Kejadian cacing gelang dan cacing cambuk dapat dihubungkan dengan status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan ibu yang lebih rendah serta status ibu yang bekerja di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso. Infestasi cacing gelang dapat dihubungkan dengan penurunan kemampuan verbal, penurunan kemampuan Aritmatika-Matematika dikaitkan dengan menurunnya frekuensi belajar yang tidak teratur. Mengacu hasil pengamatan, data-data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kecamatan Simanindo dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai tempat, maka perlu dilakukan tentang pengaruh perilaku ibu, sanitasi lingkungan dan kebersihan anak terhadap kecacingan di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan angka prevalensi kecacingan di Kecamatan Simanindo dari data
Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yaitu 70,7%, hasil survei sanitasi lingkungan, perilaku ibu dan kebersihan anak, menunjukkan kurangnya kebersihan pada anak dan sanitasi lingkungan. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh perilaku ibu (sikap, pengetahuan, tindakan), sanitasi lingkungan, karakteristik anak yang berkaitan dengan kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.
1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh perilaku ibu (sikap, pengetahuan,tindakan), sanitasi lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008.
Universitas Sumatera Utara
1.4.
Hipotesis Berdasarkan tujuan penelitian maka hipotesa dalam penelitian ini adalah : Ada
pengaruh yang signifikan antara perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan), sanitasi lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008.
1.5.
Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Samosir membuat kebijakan dalam merencanakan program kesehatan baik dalam penyuluhan kesehatan maupun penyediaan obat cacing untuk menurunkan angka prevalensi kecacingan. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi ibu dalam memberikan bimbingan tentang pengetahuan, sikap untuk meningkatkan perilaku sehat terhadap kesehatan anaknya dan menciptakan sanitasi lingkungan yang bersih untuk mencegah kecacingan. 3. Agar dapat menjadi referensi untuk penelitian lanjutan bagi peneliti-peneliti yang ingin melakukan penelitian tentang penyakit kecacingan sehingga dapat lebih bermanfaat baik secara keilmuan maupun kemasyarakatan.
Universitas Sumatera Utara