BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkah laku menolong sering muncul dalam masyarakat, dimana perilaku ini diberikan guna meringankan penderitaan orang lain, misalnya menolong orang lain yang sedang dalam kesusahan, menghibur teman yang sedang sedih, memberi, membantu, dan menyumbang. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang mau bertingkah laku menolong pada orang lain, bahkan kadang orang tidak mau memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan. Setiap manusia mengalami beberapa proses perkembangan dalam hidupnya, baik secara fisik maupun psikologis. Mulai dari masa kanak-kanak, remaja sampai pada masa dewasa dan usia tua. Pada setiap masanya, individu akan menemukan halhal baru dan pengalaman-pengalaman baru yang akan menuntunnya ke masa selanjutnya. Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak dimana remaja memiliki dunia tersendiri. Selain itu masa remaja juga merupakan waktu yang paling berkesan dalam kehidupan individu. Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk bisa hidup saling tolong menolong sesuai citra kasih, namun kenyataannya pada era modernisasi saat ini manusia sudah banyak disibukkan dengan kepentingannya masing – masing. Kehidupan diperkotaan dengan mobilitas yang tinggi, menimbulkan adanya pergeseran nilai – nilai pada masyarakat. Pergeseran nilai juga didukung dengan 1
2
masuknya budaya asing dengan bebas sebagai efek dari kemajuan teknologi dan informasi, contohnya pergeseran nilai kepedulian dan kegotongroyongan. Hal ini dapat kita lihat dari perubahan tingkahlaku dan menurunnya keikutsertaan masyarakat lingkungan sekitar pada kegiatan kebersihan pada lingkup tetangga. Keuntungan pribadi menjadi salah satu pertimbangan masyarakat perkotaan untuk membantu dan menolong orang lain. Tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia telah mencapai tingkat yang membahayakan. Santhoso, 1995 (dalam Pratitis, 2013, h. 1- 11) menjelaskan bahwa salah satu tindakan yang membahayakan adalah agresivitas yang cenderung lebih banyak dilakukan oleh remaja justru menunjukan gejala peningkatan jika dibandingkan dengan tindakan menolong. Hal ini ditunjukan dengan adanya data – data mengenai tindakan agresi seperti perkelahian, tawuran antarpelajar atau antar kelompok yang sering kali muncul dalam pemberitaan. Hal ini diduga karena kurangnya pendidikan karakter atau moral, padahal idealnya manusia sebagai makhluk sosial dapat berinteraksi dengan baik terhadap sesamanya. Beberapa remaja tidak segan memberikan pertolongan bagi teman – teman mereka, mulai dari hal – hal kecil seperti mengambilkan barang yang jatuh, mengantar teman pulang, mengajari teman dalam mata pelajaran tertentu, hingga teman yang tidak mampu. Tingkah laku menolong juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antar orang, bahwa semakin dekat hubungannya maka semakin kuat harapan untuk mendapatkan bantuan. (Sears 1985,h. 70-71). Menurut Eisenberg dan Mussen (dalam Aditya Yesaya Ariady, 2011, hal.13)
tingkah laku menolong mengarah
pada
3
perilaku
sukarela yang dimaksudkan untuk membantu kelompok atau individu
lain.Tingkah laku prososial (menolong) sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong (Baron & Bryne, 2003, h. 92). Pada dasarnya, tingkah laku menolong merupakan perilaku yang menguntungkan orang lain. Beberapa tingkah laku menolong yang sederhana pada kehidupan sehari-hari, contohnya seperti memprioritaskan kaum manula dan ibu hamil pada kendaraan umum, membantu orang tua untuk menyeberang jalan dan sebagainya. Perilakuperilaku tersebut sudah jarang kita temukan di masyarakat perkotaan, mereka lebih mementingkan kenyamanan pribadi dan tidak mempedulikan lingkungan sekitar. Hal ini menunjukkan renggangnya interaksi dan orang hanya akan melihat apakah kepentingan orang lain dapat membawa manfaat