BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perawatan endodonti bertujuan menghilangkan jaringan nekrotik dan jaringan
dentin yang terinfeksi, mengeliminasi mikrooganisme dari saluran akar dan tubulus dentin, serta mencegah kontaminasi ulang saluran akar setelah perawatan (Zivkovic dkk, 2005). Namun gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar umumnya memiliki struktur gigi lebih lemah daripada gigi sehat karena kehilangan struktur gigi yang disebabkan oleh perluasan karies atau prosedur endodonti yang dilakukan (Kishen, 2006). Prosedur endodonti memungkinkan terjadinya pengurangan kekuatan mahkota gigi hingga 38% (Hussain dkk, 2007 cit. Michael, 2010). Kekuatan gigi endodonti berbanding lurus dengan jumlah struktur gigi sehat yang tersisa dan jika struktur gigi hilang, potensi fraktur gigi akan meningkat (Sornkul dkk, 1992 cit. Tay dan Pashey, 2007). Penyebab fraktur pada gigi endodonti bersifat multifaktorial yang dapat dikelompokkan akibat iatrogenik dan non-iatrogenik. Fraktur secara biomekanik adalah suatu proses yang sangat kompleks yang melibatkan pembentukan dan pertumbuhan retak mikro dan retak makro. Celah-celah mikroskopik dapat bertambah dari waktu ke waktu yang akhirnya mengakibatkan fraktur pada stuktur gigi. Perbedaan utama antara gigi utuh dan gigi endodonti yang direstorasi dengan pasak inti adalah (1) peningkatan konsentrasi tegangan dan (2) peningkatan tegangan tarik
pada struktur jaringan yang tersisa. Pola distribusi tekanan pada gigi yang telah direstorasi dengan menggunakan pasak inti mahkota jelas berbeda dengan gigi yang masih utuh. Sistem pasak inti mahkota merupakan satu unit tunggal yang dapat melengkung dan meregang selama proses pengunyahan. Perbedaan pola regangan tersebut berbeda jika dibandingkan dengan gigi normal, yang dapat menyebabkan kehilangan tulang periodontal. Penggunaan pasak fiber merupakan perkembangan ilmu endodonti untuk menggantikan sistem pasak metal maupun pasak tuang (cast metal). Penggunaan pasak fiber menunjukkan hasil yang estetis karena tidak korosi, perlekatan sangat baik dengan memanfaatkan sistem adesif, memiliki modulus elastisitas menyerupai dentin sehingga dapat mendistribusikan tekanan secara merata, mengurangi resiko terjadinya fraktur akar dan lebih mudah diperbaiki (repairable) (Torabi dan Fattahi, 2009). Teknik ini menciptakan suatu sistem monoblok di dalam saluran akar yaitu suatu istilah yang secara harfiah berarti satu kesatuan. Bahan monoblok harus memiliki kemampuan ikatan kuat dan saling menyatu satu sama lain, serta substrat monoblok mampu berfungsi sebagai reinforced (penguat) dan memiliki modulus elastisitas yang mirip dengan dentin (Tay dan Pashley, 2007). Beberapa penelitian yang menggunakan analisis FEM juga menyimpulkan bahwa penggunaan pasak yang memiliki modulus elastisitas mirip dengan dentin menghasilkan suatu kesatuan unit homogen dengan kinerja
biomekanik yang lebih baik (Barjau-Escribano dkk, 2006; Silva dkk, 2009 cit. Soares, 2012). Dentin secara alami, terhidrasi, merupakan mineralisasi jaringan keras yang membentuk sebagian besar gigi. Dentin memiliki ribuan tubulus mikroskopis yang berdiameter antara 0.5 - 4.0 µm, dengan kepadatan tubulus dentin berkisar dari 10.000 – 96.000 tubulus per mm2 (Mjor, 1996 cit. Kishen, 2006). Dentin dewasa (matur) terdiri dari 30% kolagen bahan organik, 60% anorganik dan 10% air. Persentase bahan organik sebagian besar terdiri dari 90% kolagen tipe I dan sisanya (10%) non kolagen protein seperti phospoproteins dan proteoglikan (Embery, 2001 cit. Fawzy dkk, 2012). Kolagen pada bahan organik berfungsi memberikan daya tahan terhadap retak (crack), meningkatkan kemampuan untuk menyerap ketangguhan (toughness) dan memberikan kekuatan tarik (tensile strength). Bahan anorganik berfungsi untuk meningkatkan kekakuan (stiffness), modulus elastisitas dan kekuatan tekan (compressive strength). Air pada dentin berfungsi memberikan sifat viskoelastisitas, meningkatkan kemampuan untuk menyerap tegangan (stress) dan meningkatkan distribusi tegangan/regangan (stress/strain) pada dentin. Hilangnya jaringan pulpa dan tipe air bebas dari permukaan dentin, porositas, dan tubulus dentin dapat mempengaruhi pengurangan sifat mekanik pada integritas gigi yang dirawat endodonti (Kishen, 2006).
