BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Transportasi
sangat
dibutuhkan
oleh
masyarakat
karena
dapat
memudahkan bagi mereka untuk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan adanya transportasi, jarak yang jauh pun dapat ditempuh dengan cepat. Menurut Salim (2000), transportasi adalah suatu kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam transportasi ada dua unsur yang terpenting yaitu pemindahan/pergerakan (movement) dan secara fisik mengubah tempat dari barang (comodity) dan penumpang ke tempat lain. Menurut Utomo terdapat tiga jenis transportasi yang ada di Indonesia yaitu transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara (Hardiana, 2012). Dari ketiga jenis transportasi tersebut, transportasi udara yang menggunakan pesawat terbang cukup diminati oleh masyarakat karena harganya yang cukup terjangkau (Jambak, 2010). Hal ini dikarenakan maskapai berlomba-lomba memberikan penawaran harga yang murah dan juga keputusan pemerintah untuk menyerahkan sepenuhnya kepada pelaku pasar dengan tidak membatasi harga tiket pesawat sejak 1 Maret 2002, membuat harga tiket pesawat terbang semakin terjangkau oleh masyarakat yang lebih luas (Wardiningsih, 2009). Apalagi letak geografi
Universitas Sumatera Utara
kepulauan Indonesia serta jarak yang jauh antara kota-kota besar membuat transportasi udara banyak diminati oleh masyarakat umum (Feirbanks; jurnal prakarsa, 2012). Selain itu pesawat terbang dianggap memiliki tingkat kenyamanan yang tinggi dan durasi perjalanan yang lebih cepat daripada menggunakan transportasi darat atau laut (Jambak, 2010). Sehingga saat ini, masyarakat cukup banyak memakai jasa pesawat, yang berarti lalu lintas udara pun menjadi padat. Ini didukung oleh pernyataan Direktur Angkutan Udara Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Djoko Murjatmodjo; “Jumlah penumpang yang diangkut maskapai nasional berjadwal pada 2012 mencapai 72,4 juta orang, terdiri atas 63,6 juta penumpang domestik dan 8,8 juta penumpang internasional, naik sekitar 10-15% dari tahun sebelumnya.” (Sidik, 2013; antaranews.com) Hal ini berdasarkan data statistik angkutan udara dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (2013; hubud.dephub.go.id) untuk arus lalu lintas pesawat dari tahun 2009-2012 diperoleh data sebagai berikut; pada tahun 2009 arus lalu lintas pesawat yang datang adalah 343.369 dan yang berangkat 346.978, pada tahun 2010 (datang = 466.872 dan berangkat = 467.850), tahun 2011 (datang = 524.515 dan berangkat = 524.997) dan pada tahun 2012 (datang = 514.002 dan berangkat 512.113). Dari data di atas terlihat bahwa jumlah lalu lintas penerbangan mengalami peningkatan dari tahun 2009 – 2012. Faktor lain yang membuat pesawat terbang diminati oleh masyarakat adalah faktor keselamatan yang dianggap lebih terjamin karena jumlah kecelakaan yang lebih kecil (77 kecelakaan; Permana, 2012)
Universitas Sumatera Utara
daripada transportasi lainnya seperti transportasi kereta api (104 kecelakaan; Firdaus, 2012) dan transportasi laut (303 kecelakaan; Deny, 2013). Walaupun jumlah kecelakaan pesawat terbang terbilang cukup sedikit, namun hal ini juga harus diwaspadai, karena pada umumnya kecelakaan pesawat terbang banyak menelan korban jiwa dan kerugian yang cukup besar (Ermaya, 2012), seperti kecelakaan pesawat Mandala Airlines dengan armada Boeing 737-200 dengan kode penerbangan PK-RIM yang jatuh di Medan pada 5 September 2005 dengan menelan korban jiwa sebanyak 101 korban (Jambak, 2010). Di dunia penerbangan ada dua macam pengertian dari kecelakaan pesawat yaitu accident merupakan suatu peristiwa yang berada di luar dugaan manusia yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat yang dapat menimbulkan korban dan incident yaitu kecelakaan yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat yang tidak menimbulkan korban (Ardhia, 2008; Ermaya, 2012). Berdasarkan Safety Management Manual (SMM) yang diterbitkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organisation), terdapat beberapa faktor penyebab kecelakaan pesawat udara yaitu: Software factor, yaitu kebijakan, prosedur dan lain-lain; Hardware factor, yaitu sarana dan prasarana; Environment factor, yaitu lingkungan dan cuaca; Liveware factor, yaitu manusia. Berdasarkan keempat faktor di atas, maka Federasi Keselamatan Penerbangan Internasional menyimpulkan terdapat 3 (tiga) faktor penyebab utama dari kecelakaan pesawat udara, yaitu faktor cuaca (environment factor), faktor pesawat yang udara yang digunakan (hardware factor) dan faktor manusia
Universitas Sumatera Utara
(liveware factor). Faktor utama dalam penyebab kecelakaan pesawat udara adalah faktor manusia (liveware factor) baik itu pilot, teknisi maupun petugas operator, petugas pengelola bandara dan penumpang itu sendiri dengan prediksi sebesar 46% kecelakaan. Pada database Aviation Safety Network mengatakan bahwa 43% dari kecelakaan-kecelakaan pesawat udara disebabkan karena terputusnya koordinasi dan komunikasi antar pilot dan pihak Air Traffic Controller (ATC) yang berada di darat, karenanya petugas pengelola bandar udara berperan penting dalam meningkatkan dan memperbaiki keselamatan penerbangan (Ardhia, 2008; Ermaya, 2012). Air Traffic Controller (ATC) atau yang sering disebut sebagai Pemandu Lalu Lintas Udara adalah penyedia layanan yang mengatur lalu lintas di udara terutama pesawat terbang untuk mencegah pesawat terlalu dekat satu sama lain dan tabrakan (Dunia Penerbangan, 2013). Adapun tugas seorang Pemandu Lalu Lintas Udara (ATC/Air Traffic Controller) yang tercantum di dalam Annex 2 (Rules of the Air) dan Annex 11 (Air Traffic Services) Konvensi Chicago 1944 adalah mencegah tabrakan antar pesawat, mencegah tabrakan pesawat dengan penghalang penerbangan, mengatur arus lalu lintas udara yang aman, cepat dan teratur kepada pesawat terbang, baik yang berada di ground atau yang sedang terbang / melintas dengan menggunakan jalur yang telah ditentukan. Pengaturan arus lalu lintas udara ini dimulai dari pesawat melakukan contact (komunikasi) pertama kali sampai dengan pesawat tersebut mendarat (landing) di bandara tujuan (Pustekkom, 2007). Menurut UU Penerbangan tugas dari Air Traffic Controller (ATC) adalah mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara di
Universitas Sumatera Utara
udara; mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara atau pesawat udara dengan
halangan
(obstacle)
di
daerah
manuver
(manouvering
area);
memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan; memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue) (Handrini, 2013). Profesi sebagai ATC memiliki kontribusi penting dalam memberikan jasa pelayanan udara yang mendukung keselamatan di dunia penerbangan. ATC juga merupakan salah satu profesi yang memiliki tingkat stres tinggi (Tablodaviasi.com). Stres dapat didefinisikan sebagai suatu situasi di mana transaksi mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan ketidaksesuaian antara tuntutan (demand) dengan sumber dayanya (resources) (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011). Sehingga ketika seseorang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan suatu tuntutan tersebut, mereka akan merasa stres (Sarafino, 2011). Hampir semua orang mengalami stres yang berhubungan dengan pekerjaan mereka yang disebut sebagai stres kerja (Sarafino, 2011). Stres kerja adalah suatu keadaan emosional atau mood yang merupakan hasil dari ketidaksesuaian antara tuntutan dan kemampuan seseorang untuk mengatasinya (Grandjean, 1988). Sehingga ketika muncul stressor akibat dari ketidaksesuaian antara diri pekerja dengan pekerjaannya, maka seorang pekerja akan mengalami stres kerja (Lesmana, 2010). Stres kerja juga disebutkan sebagai suatu sumber kerja yang menyebabkan reaksi tertentu pada diri individu berupa reaksi fisiologis dan reaksi psikologis.
