BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kanker paru merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan di seluruh dunia dewasa ini (12.6% dari seluruh kasus baru kanker, 17.8% dari kematian karena kanker).1,2 Diperkirakan sekitar 1.2 juta kasus baru kanker paru dan 1.1 juta kematian akibat kanker paru terjadi pada tahun 2000, dengan perbandingan rasio terjadinya antara laki-laki : perempuan sekitar 2.7.2
Sedangkan pada tahun 2007, secara global
diperkirakan sekitar 1.5 juta kasus baru kanker paru.3 Kanker paru menjadi penyebab paling sering dari kasus kematian akibat kanker pada laki-laki di Amerika Utara dan hampir di semua negara-negara Eropa Timur maupun Eropa Barat, dan semakin sering menjadi penyebab kematian di negaranegara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, meskipun data-data yang berkualitas tinggi untuk perbandingan belum tersedia dari kebanyakan populasi tersebut.1 Selama berabad-abad, telah diketahui bahwa sel-sel keganasan dapat ditemukan pada sekresi bronkus pasien kanker paru. Sitologi merupakan salah satu pendekatan penting selain pemeriksaan histologi dan sering menjadi metode diagnosis yang baik. Apabila sitologi sputum yang dibatukkan (ekspektorasi) normal, maka diagnosis keganasan masih mungkin
Universitas Sumatera Utara
ditegakkan dari bahan yang diambil selama tindakan bronkoskopi serat lentur (fiberoptic bronchoscopy) yaitu dari sitologi sikatan bronkus (bronchial brushing), bilasan bronkus (bronchial washing), ataupun dari sputum postbronkoskopi.4 Pasien dengan sitologi sputum mencurigakan (atipik berat atau sel keganasan) sebaiknya dilakukan tindakan bronkoskopi serat lentur dan pemeriksaan radiologi lainnya. Menurut European Respiratory Journal 2003 sitologi sputum terutama dapat mendeteksi karsinoma skuamosa di saluran nafas sentral. Sitologi sputum positif untuk adenokarsinoma stadium ≥ IIIA pada 82.4% kasus. Dibandingkan dengan CT scan toraks, kekerapan “false-positive” sitologi sputum untuk deteksi dini karsinoma skuamosa sangat rendah.5 Sitologi sputum memiliki spesifitas 99% dan sensitivitas 66%, tetapi sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral (71%) dibandingkan dengan lesi perifer (49%).6 Pada penelitian Siagian (2002) yang dilakukan pada 38 orang pasien yang dirawat atau berobat jalan di Bagian/SMF Paru RS. Haji Adam Malik, didapatkan sensitifitas sitologi sputum sebesar 26.3% (10 orang), dengan jenis skuamosa sebanyak 80% dan adenokarsinoma sebanyak 20%.7 Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum, kepositifan sitologi sputum dapat ditingkatkan. Tujuan induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas individu yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan. Sputum induksi
Universitas Sumatera Utara
mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus (bronchial washing) tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus.8 Sedangkan pengumpulan sputum post-bronkoskopi memerlukan kerjasama yang baik dari pasien ditambah dengan bantuan dari perawat dan personil laboratorium. Sputum post-bronkoskopi diekspektorasikan dalam 24 jam setelah bronkoskopi.4 Diagnosis kanker paru dengan sputum induksi dapat menjadi alternatif dari pemeriksaan bronkoskopi. Dari penelitian Khajotia (2009), 25 pasien dari kelompok sputum induksi didiagnosis menderita kanker paru primer; sputum induksi positif ditemukan sel-sel keganasan terdapat pada 21 orang (84%), sedangkan bronkoskopi positif pada 23 orang (92%) (tidak berbeda secara signifikan). Sebagai perbandingan, dari sputum spontan didapatkan positif pada 15 dari 29 orang (52%) yang didiagnosis menderita kanker paru primer, sedangkan bronkoskopi positif pada 28 (97%) (p<0.001).9 Dari penelitian Astowo (1994) pada 50 orang (44 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) yang dilakukan teknik pengumpulan sputum spontan (langsung dibatukkan) dan sputum induksi inhalasi NaCl 3% di UPF Paru RS. Persahabatan Jakarta, didapatkan hasil kepositifan sitologi sputum spontan sebanyak 16% dan kepositifan sitologi sputum induksi NaCl 3% sebanyak 26%. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0.05) dan tidak didapati komplikasi inhalasi NaCl 3% dalam penelitian ini.10
Universitas Sumatera Utara
Dari penelitian Rizzo dkk. (1990) yang melibatkan 249 orang yang diambil secara consecutive sampling, didapatkan hasil bahwa lebih banyak sel yang dapat didiagnosis dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan dengan fiksasi Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak informasi diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila menggunakan fiksasi Saccomanno.11 Penelitian Salman (2002) melibatkan 93 orang yang memenuhi kriteria inklusi (78 orang laki-laki dan 15 orang perempuan). Penelitian ini membandingkan kepositifan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% yang tidak difiksasi (teknik langsung) dengan sitologi sputum induksi NaCl 3% yang difiksasi dengan Saccomanno, dan didapatkan hasil peningkatan kepositifan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno (18.3%) dibandingkan dengan teknik langsung (4.3%) dalam menegakkan diagnosis kanker paru di RS. Persahabatan Jakarta. Penelitian ini menggunakan pemeriksaan bronkoskopi (bilasan, sikatan, biopsi aspirasi jarum maupun biopsi), trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal lung biopsy (TTLB), biopsi jarum halus kelenjar getah bening, sitologi cairan pleura, dan biopsi pleura sebagai baku emas (gold standard) penelitiannya.12 Penelitian Purnomo (2009-2010) yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta melibatkan 57 orang yang memenuhi kriteria inklusi (40 orang laki-laki dan 17 orang perempuan) dan menggunakan trans thoracal needle aspiration (TTNA), sikatan bronkus, aspirasi jarum halus kelenjar
