BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang • Perubahan di Tingkat Nasional Pagi hari, Kamis, 21 Mei 1998. Di salah satu ruangan di Istana Merdeka, ruangan kredensial (credential room), telah berkumpul dan berdiri beberapa pejabat penting negara. Tampak berdiri di sana, antara lain, Wakil Presiden Republik Indonesia (RI), B.J. Habibie dan Panglima TNI, Jenderal Wiranto. Mereka semua yang hadir di sana menunggu dengan hati berdebar-debar, apa gerangan yang akan terjadi pada detik-detik ke depan diruangan itu. Lalu kira-kira pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Presiden Suharto yang baru saja tiba di ruangan kredensial itu, maju ke depan menuju podium yang sudah tersedia di sana. Dengan gaya yang tetap tenang seperti biasanya, Presiden Suharto membaca teks pidato pengunduran dirinya. “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari Kamis 21 Mei 1998,” demikian antara lain bunyi pernyataannya. Sejenak kemudian ia melanjutkan pernyataannya. “Sesuai dengan pasal 8 Undang Undang Dasar 1945, maka Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr.Ir. B.J. Habibie, yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden, Mandataris MPR, 1998-2003”. Selesai membacakan teks pidato pengunduran dirinya, Jenderal (Purn) Suharto bergeser dari podium dan melangkah keluar dari ruangan kredensial Istana Merdeka, meninggalkan para undangan yang hadir di sana. Tidak beberapa lama kemudian, Wakil Presiden B.J. Habibie dipersilahkan maju ke depan podium untuk dilantik dan diambil sumpahnya menjadi Presiden Republik Indonesia (Presiden RI) oleh Ketua Mahkamah Agung (MA). Dari titik ini, sejarah baru Indonesia mulai bergulir. Naiknya Habibie sebagai Presiden RI yang ketiga (setelah Sukarno dan Suharto), memang kemudian dicatat sebagai titik awal
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI dari berlangsungnya serangkaian perubahan sosial-politik di Indonesia. Di antara berbagai perubahan itu adalah kemunculan kembali sistem politik multipartai, yang pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1970an pernah mewarnai sistem perpolitikan di Indonesia. Dalam pemilihan umum (Pemilu) tahun 1955, misalnya, ada puluhan partai politik (kira-kira 40 partai) yang diperbolehkan ikut Pemilu. Sedangkan Pemilu tahun 1971 masih diikuti oleh 10 partai politik. Tetapi setelah itu, sistem politik multipartai itu dikubur melalui proses penyederhanaan partai, yang pada waktu itu diistilahkan dengan sebutan “fusi partai-partai politik”. Sehingga pada Pemilu tahun 1977, hanya ada tiga kekuatan politik saja yang boleh ikut Pemilu, yaitu Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 1 Kemunculan kembali sistem politik multipartai ini merupakan salah satu perwujudan dari semakin terbukanya sistem politik di Indonesia sejak pemerintahan Presiden Habibie. Perkembangan seperti ini seperti membalik keadaan bila dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya yang sistem politiknya tertutup. Ketertutupan ini antara lain ditandai oleh: pertama, pemerintah hanya mengakui keberadaan dan keabsahan dua partai politik (Partai Demokrasi Indonesia/PDI dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP), ditambah satu golongan politik (Golongan Karya/Golkar), dan karena itu hanya merekalah bertiga yang berhak ikut pemilu; kedua, bentuk politik massa seperti yang pernah berkembang pada masa sebelumnya dilarang, dan sebagai gantinya, dikembangkan sistem politik massa mengambang (floating mass). Dengan sistem politik masa Pada tahun 1971, Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) yang masih diikuti oleh 10 partai politik, yakni (1) Partai Nasionalis Indonesia (PNI), (2) Partai Katolik, (3) Partai Kristen Indonesia (Parkindo), (4) Partai Murba, (5) Partai Ikatan Pelopor Kemerdekaan Indonesia (IPKI), (6) Partai Nahdatul Ulama (NU), (7) Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), (8) Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), (9) Partai Pendidikan Islam (Perti), dan (10) Golkar. Pada Pemilu 1977, lima partai yang pertama kemudian berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), empat partai berikutnya yang berhaluan Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu Golkar yang tetap menjadi satu kekuatan politik tersendiri. Dalam sejarah Pemilu Orde Baru, Golkar selalu menang pemilu (1971 – 1997). Uraian lebih lengkap, lihat: Evans, Kevin Raymond. The History of Political Parties & General Elections in Indonesia. Arise Consultancies, Jakarta, 2003. 1
2
BAB 1 PENDAHULUAN mengambang ini maka kekuatan politik peserta Pemilu, terutama PDI dan PPP, dilarang sama sekali membangun jaringan politik formal di tingkat grassroot, terutama yang bisa digunakan sebagai basis mobilisasi massa. Konsekuensinya desa/kelurahan harus bebas dari partai politik; tetapi sebaliknya, Golkar, sebagai “the ruling party” justru mendapat keistimewaan menggalang kekuatannya sampai ke desa-desa, khususnya dengan memanfaatkan institusi pemerintahan desa. Pada bulan September 1999, pemerintahan Presiden Habibie menyelenggarakan Pemilu multipartai yang diikuti oleh tidak kurang dari 40 partai politik. Dalam Pemilu kali ini, sistem politik massa mengambang dihapuskan sehingga banyak partai yang terdorong untuk melakukan mobilisasi massa sampai ke tingkat grassroot. Hasil Pemilu 1999 serta proses perguliran politik yang menyertainya ternyata terus mendorong berbagai perubahan dalam sistem politik di Indonesia. 2 Misalnya saja, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) hasil Pemilu 1999, telah melakukan amandemen UUD 1945, dengan beberapa hasil antara lain sebagai berikut. Keberadaan para anggota DPR dan MPR dari unsur-unsur Utusan Daerah, Utusan Golongan dan Utusan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang keanggotaannya diangkat dan bukan dipilih lewat Pemilu, untuk selanjutnya dihapuskan. Selain DPR dan MPR, dimunculkan suatu lembaga negara baru, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang keanggotaannya dipilih secara langsung oleh rakyat di masing-masing wilayah provinsi di Indonesia. Selanjutnya susunan anggota MPR terdiri dari para anggota DPR dan DPD. Sistem pemilihan Presiden (Pilpres) dilakukan secara langsung oleh rakyat, sehingga MPR, dengan adanya Pilpres, menjadi tidak lagi berwenang memilih Presiden/Wakil Presiden, sebagaimana masa sebelumnya. Dalam Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil meraih suara terbanyak, yaitu hampir sebesar 34%. Partai Golkar yang selalu unggul dalam pemilu selama masa Orde Baru menempati urutan ke dua dengan perolahan kursi hampir 22%. Urutan perolehan suara selanjutnya adalah: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 13%; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11%, dan Partai Amanat Nasional (PAN) 7%. Ibid, Evans, Kevin Raymond. Halaman 27 – 31.
