BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu lemahnya penegakan hak asasi manusia (HAM) telah menjadi polemik tersendiri yang mewarnai perjalanan Bangsa Indonesia. Pusat Studi Hak Asasi
Manusia
Universitas
Islam
Indonesia
(2010)
mencatat
indikasi
tersendatnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dimulai dari kasus Tanjung Priok tahun 1984, Daerah Operasi Militer di Aceh, hingga peristiwa Talangsari tahun 1989. Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Kepres No. 50 tahun 1993 yang diperkuat dengan pijakan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, nyatanya tidak mengindikasikan penyelesaian dari pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 yang mengakibatkan tertembaknya mahasiswa Trisakti, tragedi Semanggi tahun 1998, kasus Timtim tahun 1999, peristiwa Wasior tahun 2001, peristiwa Wamena tahun 2003, dan pembunuhan Munir, salah seorang aktivis HAM pada tahun 2004, menambah panjangnya deretan kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak menemui titik penyelesaian masalah (Universitas Gadjah Mada, 2011). Menyikapi penegakan HAM di Indonesia, Law & Finance Institutional Partnership (2003) menyatakan bahwa dukungan terus mengalir baik dari dalam negeri seperti Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia (LPHAM), maupun luar negeri seperti Human Rights Resource Centre for ASEAN (HRRCA). Di
tengah
meningkatnya
dukungan
berbagai
kalangan
terhadap
penegakan HAM, kasus kekerasan khususnya terhadap kaum perempuan memperoleh
perhatian
tersendiri,
ditandai
dengan
berdirinya
lembaga
independen Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) pada tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181/1998, diperbarui dengan Peraturan Presiden No. 65/2005. Komnas Perempuan (2011) mengkategorikan bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam tiga ranah, yaitu ranah personal seperti kekerasan terhadap istri, ranah publik seperti kekerasan seksual, dan ranah negara seperti perdagangan perempuan. Pada satu sisi, berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia telah terekspos ke ruang publik. Pada sisi lain, terdapat juga praktik kekerasan yang tersembunyi karena berada dalam ranah personal yaitu praktik khitan perempuan. Sampai saat ini, isu praktik khitan perempuan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan topik yang kontroversial. Pada tahun 1991, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengintroduksi penggunaan istilah female genital mutilation (FGM) atau mutilasi genitalia perempuan (MGP) sebagai pengganti istilah praktik khitan perempuan (Amriel, 2010). Secara implisit, penggunaan kata “mutilasi” mengandung penekanan bahwa praktik khitan perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Publikasi WHO pada tahun 2010 menyebutkan FGM mencakup segala bentuk prosedur yang menyertakan pembuangan sebagian maupun seluruh bagian luar alat kelamin perempuan dan/atau pencederaan atas organ genital perempuan untuk alasan budaya maupun alasan-alasan non-medis lainnya. Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo pada tahun 1994 telah menjadi titik awal digaungkannya penegakan hak asasi perempuan yang turut mengusung ihwal khitan perempuan ke ranah publik (Rahman, Poerwandari, & Marlita; 2010). Praktik khitan perempuan dipandang sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak memiliki pertimbangan kesehatan seperti halnya khitan pada laki-laki. WHO (2010)
melaporkan bahwa praktik khitan perempuan dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan alat kelamin perempuan, mengganggu fungsi alami dalam tubuh, dan menyebabkan komplikasi dalam persalinan. Mendukung pernyataan dari WHO, pada tahun 2010, United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan indikasi
bahwa
praktik
khitan
perempuan
dapat
menyebabkan
trauma
pendarahan yang berakibat pada kematian. Selain dampak negatif terhadap fisik, praktik khitan perempuan juga memberikan dampak negatif terhadap psikis perempuan yang dikhitan. Lax dalam Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay (2002) menjelaskan konsekuensi psikis yang diakibatkan praktik khitan perempuan yaitu hilangnya rasa percaya terhadap orang lain, menurunnya kesejahteraan secara jasmani, guncangan pasca trauma, dan depresi. Sebagai
salah
satu
negara
peserta
Konferensi
Internasional
Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Indonesia turut berpartisipasi dengan merealisasikan Program Aksi Nasional Pembangunan Kependudukan Indonesia, salah satunya mengenai pelarangan praktik khitan perempuan. Tindak lanjut pelarangan praktik khitan perempuan yang diserahkan sepenuhnya kepada negara-negara peserta mendorong diedarkannya surat dari Dirjen Binkesmas Indonesia tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan, Nomor HK.00.07.1.3.1047a pada tanggal 20 April 2006. Surat larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan tidak banyak diketahui masyarakat karena ditujukan untuk institusi kesehatan. Setelah pada tahun 2006 diedarkan surat larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan, pemerintah kembali mengesahkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1636/MENKES/ PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Praktik khitan perempuan yang dibolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan adalah sebatas menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Dalam peraturan menteri, praktik
khitan perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah memiliki izin praktik, yang berarti dibolehkannya medikalisasi praktik khitan perempuan. Tercermin bahwa praktik khitan perempuan merupakan isu kontroversial bahkan antar sesama otoritas di Indonesia. Di Indonesia, para peneliti turut mengkaji pelaksanaan praktik khitan perempuan. Penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia pada tahun 1998 dalam Rahman, Poerwandari, & Marlita (2010) di Kabupaten Cijeruk, Sukabumi, dan Kecamatan Kemayoran, Jakarta Utara, menghasilkan empat poin penting yaitu 1. Seluruh responden berjenis kelamin perempuan mengaku telah menjalani praktik khitan perempuan sebelum berusia 40 hari. 2. Praktik khitan perempuan dilakukan secara non-medikalisasi oleh dukun dengan peralatan pisau, silet, dan bambu yang ditajamkan. 3. Praktik khitan perempuan dilaksanakan dengan pertimbangan untuk mengontrol kehidupan seks kaum perempuan dengan asumsi perempuan memiliki gairah seksual yang lebih besar dibanding laki-laki. 4. Praktik khitan perempuan wajib dilakukan, walaupun seluruh responden tidak pernah mendengar dalam materi da’wah para pemuka agama tentang kewajiban
tersebut.