Universitas Sumatera Utara
Melton (Stokes & Kite, 1994 dalam Lesmana, 2010) berpendapat bahwa sangatlah tepat untuk menggambarkan pekerjaan sebagai Air Traffic Controller sangat banyak menimbulkan stres. Menurut Mohler (1983), seorang Air Traffic Controller (ATC) memiliki pengalaman yang tinggi terhadap stres di tempat kerja (dalam Berry, 1998). Hal ini didukung dengan penelitian terhadap ATC yang dilakukan oleh Rose, Jenkins, & Hurst (dalam Berry, 1998), di mana satu per tiga dari sample mengalami hipertensi, setengahnya mengalami masalah psikis, dan setengahnya menjadi seorang peminum yang merupakan gejala dari stress kerja. Hal ini sesuai dengan pengakuan dari hasil wawancara dengan salah seorang ATC “Marah iya, apalagi kalau ada pemicunya seperti alat yang tiba-tiba ngadat. Benar-benar bikin frustasi kalau sudah seperti itu. Kadang juga ngerasa lelah, kan duduk aja itu. Bikin capek juga.” (Komunikasi personal, 12 Desember 2013) Adapun gejala yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat dilihat dari berbagai faktor berupa gejala fisiologis, ditandai dengan adanya gejala-gejala berupa sakit kepala, cidera tubuh, kelelahan fisik, ketegangan otot, gangguan tidur, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah; gejala psikologis, ditandai dengan kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah marah, perasaan frustasi, marah dan kebencian, emosi yang hipersensitif dan hiperaktif, perasaan tertekan; gejala prilaku, ditandai dengan memburuknya hubungan dengan keluarga dan teman, agresi, kehilangan nafsu makan, prokrastinasi, peningkatan penggunaan alkohol dan obat-obatan (Rice, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh pekerja, tergantung dari persepsi pekerja itu terhadap lingkungannya, apabila ia merasakan adanya stres atau tidak (Rice, 1992). Adapun faktor-faktor yang menjadi sumber stres kerja yaitu lingkungan kerja, peran yang terkait dgn stressor, hubungan interpersonal dan organisasi itu sendiri (Sarafino, 2011). Bagi para ATC, stres kerja yang berat ini dikarenakan komplesitas lalu lintas udara, sistem shift yang tidak berjalan sebagai mana mestinya dan cuaca buruk yang tidak terprediksi. Selain ketiga penyebab tersebut, ada beberapa penyebab stres lainnya yaitu adanya permintaan dari berbagai pihak, tekanan waktu, prosedur operasional, takut terhadap konsekuensi dari kesalahan atau pun takut kehilangan kontrol terhadap pesawat, harus tetap fokus dan terus mengikuti perkembangan pesawat yang sedang ditangani, peralatan kerja yang terbatas seperti kualitas radio, alat navigasi, kualitas telepon dan peralatan pendukung lainnya membuat beban menjadi bertambah, lingkungan kerja yang bising oleh deru pesawat, pencahayaan yang berlebihan, sistem birokrasi yang membingungkan, ambiguitas peran
dan
gaji
yang
belum
mengikuti
standar
industri
penerbangan
(Tabloidaviasi.com). Selain itu, menurut Beehr & Newman (Berry, 1998), karakteristik dari pekerjaan juga dapat menyebabkan stress kerja seperti peran tuntutan pekerjaan dan ukuran dari beban kerja. Hal ini didukung dengan pendapat dari Sarafino (2011) bahwa tuntutan berupa tugas-tugas dapat menyebabkan stres kerja bagi individu. Adapun tuntutan tersebut berupa beban kerja dan jenis dari pekerjaan itu sendiri (Sarafino, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu oleh suatu pemegang jabatan atau unit organisasi (Menpan, 1997 dalam Dhania, 2010). Gawron (2008) mendefinisikan beban kerja sebagai sejumlah tuntutan tugas sebagai usaha dan kegiatan atau prestasi yang dilakukan individu di dalam bekerja. Bagi seorang Air Traffic Controller (ATC), beban kerja yang dirasakan mereka adalah tuntutan tugas yang terlalu tinggi dikarenakan padatnya jumlah arus pesawat (Supriyadi, 1998 dalam Lesmana, 2010). Hal ini didukung dari hasil wawancara dengan salah seorang ATC: “Kalau lalu lintas udara tidak padat biasanya menangani sekitar 15 pesawat, tetapi kalau lalu lintas pesawat padat biasanya bisa sampai 20 pesawat bahkan lebih dalam 1 jam. Di sini ya tiap hari lumayan padat, ini disebut peak hour. Biasanya jam padat itu sekitar jam 10-11 pagi sama jam 1-2 siang. Kalau udah jam segitu banyak kali lah pesawat yang harus dikontrol. Selain itu ada juga peak season. Ini biasanya pas hari raya, natalan, libur anak sekolah dan sekarang imlek juga udah mulai padat lalu lintas udaranya.” (Komunikasi personal, 12 Desember 2013) Jika traffic sedang padat seperti wawancara di atas, petugas pemandu lalu lintas udara bahkan harus memandu pesawat lebih dari 20 dalam waktu yang bersamaan dalam wilayah tanggung jawabnya yang mana mereka harus mampu mengantarkan pesawat yang mereka tangani agar sampai ke tujuan dengan selamat, karena nyawa ribuan orang berada di tangan mereka. “Kalau satu jam ada 20 pesawat, dalam 1 pesawat ada sekitar 200 penumpang. Berarti seorang ATC bertanggung jawab dengan 4000 nyawa manusiakan. Itu lah yang membuat beban kerja ATC tinggi.” (Komunikasi personal, 12 Desember 2013)\