2
3
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Semua ketentuan baru hasil amandemen UUD 1945 tersebut di atas dinyatakan mulai berlaku sejak Pemilu tahun 2004, yang memilih wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan Presiden/Wakil Presiden secara langsung. Selain itu, DPR hasil Pemilu 1999 juga menyetujui pengesahan beberapa undang-undang baru yang keberadaannya kemudian ternyata sangat mempengaruhi perkembangan politik di dalam negeri. Salah satu di antara undang-undang baru itu adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kedudukannya menggantikan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah serta sekaligus menggantikan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Lahirnya undang-undang baru ini menandai awal dari kembalinya pelaksanaan prinsip desentralisasi atau otonomi dalam pengelolaan pemerintahan di daerah. Tentu ini merupakan suatu perkembangan baru karena tata pengelolaan pemerintahan daerah sebagaimana diatur oleh undang-undang yang lama cenderung bersifat sentralistik. Pada periode Juli – Oktober 2004, untuk kedua kalinya sejak masa reformasi diselenggarakan kembali pemilu multipartai. Sejalan dengan amandemen UUD 1945, maka Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif (DPR), yang dibarengi dengan pemilihan langsung anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Setelah itu disusul oleh pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat. Pilpres secara langsung ini adalah yang pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia modern. Selanjutnya, sejak bulan Juni tahun 2005 diselenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat di berbagai daerah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Pelaksanaan Pilkada ini sebagai bagian dari implementasi UU No. 32/2004 yang merupakan hasil revisi dari UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Apa yang bisa dicermati dari perkembangan keadaan ini? Pada satu sisi, proses-proses politik yang bergulir sejak tahun 1998 ini memang telah mendorong keterbukaan politik, yang hal ini semakin memperlebar ruang keterlibatan politik masyarakat hingga ke tingkat 4
BAB 1 PENDAHULUAN paling bawah. Sejalan dengan itu, berbagai pikiran dan aspirasi masyarakat juga menjadi lebih bebas muncul kepermukaan mengisi ruang wacana publik. Semuanya ini menjadikan kehidupan sosialpolitikk masyarakat menjadi semakin dinamis (dan bahkan riuh rendah), sangat berbeda jauh bila dibandingkan masa sebelum jaman reformasi. Partai-partai yang berhasil mendudukkan wakilnya di DPR, juga bebas menyuarakan kepentingannya di parlemen, nyaris tanpa hambatan, dan bahkan tidak jarang oleh sebagian kalangan, kebebasan yang disuarakan itu sebagian dianggap “kebablasan”. Yang juga penting digarisbawahi di sini adalah bahwa semua pikiran dan aspirasi itu bisa bebas muncul kepermukaan karena berkembangnya kebebasan pers yang tumbuh seiring dengan bergulirnya proses reformasi. Pada tataran pemerintahan dan kenegaraan di tingkat nasional, muncul berbagai lembaga dan komisi negara yang baru, yang kehadirannya dianggap sejalan dengan tuntutan perkembangan kebebasan dan demokrasi di Indonesia. Lembaga dan komisi negara yang baru itu antara lain, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lain sebagainya. Hadirnya lembaga dan komisi negara itu, sedikit banyak telah mendorong perubahan pola relasi antar lembaga negara (dan pemerintahan), yaitu dari semula yang polanya agak tertutup menjadi lebih terbuka. Semuanya ini, sekali lagi, mencerminkan berkembangnya situasi kebebasan dan keterbukaan. • Perubahan di Tingkat Lokal Pada tingkat daerah juga terjadi berbagai perubahan yang mencerminkan perkembangan jaman. Seperti ditunjukkan dari kenyataan baru bahwa semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sejak pemilu 2004, tidak ada lagi yang diangkat seperti pada masa sebelumnya (unsur ABRI). Sejak saat itu semuanya dipilih melalui pemilu legislatif dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai peserta pemilu. Seperti halnya yang terjadi di tingkat nasional, para anggota DPRD yang sepenuhnya dipilih dalam 5
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Pemilu itu, juga bebas menyuarakan kepentingan dan aspirasi partainya, tidak seperti masa sebelum reformasi. Lalu sejak bulan Juni 2005, Kepala Daerah (Bupati/Wakil Bupati) tidak lagi dipilih oleh DPRD seperti masa sebelumnya, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal). Proses ini mengikuti jejak Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, yang sejak tahun 2004 juga sudah dipilih secara langsung oleh rakyat. Tentu saja, perkembangan seperti yang dikemukakan di atas itu pada akhirnya mendorong terjadinya berbagai perubahan sosial di tingkat daerah atau lokal, yang dalam hal ini, tak terkecuali, di perdesaan Bali. Terkait masalah perubahan sosial di Bali, sejarah menunjukkan bahwa perkembangan situasi sosial-politik di Bali memang seringkali memiliki hubungan erat dengan perkembangan situasi sosial-politik nasional. Robinson (1995) dalam bukunya berjudul “The Dark Side of Paradise, Political Violence in Bali”, misalnya, mengungkapkan dengan jelas keterkaitan seperti itu melalui penggambaran kekerasan politik di Bali menyusul pergolakan politik nasional melalui suatu peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September PKI (G30S PKI) yang bermula di Jakarta. Dengan mengingat dan mempertimbangkan konteks sejarah seperti ini, maka menjadi tidak terlalu aneh kalau perubahan sosial-politik di tingkat nasional menyusul kejatuhan pemerintahan Orde Baru, pada akhirnya juga menggulirkan berbagai perubahan pula di Bali. Berikut ini gambaran empiriknya. Ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mampu untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir (1977-1997) menghentikan dominasi politik Partai Golkar di tingkat nasional dalam Pemilu tahun 1999, maka hal serupa juga terjadi di Bali. Kemenangan PDIP waktu itu dianggap merepresentasikan tampilnya suatu kekuatan politik baru yang berhasil menandingi kekuatan lama yang sebelumnya menjadi salah satu pilar utama Pemerintahan Orde Baru. Kalau dicermati, perubahan bandul politik yang terjadi di Bali itu bahkan berlangsung lebih drastis 6
BAB 1 PENDAHULUAN karena PDIP mampu mengalahkan Partai Golkar dengan perolehan suara yang sangat telak. Dalam Pemilu 1999 tersebut, PDIP mampu meraih kemenangan lebih dari 80% kursi suara. Padahal selama masa Orde Baru – sampai terakhir pada Pemilu tahun 1997 – Golkar selalu memperoleh kemenangan mutlak. Dengan hasil Pemilu seperti itu, maka Pemerintahan Daerah di Bali, baik pada tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Kota (kotamadya), boleh dikatakan dikuasai hampir sepenuhnya oleh wakil-wakil dari PDIP. Sedangkan dalam dimensi yang lain, perubahan bandul politik yang lebih drastis itu, antara lain, ikut mendorong terjadinya “amok” massa di Bali, menyusul kegagalan Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden RI. Meskipun pada waktu itu partainya keluar sebagai pemenang Pemilu 1999, tetapi justru Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB yang berhasil terpilih sebagai Presiden RI dalam Sidang Umum MPR RI tahun 1999. Padahal PKB mendapatkan kursi suara yang jauh lebih kecil dibandingkan PDIP, yaitu 34% versus 13%. Kejadian “amok” 3 itu sendiri mengundang banyak pertanyaan, mengapa Bali yang selama ini dikenal sebagai Pulau Dewata, yang masyarakatnya (dianggap) menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang harmonis, bisa mengalami “amok” massa seperti itu? Amok massa itu kalau ditelusuri memiliki jejak sejarah yang panjang di masyarakat Bali. Sehingga kalau mengacu pada sejarah, sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan kalau hal seperti itu bisa terjadi di Bali. Vickers (2012) dalam bukunya berjudul “Bali A Paradise Created ” dan juga Schulte-Nordholt (2006) dalam bukunya berjudul “The Spell of Power, Sejarah Politik Bali 1650 – 1940”, mengemukakan Menyusul kekalahan Megawati Sukarnoputri dalam pemilihan presiden tahun 1999, maka sejak pagi hari tanggal 20 Oktober 1999 meletus kerusuhan masal di beberapa kota di Bali, khususnya di Negara (Kabupaten Jembrana), Singaraja (Kabupaten Buleleng), dan Denpasar (Kotamadya Denpasar). Dalam kerusuhan yang membawa nuansa anti Jawa dan Islam itu, beberapa gedung pemerintahan, khususnya yang ada di Singaraja dan Denpasar dibakar hangus massa. Kerusuhan baru mereda setelah Megawati Sukarnoputri dipilih oleh MPR menjadi Wakil Presiden pada tanggal 21 Oktober 1999. Lihat: Schulte-Nordholt, (2007). Bali, An Open Fortress 1995 – 2005. Regional Autonomy, Electoral Democracy and Entrenched Identities. Singapore: NUS Press. Halaman16 – 17.