Prosedur preparasi chemo-mechanical pada perawatan endodonti memerlukan suatu bahan irigasi sebagai debridemen dan disinfektan sistem saluran akar. Larutan irigasi sebaiknya mempunyai spektrum antimikroba luas dan memiliki efektifitas tinggi melawan bakteri anaerob dan mikroorganisme fakultatif yang terdapat dalam biofilm, mampu melarutkan sisa jaringan pulpa yang nekrosis, inaktivasi endotoksin, mencegah pembentukan smear layer selama instrumentasi atau melarutkan smear layer yang ada (Kishen, 2006). Bahan irigasi juga harus memiliki tingkat toksisitas yang rendah, pelumas yang baik, memiliki ketegangan permukaan yang rendah sehingga mudah mengalir ke daerah yang tidak terjangkau, tidak menimbulkan korosi pada instrumen dan tidak melemahkan struktur gigi (Zehnder, 2006). Namun bahan irigasi saluran akar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan fraktur. Telah dilaporkan bahwa beberapa bahan kimia yang digunakan untuk irigasi endodonti mampu menyebabkan perubahan komposisi kimia dari dentin. Setiap perubahan rasio kalsium/phospat (Ca/P) dapat mengubah komponen organik dan anorganik, sehingga dapat mempengaruhi microhardness, permeabilitas dan kelarutan karakteristik dentin (Sayin dkk, 2007). Sodium hipoklorida (NaOCl) adalah bahan irigasi endodonti yang paling sering digunakan karena mampu melarutkan jaringan seperti jaringan nekrotik, bersifat antibakteri dan sebagai lubrikasi namun efek konsentrasi larutan ini (2,6% 5,25%) bersifat toksis terhadap jaringan mengakibatkan hemolisis, ulserasi pada kulit, nekrosis dan reaksi alergi (Pashley dkk, 1985 cit. Hulsman dan Hahn, 2000).
Toksisitas NaOCl berkurang pada konsentrasi rendah; sifat dissolusi jaringan, debridemen dan antimikroba juga menurun (Osetek, 1988 cit. Turkun dan Cengiz, 1997). Beberapa peneliti juga telah membuktikan adanya efek NaOCl terhadap sifat fisik seperti kekuatan lentur, modulus elastisitas, dan microhardness dentin. Penelitian Slutzky-Goldberg dkk, (2004) menunjukkan bahwa terjadi penurunan microhardness dentin sebesar 500µm antara sampel kontrol dengan sampel yang diirigasi dengan NaOCl 2,5% dan 6% selama 5, 10, dan 20 menit. Pengaruh NaOCl terhadap komposisi dan struktur dentin dapat mempengaruhi sifat mekanik dentin akibat degradasi komponen organik dentin yaitu terjadi perubahan fase anorganik dan organik dentin sehingga permukaan dentin menjadi lebih kasar pada dinding saluran akar dan terjadi demineralisasi pada dentin yang menyebabkan kehilangan kekuatan mekanik dentin. Penelitian Oyarzun dkk, (2002) cit. Mohammadi (2008) menunjukkan bahwa NaOCl 5% menyebabkan perubahan kolagen dentin tipe I dan glikosaminoglikan, dan terjadi demineralisasi dentin. Ethylenediamine Tetraacetic Acid (EDTA) merupakan salah satu bahan irigasi yang efektif mengangkat smear layer yang terbentuk setelah preparasi saluran akar, umumnya dipergunakan dengan konsentrasi 15-17%. EDTA mengeliminasi jaringan anorganik dengan cara mendemineralisasi jaringan anorganik, menggantikan ion kalsium dengan ion natrium sehingga membentuk senyawa baru yang larut dalam bahan irigasi (Haapasalo dkk, 2010). Meskipun demikian, EDTA tidak memiliki efek antimikroba dan tidak mampu mengeliminasi jaringan organik dari smear layer
sehingga perlu dikombinasikan dengan NaOCl secara bergantian atau EDTA digunakan sebagai lubrikan saat instrumentasi mekanik (Zehnder, 2006). Penggunaan EDTA selama 5 menit pada saluran akar akan mengangkat smear layer dan membuka tubulus dentinalis sebesar 20-30 µm. Penggunaan kombinasi EDTA dan NaOCl dapat menyebabkan kelarutan dentin yang progresif meluas ke area peritubular dan intertubular (Silva dkk, 2012). Penelitian Calt dan Serper (2002) cit. Kishen (2006) menyebutkan bahwa dentin yang diirigasi dengan EDTA 17% sebanyak 10 ml selama 1 dan 10 menit yang diikuti dengan NaOCl 5% sebanyak 10 ml, pada kelompok 1 menit EDTA efektif mengangkat smear layer sedangkan pada kelompok 10 menit EDTA terjadi demineralisasi yang berlebih pada daerah peritubular dan intertubular dentin. Sayin dkk, (2007) membuktikan bahwa penggunaan EDTA, baik sendiri atau dikombinasikan dengan NaOCl dapat mengurangi
microhardness
dentin
akar
secara
signifikan.