bagi dirinya. Tingkah laku menolong diharapkan dapat tumbuh dalam kehidupan masyarakat agar terwujud kehidupan yang memiliki nilai positif bagi orang lain dan terjalin suatu kontak sosial. Pentingnya tingkah laku menolong dalam kehidupan siswa SMA membawa dampak positif bagi pengembangan diri, siswa SMA serta seluruh aspek didalamnya. Dampak positif tersebut terlihat pada tumbuhnya rasa kedamaian, keharmonisan, menyayangi antar sesama, menghargai antar sesama, sikap nasionalisme yang tinggi, dan idialisme yang sehat. Tingkah laku menolong sering muncul pada siswa SMA, dimana perilaku ini diberikan guna meringankan penderitaan orang lain. Misalkan seorang siswa SMA menolong temannya yang sedang kesusahan, menghibur
4
temannya yang sedang sedih apabila ada suatu masalah, membantu temannya yang sedang mengalami kesulitan. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang mau bertingkah laku menolong pada orang lain. Bahkan kadang orang tidak mau memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan. Para siswa SMA dituntut untuk mengikuti kegiatan – kegiatan di sekolah tersebut, sehingga setiap siswa memiliki kewajiban untuk selalu dispilin, tekun, rajin, dan mandiri. Hal ini membuat para siswa mengerahkan sebagian besar waktu untuk belajar dan tidak dapat mengikuti kegiatan lain seperti bermain, ataupun mengikuti ekstrakulikuler, dimana hal tersebut mempengaruhi tingkah laku menolong para siswa, termasuk perilaku tolong menolong antar teman. Program kegiatan – kegiatan yang mempengaruhi tingkah laku menolong siswa sudah dilaksanakan di beberapa SMA di Kota Semarang. SMA swasta juga memberikan perhatian pada tingkah laku menolong setiap siswa. Menurut salah seorang guru, SMA Swasta setiap tahun rutin mengadakan bakti sosial, membagikan sembako kepada masyarakat yang kurang mampu, mengadakan donor darah, anjang sana ke panti asuhan yang dilakukan oleh para siswa, selain itu sekolah juga memiliki kas khusus dimana semua siswa khususnya yang mampu dari segi finansial saling bahu – membahu mengumpulkan uang untuk membantu teman mereka yang kesulitan dalam biaya sekolah maupun study tour. Selain itu, para siswa SMA Swasta Semarang, dengan inisiatif mereka sendiri, untuk membantu temannya dengan cara berentrepreneurship atau berwiraswasta.
5
Melihat kondisi masa sekarang ini, fenomena tingkah laku menolong antar siswa SMA dirasa kian menipis. Berkembangnya ilmu pengetahuan serta munculnya tehnologi pada era modernisasi ini mengakibatkan para remaja menjadi makhluk individual karena hampir tiap remaja memiliki fasilitas untuk melakukan segala sesuatunya dengan serba cepat dan praktis. Seorang siswa bernama RT yang duduk di bangku kelas XI di SMA menyatakan bahwa dirinya akan membantu temannya yang sedang kesusahan, bila teman sekelompoknya juga ikut membantu, apabila teman sekelompoknya tidak membantu, si RT tidak akan ikut membantu juga, sementara seorang siswa bernama GB yang duduk di bangku kelas XI di SMA mengatakan bahwa GB akan langsung memberikan bantuan ketika temannya yang bernama CN dalam kesulitan,walaupun teman sekelompoknya sangat membenci dan tidak mau membantu
CN.
GB
tidak
peduli
apabila
teman
sekelompoknya
akan
menjauhi/mengucilkan. Kedua pernyataan tersebut menunjukkan berkurangnya kepedulian remaja untuk menolong temannya yang sedang membutuhkan karena pengaruh lingkungan dan kelompok. Tingkah laku menolong tentunya tidak terbentuk dengan mudah. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk menolong salah satunya adalah dipengaruhi oleh konformitas. Siswa yang memiliki konformitas tinggi terhadap teman sebayanya akan bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku pada teman sebayanya. Apabila teman sebayanya bertingkah laku menolong, maka secara otomatis siswa yang bersangkutan juga akan bertingkahlaku sama dengan temannya.
6
Pengaruh konformitas terhadap tingkah laku menolong pada teman-teman sebaya lebih besar daripada pengaruh keluarga. Hal ini disebabkan karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok. Sigelman dan Shaffer (dalam Rahayu Sumarlin, 2000, hal 3). Terdapat dua aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya. Pertama social cognition yaitu kemampuan yang berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul atau membentuk persahabatan. Kedua adalah conformity yaitu motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam dengan nilai – nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya. Konsep konformitas yang dikemukakan Evert (dalam Monks dkk, 1999) bahwa besarnya pengaruh lingkungan atau kelompok tersebut sampai pada pemberian norma tingkah laku oleh kelompok. Bagi remaja yang memiliki kecendrungan kuat untuk masuk kelompok, maka pengaruh pemberian norma oleh kelompok tersebut akan berdampak pada timbulnya konformitas yang kuat. Kondisi demikian akan membuat remaja cenderung untuk lebih menyesuaikan diri dengan norma kelompok agar mendapatkan penerimaan dan menghindari penolakan. Tiap-tiap anggota kelompok pasti ingin diterima dan diperlakukan sebagai anggota kelompok yang sama oleh anggota kelompok yang lain. Tiap anggota juga akan berusaha untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok yang berlaku. Keinginan ini berkembang menjadi mengikuti apa saja yang oleh mayoritas anggota diterima sebagai sesuatu yang benar.(Rahayu Sumarlin, 2000,hal 3)
7
Konformitas mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masa remaja. Konformitas umumnya terjadi karena remaja tidak ingin dipandang berbeda dengan teman – temannya dan agar dapat diterima oleh kelompoknya. Menurut Palmer (Mappiare, 1999, h. 129) salah satu kebutuhan yang sangat peka bagi remaja dalam kelompok teman sebaya adalah kebutuhan untuk diterima dan menghindari ditolak oleh kelompok. Misalnya, apabila hampir seluruh anggota kelompok bermain, maka individu juga akan ikut bermain, meskipun sebenarnya individu tidak menginginkan bermain melainkan belajar. Hal ini disebabkan karena rasa khawatir dirinya akan dikucilkan oleh teman kelompoknya. Siswa SMA yang umumnya berada pada masa remaja, berada dalam fase proses pencarian identitas diri bergabung dengan kelompok tertentu, dengan tujuan belajar banyak hal termasuk mendapatkan sumber informasi penting. Seringkali remaja mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Semakin besar kepercayaan remaja terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. (O’Sears, dkk., 1991, h.239). Konformitas seringkali digeneralisasikan untuk masa remaja karena dari banyak penelitian terungkap salah satunya adalah penelitian Surya (1999, hal 1) bahwa pada masa remaja, konformitas terjadi dengan frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan masa pertumbuhan lainnya. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat pada masa remaja prosses pemantapan diri sedang berlangsung sehingga remaja lebih rentan
8
terhadap pengaruh perubahan dan tekanan yang ada disekitarnya. Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya. Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok. (Monks dkk, 2008, hal.187) . Dengan memperhatikan hubungan antara tingkat konformitas dengan tingkah laku menolong merupakan sesuatu yang menarik. Tingkah laku menolong merupakan perilaku yang harus dimiliki setiap individu sebagai makhluk sosial sedangkan konformitas merupakan motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam dengan nilai – nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya.Adanya hubungan antara konformitas terhadap tingkah laku menolong pada siswa SMA, semakin tinggi konformitas semakin tinggi tingkah laku menolong siswa SMA karena siswa hidup bertingkah laku menolong karena adanya pengaruh konformitas atau kelompok yang cenderung untuk lebih menyesuaikan diri dengan kebiasaan kelompok. Bentuk harapan serupa ini tentunya sangat berhubungan dengan tingkah laku menolong yang dimiliki oleh siswa SMA. Dari uraian di atas, peneliti tertarik ingin mengetahui “Apakah ada hubungan antara konformitas dengan tingkah laku menolong pada siswa SMA.”
9
B.
Tujuan Peneliti Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas terhadap tingkah laku menolong pada siswa SMA.
C.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu : 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan terhadap ilmu psikologi sosial dan psikologi pendidikan. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi bagi pihak sekolah tentang tingkah laku menolong pada siswa ditinjau dari konformitas.