3
7
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI bahwa masyarakat Bali dalam perjalanan sejarahnya ternyata memang sangat dinamis, tidak pernah sepi dari konflik sosial-politik, disamping realitas harmoni yang ada. Realitas ini tentu tidak seperti yang banyak disangka “orang luar Bali” bahwa masyarakat Bali berada dalam suatu tatanan kehidupan sosial-politik yang selalu damai dan harmonis, sejalan dengan julukannya Bali sebagai Pulau Dewata. Kenyataannya, konflik dan harmoni, ternyata menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah masyarakat Bali. Salah satu fenomena yang mencerminkan realitas masyarakat Bali yang dinamis, paling tidak terlihat dari adanya pergeseranpergeseran bandul politik dalam pemilu sejak masa reformasi, yaitu pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Kalau PDIP dalam tahun 1999 mampu memenangkan Pemilu hampir secara mutlak maka dalam Pemilu 2004 jumlah perolehan kursi suaranya mulai berkurang, meski tetap mampu mempertahankan kemenangannya. Sebaliknya, Golkar dalam Pemilu 2004 berhasil mengambil kembali sebagian suaranya yang sempat tersedot PDIP dalam pemilu 1999. Dalam Pemilu 2004, pendatang baru, Partai Demokrat (PD), berhasil memperoleh suara 6,4%, sehingga menempatkan diri sebagai partai ke tiga terbesar di Bali setelah PDIP dan Partai Golkar. Dalam Pemilu 2009, suara PDIP terus merosot, sementara suara Partai Golkar terus meningkat dibandingkan Pemilu 2004. Sementara perolehan suara Partai Demokrat melonjak pesat dari 6,4% pada Pemilu 2004 menjadi 17,6% pada Pemilu 2009. Berikut tabel yang menggambarkan hasil Pemilu di Bali antara tahun 1971 – 2009. Tabel 1: Perolehan Suara Golkar dan PDIP dalam Pemilu Tahun Pemilu 1971 1992 1997 1999 2004 2009
Golkar/Partai Golkar 82,8% 78,5% 93,5% 10,4% 16,8% 19,2%
PNI/PDI/PDIP 12,4% 19,7% 3,5% 79% 52,5% 40,1%
Partai Demokrat 6,4% 17,6%
Sumber: Schulte-Nordholt (2007). Bali: An Open Fortress, 1995-2005 dan kompas.com (Infografis, Peta Pemilu 2009)
8
BAB 1 PENDAHULUAN Dibandingkan dengan PDIP dan Golkar, PD merupakan partai baru yang awalnya didirikan untuk bisa mendukung pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres 2004. Dalam Pilpres 2004, SBY mendapatkan suara yang cukup besar di Bali sehingga berhasil menempati posisi ke 2 setelah Megawati. Bali, disamping NTT adalah dua wilayah di Indonesia dimana perolehan suara Megawati mampu mengungguli perolehan suara SBY dalam Pilpres 2004. Dalam Pilpres 2009, perolehan suara Megawati tetap unggul dibandingkan SBY, meski jumlahnya terus berkurang dibandingkan perolehan suara pada Pilpres 2004. Sementara itu dalam pemilihan kepala daerah di Bali paska Pemilu 2004 (2005 – 2009) dominasi PDIP mulai pudar. Kalau Kepala Daerah terpilih di Bali paska Pemilu 1999 semuanya berasal dari PDIP, maka paska Pemilu 2004, PDIP mengalami kekalahan di beberapa daerah kabupaten/kota di Bali, seperti misalnya di Kabupaten Badung, Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Gianyar. Di ketiga kabupaten tersebut, calon dari Partai Golkar yang didukung oleh beberapa partai lainnya terutama Partai Demokrat, berhasil mengungguli calon dari PDIP yang sebelumnya berkuasa. Perkembangan dinamika politik (baru) di Bali seperti ini merefleksikan perubahan bandul politik nasional. Di tingkat nasional, dalam Pemilu 2004 Partai Golkar berhasil mengungguli kembali PDIP dengan perolehan suara 21,58 % dibandingkan 18,53%. Sedangkan dalam Pemilu 2009, kembali PDIP kalah unggul, sehingga menduduki posisi ketiga di bawah PD (21%), Partai Golkar (15%) dan PDIP (14%). Tujuan dan Metode Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian yang hasilnya dituangkan dalam disertasi ini adalah mengungkapkan gambaran tentang proses perubahan sosial di perdesaan Bali, termasuk sifat atau karakter dari proses perubahan itu. Selanjutnya, berdasarkan gambaran yang ada tersebut, dilakukan suatu refleksi analitis terkait teori dan konsep perubahan sosial dan 9
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI pembangunan. Soal pembangunan ikut disinggung di sini karena penelitian ini secara keseluruhan termasuk dalam ruang lingkup studi pembangunan. Terkait hal ini, kata pembangunan di sini dimaknai, antara lain, sebagai suatu proses perubahan sosial atau transformasi sosial. Jadi singkat kata, pembangunan yang dimaksudkan di sini tidak lain adalah suatu proses perubahan sosial (development as social change) menuju kemajuan (progress) masyakat. Proses perubahan sosial itu sendiri diasumsikan terjadi, terutama sebagai akibat dari berkembangnya dinamika sosial-politik baru di tingkat nasional dan lokal/daerah (Bali) sejak awal era reformasi (1998), yang pengaruhnya terus mengalir ke perdesaan. Sehingga dalam konteks perubahan sosial di perdesaan Bali, faktor awal pendorongnya adalah berkembangnya dinamika sosial-politik di tingkat supra-desa; disamping pada gilirannya faktor intra-desa juga ikut menjadi faktor penentunya. Terkait tingkat hirarkhis gejala perubahan ini (perubahan di tingkat perdesaan dan di supra-desa), Sztompka (2005), menyatakan bahwa perubahan sosial memang seringkali bisa dibayangkan terjadi pada berbagai tingkatan yang satu sama lain memiliki keterkaitan pengaruh. Tingkatan perubahan itu adalah perubahan pada tingkat makro (sistem internasional dan nasional/negara), tingkat meso (sistem lokal dan daerah) dan tingkat mikro (sistem desa dan komunitas). Sejalan dengan hal ini, maka penelitian ini memfokuskan pada perubahan pada tingkatan mikro, dengan tentu saja, mengkaitkan sumber-sumber serta pengaruhpengaruh perubahan pada tingkat meso dan makro. Unit pengamatan penelitian ini adalah suatu wilayah perdesaan, yaitu di wilayah Desa Adat/Pakraman Tabola, yang lokasinya berada Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Propinsi Bali (lihat peta). Lalu pertanyaannya, mengapa unit pengamatan yang dipilih adalah perdesaan di Bali? Memang, bagaimanapun, untuk suatu studi perubahan sosial, Bali merupakan suatu wilayah yang tidak habis-habisnya menarik untuk dikaji. Keunikan sistem sosial masyarakat Bali yang dalam realitanya terus menerus menghadapi proses interaksi dengan elemen-elemen dari dalam dan dari luar Bali secara sekaligus, terus memunculkan berbagai 10
BAB 1 PENDAHULUAN perkembangan sosial baru yang menarik untuk diungkapkan. Dari sisi ilmu pengetahuan, hal seperti ini tentu bisa menjadi bahan pelajaran yang bernilai. Lalu karena wilayah perdesaan pada dasarnya memiliki ruang lingkup kehidupan sosial yang lebih terbatas ketimbang tataran kehidupan sosial pada tingkat meso atau makro, maka perkembanganperkembangan baru sebagai hasil dari proses perubahan sosial di perdesaan bisa digambarkan secara lebih nyata. Meskipun unit pengamatan penelitian ini ditetapkan pada tingkatan perdesaan atau mikro, tetapi pada tataran analisanya, mau tidak mau, akan mencakup pula tingkatan meso dan makro, atau supra-desa. Ini mengingat bahwa proses perubahan sosial di perdesaan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, sebagaimana disinggung sebelumnya, antara lain, didorong oleh kekuatan-kekuatan perubahan yang berasal dari tingkatan supra-desa tersebut. Berangkat dari tujuan tersebut di atas maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut. Pertama, bagaimana gambaran proses-proses sosial-politikk di perdesaan dengan semakin mendalamnya penetrasi pengaruh sosial-politik supra-desa? Kedua, proses-proses sosial-politik yang berkembang di perdesaan tersebut telah mendorong atau membawa gejala perubahan sosial penting apa? Selanjutnya bagaimana gambaran dari perubahan sosial di perdesaan tersebut? Ketiga, pembelajaran apa yang mungkin bisa digali dari keseluruhan proses penelitian tentang perubahan sosial di perdesaan, terutama bila dihubungkan dengan perspektif konsep maupun teori perubahan sosial. Poin yang terakhir ini menyangkut suatu refleksi analitis terhadap konsep dan teori perubahan sosial yang didasarkan pada proses dan hasil dari penelitian lapangan. Terakhir, karena penelitian ini sesungguhnya berada dalam koridor ruang lingkup studi pembangunan, maka pertanyaannya adalah, dari hasil refleksi analisis konsep dan teoritis tersebut di atas, apa relevansinya bagi pengembangan gagasan atau ide terkait konsep dan praktik pembangunan itu sendiri, khususnya dalam konteks Bali.
11
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI • Ruang Lingkup Perubahan Sosial Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan perubahan sosial di perdesaan itu terutama manyangkut hal-hal sebagai berikut. Proses perubahan dalam tatanan nilai-nilai dan norma-norma, yang dampaknya mempengaruhi pikiran, sikap dan tindakan masyarakat perdesaan, baik sebagai individu maupun kolektif; proses perubahan struktur dan tata hubungan/relasi kelembagaan sosial-politik di perdesaan; proses perubahan struktur dan sistem kepemimpinan sosial-politik di perdesaan; proses pergeseran atau perubahan dari keseluruhan sistem sosial masyarakat perdesaan. Perlu dicatat di sini bahwa berbagai proses perubahan yang disebutkan di atas, dalam kenyataannya bukanlah suatu proses yang masing-masingnya berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu proses yang kait mengkait satu dengan yang lainnnya, dan tidak jarang juga saling tumpang tindih. Berbicara tentang perubahan sosial, tentu saja prosesnya harus dibayangkan berada dalam suatu kerangka waktu atau dimensi waktu tertentu. Ini artinya perubahan sosial itu secara konsepsional harus dilihat dalam kaitannya dengan perbedaan keadaan atau situasi pada suatu kurun waktu tertentu, yaitu antara sebelum dan sesudah proses perubahan itu berlangsung. Menurut Sztompka (2005), untuk bisa menyatakan perbedaannya, ciri-ciri awal unit analisa harus diketahui dengan teliti, meski terbuka kemungkinan ciri-ciri yang bersangkutan terus berubah. Mengacu pada konsep ini, maka dalam penelitian tentang perubahan sosial di perdesaan Bali, terutama difokuskan dalam kerangka waktu kurang lebih satu dekade sesudah masa reformasi (1998-2010). Selanjutnya perkembangan keadaan selama kurang lebih satu dekade itu kemudian juga dibandingkan dengan keadaan sebelum masa reformasi. Meskipun telah ditetapkan suatu fokus kerangka waktu sebagaimana disebutkan di atas, tidak berarti proses penelitian ini mengabaikan kerangka waktu yang lebih panjang kebelakang, yaitu yang menyangkut dimensi historis dari kehidupan sosial-politik masyarakat Bali. Alasannya, dengan menarik garis sejarah yang lebih 12
BAB 1 PENDAHULUAN panjang itu, diharapkan gambaran tentang proses perubahan sosial yang terjadi selama kurun satu dekade terakhir ini bisa terungkap dalam perspektif yang lebih lengkap dan komprehensif. Terkait hal ini, Holton (2003: 27-38) dalam tulisannya berjudul “Max Weber and the Intepretatif Tradition”, misalnya, menulis antara lain: ”Understanding the present, and the direction in which social change was leading, required a profound grasp of long-run processes of social change. The distinctiveness, the dynamics and the inertias of the present could only fully be grasp in historical perspective…”
Dalam kenyataannya, memang banyak segi-segi kehidupan sosial-politik masyarakat desa di Bali yang sulit dilepaskan dengan sejarahnya. Bahkan bagi masyarakat desa di Bali, kehidupan sosial masa lalu dan masa kini terangkai erat oleh suatu jalinan benang merah berbentuk nilai-nilai dan norma-norma adat dan religi yang hingga kini masih hidup dan berlaku dalam masyarakat. Sehingga memang sulit menangkap gambaran kehidupan sosial-politik kontemporer masyarakat perdesaan di Bali tanpa mengetahui aspekaspek historis dari kehidupan sosial-politik masyarakat yang bersangkutan. Dalam hubungannya dengan hal ini, masyarakat desa adat di Bali, menurut Subanda (2005), mempunyai suatu konsep yang disebut dengan nama Catur Dresta, yang maknanya kurang lebih adalah empat pandangan mengenai tatakrama pergaulan hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Secara tersurat, catur dresta itu sendiri berasal dari suku kata, catur yang berarti empat, dan dresta yang berarti pandangan. Unsurunsur catur dresta itu terdiri dari purwa dresta, loka dresta, desa dresta, dan sastra dresta. Purwa dresta atau juga biasa disebut sebagai kuna dresta adalah suatu pandangan dari sebuah komunitas yang berlaku sejak dahulu kala secara turun menurun sehingga menjadi suatu tradisi yang masih berlaku sampai sekarang. Sedangkan loka dresta adalah pandangan dari suatu masyarakat lokal atau daerah tertentu yang bisa berbeda dengan masyarakat lokal atau daerah lainnya. Desa dresta adalah pandangan masyarakat yang hanya berlaku pada suatu desa tertentu. Pandangan ini menunjukan adanya 13
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI kekhususan tradisi dari masing-masing desa adat yang ada di Bali. Konsep ini menegaskan bahwa di balik kehidupan sosial masyarakat desa di Bali yang terkesan sama dan seragam itu, sesungguhnya di dalamnya terdapat keanekaragaman yang menunjukkan kekhususan masing-masig desa adat. Yang terakhir, sastra dresta, adalah pandangan yang dilandasi oleh ajaran-ajaran Hindu yang dipergunakan sebagai pedoman mengatur kehidupan masyarakat. Konsep sastra dresta ini menegaskan bahwa kehidupan sosial desa adat di Bali terkait erat dengan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Berdasarkan konsep catur dresta ini, khususnya purwa dresta, jelas kelihatan bahwa keberadaan desa-desa di Bali memiliki akar sejarah yang panjang, sepanjang perjalanan kehidupan sosial masyarakat desa itu sendiri. Ada benang merah yang kuat dalam bentuk nilai-nilai lama (kuno dresta) yang masih berlaku, yang konteksnya menghubungkan antara kehidupan sosial kekinian dengan masa lalu atau sejarah kehidupan sosial masyarakat desa yang bersangkutan. Lebih dari itu, menurut Schulte-Nordholt (2007), orang Bali, baik sebagai individu maupun kolektif bahkan tidak bisa hidup tanpa masa lalunya atau sejarah asal usulnya. Dalam pandangan orang Bali, itulah yang disebut dengan konsep kawitan, yang menjadi unsur penting dari identitas orang Bali itu sendiri. Dalam bahasa Bali (Sukayana, I.N, 2008), kawitan itu artinya asal-usul, leluhur. Dalam praktiknya sehari-hari di perdesaan Bali, konsep Catur Dresta bersama dengan konsep Tri Hita Karana menjadi dasar dari keberadaan suatu perangkat aturan hukum adat yang ada, hidup dan berlaku di semua desa adat di Bali. Perangkat aturan itu dinamakan awig-awig, yang merupakan suatu acuan hukum normatif yang mendasari tatanan dan proses kehidupan sosial, budaya dan religi dari masyarakat (krama) desa adat di Bali, atau yang sekarang dikenal dengan nama desa pakraman. Jadi awig-awig ini, kurang lebih bisa disejajarkan dengan semacam konstitusi yang berlaku bagi desa adat, yang substansinya memuat berbagai ketentuan atau aturan tentang pelaksanaan kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan di perdesaan di Bali. Sebagaimana sudah disinggung di atas, hampir semua desa adat di Bali memiliki awig-awig, yang isinya bisa berbeda 14
BAB 1 PENDAHULUAN antara satu desa adat dengan desa adat yang lainnya. Hal yang terakhir ini sejalan dengan salah satu konsep catur dresta, yaitu konsep desa
dresta.
Memang, agak berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia pada umumnya, di Bali sampai sekarang terdapat dua jenis desa yang keberadaannya sama-sama nyata di mata masyarakat, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama desa pakraman adalah desa asli di Bali yang keberadaannya bisa ditelusuri sejak jaman kuno, jauh sebelum Bali mendapatkan pengaruh dari luar (Kerajaan di Jawa) yaitu sekitar abad 9. Pada jaman itu masyarakat desanya disebut dengan nama “kraman”, sedangkan tempat atau wilayah dimana kraman tinggal disebut “desa”. Sehingga tempat para kraman tinggal di suatu tempat itu disebut desa pakraman. Desa pakraman ini pada awalnya merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tertentu. Kemudian dengan munculnya pengaruh kekuasaan Hindu Jawa awal abad 14 maka mulailah desa pakraman itu berada di bawah pengaruh raja-raja. Keadaan ini, menurut Dharmayudha (2001), menunjukkan bahwa desa berfungsi ganda yaitu sebagai kelompok cikal bakal pemuja leluhur atau religius dan fungsi desa sebagai kelompok sosial-politik yang dibina oleh para raja, yang merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dari sudut pandang kelembagaan, desa adat di Bali ini mungkin bisa disejajarkan dengan bentuk-bentuk kesatuan masyarakat hukum (masyarakat adat) di tingkat lokal lainnya yang ada di Indonesia, seperti: gampong atau mukim di Aceh; marga di Sumatera Selatan, Bengkulu, atau Jambi; nagari di Sumatera Barat; wanua di Minahasa; golo di Manggarai, Flores; Negeri, ori atau huta di Sumatera Utara; desa (lama) di Jawa; dan lain sebagainya. Hanya perbedaannya, umumnya kesatuan masyarakat hukum lainnya yang ada di Indonesia itu keberadaannya sudah memudar atau bahkan hampir lenyap ditelan waktu dan jaman. Ini terjadi terutama sejak dibentuknya institusi baru di tingkat lokal yang memiliki nama generik, yaitu desa untuk menggantikan bentuk-bentuk kesatuan masyarakat hukum (adat) yang 15
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI ada di tingkat lokal itu. Sedangkan di Bali, kesatuan masyarakat hukum adatnya tetap eksis sampai sekarang, dengan nama desa adat atau desa pakraman (Daddi, 2010). Desa dalam pengertian umum itu kemudian menjadi bagian atau perpanjangan dari birokrasi paling bawah dari pemerintahan nasional yang pembentukannya di dasarkan pada UU No 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan berkembangnya suatu bentuk pemerintahan yang bersifat sentralistik pada masa Orde Baru maka dengan sendirinya desa seolah-olah menjadi pusat dari semua aktivitas pemerintahan di tingkat lokal. Desa, dengan demikian seperti memiliki kedudukan sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kuat, yang dalam perjalanannya kemudian boleh dikatakan “mengatasi” keberadaan kesatuan masyarakat hukum (lokal) atau institusi adat setempat. Desa dinas di Bali, secara umum menggambarkan hal yang sama dari realitas desa yang merupakan perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan pusat sebagaimana disebutkan di atas. Hanya bedanya, sebagaimana dikemukakan oleh Agung (2006), kalau di daerah lainnya di Indonesia (khususnya di luar Jawa), desa atau nama desa boleh dikatakan merupakan institusi baru yang gagasan pembentukannya mulai mencuat terutama sejak akhir tahun 1960-an, desa (dinas) di Bali justru sudah mulai berkembang sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan terus hidup hingga saat sekarang ini. Sementara konsep Tri Hita Karana yang sampai sekarang menjadi landasan keberadaan desa adat merupakan konsep yang bersumber dari ajaran Hindu di Bali. Pengertiannya diambil dari suku kata: Tri yang berarti tiga, Hita berarti baik, dan Karana berarti sumber. Sehingga secara keseluruhan Tri Hita Karana bermakna tiga sumber kebaikan yang memungkinkan manusia dan masyarakat desa bisa memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Menurut Surpha (2006), agar manusia (dan kemudian, masyarakat) bisa mencapai kehidupan bahagia lahir batin, maka harus mampu membangun tiga hubungan yang harmonis, yaitu hubungan antara: 16
BAB 1 PENDAHULUAN manusia dengan Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa); manusia dengan wilayah tempat pemukiman dan alam sekitarnya (wilayah desa/banjar); dan akhirnya manusia dengan sesama manusia. Memang, masyarakat Bali memiliki unsur keunikan tersendiri karena ajaran agama Hindu umumnya dianggap menjadi sumber nilai utama dari kehidupan sosial masyarakatnya. Oleh karena itu dalam membahas masalah perubahan sosial di perdesaan Bali, maka pengaruh dan saling pengaruh antara sistem religi/kepercayaan masyarakat yang didasarkan pada ajaran Hindu itu terhadap proses-proses sosial masyarakat perdesaan ikut mendapatkan perhatian. Dalam hubungannya dengan hal ini, Koentjaraningrat (2009: 294-295) mengartikan sistem religi sebagai semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Sementara sistem kepercayaan atau keyakinan lebih mengarah kepada suatu kepercayaan manusia yang berhubungan dengan konsepsi-konsepsi seperti misalnya konsepsi tentang dewa-dewa yang baik atau jahat; konsepsi tentang makhluk halus atau roh leluhur; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah tentang terciptanya dunia; dan lain sebagainya. Dalam realitanya, sistem religi dan kepercayaan masyarakat Bali itu sendiri berkembang secara dinamis, sejalan dengan perkembangan sosial-politik masyarakatnya. 4 Sebagaimana sempat dikemukakan di depan, penelitian ini akan memasukkan suatu tinjauan historis dari kehidupan sosial-politik masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat desa di Bali pada khususnya. Kalau dilihat dari sisi babakan waktu, tinjauan historis dalam penelitian ini akan dimulai dari masa Bali pada akhir abad ke 19. Ini dengan pertimbangan bahwa pada kurun waktu itu Bali mulai bersentuhan secara lebih intens dengan pengaruh kekuatan politik Gambaran lebih detil tentang bagaimana kehidupan religi dan kultural yang terus berkembang pemaknaannya sejalan dengan berlangsungnya perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat Bali bisa dilihat dalam: Johnsen, Scott Adam.
4
From Royal House to Nation: The Construction of Hinduism and Balinese Ethnicity in Indonesia (A Dissertation presented to the Graduate Faculty of the University of
Virginia in Candidacy for the Degree of Doctor of Philosophy). University of Virginia, 2007.
17
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI kolonial Belanda yang berkedudukan pusat di Jawa, tepatnya Batavia atau Jakarta sekarang. Terkait hal ini, Geertz (1980) mengemukakan bahwa desa-desa di Bali secara berangsur-angsur mulai mendapatkan pengaruh yang semakin mendalam dari hadirnya kekuasaan kolonial tersebut. Bahkan kelak setelah tahun 1908, tahun setelah Klungkung jatuh ke tangan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda melalui suatu peristiwa yang dikenal dengan nama Puputan Klungkung, desadesa di Bali harus menghadapi serbuan pengaruh politik kolonial yang nantinya merombak struktur perdesaan di Bali. Masa-masa setelah itu, pemerintahan kolonial mulai membangun dan mengembangkan jaringan birokrasi kolonial hingga ke desa-desa. Sampai kemudian muncullah apa yang disebut sebagai struktur ganda (dualisme) dalam kekuasaan pemerintahan di perdesaan di Bali, yaitu dalam bentuk struktur kekuasaan pemerintahan desa adat dan desa dinas (Agung, 2006). Struktur ganda kekuasaan pemerintahan di perdesaan di Bali warisan pemerintahan kolonial itu hingga sekarang masih tetap bertahan, dan dalam prakteknya sampai kini tetap menimbulkan kesan dualisme pemerintahan di perdesaan Bali. Apa yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pengaruh kekuatan-kekuatan sosial-politik supra-desa sejak lama telah menjadi faktor pendorong penting dalam proses perubahan sosial-politik di perdesaan Bali. Pengertian desa yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup keberadaan desa yang memiliki struktur ganda itu yaitu: desa dinas dan desa adat/pakraman. Tetapi dalam konteks pembahasan dalam penelitian ini, keberadaan desa adat/pakraman mendapatkan fokus perhatian yang lebih besar. Sebagai catatan, saat ini diseluruh Bali terdapat kurang lebih 1.482 desa adat dan kira-kira 600 desa dinas. Menurut Surpha (2006: 52-53), kedua jenis desa itu merupakan satuan terkecil yang meliputi sekelompok masyarakat yang mendiami atau bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang di antara keduanya terdapat variasi hubungan sebagai berikut. Pertama, ada satu desa dinas yang sama wilayahnya dan pendukungnya dengan satu desa adat. Kedua, ada satu desa dinas yang wilayahnya meliputi beberapa desa adat. Ketiga, ada beberapa desa dinas yang berada dalam satu 18