Universitas Sumatera Utara
Tak hanya bertanggung jawab terhadap nyawa penumpang, ATC juga ikut bertanggung jawab terhadap kesalahan yang disebabkan oleh pilot, seperti hasil wawancara dengan seorang ATC: “Semuanya sangat teratur dan ada standar operasionalnya. Jadi kalau terjadi kesalahan yang mungkin saja berasal dari si pilot sendiri yang tidak mematuhi arahan yang sudah kami berikan, kami yang ikut bertanggung jawab atas kelalaian yang mereka lakukan.” (Komunikasi Personal, 12 Desember 2013) Dari paparan di atas terlihat jelas bahwa tugas dan tanggung jawab seorang ATC cukup berat. Pengertian beban kerja dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu secara subjektif dan secara objektif. Beban kerja secara objektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan. Beban kerja subjektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pertanyaan tentang beban kerja yang diajukan, tentang perasaan kelebihan jam kerja, ukuran dan tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja (Groenewegen & Hutten, 1991 dalam Mike, 2011). Beban kerja subjektif merupakan bagaimana seseorang mempersepsikan beban kerja tersebut. Robbins (2007) menyatakan bahwa positif negatifnya beban kerja merupakan masalah persepsi. Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda dalam menanggapi beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Hart and Staveland (Dhania, 2010) mendefinisikan beban kerja sebagai hubungan antara sejumlah kemampuan proses mental atau sumber daya dalam menyelesaikan suatu tugas.
Universitas Sumatera Utara
Tak hanya beban kerja yang terlalu banyak yang dapat menyebabkan stres kerja, beban kerja yang terlalu sedikit juga dapat menyebabkan stres kerja (McShane & Glinow, 2003). Tetapi pada kebanyakan kasus, beban kerja yang berlebihanlah yang menyebabkan stres kerja (Berry, 1998). Seperti kasus yang terjadi di Jepang yang disebut Karoshi. Yang mana pada kasus ini menyebabkan kematian pada individu yang mengalami beban kerja terlalu banyak (McShane & Glinow, 2003). Sehingga dapat dikatakan bahwa beban kerja merupakan salah satu penyebab stres kerja tergantung persepsi dari setiap individu terhadap beban kerja yang dirasakan. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melihat tingkat stres kerja ditinjau dari beban kerja pada Air Traffic Controller.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melihat apakah ada tingkat stres kerja yang ditinjau dari beban kerja pada Air Traffic Controller (ATC)?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkatan stres kerja dan beban kerja pada Air Traffic Controller (ATC).
Universitas Sumatera Utara
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik dari segi teoritis maupun praktis, yaitu 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti mengenai variabel stres kerja dan beban kerja. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai tingkat stres kerja dan beban kerja yang dirasakan oleh Air Traffic Controller (ATC).
E. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah dan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang isi dari proposal ini, maka pembahasan dilakukan secara komprehensif dan sistematik yang meliputi : BAB I
: LATAR BELAKANG MASALAH
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II
: LANDASAN TEORI
Universitas Sumatera Utara
Bab ini menguraikan teori yang mendasari masalah yang menjadi variabel dalam penelitian dan dinamika antara variabel yang ingin diteliti serta hipotesis penelitian. Teori-teori yang dimuat adalah teori tentang stres kerja dan beban kerja. BAB III
: METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan lokasi penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas, reliabilitas, dan uji daya beda aitem, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode pengolahan data. Bab IV Analisa Data dan Interpretasi Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan penelitian dan analisa hasil penelitian. Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara