BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kejadian bencana alam banyak terjadi dan cenderung meningkat dari tahun ketahun. Peningkatan ini terjadi di dunia termasuk di Indonesia. Banjir, kekeringan, longsorlahan, tsunami, gempabumi, dan badai merupakan bencana alam yang dapat menimbulkan dampak kerugian yang besar bagi kehidupan manusia. Indonesia merupakan wilayah yang secara geologis, geomorfologis, meteorologis, klimatologis, dan sosial ekonomi sangat rawan terhadap bencana (Sudibyakto, 2009). Longsorlahan merupakan proses alam akibat pengaruh gaya gravitasi bumi, lereng yang tidak stabil, dan batuan kedap air sebagai bidang gelincir bagi tubuh tanah atau batuan yang ada di atasnya (Shape 1938, dalam Thornburry, 1958). Menurut Van Wasten (1993), penyebab longsorlahan terdiri dari aspek fisik alami dan aspek manusia. Aspek fisik alami meliputi kondisi geologi, geomorfologi, lereng, dan iklim yang meliputi curah hujan, kelembaban, dan suhu. Aspek manusia terdiri dari penggunaan lahan, pembuatan jaringan jalan, dan aktivitas penambangan. Informasi dari aspek-aspek ini akan menjadi pertimbangan dalam kajian kerawanan longsorlahan. Gambar 1.1 menjelaskan bahwa kejadian bencana alam dalam seratus tahun terakhir di dunia mengalami peningkatan yang cukup mengkhawatirkan.
1
Banjir dan badai angin merupakan bencana alam yang mengalami peningkatan sangat tinggi selama seratus tahun terakhir. Kejadian longsorlahan di dunia juga mengalami peningkatan yang cukup sigifikan.
Gambar 1.1. Perbandingan Angka Kejadian Bencana Alam Tahun 1901 - 2001 di Dunia (sumber: OFDA/CRED dalam Crozier, dkk., 2005)
Semakin meningkatnya jumlah manusia, membuat kebutuhan akan tempat tinggal akan semakin besar, akibatnya banyak permukiman-permukiman yang berdiri pada kondisi lereng yang miring.“Jika harus memilih, orang-orang akan tinggal (menetap) dan mempercayakan kesejahteraan hidupnya pada tempattempat aman di muka bumi dan menjauhi daerah-daerah yang rawan bencana (tanah longsor), akan tetapi, akibat adanya tekanan penduduk, urbanisasi, kebutuhan akan sumberdaya yang semakin meningkat, dan perubahan lingkungan,
2
manusia terpaksa harus tinggal bersama dan beraktivitas pada daerah-daerah yang rawan terhadap bencana alam tersebut” (Crozier, dkk., 2005). Banyaknya pemukiman yang dibangun pada lereng-lereng yang miring akan berpengaruh terhadap semakin banyaknya aktivitas-aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng. Pemotongan lereng untuk pembangunan infrastruktur jalan, pertanian dengan metode terasiring yang tidak mempertimbangkan lereng, dan alih fungsi lahan juga dapat memicu terjadinya gerakan massa tanah. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum dalam Peraturan Menteri No.22 tahun 2007 dalam Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor menjelaskan; “Secara geografis sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana alam, dan salah satu bencana alam yang sering terjadi adalah bencana longsor. Sejalan dengan proses pembangunan berkelanjutan perlu diupayakan pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan prioritas utama pada penciptaan keseimbangan lingkungan. Salah satu upaya yang diambil adalah melalui pelaksanaan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana alam agar dapat ditingkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat terutama di kawasan rawan bencana longsor.” DAS Ijo mencakup 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Piyungan, Patuk, Prambanan, dan Berbah. Secara administratif keempat kecamatan tersebut terbagi kedalam tiga kabupaten yang berbeda, yaitu Kabupaten Bantul, Gunungkidul, dan Sleman. DAS Ijo memiliki morfologi yang bervariasi, sebagian besar reliefnya tergolong berbukit sampai bergunung, dan sebagian kecil mempunyai lereng datar
3
sampai bergelombang. DAS Ijo termasuk wilayah yang rawan terhadap bencana longsorlahan apabila dilihat dari kondisi lerengnya yang tidak stabil, terlebih lagi lahan-lahan dengan kondisi lereng yang miring justru dimanfaatkan sebagai area permukiman.
Berdasarkan data PODES DIY Tahun 2008, pada kemiringan
lereng lebih dari 25% di beberapa desa di DAS Ijo masih berdiri permukimanpermukiman, desa-desa tersebut adalah Desa Srimulyo, Srimartani, Wukirharjo, Gayamharjo, Sumberharjo, Sambirejo, Sumberharjo, Ngoro-oro, dan Terbah. Pada beberapa desa tersebut, permukiman dibangun pada kemiringan lereng di atas 25%. Perbandingan posisi permukiman dan kemiringan lereng di DAS Ijo disajikan dalam Gambar 1.2.
4
Gambar 1.2. Peta Perbandingan Posisi Permukiman dan Kemiringan Lereng di DAS Ijo 5
Beberapa tahun terakhir tercatat beberapa kejadian longsorlahan terjadi di beberapa desa di DAS Ijo. Pada pertengahan Februari 2008, jalan yang menghubungkan sejumlah desa di Prambanan, Yogyakarta, dan Klaten terganggu akibat tanah longsor di Desa Sengonkerep dan Serut, Kecamatan Gedangsari. Akibatnya, aktivitas penduduk di kedua wilayah terhambat (Suara Merdeka, 20/02/2008). Mei 2010, sebuah tebing setinggi 12 meter dengan lebar sekitar 5 meter longsor menimpa rumah warga di Bulusari Srimartani Piyungan. Tidak ada korban jiwa dalam musibah itu, tetapi dapur rumah korban roboh (Kedaulatan Rakyat,15/05/2010). September 2010, longsorlahan terjadi di Dusun Lengkong, Desa Sambirejo, Prambanan, Sleman, sedikitnya 18 rumah warga menjadi korban, dengan kondisi 1 rumah rusak berat, 1 rumah rusak sedang, dan 16 rusak ringan (Harian Jogja, 24/09/2010). Selain beberapa kejadian longsorlahan di depan, akhir Februari 2011 muncul rekahan tanah di Umbulsari, Piyungan, Bantul. Seperti yang diberitakan Kedaulatan Rakyat (27/02/2011), rekahan tanah selebar dua jengkal tangan orang dewasa tersebut panjangnya mencapai 20 m. Akibat adanya rekahan tersebut sejumlah rumah milik warga dengan belasan jiwa terancam longsoran tanah bercampur material batu. Selain beberapa peristiwa longsorlahan yang dijabarkan di atas, kejadian longsorlahan lain di DAS Ijo juga dirangkum dalam Tabel 1.1.
6
Tabel 1.1 : Rekapitulasi Kejadian Longsorlahan di DAS Ijo Berdasarkan Catatan Media Massa Tanggal
Keterangan Longsorlahan
Tempat Kejadian
Dampak Kerugian Korban Jiwa Material
Tebing bukit Dusun 6 Desember Dusun Dayakan, 1 rumah rusak Dayakan ambrol karena 2007 Prambanan, Sleman sedang hujan deras
Media Massa
-
okezone.com
Sumber Tanggal Terbit
Tanggal Akses
26 Desember 25 September 2007 2013
18 Februari 2008
jalan sepanjang 50 meter di Desa Serut menuju Gayamharjo longsor
Gayamharjo, Prambanan, Sleman
-
-
Suara Merdeka
20 Februari 2008
25 September 2013
19 Februari 2008
Batu besar berjatuhan dari atas bukit
Dusun Cepit, Bokoharjo, Prambanan, Sleman
-
-
Harian Kompas
2 Februari 2009
25 September 2013
26 Oktober 2008
Talud ambrol sepanjang 20 meter lebar 2,5 meter dengan ketinggian 2,5 meter.
Dusun Waduk, Salam, Patuk, Gunungkidul
-
-
wonosari.com
28 Oktober 2008
25 September 2013
1 rumah rusak berat, 1 rumah Longsorlahan dan banjir Dusun Nglengkong, rusak sedang, 16 23 September bandang akibat Sambirejo, rumah rusak 2010 bendungan ambrol Prambanan, Sleman ringan, 2 ekor sapi, 1 ekor kambing
7
-
humas.slemankab. 27 September 25 September go.id 2010 2013
Longsorlahan 24 September mengakibatkan 2010 kerusakan pada aliran air (drainase)
Dusun Rejosari, Srimartani, Piyungan, Bantul
Tebing setinggi 10 Dusun Bulusari, 13 Mei 2011 meter dan lebar 4 meter Srimartani, longsor Piyungan, Bantul Tebing setinggi 7 meter di ruas jalan kabupaten Dusun Candisari, 8 Februari menghubungkan Wukirharjo, 2012 SumberharjoPrambanan, Sleman Gayamharjo longsor Tanah di bagian dapur rumah ambrol karena Dusun Widorowetan, 14 September sistem pembuangan air Bunder, Patuk, 2011 limbah rumahtangga Gunungkidul kurang baik Longsorlahan terjadi Dusun Bunder, 21 Februari akibat hujan deras Bunder, Patuk, 2012 selama 7 jam Gunungkidul Tebing setinggi 10 meter dengan panjang 24 Februari 12 50 meter mengalami keretakan sampai 3 centimeter
Dusun Mojosari, Srimartani, Piyungan, Bantul
-
-
Joglosemar
25 September 25 September 2010 2013
1 rumah rusak sedang (7 juta)
-
Harian Jogja
14 Mei 2011
25 September 2013
-
-
Kedaulatan Rakyat
10 Februari 2012
25 September 2013
1 rumah rusak ringan
solopos.com
14 September 25 September 2011 2013
1 rumah rusak sedang
-
Radar Jogja
23 Februari 2012
25 September 2013
-
-
Suara Komunitas
25 Februari 2012
25 September 2013
8
26 Februari 2012
Longsorlahan akibat hujan 4 hari berturutturut
6 Maret 2012
Longsorlahan akibat hujan deras
30 Nopember 2012
Longsorlahan
Dusun Mojosari, Srimartani, Piyungan, Bantul
-
-
Dusun Mojosari, 1 rumah rusak Srimartani, sedang Piyungan, Bantul Dusun Nawung, 1 rumah rusak Gayamharjo, sedang Prambanan, Sleman
Sumber : Akses internet (2013)
9
Blog PKS Piyungan
29 Februari 2012
25 September 2013
bpbd.bantulkab. go.id
7 Maret 2012
25 September 2013
Tribun Jogja
2 Desember 25 September 2012 2013
Kerawanan longsorlahan dapat dikaji dengan metode heuristic (analisa pembobotan faktor penyebab longsorlahan), statistic (analisa data longsorlahan secara statistik), deterministic (analisa stabilitas lereng dengan pemodelan), ataupun dengan kombinasi beberapa metode tersebut (Van Wasten, 2005). Salah satu metode untuk mengkaji kerawanan longsorlahan yang banyak digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode AHP merupakan metode pengambilan keputusan dengan menguraikan masalah multi faktor dan multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Dengan hirarki, permasalahan yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompok permasalahan yang lebih kecil sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Penerapan metode AHP dalam analisis kerawanan longsorlahan telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya Komac. (2005); Yoshimatsu dkk., (2005); Akgun dkk., (2007); Yalcin. (2007); Bachri dkk. (2010); Wacano. (2010); dan Moradi dkk., (2012). Dengan menggunakan metode ini, parameter penentu kerawanan longsorlahan dapat diolah secara sistematis untuk menentukan tingkat kerawanan longsorlahan di daerah penelitian. Dengan perhitungan perbandingan matrik berpasangan, maka bobot masing-masing parameter penentu kerawanan longsorlahan dapat dengan mudah diperoleh. Selain itu, penilaian subyektif dapat dikontrol dengan adanya syarat perbandingan nilai konsistensi (consitency ratio).
10
1.2. Perumusan Masalah Longsorlahan merupakan salah satu penyebab bencana alam yang dapat menimbulkan kerugian harta benda maupun nyawa. Longsorlahan dapat terjadi bukan hanya karena aspek fisik alami, akan tetapi faktor manusia juga dapat menjadi pemicu terhadap kejadian longsorlahan. Selain kondisi lereng yang tidak stabil, kondisi batuan yang kurang kompak, tanah yang tebal, dan curah hujan yang tinggi, faktor manusia seperti penggunaan lahan dan jaringan jalan juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya bencana longsorlahan di DAS Ijo beberapa tahun terakhir. Pemotongan lereng untuk pembangunan jalan, pembangunan permukiman, dan aktivitas pertanian yang tidak memperhatikan kestabilan lereng dapat memicu terjadinya longsorlahan, untuk itu perlu diketahui seberapa besarkah faktor fisik maupun nonfisik dapat mempengaruhi tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Ijo. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang muncul kemudian adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Ijo?
2.
Bagaimana pengaruh faktor fisik alami maupun manusia terhadap tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Ijo?
Dengan mempertimbangkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka penulis mengambil judul penelitian “Kajian Kerawanan Longsorlahan dengan menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) dan Sistem Informasi Geografis di DAS Ijo, Daerah Istimewa Yogyakarta”.