BAB 1 PENDAHULUAN wilayah desa adat. Keempat, ada wilayah desa dinas yang meliputi sebagian desa adat tertentu dan sebagian lagi desa adat yang lain. Dalam kasus desa penelitian ini (di Desa Adat/Pakraman Tabola), variasi hubungan desa dinas dan desa adat adalah variasi nomor 3, yaitu wilayah Desa Adat Tabola mencakup tiga wilayah desa dinas. Struktur kelembagaan desa-nya sendiri meliputi struktur kelembagaan desa dinas dan desa adat, beserta susunan kelembagaan yang ada dibawahnya dan/atau ada dalam jaringanya. Struktur kelembagaan yang berada di bawah desa adat/pakraman antara lain adalah: banjar adat dan tempek (satuan kepala keluarga di bawah banjar); seka-seka dengan berbagai urusannya masing-masing, misalnya, seka taruna-taruni/kelompok pemuda-pemudi, seka gong/kelompok musik gamelan, dan lain-lainnya; subak-subak, yang di Sidemen terdiri dari subak sawah atau subak kebun (subak abian); dan juga lembaga klan keluarga yang khusus ada dalam desa adat di Bali, yang disebut dengan dadia atau soroh. Sedangkan di bawah struktur desa dinas terdapat banjar dinas atau juga sering disebut dengan nama lain yaitu dusun dinas. Sebagai tambahan, perlu dikemukakan di sini bahwa sesungguhnya proses perubahan sosial dalam dimensi yang lain juga sudah lama melanda Bali. Perubahan ini terutama banyak didorong oleh perkembangan perekonomian di Bali, khususnya yang berasal dari perkembangan ekonomi pariwisata yang tumbuh cepat sejak awal dekade 1980-an. MacRae (1997), dalam disertasinya bejudul “Economy, Ritual and History in Balinese Tourist Town”, misalnya, menggambarkan secara rinci bagaimana desa-desa di Bali, khususnya yang ada di wilayah Ubud, Kabupaten Gianyar, mengalami berbagai perubahan sosial sebagai dampak dari berkembangnya ekonomi pariwisata di sana. Berbeda dengan karya MacRae tersebut di atas, penelitian ini lebih diarahkan untuk mengkaji pengaruh dinamika sosial-politik di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya, terhadap perkembangan kehidupan sosial masyarakat perdesaan di Bali. Dalam konteks ini, tentu saja perkembangan kehidupan sosial masyarakat di 19
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI perdesaan tersebut di atas juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan sosial-ekonomi di Bali. Sedangkan kalau bicara mengenai perkembangan sosial-ekonomi di Bali maka tak pelak pengaruh perekonomian sektor pariwisata sangat menentukan karena sektor tersebut menyumbang porsi terbesar dalam keseluruhan perekonomian domestik di Bali. Berikut gambarannya (lihat tabel di bawah). Tabel 2: Distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Harga Konstan Tahun 2000 Berdasarkan Sektor Industri di Propinsi Bali, 2006 -2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sektor Perekonomian Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Galian Industri Manufaktur Listrik, Gas, dan Tenaga Air Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB atas Harga Konstan
Tahun 2006 (%) 21,54
Tahun 2007 (%) 20,85
0,62 9,46 1,49 3,86 30,79 10,47 7,54 14,22 100,00
0,60 9,75 1,52 3,87 31,27 10,96 7,38 13,80 100,00
Sumber: Bali Dalam Angka 2008, BPS – Statistik Propinsi Bali, 2009
Dari tabel 2 bisa dilihat bahwa sektor pariwisata memberikan sumbangan paling besar terhadap keseluruhan perekonomian Propinsi Bali. Elemen-elemen dari sektor pariwisata dalam tabel tersebut paling tidak mencakup antara lain sektor perdagangan, hotel dan restoran, ditambah sektor transportasi dan komunikasi. Sumbangan keseluruhan sektor perdagangan, hotel dan restoran saja sudah mencakup 30,79 % untuk tahun 2006 dan sedikit meningkat menjadi 31,27 % pada tahun 2007. Kalau ditambah dengan sektor transportasi dan komunikasi maka angkanya menjadi lebih besar lagi, yaitu kira-kira sebesar 41% pada tahun 2006 dan 42% pada tahun 2007. Bandingkan dengan sektor-sektor yang lain, yang semuanya jauh berada di bawah sektor pariwisata, termasuk juga sektor pertanian dalam arti luas.
20
BAB 1 PENDAHULUAN • Kerangka Logis Penelitian Berikut gambaran dari kerangka logis (logical framework) penelitian yang hasilnya dituangkan dalam disertasi ini: Gambar 1. Kerangka Logis Penelitian Reformasi 1998/1999
Politik Multi Partai
Pemilu DPR
Pemilu DPD
Otonomi Daerah UU No. 22/1999
Pilpres
Pilkada
Mobilisasi/Partisipasi Politik Massa Perdesaan
Perubahan Sosial di Perdesaan Bali
Dinamika Sosial-Ekonomi di Bali
21
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Dari kerangka logis penelitian itu, bisa dilihat bahwa perubahan sosial di perdesaan Bali tertutama dipicu oleh adanya berbagai faktor pengaruh supra-desa. Faktor supra-desa ini tergambarkan dari hadirnya proses-proses sosial-politik yang berkembang di luar lingkup perdesaan tetapi yang pengaruhnya menetrasi ke perdesaan. Dari gambar di atas sebenarnya bisa dibedakan bahwa faktor supra-desa memiliki dimensi nasional dan lokal/daerah; dua dimensi yang dalam kajian ini diasumsikan sebagai dimensi makro dan meso dari perubahan sosial. Sebagai contoh, dimensi makro adalah berbagai perubahan sosial-politikk di tingkat nasional lewat apa yang disebut sebagai proses reformasi. Proses di tingkat makro ini dalam realitasnya merembes terus kebawah pada tingkat lokal dalam bentuk berbagai perubahan di tingkat daerah (Bali), yang pada tataran tertentu terus bergulir di tingkat perdesaan. Yang terakhir ini kita sebut sebagai perubahan di tingkat mikro. Dengan kerangka logis seperti itu maka secara teoritis yang dianggap menjadi sumber utama perubahan pada awalnya adalah faktor-faktor eksogen. Namun demikian, sebagaimana terungkap dari hasil penelitian ini, bahwa dalam prosesnya ternyata berbagai faktor endogen juga ikut mendorong lebih lanjut terjadinya perubahan sosial di perdesaan. Seperti yang akan dibahas pada bagian lain dari tulisan hasil penelitian ini, faktor endogen muncul sebagai hasil dari berbagai aksi respon masyarakat desa setempat, baik sebagai individu maupun kolektif, atas berbagai gejala perubahan yang terjadi, yang pada gilirannya juga menggulirkan dan menggerakkan proses perubahan sosial pula. Secara teoritis, proses endogen dan eksogen ini memang seringkali berjalan secara serentak, berkesinambungan dan saling berinteraksi satu sama lain. Smelser (1992: 369-393) yang menggunakan istilah ekstenal dan internal untuk faktor eksogen dan indogen, mengemukakan: “I use the term external to refer to influences emanating from the presence of other societies in given society’s environment,
22
BAB 1 PENDAHULUAN … intersocietal, and intercultural forces. By internal, I refer to the mutual interrelations of values, social structure, and classes as they are institutionalized in a given society. In making this external-internal distinction, how ever I would like to be clear that it cannot be regarded as a fixed, dichotomous one; some of the most interesting questions to be raised about the two kinds of forces are how they interact with each other and how the distinction sometimes breaks down as the two kinds of forces fuse to generate or block social change”.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Smelser di atas, hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang erat dan sulit dipisahkan antara faktor endogen dan eksogen dalam proses perubahan sosial di Tabola. • Metode Penelitian Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagaimana dirumuskan di atas, maka proses penelitian ini menyandarkan pada paradigma penelitian intepretatif dengan menggunakan metode kualitatif. Pengertian paradigma penelitian intepretatif yang dimaksudkan disini berhubungan dengan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan (dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian) yang didasarkan pada proses pemahaman melalui intepretasi dan pemaknaan dari realitas sosial terkait penelitian ini. Jadi di sini dilibatkan suatu proses intepretasi dan pemaknaan terhadap hasil pengamatan atau temuan lapangan selama proses penelitian ini. Tentu saja, tidak bisa dihindarkan, bahwa hal seperti ini mau tidak mau melibatkan dimensi subyektif dari peneliti. Hasil intepretasi dan pemaknaan ini menjadi bahan dasar dari keseluruhan tulisan (disertasi) yang disajikan di sini. Menurut Marvasti (2004), paradigma intepretatif ini bisa dibedakan dengan paradigma positivis, yaitu dari cara untuk memperoleh pengetahuannya. Dalam paradigma positivis, cara untuk memperoleh pengetahuannya lebih didasarkan pada suatu observasi obyektif terhadap suatu fenomena tertentu ketimbang proses 23
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI intepretasi dan pemaknaan, yang seringkali berdimensi subyektif itu. Paradigma intepretatif ini sering disebut juga sebagai paradigma konstruktivis, yang hal ini terutama dihubungkan dengan posisi teoritikalnya terhadap realitas sosial. Disini pertanyaan pokoknya adalah bagaimana realitas itu secara sosial dikonstruksikan, yang dalam hal tersebut dilakukan melalui proses intepretatif dan pemaknaan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian metode kualitatif adalah cara atau metoda bagaimana proses pemahaman intepretatif dan pemaknaan terhadap realitas sosial itu dilakukan. Terkait dengan hal ini, paling tidak ada dua cara atau metoda yang digunakan, termasuk dalam penelitian ini, yaitu melalui pengamatan partisipasi langsung (participation observation) dan wawancara langsung secara mendalam (in-depth interviews). Tekanan yang diberikan dalam upaya memahami realitas sosial yang menjadi fokus perhatian penelitian ini mencakup perspektif individu, kelompok atau komunitas. Sedangkan substansi yang menjadi pokok perhatian adalah ide-ide, gagasan-gagasan, sikap-sikap, motif-motif, maksud-maksud dan kepentingan-kepetingan dari individu atau kelompok yang bersangkutan itu (Henn, W dan Foard, 2006). Penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini dilakukan melalui suatu pendekatan riset lapangan (field research) yang dipadukan dengan pendekatan riset komparatif-sejarah (historicalcomparative research). Lewat pendekatan riset lapangan maka berbagai permasalahan sosial (realitas sosial) terkait pertanyaan penelitian bisa dipelajari dan dipahami secara langsung dan mendalam. Dari sini kemudian diungkapkan dan dideskripsikan berbagai jawaban atas pertanyaan penelitian. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan dalam riset lapangan ini, antara lain, adalah kunjungan serta tinggal dilokasi penelitian dalam suatu kurun waktu tertentu untuk bisa melakukan pengamatan lapangan secara langsung. Lokasi penelitian adalah Desa Pakraman Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Kunjungan lapangan dilakukan dalam beberapa kali kesempatan dalam periode waktu antara tahun 2008 hingga 2010. Dalam kesempatan 24
BAB 1 PENDAHULUAN kunjungan lapangan itu, dilakukan wawancara mendalam dengan berbagai informan atau nara sumber; atau juga diskusi terfokus dengan berbagai kelompok nara sumber (lihat apendix: Catatan Dari Lapangan). Dari serangkaian kegiatan seperti itu terkumpul berbagai informasi dan data terkait penelitan. Sedangkan pendekatan riset komparatif-sejarah (historicalcomparative research) dilakukan untuk mengungkapkan konteks sejarah secara lebih luas dari permasalahan terkait pertanyaan penelitian. Sejalan dengan hal ini, Neuman (2003: 402-412) dalam bukunya berjudul “Social Research Method” mengemukakan bahwa pendekatan riset komparatif-sejarah sangat berguna untuk membantu menjawab suatu pertanyaan penelitan yang berkaitan dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana terbukti dalam proses penelitian ini bahwa pengungkapan konteks sejarah ini menjadi penting untuk menggambarkan keseluruhan proses perubahan sosial secara lebih komprehensif dan mendalam. Pengungkapan konteks sejarah itu dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti, penelusuran dokumen dan babad (yang memuat sejarah tentang Bali dan Keluarga Puri Sidemen), kajian berbagai sumber pustaka, serta wawancara dengan nara sumber atau aktoraktor yang memiliki latar belakang pengetahuan tentang sejarah terkait substansi penelitian. Selain menggunakan dua pendekatan seperti yang disebutkan di atas, metoda triangulasi juga diterapkan dalam proses penelitian ini. Dengan metoda triangulasi maka substansi penelitian dilihat kembali dari berbagai sudut (angles), sehingga kemudian timbul pemahaman terhadap substansi secara yang lebih lengkap. Misalnya saja, dari sisi teoritis dilakukan apa yang disebut triangulation of theory, yaitu memanfaatkan berbagai perspektif teori dalam menganalisa dan mengintepretasikan hasil temuan atau data penelitian lapangan. Itulah sebabnya dalam tulisan ini disajikan ulasan berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial secara agak luas (Bab 2).
25
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI • Arti Penting Penelitian Hasil penelitian, sebagaimana dipaparkan dalam keseluruhan isi tulisan ini, diharapkan mampu mengungkapkan suatu gambaran komprehensif tentang perubahan sosial di perdesaan Bali sebagai dampak dari proses keterbukaan politik atau demokrasi yang berjalan di Indonesia dan di Bali. Utamanya dalam perspektif waktu antara tahun 1998-2010, atau selama masa kurang lebih satu dekade sejak era keterbukaan politik atau jaman reformasi dimulai. Dalam pandangan penulis, gambaran tentang perubahan sosial di perdesaan Bali ini penting untuk bisa menjadi salah satu bahan pembelajaran dan refleksi atas proses keterbukaan politik yang berlangsung di Indonesia, pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Lewat pembelajaran dan refleksi ini diharapkan muncul suatu pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana proses pembangunan di Indonesia dan di Bali ini harus dikelola dan dikembangkan sehingga pada akhirnya mampu mendorong perbaikan tatanan kehidupan sosial masyarakat perdesaan. Selain dari sisi teoritik, hasil penelitian yang substansinya dipaparkan dalam disertasi ini diharapkan bisa memberikan sumbangan dalam rangka semakin memperkaya gagasangagasan terkait konsep dan teori tentang perubahan sosial dan pembangunan di perdesaan Bali pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, perlu disinggung sedikit di sini bahwa hasil penelitian ini mengungkapkan adanya sifat dualitas dari proses perubahan yang terjadi di perdesaan di Bali (Desa Adat/Pakraman Tabola). Adanya sifat dualitas ini ternyata juga sejalan dengan cara berfikir masyarkat desa di Bali pada umumnya dan di Desa Tabola pada khususnya, yaitu yang diwujudkan dalam konsep berfikir dualitas orang Bali, yang dikenal dengan nama Rwabhineda. Perubahan sosial yang bersifat dualitas dan cara berfikir dualitas (Rwabhineda) ini dari sisi epitemologis bisa membawa kemungkinan atau peluang bagi berkembangnya gagasan baru terkait konsep dan teori tentang perubahan sosial dan pembangunan di perdesaan Bali pada khususnya dan di Bali pada umumnya. Suatu 26
BAB 1 PENDAHULUAN konsep dan teori hasil refleksi analitis yang hasilnya tidak lagi terikat pada konsep dan teori konvensional (khususnya perspektif modernisasi) yang hingga sekarang masih cukup kuat mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di Indonesia. Dalam Bab 8 dan 9 dari tulisan ini, akan disajikan satu kerangka pemikiran terkait refleksi analitis (atas hasil temuan penelitian) terhadap konsep dan teori perubahan sosial dan pembangunan sebagaimana telah dituangkan sebelumnya dalam Bab 2. Kerangka pemikiran itu kami sebut dengan nama dualitas. Sebagaimana akan diulas dalam Bab 2 dan Bab 8, maka yang dimaksud dengan perubahan sosial di sini memang menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai pembangunan. Dalam hal ini, kata pembangunan, sebagaimana dikemukakan oleh McMichael (2000), dalam bukunya berjudul “Development and Social Change. Global Perspektive. Sociology for A New Century”, dimaknai sebagai suatu proses transformasi sosial. Selanjutnya, secara spesifik, yang diartikan dengan transformasi sosial di sini tidak lain adalah suatu proses perubahan sosial (dalam konteks struktur dan sistem) yang mendorong perkembangan kehidupan masyarakat (desa) ke arah perkembangan yang lebih maju (progress). Kata maju (progress) di sini tentu saja tidak terlepas dari muatan nilai-nilai, yang bagi masyarakat desa di Bali, salah satunya tentu berhubungan dengan nilai yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana, yaitu terwujudnya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (konsep Parhyangan), manusia dengan alam (konsep Palemahan), dan manusia dengan sesama manusia (konsep Pawongan). Struktur Penulisan Bab 1 dari tulisan ini menyajikan gambaran umum mengenai latar belakang, tujuan dan metode penelitian, yang hasilnya secara keseluruhan dituangkan dalam tulisan ini. Dalam bagian ini juga disinggung ruang lingkup, lokasi penelitian dan juga peta wilayah 27
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI dimana penelitian ini dilakukan, yaitu tepatnya di Desa Pakraman Tabola, yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Bab 2 berisi suatu tinjauan umum terkait konsep dan teori tentang perubahan sosial. Dalam bab ini, misalnya, diulas berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial, mulai dari perpektif teori yang dalam teori sosial dikategorikan sebagai perspektif teori modernisasi, hingga perspektif teori strukturasinya Anthony Giddens dan strukturalis genetiknya Pierre Bourdieu. Kedua perspektif yang disebut terakhir ini boleh dikatakan menyajikan perspektif alternatif terhadap teori modernisasi yang diulas pada bagian awal Bab 2. Dalam konteks penulisan disertasi ini, baik perspektif strukturasi maupun strukturalis genetik banyak dipakai sebagai pijakan untuk membahas suatu refleksi teoritis terhadap hasil temuan lapangan dalam penelitian ini. Bab 3, berisi suatu pembahasan mengenai perkembangan sejarah dari desa-desa di Bali. Dalam bagian tulisan ini, misalnya, diulas, antara lain, asal usul struktur desa asli di Bali, yang dalam hal ini terdiri dari dua jenis atau katagori desa, yaitu desa Bali aga (Bali kuno) dan Bali apanaga (Bali baru). Bali aga adalah komunitas masyarakat desa di Bali yang sudah ada sejak jaman kuno, yang keberadaannya belum atau sedikit sekali terpengaruh oleh Kerajaan Majapahit yang pengaruhnya menetrasi Bali secara lebih mendalam kurang lebih pada abad ke-14. Salah satu gambaran dari keberadaan desa Bali aga yang sedikit dibahas dalam Bab 3 adalah Desa Tenganan, yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Sebaliknya desa Bali Bali apanaga adalah desa-desa di Bali yang keberadaannya telah menyesuaikan diri terhadap berbagai pengaruh dari Kerajaan Majapahit. Sebagaimana diketahui, sejak abad ke-14 kerajaan di Jawa itu telah menempatkan “utusannya” sebagai Raja di Bali, yaitu Raja Sri Kresna Wang Bang Kapakisan yang berkedudukan di Gelgel (terletak wilayah Kabupaten Klungkung sekarang). Bagian terakhir dari Bab ini menggambarkan proses pembentukan dan perkembangan desa dinas di Bali oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yang pada akhirnya menciptakan dualisme desa. Struktur 28
BAB 1 PENDAHULUAN dualisme desa di Bali itu sampai sekarang masih tetap ada, yaitu dalam bentuk apa yang disebut sebagai desa adat/pakraman dan desa dinas. Bab 4 dari disertasi ini membahas secara luas profil Desa Pakraman Tabola, yang merupakan desa tempat penelitian ini dilakukan. Dalam pembahasan bagian ini digambarkan, antara lain, kondisi geografis dan perkembangan sosial-ekonomi Desa Tabola. Juga dalam bagian tulisan ini dikemukakan struktur organisasi Desa Tabola, termasuk kekhususan yang ada di desa tersebut, yaitu adanya Puri Sidemen. Dalam sejarah, Puri Sidemen merupakan pusat kekuasaan Kerajaan Sidemen yang pengaruh politiknya pada waktu itu mencakup hampir seluruh wilayah Kecamatan Sidemen pada masa sekarang. Bagian terakhir dari Bab ini digambarkan secara umum perkembangan dinamis dari Desa Tabola ketika memasuki jaman reformasi tahun 1998/1999. Situasi yang mulai berkembang pada masa itu menjadi titik awal dari serangkaian perubahan sosial di Desa Tabola, yang gejalagejalanya dibahas dalam Bab-Bab berikutnya dari disertasi ini. Bab 5 membahas mengenai berbagai gejala perubahan sosial di Tabola, khususnya terkait dengan keberadaaan Awig-Awig Desa Pakraman Tabola. Pada bagian awal dari tulisan di Bab 5 ini, dibahas konsep dan sejarah awig-awig di Bali pada umumnya dan di Desa Tabola pada khususnya. Dalam hal ini diungkapkan bahwa awig-awig itu merupakan suatu tata nilai yang sudah ada sejak jaman dahulu kala, hanya wujudnya belum dalam bentuk tertulis secara sistematis. Sejak adanya Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, desa-desa adat di Bali di dorong untuk “menyuratkan” (menuliskan) awig-awig, yang hal itu kemudian diwujudkan oleh Desa Tabola. Yang menarik, seperti yang terungkap dari hasil penelitian ini bahwa kehadiran awig-awig di Tabola, selain membawa gejala perubahan sosial, ternyata keberadaannya juga menjadi sumber dari perubahan sosial yang lainnya. Pada Bab 6 disajikan tulisan yang mengupas dinamika kelembagaan desa adat dan desa dinas sejak masa awal reformasi, khususnya terkait relasi dualisme di antara dua bentuk desa tersebut. Dalam tulisan itu terungkap adanya proses dinamika yang membawa 29
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI berbagai aspek perubahan sosial di dalamnya. Sebagai gambaran, sejak memasuki jaman reformasi, hegemoni desa dinas terhadap desa adat menjadi semakin surut, atau bahkan lenyap. Ini karena kedudukan desa adat menjadi semakin kuat dibandingkan pada masa sebelumnya. Perubahan kedudukan desa adat yang semakin kuat ini membawa berbagai konsekuensi, baik dalam hubungannya dengan desa dinas, maupun proses dinamis di dalam desa adat itu sendiri. Yang terakhir ini digambarkan dengan terjadinya beberapakali perubahan dalam struktur organisasi desa adat/pakraman. Perubahan itu sendiri mengikuti perkembangan situasi dan kondisi yang berlangsung di Desa Tabola, khususnya terkait perubahan pola relasi kekuasaan antar kelompok-kelompok elit di desa. Bab 7 memfokuskan diri pada pembahasan tentang pergulatan kepemimpinan di Tabola, yang hal itu terjadi karena perkembangan situasi dan kondisi Desa Tabola yang semakin dinamis, khususnya sejak adanya awig-awig desa yang baru. Pergulatan kepemimpinan itu sendiri melibatkan pertarungan pengaruh antara kepemimpinan lama (yang terbentuk di awal masa reformasi) dan kepemimpinan baru yang muncul setelah itu. Pertarungan kepemimpinan itu tak pelak menunjukkan gambaran betapa dinamisnya perkembangan situasi sosial-politik di Desa Tabola pada masa reformasi, yang hal semacam itu, antara lain, didorong oleh semangat jaman keterbukaan dan demokrasi. Bab 8 memuat tulisan yang intinya merupakan sintesa dari Bab 2 – 7. Dalam bagian tulisan ini, dibahas gejala dan sifat dari perubahan sosial yang terjadi di Tabola, dikaitkan dengan berbagai perspektif konsep dan teori perubahan sosial yang telah diuraikan dalam Bab 2. Jadi di sini dibahas semacam refleksi atas konsep dan teori didasarkan pada berbagai gejala perubahan sosial yang ditemui di lapangan. Dari refleksi ini, terlihat bahwa perubahan sosial yang terjadi di Tabola ternyata memiliki sifat, yang dalam tulisan ini, disebut dualitas. Perubahan yang bersifat dualitas ini ternyata juga berhubungan dengan cara berfikir (dan merespon) masyarakat desa di Bali, yang bersifat dualitas juga, yang hal itu tertuang dalam suatu konsep yang disebut Rwabhineda. Selanjutnya pada bagian akhir dari tulisan di Bab 30
BAB 1 PENDAHULUAN ini dikemukakan keterkaitan antara cara berfikir dualitas dengan keberadaan konsep dan teori pembangunan. Hal terakhir ini dibahas mengingat bahwa secara keseluruhan disertasi ini tercakup dalam ruang lingkup studi pembangunan, sehingga aspek-aspek dari pembangunan selayaknya ikut dibahas di sini. Akhirnya, tulisan disertasi ini ditutup oleh Bab 9 yang berisi Kesimpulan. Di Bab Kesimpulan ini, pada intinya disajikan tiga hal yaitu: pertama, apa yang bisa dipelajari dari keseluruhan hasil penelitian ini; kedua, apa konsekuensinya atau apa yang bisa dijadikan refleksi (dari penelitian ini) bagi praktik pembangunan di Bali pada khususnya; ketiga, agenda-agenda apa yang bisa dikembangkan lebih lanjut dari hasil penelitian ini. Gambar 2: Peta Pulau Bali dan Kabupaten-Kabupaten yang ada di Bali
31
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Gambar 3: Peta Kabupaten Karangasem
32