Universitas Sumatera Utara
getah bening, dan sitologi cairan pleura sebagai baku emas. Didapatkan hasil sensitivitas yang lebih tinggi (10.5%) pada sitologi sputum induksi NaCl 3% tiga hari berturut-turut dengan fiksasi Saccomanno dibandingkan dengan sensitivitas 3.5% pada sitologi sputum induksi NaCl 3% satu kali dengan fiksasi alkohol. Sedangkan bilasan bronkus dengan fiksasi alkohol memiliki sensitivitas sebesar 24.6%.13 Blocking dkk. telah menunjukkan bahwa sensitivitas sitologi sputum dari 1 sampel berkisar 68%, dari 2 sampel berkisar 78%, dan dari ≥3 sampel berkisar 85-86%.14 Sedangkan pemeriksaan sitologi post-bronkoskopi pernah dilaporkan dalam enam buah penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Kvale dkk. (1976) menunjukkan sensitivitas dari sitologi sputum post-bronkoskopi sebesar 14%, penelitian Chopra dkk. (1977) 48%, penelitian Chandhary dkk. (1978) 51%, penelitian Mori dkk. (1989) 21%, penelitian de Gracia dkk. (1993) 30%, dan penelitian Wongsurakiat dkk. (1998) menunjukkan sensitivitas 8%. Dari kumpulan penelitian tersebut, didapatkan sensitivitas sitologi sputum postbronkoskopi berkisar antara 8-51%, dengan nilai rata-rata 35% (Schreiber dan McCrory, 2003).6 Dari penelitian Cok dkk. (2006) di Turki, didapatkan sensitivitas sitologi sputum post-bronkoskopi sebesar 33%, sedangkan dari sitologi BAL (34.7%), sikatan bronkus/brushing (50.8%), TBNA (43.4%), biopsi aspirasi (43.9%), dan biopsi mukosa (71.1%). Biopsi mukosa, sikatan bronkus, dan
Universitas Sumatera Utara
biopsi aspirasi menunjukkan cakupan diagnostik yang lebih tinggi pada kanker paru sentral atau tumor endobronkial. Ditemukan diagnosis pasti pada 11 orang pasien dengan sputum post-bronkoskopi, dan pada 10 orang tidak ditemukan lesi endobronkial.15 Penelitian Funahashi, dkk. (1979) melibatkan 273 orang pasien yang dilakukan tindakan bronkoskopi dan dipantau selama 27 bulan, didapatkan hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan sputum post bronkoskopi meningkat dari 41% (17 orang menunjukkan hasil positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi) menjadi 61% (25 orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi).16 Namun pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini (1976) yang meneliti tindakan bronkoskopi fleksibel pada 228 pasien untuk menentukan jenis spesimen mana yang memberikan nilai diagnostik terbanyak, didapatkan sitologi sputum post-bronkoskopi positif pada 40% kasus, kombinasi sikatan bronkus dan biopsi (65%), dan yang paling akurat adalah kombinasi sikatan bronkus dengan biopsi bronkus (79%).17
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil uraian dan latar belakang tersebut, peneliti ingin meneliti apakah pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% berbeda
Universitas Sumatera Utara
dengan pemeriksaan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.
1.3. Hipotesis Pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% berbeda dengan pemeriksaan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Membandingkan ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru. 1.4.2. Tujuan Khusus 1.
Untuk memperoleh gambaran karakteristik (umur dan jenis kelamin) pasien yang dicurigai menderita kanker paru yang termasuk dalam criteria inklusi penelitian yang dirawat di beberapa rumah sakit di Medan (RS. Adam Malik, RS. Tembakau Deli, dan RS. Tentara Putri Hijau Kesdam Tk.II/BB).
2. Untuk mengetahui distribusi kasus kanker paru yang sesuai dengan gambaran radiologi (foto toraks, CT scan toraks) dan pemeriksaan patologi anatomi pada penderita kanker paru yang dirawat di beberapa rumah sakit tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Untuk mengetahui ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno. 4. Untuk
mengetahui
ketepatan
sitologi
sputum
post-
bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno.
1.5. Manfaat Penelitian Pemeriksaan sitologi sputum yang diinduksi dengan NaCl 3% dan difiksasi dengan larutan Saccomanno belum lazim dilakukan di rumah sakitrumah sakit di Medan, sehingga kalau penelitian ini berhasil diharapkan teknik ini dapat menjadi salah satu pemeriksaan diagnostik non invasif yang dapat diandalkan untuk membantu penegakan diagnosis kanker paru, terutama di daerah-daerah perifer.
Universitas Sumatera Utara