Penelitian
lain
menyebutkan dentin saluran akar yang diirigasi dengan NaOCl 5,25%, NaOCl 2,5%, H2O2 3%, EDTA 17% dan khlorhexidin glukonat 0,2% selama 15 menit, kecuali klorheksidin, semua bahan irigasi mengurangi kekerasan permukaan dentin (Kishen, 2006). Namun khlorhexidine tidak mampu melarutkan jaringan organik pada saluran akar serta mengangkat smear layer sehingga diperlukan suatu bahan irigasi yang bersifat biokompatibel terhadap jaringan gigi (Haapasalo dkk, 2010). Kitosan sebagai polisakarida alami setelah selulosa yang diperoleh melalui deasetilasi kitin memiliki sifat biokompatibel, bioadesi dan tidak toksis pada sel
manusia (Pimenta, 2012) saat ini telah dikembangkan dalam perawatan kedokteran gigi sebagai bahan kaping pulpa, medikamen intrakanal, dan bahan kandungan pasta gigi karena memiliki sifat biokompatibel, antimikroba, memacu dentinogenesis serta menambah kekuatan permukaan gigi. Trimurni dkk, (2006) pertama kali menggunakan kitosan blangkas (Tachypleus gigas) dengan derajat deasetilisasi 84,20% dan berat molekul 893.000 Mv. yang terbukti dapat memacu dentinogenesis jika digunakan sebagai bahan kaping pulpa. Silva dkk, (2012) memperkenalkan kitosan molekul rendah (Acros Organics, Geel, Belgium) sebagai bahan irigasi alternatif saluran akar. Kitosan molekul rendah dijadikan larutan chelator dan irigan akhir pada 25 sampel kaninus, dibandingkan dengan EDTA. Hasilnya menunjukkan efek smear layer removal yang hampir sama antara kitosan dengan EDTA. Pimenta dkk, (2012) meneliti tentang pengaruh kitosan 0,2% (pH 3,2) terhadap kekuatan dentin. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kitosan memiliki sifat chelating jika digunakan sebagai bahan irigasi, menyebabkan erosi dentin namun tidak mengenai intertubular dentin. Palma-Dibb dkk, (2012) meneliti efek kitosan pada konsentrasi dan larutan yang berbeda terhadap permukaan dentin setelah diberi perlakuan selama 10 detik untuk melihat efek larutan kitosan terhadap permukaan dentin dan erosi yang terjadi. Hasilnya larutan kitosan dalam asam hidroklorik menghasilkan permukaan dentin tanpa smear layer dan terdapat collagen fiber. Penelitian Hayani dan Trimurni (2013) menunjukkan bahwa larutan irigasi kitosan 0,1% dan 0,2% menghasilkan ekstrusi debris lebih sedikit bila
dibandingkan dengan larutan irigasi NaOCl 2,5% dan kombinasi EDTA 17% dengan NaOCl 2,5% (unpublished). Penelitian Ayu dan Trimurni (2013) juga menunjukkan bahwa larutan irigasi kitosan molekul tinggi 0,2% dapat mengangkat smear layer pada 1/3 apikal (unpublished). Kemampuan kitosan sebagai antibakteri, agen kelasi mampu mengangkat smear layer, ekstrusi debris lebih sedikit, tidak mengerosi dentin, dan mampu membentuk kolagen fiber sehingga meningkatkan sistem adesif. Diharapkan dengan berkembangnya kitosan sebagai bahan irigasi saluran akar (nantinya) dapat menggantikan kekurangan bahan irigasi yang selama ini menjadi gold standar (NaOCl). Uji mekanis dekstruktif, seperti uji fraktur, penting untuk analisis biomekanik gigi dan bahan restorasi gigi, karena mampu meningkatkan pengetahuan mengenai sifat materi gigi jika diberi beban yang tinggi. Namun, uji ini memiliki kapasitas terbatas untuk menjelaskan hubungan tegangan dan regangan (stress-strain relationships) pada restorasi gigi yang kompleks. Selain mengurangi biaya penelitian, analisa FEM juga mampu memperoleh informasi lebih seperti distribusi tekanan internal dibandingkan pada penelitian eksperimen. Menurut Geng dkk, (2001) dan Henry (1977) cit. Yamamoto (2011), analisis FEM berguna untuk mempelajari distribusi tekanan yang berkaitan dengan pasak intraradikular. Metode ini mengevaluasi sifat mekanik dan membantu meneliti material baru untuk mengurangi risiko kegagalan dan fraktur pada bahan restorasi dan struktur gigi.