Pengetahuan
responden
tentang
praktik
khitan
perempuan diperoleh secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Dari penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia, dapat disimpulkan bahwa praktik khitan perempuan dilakukan secara non-medikalisasi dan turun temurun walaupun masyarakat tidak mengetahui dengan pasti dalil keagamaan yang mengatur praktik khitan perempuan. Temuan berbeda terlihat dalam penelitian Population Council pada tahun 2003 terhadap masyarakat Padang, Padang Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kertanegara, Gorontalo, Makassar, dan Bone yang masih melakukan praktik
khitan perempuan. Penelitian Population Council menunjukkan bahwa telah terjadi medikalisasi dalam praktik khitan perempuan meskipun belum ada Standard Operation Procedure (SOP) yang jelas. Medikalisasi praktik khitan perempuan bermakna bahwa praktik ini dilakukan oleh ahli medis atau di tempattempat yang memberikan pelayanan kesehatan. Bekerja sama dengan Population Council, Universitas Indonesia kembali melakukan penelitian tentang praktik khitan perempuan di Indonesia yang menghasilkan empat poin penting (Rahman, Poerwandari, & Marlita; 2010) yaitu 1. Praktik khitan perempuan pada umumnya dilakukan dalam jangka waktu setelah kelahiran hingga anak berusia tujuh tahun. 2. Praktik khitan perempuan diyakini dapat mencegah kaum perempuan menjadi hiperseks. 3. Praktik khitan perempuan dilakukan dengan alasan tradisi, baik berkaitan dengan agama maupun kebudayaan setempat. 4. Praktik khitan perempuan dilakukan oleh dukun, bidan, dan dokter tanpa Standard Operation Procedure (SOP) yang jelas. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan terhadap praktik khitan perempuan di Indonesia mengindikasikan dua hal. Indikasi pertama, sampai saat ini, praktik khitan perempuan masih berlangsung di Indonesia. Minimnya atensi terhadap praktik khitan perempuan disebabkan oleh jumlah kajian yang minim, kurangnya sosialisasi dari badan legislasi kepada masyarakat, dan adanya sebagian budaya yang memperkenankan penerapan praktik khitan perempuan. Indikasi kedua, pelaksanaan khitan perempuan sering kali disandingkan dengan budaya dan agama tertentu, khususnya agama Islam. Penelitian Handayani (2004) menunjukkan semua responden yang beragama Islam menyatakan praktik khitan perempuan berhubungan dengan perintah agama
meskipun mereka tidak mengetahui kekuatan dalilnya. Kurangnya pengetahuan terhadap dalil agama terkait dengan praktik khitan perempuan berpotensi menimbulkan kebingungan dalam masyarakat, bahkan bukanlah tidak mungkin agama dijadikan alasan untuk melegitimasi praktik khitan perempuan. Indikasi kedua ini menjadi dasar utama yang menimbulkan ketertarikan bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi mengenai sikap tokoh agama terhadap praktik khitan perempuan berdasarkan denominasi dalam agama Islam. Tokoh agama Islam merupakan figur yang dipandang lebih ahli dalam dalil agama Islam dan memiliki kekuatan legitimasi untuk memengaruhi pola pikir masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Merujuk pada diperlukannya kejelasan mengenai praktik khitan perempuan di Indonesia, penelitian ini berfokus menjawab pertanyaan: 1. Apa sikap tokoh agama terhadap praktik khitan perempuan berdasarkan denominasi dalam agama Islam? 2. Apakah terdapat kesesuaian antara sikap dan perilaku tokoh agama dalam menerapkan praktik khitan perempuan? 3. Unsur pembentuk sikap apa yang paling memengaruhi perilaku individu dalam menerapkan praktik khitan perempuan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah penelitian, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menginformasikan gambaran sikap tokoh agama terhadap praktik khitan perempuan berdasarkan denominasi dalam agama Islam.
2. Mengidentifikasi kesesuaian antara sikap dan perilaku tokoh agama dalam menerapkan praktik khitan perempuan. 3. Mengidentifikasi unsur pembentuk sikap yang paling memengaruhi perilaku individu dalam menerapkan praktik khitan perempuan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Keilmuan
1. Memperkaya perbendaharaan penelitian yang mengangkat isu berkaitan dengan jender. 2. Memberikan gambaran tentang realita kehidupan masyarakat kontemporer dengan kompleksitas biopsikososialkultural di dalamnya. 3. Memperkaya khazanah kajian ilmiah yang bersifat ulayat. 4. Studi pendahuluan (preliminary study) guna pengembangan penelitian terkait ke depannya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Menjadi sumber rujukan ahli medis dan psikis serta pemangku kewenangan masyarakat dalam praktik khitan perempuan. 2. Dasar kebijakan bagi para penentu kebijakan sebelum menghasilkan aturanaturan yang secara spesifik bersentuhan dengan ruang hidup pribadi kaum perempuan, khususnya berkaitan dengan praktik khitan perempuan. 3. Menjadi sumber pengetahuan masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan praktik khitan perempuan.