1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan
sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan dengan etika profesi dari seorang profesi hukum.1 Tiap profesi, terikat dengan adanya suatu ketentuan moral (etika), dalam hal ini adalah etika profesi, yang dibuat oleh para anggota dari masyarakat profesi tersebut, dalam bertindak baik sebagai pribadi dan ketika menjalankan profesinya. Hukum dalam hal ini pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) meletakkan suatu landasan pengakuan (eksistensi) suatu jabatan, yakni Notaris. Notaris sejak 1 juli 1860 diakui kelembagaannya dengan penetapan pemerintah (gouverment besluit) sebagai suatu badan hukum (recht person), dengan staatblad nomor 3 Tahun 1860. Tanggung jawab yang diemban notaris sangat besar dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Dalam Negara hukum, kedaulatan berada ditangan rakyat dan pemerintah sebagai penyelenggara bernegara mempunyai kewenangan untuk memberikan kepastian hukum di masyarakat agar dalam hidup bernegara dapat berjalan dengan baik. Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah secara tak langsung bertanggung jawab terhadap kepastian hukum di masyarakat (penjelasan umum dari UU No. 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris).2
1
Nico, S.H., M.kn., Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta:Center for Documentation and Studies of Business Law (CSDBL), 2003), hal. 83 2 Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004, LN No. 117 tahun 2004, TLN No. 4432.
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
2
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.”3 Disamping itu, kerahasiaan para pihak sangat dihormati oleh profesi notaris seperti yang diamanatkan Pasal 4 ayat (2) alinea 4 tentang tata cara pengucapan sumpah pada saat dilantik sebagai Notaris yang menyebutkan bahwa “saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya4.” Salah satu fungsi akta otentik adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Sebagaimana Pasal-Pasal 1870, 1871 dan 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) membedakan antara suatu akta otentik dengan suatu akta dibawah tangan, yang mana masing-masing pasal tersebut berbunyi : “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”5 “Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selain sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanyadapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.”6 “Sebagai
tulisan-tulisan
dibawah
tangan
dianggap
akta-akta
yang
ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat 3
Ibid, Pasal 1 ayat (1) ibid, pasal 4 ayat 2. 5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Edisi Revisi, Cet. Ke-27, (Jakarta:Paramita, 1987), Pasal 1870. 6 Ibid, pasal 1871 4
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
3
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum.”7 Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari halhal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengajarkan kita bahwa terdapat dua kebatalan (nulitas) dalam suatu perikatan (dalam ilmu hukum perjanjian, Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) ini dikenal sebagai perjanjian timbal balik (bilateral contract)adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak8), yakni suatu perikatan dianggap selalu mempunyai suatu syarat batal (Pasal 1266 ayat (1)) dan pembatalan haruslah diberikan oleh suatu majelis hakim atau arbiter (forum) (Pasal 1266 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)). Pasal 1266 ini erat kaitannya dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang memperjelas bilamana suatu akta (baik itu otentik atau di bawah tangan) dapat dimintakan dibatalkannya ataupun batal demi hukum, seperti syarat-syarat yang diuraikan oleh masing-masing pasal tersebut, yang dalam doktrin ilmu hukum terdapat ketentuan secara obyektif dan subyektif, atau berkenaan dengan subyek hukum, perbuatan, hubungan, keadaan atau peristiwa hukum dan obyek hukum yang menjadi terjadinya perikatan atau perjanjian. Semenjak tanggal 6 Oktober tahun 2004, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang mana telah menggantikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Jabatan Notaris, yaitu :
7 8
Ibid, pasal 1874 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal.86
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
4
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101; 2. Ordinantie 16 september 1931 tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); 4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.9 Dengan demikian mempertegas adanya suatu syarat batal di bidang kenotariatan yakni terhadap aktanya, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris ini telah mendefinisikannya baik secara eksplisit maupun implisit. Sanksinya pun diatur oleh Pasal 60 Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia Stbl. 1860:3 (Peraturan Jabatan Notaris) dan Pasal 84 dan 85 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berturut-turut berbunyi: “Jika akta yang dibuat dihadapan Notaris tidak memenuhi syarat mengenai bentuk, dan karenanya dibatalkan menurut hukum atau dianggap hanya dapat berlaku sebagai akta dibawah tangan, maka Notaris yang bersangkutan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan secara tegas dalam peraturan ini, dapat dihukum membayar kerugian dan bunga, kepada yang berkepentingan, bila ada untuk itu, tanpa mengurangi penggantian yang sama setiap kali ia melakukan penipuan atau kecurangan.”10 “Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)huruf I, Pasal 16 ayat 9 10