11
1.3.Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mempelajari tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Ijo. 2. Mengetahui pengaruh faktor fisik alami maupun manusia terhadap tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Ijo.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengembangkan ilmu geografi lingkungan terutama terkait dengan mitigasi bencana yang dalam hal ini adalah bencana longsorlahan. 2. Merupakan bahan informasi, pembanding, dan acuan untuk penelitianpenelitian sejenis di masa yang akan datang. 3. Tingkat kerawanan longsorlahan dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk mengetahui sebaran wilayah DAS Ijo yang rawan terhadap bencana longsorlahan. 4. Sebagai masukan untuk pemerintah setempat dalam menyusun rencana tata ruang wilayah dan menentukan kebijakan dalam upaya untuk
mengurangi
kerugian
yang
diakibatkan
oleh
longsorlahan baik kerugian material maupun korban jiwa.
12
bencana
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1 Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi, proses yang menyebabkan terbentuknya permukaan bumi, serta keterkaitan antara proses tersebut dengan bentuk permukaan bumi. Bentuk permukaan bumi secara umum dipengaruhi oleh tiga proses yaitu proses endogen, proses eksogen, dan proses ekstra terestrial. Proses endogen berperan pada pembentukan permukaan bumi melalui tenaga endogen yaitu proses tektonik dan vulkanik. Proses ekstra terestrial terjadi apabila terdapat gangguan benda padat dari luar bumi yang dapat mempengaruhi bentuk lahan seperti jatuhnya meteor yang menghantam permukaan bumi. Proses eksogen merupakan proses yang terjadi akibat tenaga-tenaga eksogen, yaitu air, angin, es, gelombang, arus laut, organisme, dan gaya gravitasi (Thornbury,1956). Geomorfologi menurut Kardono Damoyuwono (1973, dalam Sutikno, 1987) merupakan uraian tentang bentuk bumi. Seiring dengan berjalannya waktu, definisi
geomorfologi
penyempurnaan.
mengalami
Geomorfologi
perkembangan
merupakan
ilmu
dan
penyempurnaan-
yang
mendeskripsikan
bentuklahan dan proses-proses yang membentuk bentuklahan tersebut, dan mencari hubungan antara bentuklahan tersebut dengan proses-proses dalam susunan keruangan. (Zuidam, 1983). Geomorfologi merupakan studi yang mendeskripksikan bentuklahan serta proses yang bekerja didalamnya, serta menganalisis hubungan timbal balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam konteks kelingkungan (Zuidam dan Zuidam-Cancelado, 1979).
13
1.5.2 Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu penyebab bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang dapat berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial. Bencana alam tanah longsor dapat terjadi karena pola pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah kelestarian lingkungan, seperti gundulnya hutan akibat pembalakan liar, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman di lahan berkemiringan lereng yang terjal (Nugroho, dkk., 2009). Panizza (1996) mengemukakan bahwa peningkatan populasi manusia diikuti oleh meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya alam, ruang, teknologi, dan taraf hidup. Hal ini menimbulkan perubahan terhadap lingkungan, akibatnya terjadi proses alam seperti tanah longsor yang dapat merugikan manusia. Fenomena
longsorlahan
merupakan
proses
alami
untuk
menemukan
keseimbangan alam baru, kejadian longsorlahan di masa lalu dan yang terjadi di masa sekarang dapat menerangkan kejadian longsorlahan yang akan terjadi di masa yang akan datang (Varnes, 1984). Longsorlahan
merupakan
istilah
yang
umum
digunakan
untuk
mendiskripsikan gerakan tanah, batuan, dan material organik menuruni lereng karena efek dari gaya gravitasi, dan juga bentuklahan yang dihasilkan dari beberapa
gerakan
material
tersebut
menuruni
lereng.
(USGS,
2008).
Longsorlahan terjadi akibat pengaruh gaya tarik bumi (Gravitatif) yang lebih besar dari pada gaya penahannya (Cooke dan Doornkamp, 1974).
14
Vernes (1978, dalam Panizza, 1996) mengkasifikasikan enam prinsip tipe gerakan massa untuk menggambarkan beberapa karakteristik longsorlahan yaitu jatuhan (falls), robohan (topples), luncuran (slides) mencakup luncuran berputar (rotational slides) dan luncuran pada bidang landai (translational slides), penyebaran kesamping (lateral spreads), aliran (flow), dan luncuran kompleks (complex slides). Tipologi longsorlahan menurut USGS disajikan dalam Gambar 1.3.
Gambar 1.3.
Tipe-tipe longsorlahan (Sumber : USGS, 2004)
15
Menurut Sitorus (2006, dalam Hermon (2009), penyebab terjadinya bencana longsorlahan secara umum dapat dibedakan atas 3, yakni: (1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan karakteristik sungai, (2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti perubahan iklim global, pasang-surut, amblesan tanah, sedimentasi, dan sebagainya, serta (3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan daerah lereng miring hingga
sangat
miring
untuk
perumahan,
pemanfaatan
wilayah
rentan
longsorlahan, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan sarana pengendali longsorlahan dan sebagainya. Kondisi yang berpengaruh terhadap terjadinya longsorlahan dapat dikategorikan menjadi dua kondisi yaitu aktif dan pasif. Kondisi aktif terdiri dari faktor-faktor perpindahan material oleh tenaga-tenaga alami atau manusia, berkurangnya gaya kohesi material, dan pergerakan bumi. Kondisi pasif yang berpengaruh terhadap terjadinya longsorlahan adalah batuan, stratigrafi, struktur batuan, dan topografi (De Graff, 1978). Menurut Arsyad (1989), proses terjadinya longsorlahan dipengaruhi oleh tiga faktor meliputi : 1. Kemiringan lereng yang miring hingga curam, sehingga volume tanah dapat bergerak atau meluncur ke arah bawah lereng. 2.
Terdapat suatu lapisan di bawah tanah yang kedap air dan lunak yang akan menjadi bidang gelincir.
16
3. Terdapat air yang banyak didalam tanah sehingga lapisan tanah diatas lapisan kedap air menjadi jenuh.
1.5.3
Kerawanan Bencana Kerawanan (susceptibility) adalah ciri-ciri fisik atau kaakteristik fisik dari
kondisi suatu wilayah yang rentan terhadap bencana tertentu. Istilah kerawanan adalah
suatu
tahapan
sebelum
terjadinya
bencana
(pre-evelent
phase)
(Scheininernauer dan Ehrlich, 2004 dalam Rahman, 2008). Perkembangan suatu wilayah akan meningkatkan kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal dan beraktivitas ekonomi, adapun ketersediaan lahan yang ada tidak mengalami perkembangan. Penduduk terpaksa menempati lokasi yang tidak layak huni seperti di daerah perbukitan dan lereng pegunungan. Aktivitas masyarakat tersebut menyebabkan tingkat kerawanan bencana menjadi semakin meningkat, manakala lahan dieksploitasi secara berlebihan tanpa memperhatikan daya dukung lahan (Suranto, 2008).
