BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi dalam kehidupan ini. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya. Hal ini menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Kematian dianggap sebagai pemisah dirinya dengan orang-orang yang dicintainya. Kematian menjadi sebuah kejadian dalam hidup yang kerap menjadi penyebab stres pada kehidupan seseorang. Sumber stres yang paling utama adalah peristiwa besar dalam hidup yang memicu stres karena membutuhkan penanganan dan penyesuaian (Dohrenwend, 2006; Monroe et al., 2007 dalam Lahey, 2009). Menurut Lahey (2009), peristiwa negatif seperti kematian dapat menimbulkan stres bagi orang yang ditinggalkan. Penelitan yang dilakukan Thomas H. Holmes dan R. H. Rahe pada tahun 1967, di mana mereka mengurutkan peristiwa dalam hidup yang dapat menyebabkan stres, menemukan bahwa kematian anggota keluarga menempati urutan ke-lima dalam hal-hal yang menyebabkan stres (dalam Lahey, 2009). Hal serupa ditemukan oleh Dohrenwend (2006) yang menemukan bahwa kematian pasangan atau anak merupakan kejadian yang sangat menekan atau membuat stres (dalam Lahey, 2009).
Stres dapat menjadi sebuah masalah dan butuh penanganan. Setiap individu menangani masalah dengan cara yang berbeda atau disebut juga coping style. Kemampuan untuk mengatasi masalah (misalnya: kematian) penting untuk bertahan hidup dan berkembang di perkotaan yang cepat berubah dan sangat kompetitif (Wong, Reker, & Peacock, 2006). Lazarus & Folkman (1984) membagi coping style menjadi dua berdasarkan tujuannya yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problemfocused coping mengacu pada bagaimana seseorang mengatasi masalahnya dengan langsung pada strategi pemecahan masalah. Emotion-focused coping mengarah pada bagaimana seseorang mengatasi masalahnya dengan menyalurkan emosinya terlebih dahulu. Pargament (1997) menambahkan salah satu jenis coping yang diberi nama religious coping yang berfokus pada bagaimana seseorang mengatasi masalah dengan meningkatkan intensitas ibadah karena percaya Tuhan dapat membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Strategi ini adalah strategi coping yang paling banyak digunakan oleh orang Indonesia (Dahlan, 2005). Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang akan menggunakan religious coping apabila situasi yang dihadapi merupakan suatu hal yang stresful dan negatif seperti kematian, penyakit, perceraian atau perpisahan dengan pasangan karena masalah hukum (Pargament, 1997). Kematian dapat terjadi secara tiba-tiba ataupun tidak. Sebagian orang ada yang menderita suatu penyakit terlebih dahulu dan coping yang dipakai tentu akan berbeda. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang didiagnosis menderita penyakit kronis?
Penyakit kronis merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan bahkan ada yang tidak dapat disembuhkan karena belum ditemukan obatnya. Menurut Sarafino (2008), penderita penyakit kronis mungkin akan memerlukan pemeriksaan medis secara teratur dan mengalami periode di mana penderita akan merasa sedih dalam jangka waktu yang lama. Tidak ada yang dapat memastikan apakah para penderita penyakit kronis akan sembuh atau bertambah parah, namun kebanyakan orang akan menganggap bahwa vonis penyakit kronis yang diberikan sebagai pertanda mendekatnya kematian (Burish et al, 1987 dalam Sarafino, 2008). Hal ini menjadi dinamika tersendiri bagi penderita dan keluarganya. Salah satu yang termasuk penyakit kronis menurut Sarafino (2008) adalah kanker. Menurut Burish et al., (1987, dalam Sarafino 2008) kanker mungkin merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh kebanyakan orang di dunia. Berdasarkan data WHO pada tahun 2006 (dalam Sarafino, 2008) kanker merupakan penyakit penyebab kematian nomor satu di dunia. Kanker merupakan penyakit yang tidak mengenal usia, golongan, dan jenis kelamin. Anak-anak pun tidak luput dari serangan penyakit ini. Berdasarkan data registrasi kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2010, kanker pada anak dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, kasus kanker anak di RSK Dharmais mencapai 57 kasus, menurun pada tahun 2007 yaitu 38 kasus, kembali naik pada tahun 2008 yaitu 62 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 60 kasus, dan pada tahun 2010 sebanyak 63 kasus. Kanker pada anak berdasarkan data sejak tahun 2006-2010 lebih banyak menyerang laki-laki (57%) daripada perempuan (43%).