Indonesia, Op.cit., Pasal 91 Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia Stbl. 1860:3 (Peraturan Jabatan Notaris)
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
5
(1)huruf k,Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada Notaris.”11 “Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1)huruf a, Pasal 16 ayat (1)huruf b, Pasal 16 ayat (1)huruf c, Pasal 16 ayat (1)huruf d, Pasal 16 ayat (1)huruf e, Pasal 16 ayat (1)huruf f, Pasal 16 ayat (1)huruf g, Pasal 16 ayat (1)huruf h, Pasal 16 ayat (1)huruf I, Pasal 16 ayat (1)huruf j, Pasal 16 ayat (1)huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa: a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; atau e. Pemberhentian dengan tidak hormat.”12 Karena akta notaris merupakan suatu alat bukti yang sempurna, maka bilamana terdapat suatu kebatalan (nulitas) dalam akta notaris (otentik), tidak seperti halnya akta dibawah tangan, terdapat perbedaan berdasarkan alasan kebatalannya dalam hal membuktikan bahwa terdapatnya akta batal demi hukum atau dibatalkan oleh pengadilan atau arbitrase sedangkan berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.13 Karena sebagaimana kita ketahui terdapatnya akta relaas (akta yang disaksikan oleh Notaris, dibuat oleh para pihak) dengan akta partij (akta yang dibuat oleh notaris setelah mendapatkan
11
Ibid., Pasal 84 Ibid., Pasal 85 13 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal.288 12
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
6
keterangan, dilihat dan didengar keinginan para pihak yang menghadap dihadapan notaris) dengan menjamin kepastian hari, tanggal dan waktunya. G.H.S. Lumban Tobing,S.H. berpandangan mengenai kekuatan pembuktian dari suatu akta notaris ini, yakni meliputi kekuatan pembuktian material, pembuktian formil dan pembuktian lahiriah, yakni : “Kekuatan pembuktian akta otentik, dengan demikian juga akta notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-Undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu.” 14 Alat-alat bukti yang dikenal dalam hukum formil dan materil Indonesia, sebagaimana Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 164 HIR (Het Herzeine Indonesisch Reglement), Pasal 284 RBG (Rechtsreglement voor de Buitengewesten), Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah menguraikan bahwa posisi alat bukti secara tertulis, dalam hal ini suatu akta sangatlah penting, karena Pasal 1865 KUH Perdata mengatakan : “bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”15 Sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan (hukum), maka Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(Burgerlijk
Wetboek)
secara
asas
hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan 14 15
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992), hal.54. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op.Cit., Pasal 1865
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
7
Notaris adalah lex specialis derogate legi lex generalis. Bahwa kehendak pembuat undang-undang mengingikan suatu ketentuan yang khusus mengatur tentang Jabatan Umum yang disebutkan oleh Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yaitu Jabatan Notaris. Dengan kata lain, akta otentik itu merupakan alat pembuktian yang paling sempurna sepanjang akta tersebut dibuat berdasarkan apa yang digariskan oleh undang-undang dan dibuat oleh Pejabat Umum yang diangkat atau ditunjuk oleh Penguasa serta dibuat dimana para pejabat umum tersebut berkedudukan. Bila salah satu syarat yang digariskan oleh Undang-undang tersebut dilanggar oleh pejabat yang ditunjuk atau diangkat berdasarkan undang-undang maka kekuatan pembuktian akta tersebut menjadi akta dibawah tangan. Dalam suatu perjanjian terdapat 2 (dua) syarat atas sahnya suatu perjanjian, yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Apabila salah satu syarat tersebut dilanggar akan menyebabkan suatu perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dilanggarnya syarat objektif seperti hal yang tertentu atau suatu sebab yang halal, perjanjian tersebut batal demi hukum, sedangkan apabila melanggar syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya atau kecakapan untuk membuat suatu perbuatan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dengan batalnya suatu perbuatan hukum, maka perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Akibat batal dapat berakibat terhadap siapapun, dapat pula hanya berlaku terhadap orang tertentu, serta dapat pula hanya batal sebagian.16 Peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi notaris telah meletakkan suatu pertanggungjawaban dari profesi, karena kedudukannya sebagai pejabat umum, juga konsekuensi yuridis dan moralnya terhadap akta-akta yang dibuatnya. Tanggung jawab tersebut meliputi tanggung jawab secara perdata maupun publik.