1.5.4 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Definisi AHP Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikenalkan oleh
Thomas L. Saaty pada periode 1971-1975 (Latifah, 2005). Metode ini dipandang dapat membantu menyelesaikan masalah rumitnya pengambilan keputusan akibat beragamnya kriteria. Metode ini mengurai masalah multi faktor dan multi kriteria yang kompleks kedalam suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hirarki merupakan
17
representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level: faktor, kriteria, subkriteria, dan seterusnya hingga level terkecil dari alternatif yang dipandang sebagai solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis (Syaifullah, 2010). Metode ini banyak digunakan untuk memecahkan masalah karena menggunakan struktur hirarki, sehingga masalah dapat dipilah-pilah lagi kedalam kriteria dan sub-sub kriteria tertentu, sampai batas tidak dapat dipecah lagi. Selain itu metode ini memperhitungkan validitas sampai batas toleransi inkonsistensi berbagai macam kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. Secara umum terdapat tiga prinsip dalam menyelesaikan persoalan menggunakan metode AHP yaitu decomposition, comparatif judgement, dan syntesis of priority (Hafiyusholeh, 2009). a. Decomposition (dekomposisi) Setelah mendefinisikan persoalan, maka dilakukan decomposition, yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi usur-unsur yang lebih sederhana. Dengan kata lain, permasalahan tersebut dibuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria-kriteria, kemudian sub-kriteria dengan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Untuk mendapatan hasil yang akurat, pemecahan juga dapat dilakukan
18
terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi. Contoh struktur hirarki dapat dilihat pada Gambar 1.3.
Gambar 1.4.
Contoh Struktur Hirarki (Hafiyussholeh, 2009)
b. Comparative judgement (penilaian melalui perbandingan) Prinsip ini mengandung arti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua unsur pada suatu tingkat tertentu dapam kaitannya dengan tingkat atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas unsur-unsur. Agar tampak lebih terstruktur, hasil dan penilaian ini disajikan
dalam
bentuk
matriks
perbandingan
berpasangan
(Pairwise
Comparison) (Saleh dan Tatang Tiryana, 2007). Contoh matrik perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Matriks Perbandingan Berpasangan (Pairwise Comparison Matrix) Mobil baru Harga Serbaguna Prestise 3 7 Harga 1 1/3 2 Serbaguna 1 1/7 1/2 Prestise 1 Sumber : Saleh dan Tatang Tiryana (2007)
19
Agar diperoleh skala yang baik ketika pembandingan dua unsur, pemecah masalah harus memiliki pemahaman yang baik tentang unsur-unsur yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang akan dicapai. Adapun skala dasar yang digunakan untuk membandingkan unsur-unsur yang ada oleh Saaty (1991) dirangkum dalam Tabel 1.3.
Skala 1
Tabel 1.3. Skala Perbandingan Berpasangan Unsur yang dibandingkan Equally important (sama penting)
3
Moderately more important (sedikit lebih penting)
5
Strongly more important (lebih penting)
7
Very strongly more important (sangat penting)
9
Extremely more important (mutlak lebih penting)
2,4,6,8
Intermediate values (nilai yang berdekatan) Sumber : Saaty (1991, dalam Coyle (2004) c. Synthesis of Priority (sintesis prioritas) Dari setiap matrik perbandingan berpasangan (PC) yang telah dibuat, kemudian dicari Eigen Vektornya untuk mendapatkan bobot prioritas. Bobot prioritas tersebut menggambarkan besar bobot masing-masing unsur matriks, semakin besar bobot prioritas yang diperoleh, maka semakin dipandang layak unsur matriks tersebut untuk dijadikan solusi dari masalah yang ingin dipecahkan. Bobot tersebut tentunya perlu di teliti kembali apakah sudah konsisten dan dapat digunakan sebagai suatu pemecahan masalah dengan melakukan perhitungan rasio konsistensi (consistency ratio). Tahapan
proses
pengambilan
keputusan
(Hafiyusholeh, 2009) adalah sebagai berikut :
20
dengan
metode
AHP
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan Pertama kali yang perlu dilakukan adalah menentukan masalah yang ingin dipecahkan, memahami secara jelas dan mendetail. Dari masalah tersebut kemudian ditentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah tersebut. Solusi dari masalah mungkin berjumlah lebih dari satu. Solusi tersebut nantinya yang akan diproses pada tahapan selanjutnya. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria. Setelah ditentukan solusi-solusi untuk masalah yang ingin dipecahkan, kemudian solusi-solusi tersebut dipecah-pecah sampai batas terkecil sampai tidak mungkin lagi dilakukan pembagian. Kemudian semua solusi, kriteria, dan sub-sub kriteria disusun secara sistematis kedalam suatu hirarki. Struktur hirarki sebagaimana disajikan dalam Gambar 1.3. 3. Membuat matriks PC yang menggambarkan kontribusi relatif setiap unsur terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Matriks
yang
digunakan
merupakan
matriks
sederhana.
Perbandingan dilakukan berdasarkan penilaian dan pengambilan keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingka
dengan
elemen
21
lain.
Untuk
mengawali
proses
perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hirarki misalnya A dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya A1, A2, A3, dan seterusnya. 4. Melakukan
perbandingan
berpasangan
sehingga
diperoleh
ketetapan seluruhnya sebanyak n x [(n – 1)/2] buah, dengann adalah banyaknya unsur yang dibandingkan. Hasil dari perbandingan masing-masing elemen akan berupa ngka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan dapat membedakan intensitas antar elemen. Hasil perbandingan tersebut disisikan pada sel yang kolom yang bersesuaian dengan elemen yang akan dibandingkan . 5. Menghitung bobot prioritas dengan menguji konsistensinya. Untuk memperoleh bobot prioritas maka dilakukan perhitungan Eigenvector masing-masing matriks yang telah dibuat. Bobot prioritas tersebut menggambarkan bobot dari masing-masing solusi yang telah ditentukan sebelumnya. Solusi dengan
bobot prioritasterbesar
merupakan solusi terbaik diantara solusi-solusi lain yang telah dirumuskan. Meskipun demikian, tidak selamanya perhitungan bobot prioritas tersebut konsisten, sehingga perlu dilakukan evaluasi
22
konsistensi, solusi tersebut dianggap konsisten apabila hasil perhitungan rasio konsistensi (CR) adalah < 0,1. 6. Mengulang langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki. Selanjutnya adalah dilakukan pengulangan langkah 3,4,dan 5 utnuk memperoleh bobot dari masing-masing elemen hirarki.