Kanker yang diderita anak tentunya akan mempengaruhi hampir seluruh aspek dalam kehidupan anak, tidak terkecuali pengasuh. Pengasuh utama bagi anak-anak adalah orangtua mereka. Menurut Glaser dan Strauss, 1964 (dalam Rando, 1984), para orangtua menganggap kematian pada anak seperti sebuah kerugian besar karena anak tidak memiliki kesempatan untuk hidup penuh dibandingkan dengan orang dewasa atau yang sudah tua. Kematian pada anak seringkali membuat orangtua menganggap dirinya telah gagal mengasuh anaknya, seberapapun kedekatan mereka kepada anaknya, mungkin akan sangat sulit untuk melepas kepergian anak (Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Menurut Mu et al. (2001), ancaman kehilangan anak pada masa yang akan datang merupakan sumber utama stres bagi para orangtua. Reaksi orangtua terhadap diagnosis penyakit kronis atau fatal, yaitu tidak percaya, bingung, takut, merasa tidak dapat mengatasi, marah, dan tegang (Young, Dixon-Woods, Findlay, & Heney, 2002). Rando (1984) juga menambahkan banyak literatur mengenai kematian pada anak yang menyebutkan bahwa kematian pada anak dapat menyebabkan frustasi, kesedihan mendalam, dan stres pada pengasuh. Orangtua yang kehilangan anaknya memiliki risiko tinggi untuk dirawat di rumah sakit karena penyakit mental, stres yang terjadi saat kehilangan anak bahkan kemungkinan akan mempercepat kematian orangtua (Li, Laursen, Precht, Olsen, & Mortensen, 2005 dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Orangtua biasanya akan sulit menerima kenyataan bahwa ia akan kehilangan anaknya karena penyakit kronis. Posisi orangtua menjadi terjepit karena di satu sisi ia harus menenangkan dirinya atas kabar tersebut, sedangkan di sisi lain ia harus menjaga dan terus
memberi dukungan terhadap anaknya, peran coping menjadi penting pada masa anticipatory grief ini. Apabila pernikahan harmonis, orangtua akan semakin erat dan saling memberi dukungan, namun kasus lain menyebutkan, kehilangan anak dapat merenggangkan hubungan orangtua dan menghancurkan pernikahan mereka (Brandt, 1989 dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Sebelum kematian benar-benar datang, simtom-simtom masa berduka dapat muncul sebagai bentuk antisipasi. Beberapa penelitian menyebutkan simtom-simtom tersebut terjadi pada masa anticipatory grief. Anticipatory grief adalah segala kesedihan yang muncul terlebih dahulu sebelum terjadinya kehilangan, namun kesedihan ini dibedakan dengan kesedihan setelah kehilangan (Aldrich, 1974 dalam Lane, 2005). Anticipatory grief akan berdampak pada fisik dan psikis baik pasien maupun keluarga. Anticipatory grief menurut penelitian merupakan proses normal yang dapat membuat orang lebih beradaptasi dengan kematian yang sebenarnya. Rasa sedih akibat masa berduka yang dialami oleh orang yang sudah mengantisipasi sama dengan yang belum mengantisipasi, namun persiapan saat masa anticipatory grief dapat membuat orang lebih mampu beradaptasi setelah kematian terjadi (Clayton, dkk., 1973; Glick, Weiss, & Parkes, 1974; parkess & Weiss, 1983 dalam Rando, 1984). Selain efek positif, anticipatory grief juga memiliki efek negatif. Hillman (1997), menjelaskan bahwa diagnosa penyakit kronis pada anak menyebabkan krisis emosi pada seluruh anggota keluarga dan cara keluarga menyikapi dan menghadapi diagnosis tersebut dapat mempengaruhi kesehatan anak. Efek negatif dari anticipatory grief yang dialami orangtua dapat tersalurkan pada anak apabila