Analisis FEM mampu menganalisis perubahan pola distribusi tegangan pada struktur gigi setelah penempatan pasak, inti, dan restorasi akhir. Penelitian Yamamoto (2011) menunjukkan pasak titanium (original dan modifikasi) berdasarkan uji eksperimen memiliki ketahanan fraktur yang hampir sama dan hasil analisis stress dengan uji FEM memiliki hasil yang terbaik jika dibandingkan pada pasak komersil. Selain itu, analisis FEM lebih mudah membandingkan respon biomekanik dengan penambahan berbagai parameters (Lin, 2009). FEM dapat menganalisa distribusi tegangan pada gigi premolar dengan titik kontak yang berbeda (Borcic dkk, 2007) dan menganalisa distribusi tegangan pada gigi pasca endodonti dengan berbagai pasak yang berbeda (Pegoretti dkk, 2002). Berdasarkan
penelitian-penelitian
sebelumnya
maka
peneliti
tertarik
melakukan penelitian untuk melihat perbedaan bahan irigasi NaOCl yang dikombinasikan EDTA, dengan
irigasi
NaOCl yang dikombinasikan kitosan
blangkas (Tachypleus gigas) dan irigasi kitosan blangkas (Tachypleus gigas) itu sendiri terhadap ketahanan fraktur (fracture resintance) dan distribusi fraktur setelah perawatan endodonti dengan mengunakan uji eksperimen dan uji analisa FEM.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan ketahanan dan distribusi fraktur jika gigi diirigasi dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, NaOCl 2,5% yang dikombinasikan dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, dan
larutan EDTA 17% yang dikombinasikan dengan NaOCl 2,5% setelah perawatan endodonti. 2. Apakah ada persamaan antara hasil penelitian simulasi FEM dengan hasil penelitian eksperimen terhadap ketahanan dan distribusi fraktur jika gigi diirigasi dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, NaOCl 2,5% yang dikombinasikan dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, dan larutan EDTA 17% yang dikombinasikan dengan NaOCl 2,5% setelah perawatan endodonti. 1.3
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis perbedaan ketahanan dan distribusi fraktur jika gigi diirigasi dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, NaOCl 2,5% yang dikombinasikan dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, dan larutan EDTA 17% yang dikombinasikan dengan NaOCl 2,5% setelah perawatan endodonti. 2. Menganalisis
hasil
penelitian
simulasi
FEM
dengan
penelitian
eksperimen terhadap ketahanan dan distribusi fraktur jika gigi diirigasi dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, NaOCl 2,5% yang dikombinasikan dengan kitosan blangkas molekul tinggi 0,2%, dan larutan EDTA 17% yang dikombinasikan dengan NaOCl 2,5% setelah perawatan endodonti.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini akan memberikan penjelasan terhadap pemilihan jenis bahan irigasi untuk irigasi saluran akar pada perawatan endodonti, pemanfaaatan kitosan blangkas bermolekul tinggi sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar, serta penggunaan analisis FEM dibidang ilmu kedokteran gigi khususnya ilmu konservasi gigi. 2. Secara metodologi, hasil penelitian yang menjelaskan mekanisme ketahanan dan distribusi fraktur pasca endodonti melalui uji tekan eksperimen dan simulasi FEM. 3. Secara aplikatif, hasil penelitian ini dapat mendukung perkembangan ilmu kedokteran gigi, terutama di bidang perawatan endodonti, yang memungkinkan meningkatkan kemampuan hasil perawatan gigi untuk mempertahankan gigi selama mungkin dalam lengkung rahang.