a. Menghitung bobot prioritas Setiap elemen hirarki memiliki
bobot
prioritas. Bobot
tersebut
menggambarkan sebesar apa solusi tersebut dapat dipandang sebagai penyelesaian masalah yang sedang dihadapi. Untuk memperoleh bobot prioritas tersebut maka perlu dilakukan perhitungan eigenvector. Perhitungan bobot prioritas dilakukan dengan cara berikut : 1. Menghitung nilai eigenvector dengan rumus berikut : Eigenvector = ( A1 x A2 x A3 x...An) 1/n A = elemen matriks n = jumlah ordo matriks 2. Menjumlahkan semua eigenvector yang diperoleh untuk memperoleh Eigen Total. 3. Bobot prioritas diperoleh dengan membagikan eigenvector masing masing elemen dengan Eigen total. Contoh perhitungan bobot prioritas adalah sebagai berikut : Contoh permasalahan yang didefinisikan adalah membeli mobil baru, dengan contoh kriteria yang digunakan adalah harga, serbaguna, dan prestise sebagai
23
kriteria awal dalam mengambil keputusan. Setelah dibuat matriks perbandingan berpasangan, maka diperoleh Tabel 1.4. Tabel 1.4. Matrik PC Kriteria Penentuan Pertimbangan Membeli Mobil Baru Kriteria Lereng Geomorfologi Tanah Harga
1
3
4
Serbaguna
1/3
1
2
Prestise
1/4
1/2
1
Sumber : Saleh dan Tatang Tiryana (2007)
Maka matrik yang diperoleh adalah : Perhitungan Eigen Vector Harga
: (1,000 x 3.000 x 4,000)1/3= 2.289
Serbaguna
: (0,333 x 1,000 x 2,000)1/3 = 0.873
Prestise
: (0,250 x 0,500 x 1,000)1/3= 0.500
Eigenvector
=
Harga
= 2.289
Serbaguna
= 0.873
Prestise
= 0.500
Eigen total = 2.289 + 0.873 + 0.500 = 3.663 Perhitungan bobot prioritas Harga
= 2.289 / 3.663 = 0.6251
Serbaguna
= 0.873 / 3.663 = 0.2384
Prestise
= 0.500 / 3.663 = 0.1365
Bobot Prioritas =
Harga
= 0.6251
Serbaguna
= 0.2384
Prestise
= 0.1365
Bobot prioritas inilah yang digunakan untuk menggambarkan seberapa besar peranan masing - masing elemen terhadap keputusan untuk membeli mobil baru.
24
Artinya kriteria yang memiliki pengaruh paling besar terhadap keputusan untuk membeli mobil baru adalah harga, diikuti dengan serbaguna dan prestise. b. Logical Consistency (konsistensi logis) Hasil dari perhitungan bobot prioritas tidak dapat secara langsung digunakan untuk mengambil keputusan melainkan perlu terlebih dahulu dilakukan uji konsistensi. Berdasarkan contoh matrik sebelumnya, apabila diperoleh Harga > Serbaguna, dan Serbaguna > Prestise, maka hasil perhitungan dikatakan konsisten apabila Harga > Prestise. Apabila didapat Harga < Prestise maka dapat disimpulkan bahwa hasil dari perhitungan bobot prioritas tersebut tidak konsisten. Konsistensi dapat menjamin validitas bobot masing-masing kriteria. Inkosnsisteni dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut : I
Kesalahan dalam memasukkan data
II
Kurangnya informasi
III
Kurangnya konsentrasi
Untuk mengetahui apakah perhitungan yang kita lakukan konsisten, maka perlu dihitung Consistency index (CI) dan Consistency Ratio (CR). Perhitungan CI dan CR dilakukan dengan menggunakan rumus berikut :
CI
= Consistency Index
λmax
= nilai eigen maximum
n
= ordo matriks
Nilai eigen maksimum dapat dihitung setelah diperoleh matriks normalisasi. Matriks ini diperoleh dengan perhitungan berikut :
25
Harga
: 1,000
3.000
4,000
Serbaguna
: 0,333
1,000
2,000
Prestise
: 0,250
0,500
1,000
Langkah awal adalah menjumlahkan setiap elemen matriks berdasarkan kolom matriks : Harga
: 1,000 + 0,333 + 0,250 = 1.583
Serbaguna
: 3,000 + 1,000 + 0,500 = 4.500
Prestise
: 4,000 + 2,000 + 1,000 = 7.000
Kemudian dilakukan perhitungan matriks normalisasi dengan cara berikut : Harga
: (1,000/1.583)
(0,333/4.500)
(0,250/7.000)
Serbaguna
: (3,000/1.583)
(1,000/4.500)
(0,500 /7.000)
Prestise
: (4,000/1.583)
(2,000/4.500)
(1,000 /7.000)
Berikut ini adalah matriks normalisasi yang diperoleh : Harga
: 0.6317
0.6667
0.5714
Serbaguna
: 0.2104
0.2222 0.2857
Prestise
: 0.1579
0.1111 0.1429
Eigen maksimum (λmax) merupakan hasil rerata pembagian dari bobor sintesis dengan bobot prioritas. Bobot sintesis diperoleh dengan menjumlahkan masing masing elemen matriks normalisasi berdasarkan baris matriks. Berikut ini merupakan perhitungan bobot sintesis : Harga
: 0.6317 + 0.6667 + 0.5714 = 1.8698
Serbaguna
: 0.2104 + 0.2222 + 0.2857 = 0.7183
Prestise
: 0.1579 + 0.1111 + 0.1429 = 0.4119
Setelah diperoleh bobot sintesis selanjutnya dapat dihitung nilai eigen maksimum, perhitungan eigen maksimum adalah sebagai berikut : Harga
: 1.8698 / 0.6251 = 2.9912
26
Serbaguna
: 0.7183 / 0.2384 = 3.0130
Prestise
: 0.4119 / 0.1365 = 3.0176
Eigen maksimum = (2.9912 + 3.0130 + 3.0176) / 3 = 3.0073
Nilai
eigen
maksimum
(λmax)yang
diperoleh
berdasarkan
perhitungan
menggunakan contoh matriks diatas adalah 3.0073. Setelah diperoleh nilai eigen maksimum, maka selanjutnya dilakukan perhitungan CI atau indeks konsistensi. Berikut merupakan perhitungan CI : CI
= (3.0073 - 3) / (3 - 1) = 0.0036
Nilai Consistency Ratio (CR) merupakan nilai yang menunjukkan apakah hasil perhitungan matrik yang kita buat adalah kosnisten. Hasil perhitungan dianggap kosisten apabila nilai CR < 0,1. Rumus perhitungan CR adalah sebagai berikut :
CR
= Consistency Ratio
CI
= Consistency index
RI
= Random Index
Nilai Random Index (RI) sendiri tergantung pada ordo matriks yang kita buat. Nilai random indeks berdasarkan ordo matriks disajikan dalam Tabel 1.5.