16
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007), hal.366
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
8
Berdasarkan paparan diatas, menimbulkan minat penulis untuk membuat tesis dengan judul “Kebatalan Suatu Akta Otentik Dihubungkan Dengan Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum (Analisa tentang Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998)”. 1.2.
Pokok Permasalahan Masalah bagaimana kebatalan suatu akta otentik yang dihubungkan dengan
tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dibahas lebih dalam, terlebih semakin banyaknya peminat para sarjana hukum untuk melanjutkan perkuliahannya dengan mengambil program Magister Kenotariatan. Berhubung permasalahan ini sangat luas karena itu penulis membatasi ruang lingkup permasalahan tesis ini dengan pembahasan sebagai berikut : 1. Apakah yang menyebabkan batalnya suatu akta otentik dalam perkara Nomor: 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998 dihubungkan dengan tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul terhadap notaris pembuat Akta dalam perkara Nomor: 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998? 1.3.
Metode Penelitian Metode penelitian merupakan kegiatan guna memperoleh data yang
sebenarnya dan dapat dipertanggungjawabkan dengan cara menguraikan kegiatan pengumpulan dan analisa data secara rinci. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan menganalisa isi dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998. Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, meliputi:
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
9
1. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu antara lain UU No 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris, Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia Stbl. 1860:3 (Peraturan Jabatan Notaris), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Bertujuan memperoleh ketentuan yuridis tentang masalah yang akan dibahas. 2. Bahan hukum sekunder antara lain yaitu buku, artikel dan essay dari berbagai majalah dan media berita lainnya tentang kenotariatan. 3. Bahan hukum tersier antara lain yaitu kamus mengenai istilah-istilah hukum sebagai penunjang untuk mendapatkan data mengenai masalah yang akan dibahas. Penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yaitu dengan cara meneliti kebatalan suatu akta otentik dihubungkan dengan tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum. Dengan demikian, hasil penelitian berbentuk evaluativeanalitis. 1.4. BAB 1
Sistematika Penulisan Pendahuluan Bab ini merupakan pengantar untuk memasuki bab-bab selanjutnya yang menjelaskan hal-hal yang ada kaitannya dengan masalah pokok. Bab ini dibagi menjadi empat sub bab. Pertama latar belakang yang menjadi latar belakang bagi penulis untuk membahasnya. Kedua, pokok permasalahan. Ketiga, metode penelitian. Keempat, sistematika penulisan yang berisi pembabakan tesis secara menyeluruh mengenai isi tesis ini.
BAB 2
PEMBAHASAN Bab ini meliputi tiga sub bab yaitu landasan teori, analis hukum dan pembahasan hukum.
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia
10
-
Landasan teori Sub bab ini meliputi tinjauan dan pengertian notaris, persyaratan dan prosedur pengangkatan notaris, Wewenang dan Pengawasan notaris, Kode Etik Notaris, arti penting akta otentik dan bentuk akta.
-
Tinjauan Yuridis Disini
membahas
mengenai
kebatalan
suatu
akta
otentik
dihubungkan dengan tanggung jawab notaris dalam perkara No. 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998 sebagai pejabat umum, akibat hukum yang timbul terhadap notaris dalam perkara No. 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998, pembahasan kasus. BAB 3
PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
Kebatalan suatu ..., Ryan Oetary, FH UI., 2009.
Universitas Indonesia