orangtua tidak dapat mengatasi efek negatif dari rasa berduka tersebut. Spinetta, Rigler, & Karon, 1974 (dalam Rando, 1984) mengemukakan bahwa anak dapat merasakan perbedaan emosional pada orang dewasa di sekitarnya yang pada akhirnya mempengaruhi tingkah laku anak tersebut. Al-Gamal dan Long (2010) mengidentifikasi anticipatory grief sangat penting untuk memperingatkan para profesional akan adanya kebutuhan intervensi yang membantu keluarga untuk tetap melanjutkan kehidupan secara optimal. Orangtua melaporkan perubahan hidupnya secara dramatis sejak diagnosis terhadap anaknya, hal ini membuat peran penting intervensi terhadap kemampuan coping yang positif menjadi lebih besar (Cohen, 1993 dalam Gamal & Long, 2010). Overholser & Friz, 1990 (dalam Gamal & Long, 2010) juga merekomendasikan tenaga medis untuk menangani mekanisme coping orangtua. Coping juga dapat dibagi menurut tahapannya, namun Baker & Chapmean, 1962 (dalam Lazarus & Folkman, 1984) lebih melihat tahapan dalam sebuah kejadian yaitu anticipatory atau warning, impact atau confrontation, dan post-impact atau post-confrontation. Selama masa antisipasi, masalah belum terjadi namun isu-isu penting seperti apakah hal tersebut akan terjadi, kapan terjadinya, dan apa yang akan terjadi sudah dipertimbangkan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian yang dilakukan oleh Folkins, 1970; Monat, Averill, dan Lazarus, 1972; dan Monat, 1976 (dalam Lazarus & Folkman, 1984) membuktikan bahwa saat orang berada pada masa antisipasi, pikiran-pikiran mereka mengenai masalah yang sedang dihadapi dapat berpengaruh pada stres seseorang dan coping-nya.
Tidak masalah apabila anticipatory grief berdampak positif setelah kematian benar-benar terjadi, namun apabila emosi orangtua pada masa sebelum kematian tidak dapat diatasi dengan baik dikhawatirkan akan menjadi masalah tersendiri bagi pasien dan keluarganya, sehingga coping menjadi penting pada masa sebelum kematian terjadi. Latar belakang di atas membentuk penelitian ini, yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara coping style dan anticipatory grief. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena penelitian terdahulu lebih banyak melihat aspek problem-focused dan emotion-focused (Burrera, et al., 2003) hanya sedikit sekali yang membahas mengenai religiousfocused coping, padahal menurut Dahlan (2005) di Indonesia lebih banyak yang menggunakan religious-focused coping. Penelitian religious-focused coping yang sudah ada juga menunjukkan efeknya pada keluarga yang ditinggalkan (Pargament, 1997), namun belum membahas efeknya pada anticipatory grief.
1. 2 Identifikasi Masalah Apakah terdapat hubungan antara coping style dan anticipatory grief pada orangtua yang memiliki anak dengan penyakit kanker?
1. 3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dibuat untuk mengetahui bagaimana hubungan antara coping style dan anticipatory grief pada orangtua yang memiliki anak dengan penyakit kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais.
1. 4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara coping style dan anticipatory grief, sehingga hasil penelitian ini dapat bermanfaat di bidang keilmuan psikologi di Indonesia yaitu, menambah khazanah psikologi di bidang anticipatory grief dan strategi coping. Manfaat penelitian pada level individual yaitu dapat dijadikan tambahan pengetahuan bagi para orangtua yang memiliki anak dengan diagnosis kanker mengenai bagaimana sebaiknya mereka menyalurkan perasaan-perasaan di depan anak mereka. Manfaat untuk rumah sakit adalah agar dapat mempertimbangkan untuk menyediakan tenaga profesional yang secara khusus dipersiapkan bagi para orangtua. Mengadakan program-program untuk para orangtua seperti social support group. Orangtua juga dapat diarahkan bagaimana sebaiknya mereka bertindak di depan anak mereka dan bagaimana mereka dapat mengatasi anticipatory grief.