n
Tabel 1.5. Nilai Random Index (RI) Berdasarkan Ordo Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
RI
0
1,51
0
0,58
0,90
1,12
1,24
Sumber : Saaty (1991)
27
1,32
1,41
1,45
1,49
Dalam teorinya, Saaty (1991) menyarankan bahwa hasil penilaian yang dapat diterima adalah jika nilai CR tidak lebih dari 10%. Apabila didapat nilai rasio konsistensi yang lebih tinggi, maka perlu dilakukan perhitungan ulang (Hafiyusholeh, 2009). Berdasarkan perhitungan CI sebelumnya, maka nilai rasio konsistensi (CR) dapat diperoleh dengan perhitungan berikut : CR
= 0.0036 / 0,58 = 0.006252
Nilai rasio konsistensi yang diperoleh adalah 0.006252, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penilaian yang kita buat mengenai kriteria - kriteria penentu kerawanan longsorlahan tersebut adalah konsisten karena nilai CR < 0,1 .
1.5.5
AHP dalam Kajian Kerawanan Longsorlahan AHP merupakan salah satu metode pembobotan dalam kajian kerawanan
longsorlahan. dalam penelitian ini, metode AHP digunakan untuk menghitung bobot setiap parameter penentu kerawanan longsorlahan yang digunakan. Bobot prioritas masing-masing variabel dan parameter kerawanaan longsorlahan menggambarkan bobot variabel dan parameter tersebut terhadap kerawanan lonsgrolahan di daerah yang dikaji. Penggunaan metode AHP pada kajian kerawanan telah banyak digunakan sebelumnya. Komac (2005) mengatakan bahwa metode ini digunakan untuk menguraikan faktor-faktor penyebab longsorlahan, dan dapat mengkalkulasi bobot masing-masing faktor dengan lebih transparan, artinya nilai bobot pada masing -
28
masing faktor diperoleh melalui perhitungan matematis yang jelas. Penghitungan nilai bobot secara matematis dan diakhiri dengan pengujian konsistensi membuat metode AHP dipandang lebih efektif dibanding dengan metode-metode penentuan kerawanan longsorlahan sebelumnya. Kelemahan penggunaan metode AHP ini untuk mengkaji kerawanan logsorlahan adalah sulitnya disajikan secara spasial. Liang dan Yang (2008) mengatakan, meskipun AHP merupakan metode yang sangat efektif untuk analisis lahan, akan tetapi hasil evaluasi sulit disajikan secara spasial, mengingat GIS sangat efektif dalam analisis spasial, maka kombinasi dati GIS dan AHP dapat saling melengkapi dalam penelitian-penelitian berbasis lapangan seperti bencana geologi. Nilai bobot yang diperoleh dari perhitungan menggunakan AHP kemudian digunakan untuk menghitung indeks kerawanan longsorlahan (landslide susceptibility index (LSI)). Indeks ini merupakan hasil jumlah total dari perkalian antara setiap variabel dengan bobot parameter penentu kerawanan longsorlahan. Secara matematis, indeks kerawanan longsorlahan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Dimana V merupakan bobot setiap variabel masing-masing parameter kerawanan longsorlahan dan P merupakan bobot setiap parameter penentu kerawanan longsorlahan. Parameter penentu longsorlahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiringan lereng, bentuklahan, batuan, penggunaan lahan, tekstur tanah, buffer jalan, dan buffer sungai, dengan perincian variabel dijelaskan
29
pada bab selanjutnya (BAB 2).
Bobot tersebut kemudian diklasifikasikan
kedalam kelas-kelas yang telah ditentukan untuk menggambarkan tingkat kerawanan longsorlahan. Hasil perhitungan klasifikasi tersebut kemudian disajikan secara spasial dengan bantuan perangkat lunak dan Sistem Informasi Geografis.
1.6. Penelitian Sebelumnya Dibyosaputro (1999) melakukan penelitian terkait dengan longsorlahan di daerah Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi curah hujan, kemiringan lereng, jenis batuan, kedalaman pelapukan batuan, dinding terjal, tebal solum tanah, tekstur dan permeabilitas tanah, penggunaan lahan dan kerapatan vegetasi penutup lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan pengambilan sampel secara berstrata, pengambilan sampel dilakukan dengan unit medan sebagai sampling unit. Unit medan diperoleh dengan menumpang-susunkan (overlay) peta geomorfologi dengan peta lereng dan penggunaan lahan. Kelas bahaya
longsorlahan ditentukan dengan
menggunakan metode pengharkatan pada masing-masing variabel, kemudian menjumlahkan harkat variabel-variabel tersebut pada setiap unit medan. Jumlah harkat tersebut dijadikan dasar untuk menentukan kelas bahaya longsorlahan. Peneliti membagi tingkat bahaya longsorlahan kedalam 5 kelas, tingkat bahaya longsor yang tinggi (IV) dan sangat tinggi (V) umumnya terjadi pada kondisi lereng yang miring (8-25%), terjal (20-40%) hingga sangat terjal (>40%).
