BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah sumber daya manusia menjadi salah satu permasalahan paling penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa terlepas dari bidang pendidikan, yang secara umum diidentikkan dengan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah maupun dengan perguruan tinggi. Seperti yang diungkapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945, salah satu tujuan negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk memperlancar tujuan tersebut maka dibutuhkanlah sebuah lembaga pendidikan yang disebut sekolah. Dalam pendidikan formal (sekolah) ada beberapa jenjang pendidikan, mulai dari yang paling dasar sampai dengan yang paling tinggi. Salah satu jenjang pendidikan di Indonesia adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Inti pokok dari sebuah pendidikan adalah proses belajar dimana adanya proses perubahan dalam diri manusia. Djiwandono (2006) para ahli teori kognitif mengatakan bahwa belajar adalah suatu integrasi atau gabungan antara informasi baru dan struktur kognitif yang sudah ada. Selain dalam lingkungan sekitar, proses belajar juga di dapat salah satunya dari sekolah. Tujuan usaha belajar adalah untuk mencapai sebuah prestasi. Dalam meraih prestasi terdapat berbagai macam masalah yang menjadi hambatan didalam mencapai suatu tujuan pendidikan, seperti cara belajar yang kurang baik, tidak mempersiapkan diri saat ujian, pengaturan waktu dalam belajar, dan sebagainya. Terkait dengan dunia pendidikan, tujuan dari dunia pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang berkualitas yaitu seperti memiliki pengetahuan yang cukup 1
2
dan memiliki kemampuan belajar yang cukup baik pula. Sehingga, untuk melihat seseorang tersebut memiliki pengetahuan dan kemampuan belajar yang cukup baik dapat dilihat dari prestasi belajarnya. Kebanyakan orang berasumsi bahwa prestasi akademik yang rendah berarti seseorang tersebut tidak mampu menerima materi pelajaran dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup. Berbeda dengan yang memiliki prestasi akademik yang baik, akan dianggap memiliki pengetahuan yang baik pula dan di anggap mampu belajar. Dalam mendapatkan prestasi yang memuaskan berbagai cara dapat ditempuh oleh seorang siswa, salah satu cara yang positif adalah dengan cara belajar yang giat, sedangkan cara yang negatif adalah dengan mencontek. Sistem penilaian di Indonesia yang menggunakan nilai sebagai standar prestasi menuntut para siswa untuk mendapatkan nilai sebaik-baik dan setinggi-tinggi mungkin. Tidak sedikit juga orang yang hanya melihat prestasi berdasarkan nilai-nilai yang di dapatkan dari pendidikannya di sekolah. Hal ini menyebabkan semakin tingginya tekanan terhadap siswa untuk mendapatkan nilai yang bagus, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan siswa hanya berorientasi pada nilai dan bukan terhadap ilmu yang akan dimiliki setelah mereka belajar disekolah. Bukan hanya membicarakan ilmu dan nilai akademis, sekolah juga merupakan lembaga yang dapat membimbing seseorang didalam memahami nilai-nilai kehidupan. Seperti contohnya pada jenjang SMA dimana pada jenjang SMA siswa-siswa berada pada jenjang usia remaja yang membutuhkan peran teman sebaya dalam perkembangan dan pencarian identitasnya (Santrock, 2007). Oleh sebab itu peran sekolah sangatlah dibutuhkan dalam menuntun anak didiknya guna mendapatkan pergaulan yang baik, sehingga dapat menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik bagi dirinya.
3
Selain teman sebaya, para guru yang berada di sekolah juga turut serta berperan dalam meninjau perkembangan murid-muridnya. Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh sekolah juga bertujuan menciptakan karakter positif bagi siswa-siswanya, sekolah dengan akreditasi yang baik, yaitu berakreditasi A mendukung terciptanya suasana sekolah yang kondusif. Oleh sebab itu, sekolah tersebut memiliki peraturan yang ketat bagi siswa-siswanya demi meminimalisir perilaku atau karakter yang tidak baik seperti salah satunya mencontek. Beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah Sekolah Menengah Atas di Indonesia. Berdasarkan data yang di peroleh dari website Menkokesra, pada tahun 2006 ada sebanyak 9.315 SMA di Indonesia, pada tahun 2007 bertambah menjadi 9.892 SMA, pada tahun 2008 bertambah lagi menjadi 10.239, dan terus bertambah hingga sekarang menjadi 10.765. Salah satu kota di Indonesia yang melihatkan peningkatan jumlah sekolah adalah Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru merupakan Ibu Kota dan kota terbesar di provinsi Riau. Salah satu ketertarikan peneliti dengan kota Pekanbaru adalah dulu peneliti bersekolah di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru juga merupakan kota kelahiran peneliti dan peneliti ingin melihat perkembangan kota ini, salah satunya perkembangan di dunia pendidikan. Beberapa tahun terakhir, perkembangan dunia pendidikan di kota ini termasuk cukup baik karena terus bertambahnya sekolah-sekolah yang berakreditasi A. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian kelayakan dan kinerja suatu sekolah berdasarkan kriteria (standar) yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Sekolah yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Mentri Pendidikan Nasional 087/U/2002. Yang menjadi pembeda antara akreditasi A, B, dan C adalah skor nilai yang diperoleh sekolah dari penilaian
4
akreditasi tersebut. Sehingga, peneliti memiliki asumsi bahwa sekolah yang memiliki akreditasi A (Amat Baik) memiliki tuntutan nilai yang lebih tinggi pula kepada para siswanya. Berdasarkan data yang diperoleh dari website Badan Pusat Akreditasi Sekolah Provinsi Riau, pada tahun 2008 Sekolah Menengah Atas yang berakreditasi A hanya ada 1 sekolah, pada tahun 2009 bertambah menjadi 21, tahun 2011 menjadi 28 sekolah, dan terus bertambah pada tahun 2012 yang kemudian menjadi 34 sekolah. Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah sekolah bukan berarti mengurangi masalah dalam dunia pendidikan, bisa jadi menambah masalah yang sudah ada. Masalah-masalah dalam dunia pendidikan tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja tetapi juga di daerahdaerah lain selain ibu kota. Maka dari itu, penting untuk mengatasi permasalah tersebut secara merata yaitu di ibu kota dan daerah-daerah lainnya (Suara Merdeka, 2008). Deighton (dalam Irawati, 2008) mengatakan bahwa mencontek adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur, seperti mengambil jawaban-jawaban yang sudah dikerjakan oleh siswa lainnya. Mencontek adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan karena mengurangi keobjektivitasan jawaban dari siswa yang mencontek tersebut, sehingga akan menyulitkan untuk membedakan mana siswa yang kurang pandai dan benar-benar pandai. Perilaku mencontek merupakan hal yang merugikan dan kebanyakan di anggap biasa oleh para siswa, namun perilaku tersebut dapat memberikan pengaruh besar seperti siswa-siswa yang mencontek akan di anggap pandai oleh gurunya dan mendapat tuntutan lebih tinggi dari gurunya, padahal siswa tersebut tidak/belum memahami pelajaran yang diajarkan kepadanya.
5
Perilaku mencontek merupakan karakter yang tidak baik dan tidak jujur yang di tampilkan oleh siswa. Lambert, Hogan dan Barton (2003) dalam penelitian yang dilakukannya menyebut kecurangan akademik (academic cheating) dengan istilah academic dishonesty. Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa (83% siswa) menyatakan bahwa mereka pernah mencontek, dan melakukan hal tersebut lebih dari satu kali. Kebiasaan mencontek ini dapat memupuk kepribadian dan karakter yang tidak jujur baik dalam lingkungan sehari-hari maupun dunia pendidikan sendiri. Dengan timbulnya kebiasaan mencontek membuat para siswa malas belajar, mudah menyerah, dan tidak yakin dan percaya dengan jawabannya sendiri, sehingga setiap kali ia mengikuti ujian ia akan lebih memilih mencontek jawaban siswa lain dari pada menggunakan jawabannya sendiri. McCabe and Trevino (dalam Anderman dan Murdock, 2007) juga menambahkan bahwa 70.8% siswa mencontek karena melihat siswa lain mencontek juga. Sebelumnya peneliti melakukan survey yang dilaksanakan pada tanggal 14 November 2012 terhadap 64 orang siswa pada salah satu sekolah di Pekanbaru (terdiri dari siswa kelas X - XII), hasilnya memberikan gambaran; 100% siswa menyatakan pernah mencontek pada saat ujian, 47% (30 siswa) menyatakan alasan mereka mencontek karena melihat teman-temannya yang lain mencontek dan 41% (26 siswa) menyatakan mereka mencontek karena keinginan sendiri, sedangkan sisanya 12% (8 siswa) tidak memberikan alasan mengapa mereka mencontek. Dari hasil survey ini dapat dikatakan bahwa seluruh siswa pernah melakukan aktivitas mencontek saat ujian dan alasan mereka mencontek karena pengaruh kelompok atau teman-teman disekitarnya. Burt (dalam Suryabrata, 2005) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia, yaitu faktor G (General), yakni dasar yang dibawa
6
sejak lahir, faktor S (Specific) yang dibentuk oleh pendidikan, dan faktor C (Common/Group) yang didapat dari pengaruh kelompok. Faktor C merupakan faktor yang berfungsi pada sejumlah tingkah laku, maka dari itu faktor C dapat dikatakan lebih kuat dari pada faktor S, yang artinya lingkungan mempengaruhi tingkah laku lebih banyak dari pada pendidikan. Perilaku mencontek bukanlah perilaku yang dimiliki seorang manusia ketika ia lahir, maupun diajarkan dalam pendidikan formal. Perilaku mencontek sebagian besar dipelajari dari lingkungan tempat seseorang berada. Seperti yang tergambar dari hasil survey yang telah dilakukan, sebagian besar siswa mencontek karena melihat teman-temannya yang lain mencontek juga. Perilaku mengikuti kelompok tersebut dapat dikatakan dengan perilaku konformitas. Seperti saat remaja yang ingin diterima dalam sebuah kelompok pertemanan, contohnya seorang remaja tidak ingin di sisihkan oleh teman bermainnya yang status ekonominya menengah keatas. Sehingga mereka selalu menggunakan pakaian ataupun menggunakan gadget yang lebih mahal. Karena merasa tidak ingin disisiskan maka seorang remaja tersebut akan mengikuti apa yang biasa dilakukan oleh kelompok tersebut dan mengikuti “standar” yang ada pada kelompok tersebut. Hal-hal seperti ini jelas dapat memunculkan sikap konformitas / mendukung terjadinya konformitas. Seperti yang dikatakan oleh Berndt (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) bahwa konformitas teman sebaya terdiri dari tiga hal, yaitu aktifitas anti-sosial, aktifitas netral dan aktifitas prososial. Hal ini berarti aktifitas remaja yang mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-temannya dapat dikategorikan dengan aktifitas netral. Jika remaja tersebut melakukan apa yang dilakukan oleh temantemannya namun melanggar peraturan, maka dikatakan perilaku tersebut anti-sosial, seperti contohnya mencoret dinding sekolah, mencuri, merokok, dll.
7
Santor, Messervey, & Kusumakar (dalam Grinman, 2002) mengatakan bahwa konformitas teman sebaya didefinisikan sebagai disposisi perilaku yang berkaitan dengan keinginan individu untuk mengikuti rekan-rekan mereka. Sikap menyesuaikan diri dengan kelompok atau yang disebut konformitas teman sebaya tersebut dapat menimbulkan beberapa akibat seperti kehilangan identitas diri dan kurangnya rasa percaya diri (Myers, 2008). Hal ini sangat berdampak negatif bagi seorang remaja, karena pada saat perkembangan mereka adalah saat-saat dimana mereka harus mencari jati diri sesungguhnya demi menghadapi perkembangan kehidupan selanjutnya. Dengan melihat fenomena yang terjadi, penelitian sebelumnya, dan survey yang telah peneliti paparkan diatas, dapat kita simpulkan bahwa perilaku mencontek adalah suatu hal yang dapat merugikan seseorang, baik pelaku bagipun korbannya. Jenjang kehidupan remaja yang sedang mencari jati diri, cenderung mengikuti perilaku teman sebaya nya dimana lingkungan mereka berada, termasuk lingkungan sekolah. Perilaku yang dapat ditiru oleh remaja tersebut meliputi hal positif maupun negatif. Hal negatif yang biasa ditiru oleh seorang siswa adalah perilaku mencontek. Oleh sebab itu, maka dalam penelitian ini penulis ingin melihat apakah ad hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek pada siswa SMA di Pekanbaru. 1. 2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah pokok yang hendak dideskripsikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek pada siswa di SMA di Pekanbaru?
8
1. 3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek pada siswa di SMA di Pekanbaru.