30
kedalaman tanah yang relatif dalam (>100cm) dan penggunaan lahan tegalan, kebun campur, dan permukiman, serta sawah yang pengolahannya dilakukan dengan cara terasiring. Khasanah (2008) meneliti tingkat kerentanan longsorlahan pada lokasi permukiman di perbukitan Menoreh, Kecamatan Salaman, Magelang, Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kerentanan longsorlahan di perbukitan Menoreh, dan mengetahui Tingkat kerentanan longsorlahan pada lokasi permukiman di perbukitan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengharkatan pada variabel-variabel meliputi kemiringan lereng, tekstur tanah, kedalaman tanah, permeabilitas tanah, tingkat pelapukan batuan, kedalaman pelapukan batuan, kerapatan kekar, struktur batuan, mata air dan rembesan, penggunaan lahan, dan kenampakan longsor. Penjumlahan harkat dari masing-masing variabel pada tiap unit lahan digunakan sebagai dasar untuk melakukan klasifikasi kerentanan longsorlahan. Hasil yang diperoleh adalah perbukitan menoreh didominasi oleh tingkat kerentanan longsorlahan yang tinggi, lokasi permukiman yang ada sebagian besar berada pada tingkat kerentanan longsorlahan yang tinggi. Hadmoko (2010) juga melakukan penelitian di perbukitan Menoreh terkait dengan bahaya dan risiko bencana longsorlahan serta aplikasinya untuk kepentingan mitigasi dan perencanaan penggunaan lahan. Metode yang dilakukan yaitu skoring dengan mempertimbangkan parameter meliputi kemiringan lereng, jenis tanah, geologi, bentuklahan, dan penggunaan lahan. Masing-masing parameter memiliki bobot sesuai dengan besar pengaruhnya terhadap terjadinya
31
longsorlahan, bentuklahan dan kemiringan lereng memiliki bobot yang paling besar dibandingkan dengan parameter-parameter yang lain. Indekslongsorlahan
(landslide
hazard
index)
diperoleh
dengan
menjumlahkan harkat tiap parameter yang sebelumnya telah dikalikan dengan bobot masing-masing. Tingkat bahaya longsorlahan dibagi kedalam 3 kelas yaitu tingkat bahaya rendah, tingkat bahaya sedang, dan tingkat bahaya tinggi. Tingkat bahaya rendah umumnya berada pada area dengan kemiringan lereng 0-8%, area ini umunya berupa dataran aluvial, dan lereng kaki koluvio-aluvial. Tingkat bahaya sedang umumnya tersebar pada area dengan kemiringan lereng 15-30%, dan dengan ketebalan tanah 2 – 4 m. Daerah dengan tingkat bahaya sedang ini adalahlereng bawah dan sebagian lereng tengah Perbukitan Menoreh. Pada daerah dengan tingkat bahaya longsor yang tinggi, beberapa peristiwa longsorlahan aktif dan longsorlahan purba yang aktif kembali dapat dikenali dengan jelas. Daerah ini umumnya memiliki kemiringan lereng yang lebih dari 30%, ketebalan tanah yang lebih dari 4 m, dan terdapat banyak retakan pada batuan penyusunnya. Penelitianpenelitian yang terkait dengan longsor tersebut secara rinci terangkum dalam Tabel 1.6.
32
Tabel 1.6. Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Pelitian yang Peneliti Lakukan No 1.
Nama
Judul
Tujuan
Metode Penelitian
Suprapto Dibyosaputro (1999)
Longsorlahan di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
Mempelajari, mengklasifikasi, dan memetakan daerah penelitian kedalam peta geomorfologi dan peta unit medan. Mempelajari daerahdaerah yang potensial terjadi longsorlahan dan penyusunan peta bahaya longsorlahan Mengevaluasi longsorlahan setiap unit medan
33
Hasil Penelitian
Survei lapangan
-
Observasi laboratorium
-
Tumpangsusun peta geomorfologi, lereng dan peta penggunaan lahan Pengharkatan klas unit medan dan klasifikasi tingkat bahaya longsorlahan
-
Klasifikasi dan deskripsi unit medan Kecamatan Samigaluh. Peta unit medan Kecamatan Samigaluh. Deskripsi tingkat bahaya longsorlahan di Kecamatan Samigaluh Peta bahaya longsorlahan Kecamatan Samigaluh. Evaluasi longsorlahan setiap unit medan
2
Uswatun Khasanah (2008)
Tingkat Kerentanan Longsor Pada Lokasi Permukiman di Perbukitan Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Mengetahui tingkat kerentanan longsor pada setiap satuan medan perbukitan Menoreh kecamatan Salaman
survei
Hadmoko dkk., 2010
Landslide Hazard and Risk Assessment and Their Application in Risk Management and Landuse Planning in eastern flank of Menoreh Mountains, Yogyakarta Province, Indonesia
Tingkat kerentanan longsor pada setiap satuan medan Perbukitan Menoreh Kecamatan Salaman.
-
Peta tingkat kerentanan longsor Perbukitan Menoreh.
-
Tingkat kerentanan longsor pada lokasi permukiman di Perbukitan Menoreh Kecamatan Salaman.
-
Peta kerentanan longsor pada lokasi permukiman di Perbukitan Menoreh.
-
Peta bahaya dan risiko longsorlahan Kulon Progo untuk manajemen risiko dan perencanaan penggunaan lahan
membuat satuan bentuklahan pengambilan sampel
Mengetahui tingkat kerentanan longsor pada lokasi permukiman
pengharkatan dan klasifikasi tumpangsusun (overlay)
3
-
Memberikan penilaian terhadap bahaya dan risiko bencana tanah longsor untuk mitigasi dan perencanaan penggunaan lahan
Pembobotan parameter-parameter longsor dan klasifikasi tingkat bahaya longsor
34
4
Dwi Juli Prasetyo (2012)
Kajian Kerawanan Longsorlahan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process dan Sistem Informasi Geografis di DAS Ijo DAerah Istimmewa Yogyakarta
Mempelajari tingkat Pengumpulan data kerawanan sekunder longsorlahan di DAS Ijo Survei lapangan Mempelajari pengaruh fakor fisik alami Pembobotan maupun faktor manusia parameter terhadap tingkat menggunakan metode kerawanan longsorlahan AHP di DAS Ijo Tumpangsusun parameter penentu longsorlahan Klasifikasi dan analisis tingkat kerawanan longsorlahan di DAS Ijo
35
-
Tingkat kerawanan longsor dan Peta tingkat kerawanan longsor DAS Ijo.
-
Analisis pengaruh faktor fisik alami maupun faktor nonfisik terhadap tigkat kerawanan longsorlahan di DAS Petir.
1.7 Kerangka pemikiran Longsorlahan merupakan suatu gerakan batuan atau massa tanah menuruni lereng akibat gaya gravitasi. Kejadian longsorlahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor batuan yang terkait dengan batuan sebagai pemacu longsorlahan, faktor stratigrafi yang terkait dengan ketebalan perlapisan batuan, faktor struktur batuan yang terkait dengan adanya rekahan-rekahan pada batuan; bidang foliasi serta dip dan strike, faktor topografi yang terkait dengan kemiringan lereng dan morfologi lereng, faktor iklim yang terkait dengan faktor pemicu longsorlahan, faktor organik yang terkait dengan persebaran vegetasi, dan faktor lain yang terkait dengan penggunaan lahan dan campur tangan manusia. Kerawanan terhadap longsorlahan tentunya perlu diketahui untuk mengurangi
adanya
kerugian-kerugian
yang
ditimbulkan
oleh
bencana
longsorlahan tersebut. Kerawanan longsorlahan dapat diprediksi dengan berbagai metode salah satunya adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP merupakan metode pengambilan keputusan dengan tiga proses dasar yaitu decomposition atau pemecahan masalah kedalam unsur-unsur yang sederhana dan disusun menjadi sebuah hirarki, comparative judgement atau perbandingan tingkat kepentingan suatu unsur dengan unsur yang lain pada tingkat hirarki yang sama, dan synthesis of priority atau melakukan perhitungan untuk memperoleh bobot prioritas pada masing-masing unsur untuk menentukan seberapa besar pengaruh unsur tersebut pada masalah yang ingin dipecahkan, semakin besar bobot prioritasmaka semakin layak unsur tersebut untuk dipilih sebagai prioritas penyelesaian masalah. Dalam aplikasinya untuk analisis
36
kerawanan longsorlahan, metode AHP digunakan sebagai alat untuk menentukan bobot pada masing-masing variabel penentu kerawanan longsorlahan. Penentuan bobot tersebut dinilai lebih efektif karena nilai bobot diperoleh berdasarkan perhitungan matematis. Bobot yang diperoleh kemudian dihitung untuk mendapatkan indeks kerawanan longsorlahan. Hasil dari perhitungan tersebut masih berupa angka-angka, oleh karena itu untuk memperoleh hasil maksimal maka perlu bantuan SIG untuk menyajikan data tersebut secara spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sebuah sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan data dan memanipulasi informasi geografis. SIG adalah suatu bentuk sistem informasi yang menyajikan informasi dalam bentuk grafis dengan menggunakan peta sebagai antarmuka .Kemampuan dasar dari SIG adalah mengintegrasikan berbagai operasi basis data seperti Query, menganalisa dan menyimpan serta menampilkan dalam bentuk peta. Inilah yang membuat SIG lebih unggul dari sistem informasi lain. Kajian kerawanan longsorlahan merupakan salah satu dari beberapa kajian yang berbasis spasial. Longsorlahan merupakan salah satu bencana geologi yang banyak menimbulkan kerugian baik material maupun korban jiwa. Dengan menggunakan bantuan SIG, maka distribusi keruangan daerah rawan longsorlahan dapat disajikan, sehingga penanganan dan antisipasi terhadap bencana longsorlahan dapat dilakukan secara tepat sasaran. Secara skematis kerangka penelitian ini disajikan dalan Gambar 1.5.
37
Longsorlahan Aspek fisik
Aspek manusia
AHP
Bentuklahan Lereng Batuan Tanah Jaringan sungai
Penggunaan lahan Jaringan jalan
Tingkat kerawanan longsorlahan Gambar 1.5.
Diagram alir kerangka pemikiran
1.8 Batasan Operasional 1. AHP adalah suatu model pendukung keputusan yang menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki (Syaifullah,2010). 2. Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. (Subdit KRB, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, BAPPENAS, 2011). 3. Bahaya longsorlahan adalah suatu proses dan situasi yang memiliki potensi besar untuk merusak dan menyebabkan kehilangan berbagai sarana dan prasarana kehidupan baik terjadi ataupun tidak terjadi longsorlahan (Crozier dkk., 2005) 4. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
38
baik oleh
faktor
alam
dan/atau faktor non-alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
(Undang-undang Republik Indonesia No 24 tahun 2007). 5. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam adalahberupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (Undang-undang Republik Indonesia No 24 tahun 2007). 6. Bentuklahan dalam kajian geomorfologi adalah perbedaan geometris dari bentuk permukaan bumi. Bentuk ini memiliki relief khas yang dikontrol oleh struktur geologi. Relief yang khas terbentuk akibat proses geomorfologi yang bekerja pada material dalam ruang dan waktu (Strahler, 1969). 7. Buffer jalan adalah daerah penyangga atau jarak tertentu pada sisi kiri dan kanan jaringan jalan yang diindikasi rawan terhadap longsorlahan (wacano, 2010) 8. Buffer sungai adalah daerah penyangga atau jarak tertentu pada sisi kiri dan kanan jaringan sungai yang diindikasi rawan terhadap longsorlahan (wacano, 2010) 9. Consistency index (CI) adalah nilai yang menggambarkan tingkat konsistensi matriks perbandingan berpasangan (pair wise comparison matrix). Apabila CI bernilai nol (0), maka pair wise comparison matrix tersebut konsisten (Sinaga, 2009)
39
10. Consistency Ratio (CR) adalah nilai perbandingan antara indeks konsistensi (CI) dengan Random Index (RI), yang menggambarkan batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan Saaty dalam analisis AHP. (Sinaga, 2009) 11. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah yang dibatasi oleh punggung bukit yang di dalamnya mengalir sungai tunggal atau sistem sungai yang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga aliran-aliran yang berasal dari daerah tersebut keluar melalui satu saluran tunggal (Linsley, 1985). 12. Eigen Maximum (eigen max) adalah nilai eigen terbesar dari matriks berordo n(Sinaga,2009). 13. Eigenvalue (Nilai eigen) adalah nilai karakteristik suatu matriks, secara sederhana nilai eigen merupkan nilai yang mempresentasikan suatu matriks dalam perkalian dengan suatu vektor, nilai-nilai tersebut muncul dari sitem-sistem persamaan dengan bentuk AXx= λx, dimana λ adalah skalar (Rasyad , 2008). 14. Eigenvector (Vektor eigen)adalahsolusi dari matriks (A-λ) untuk setiap nilai λ yang ada di mana x ≠ 0. 15. Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsikan bentuklahan dan prosesproses yang membentuk bentuklahan tersebut, dan mencari hubungan antara bentuklahan tersebut dengan proses-proses dalam susunan keruangan (Zuidam, 1983).
40
16. Hirarki adalah suatu representasi dari sebuah masalah yang kompleks dalam satu struktur tingkatan majemuk dengan tingkat pertama adalah tujuan, yang diikuti oleh kriteria, subkriteria, dan seterusnya sampai pada tingkat terakhir. (Hafiyusholeh, 2009). 17. Resiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun wantu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. (Subdit KRB, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, BAPPENAS, 2011 ) 18. Kerawanan (susceptibility) adalah ciri-ciri fisik atau kaakteristik fisik dari kondisi suatu wilayah yang rentan terhadap bencana tertentu. Istilah kerawanan adalah suatu tahapan sebelum terjadinya bencana (pre-evelent phase) (Scheininernauer dan Ehrlich, 2004 dalam Rahman, 2008). 19. Kerawanan
longsorlahan
(landslide susceptibility) adalah potensi/
kecenderungan kejadian longsorlahan atau indikasi yang menunjukkan ada tidaknya longsorlahan yang terjadi secara keruangan (Crozier dkk., 2005). 20. Longsorlahan merupakan proses perpindahan atau pergerakan tanah dengan arah atau vertikal dari kedudukan semula sebagai akibat gaya gravitasi (Sutikno, 1994). 21. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu bentuk sistem informasi berbasis komputer yang menyimpan, mengolah, dan memanipulasi informasi geografis dan menampilkannya dalam bentuk grafis berupa peta (Aziz dan Pujiono, 2006)
41