BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah dibuka saluran baru bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Pengelolaan dalam Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus sendiri kegiatan kepentingan pemerintah termasuk membangun serta menggali potensi lokal daerahnya dan meningkatkan kinerja keuangan daerah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Daerah memiliki hak kewenangan memungut dan memberdayakan pajak dan retribusi daerah, hak untuk mengelola kekayaan daerah mendapatkan sumber-sumber pendapatan lainnya yang sah serta sumber-sumber pembiayaan, dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber daya nasional yang berada di daerah perimbangan lainnya.
1
2
Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antar Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota sudah memuat tujuan politis, maupun teknis. Secara politis, desentralisasi kewenangan pada masing-masing terdapat sejumlah besar persiapan yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif. Penyelenggaraan pemerintahan
antara
Desentralisasi Pemerintah
mensyaratkan dengan
pembagian
Pemerintah
Daerah.
urusan Urusan
pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkruen. Urusan pemerintahan yang bersifat konkruen adalah urusan pemerintahan diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan
pembagian kewenangan
yang konkruen secara
proporsional antara pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
mempertimbangkan
keserasian
hubungan
pengelolaan
urusan
pemerintahan antar tingkat pemerintah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada hakekatnya mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,kondisi dan kebutuhan daerah. Dengan demikian, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka penyelenggaraan asas
3
desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembatuan. Dari pengertian Perimbangan Keuangan tersebut mengandung cakupan pengertian yang cukup luas, yaitu bahwa pelaksanaan otonomi daerah ingin diwujudkan dalam dalam suatu bentuk keadilan horizontal maupun vertikal dan berusaha mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintah (dari sisi keuangan) yang lebih baik menuju terwujudnya dan goodgovernance. Secara utuh, desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa untuk mendukung penyelenggaraan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, kepada daerah diberikan kewenangan untuk mendayagunakan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya terfokus kepada Dana Bantuan dari Pusat dalam bentuk Dana Perimbangan saja. Agar Otonomi Daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Program peningkatan kesejahteraan masyarakat ditandai dengan kualitas pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat, tersedianya layanan umum dan layanan sosial yang cukup dan berkualitas, perbaikan dan penyediaan kebutuhan
4
masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, penambahan perbaikan di bidang infrastruktur, bangunan, peralatan dan harta tetap lainnya. Daerah yang dikatakan mandiri adalah daerah yang dapat membiayai kebutuhan semua belanja modalnya dengan menggunakan dana dari Pendapatan Asli Daerah tanpa harus meminjam dan tergantung dari bantuan Pemerintah Pusat. Dana perimbangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005Pasal 1 Ayat 9 adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan pada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005tentang Dana Perimbangan dijelaskan bahwa Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Akuntanbilitas penggunaan dana juga akan dapat ditingkatkan, karena mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat melalui DPRD akan lebih mendorong peningkatan efisiensi penggunaan dana. Sementara bagi Pemerintah Pusat sebagai implikasi pergeseran dana dan perubahan mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban dana APBN, pelaksanaan fungsi koordinasi dan monitoring yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat berkaitan dengan pemeliharaan stabilitas ekonomi makro dan pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional akan semakin berat dan kompleks.
5
Kemandirian keuangan daerah di harapkan dapat mewujudkan karena adanya Otonomi Daerah. Pemerintah Pusat menyadari bahwa yang paling mengetahui kondisi daerah adalah daerah itu sendiri, baik dari segi permasalahan yang ada sampai pada sumber pendapatan yang bisa di gali Pemerintah Daerah tersebut. Keberhasilan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan pendapatannya akan berimplikasi pada peningkatan kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan Belanja Daerah. Selain Pendapatan Asli Daerah, komponen pendapatan daerah berdasarkan kepada Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 pasal 10 yang menyatakan bahwa yang menjadi sumber pembiayaan pembangunan daerah bukan hanya Pendapatan Asli daerah, namun ada transfer dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang disalurkan ke daerah untuk memenuhi kebutuhan Belanja daerah. Belanja daerah yang merupakan semua pengeluaran pemerintah dalam satu tahun anggaran berisikan semua biaya yang harus di keluarkan oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program kerja Pemerintahan. Belanja daerah harus diperhatikan dengan baik dalam menunjang kebutuhan fasilitas publik agar dapat meningkatkan kepercayaan publik meningkat juga, sehingga tentu dapat meningkatkan kontribusi masyarakat dalam membayar pajak daerah yang merupakan salah satu dari Pendapatan Asli Daerah. Sehingga untuk meningkatkan pelayanan publik, alokasi Belanja Daerah harus mengalami perubahan. Bila sebelumnya lebih banyak di gunakan dalam pos Belanja Aparatur, maka jika ingin meningkatkan pelayanan publik haruslah memperhatikan dan memprioritaskan
6
pada alokasi Belanja Modal. Perubahan alokasi belanja bertujuan agar adanya peningkatan fasilitas sehingga dapat menimbulkan gairah dalam peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat yang tentunya juga menumbuhkan Investasi di Daerah. Untuk meningkatkan fasilitas layanan publik ini, Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang lebih besar dalam bentuk Belanja Modal pada APBD. Hal ini sejalan dengan pendapat Mardiasmo (2002) yang menyatakan bahwa dalam era Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah harus semakin mendekatkan diri pada pelayanan dasar publik dengan memaksimalkan sumber pendapatan daerahnya untuk peningkatan pelayanan layanan fasilitas publik. Oleh karena itu alokasi Belanja Modal memiliki peran penting dalam upaya peningkatan pelayanan layanan publik. Pemerintah Daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran Belanja Modal dalam APBD untuk menambahkan aset tetap. Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari periode akuntansi. Pemerintah Daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran Belanja Modal dalam APBD. Alokasi Belanja Modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran tugas Pemerintah maupun fasilitas publik. Selama ini Belanja Daerah lebih digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Purnama (2014) menyatakan bahwa penerimaan daerah yang berasal dari PAD dan DAU hanya diperuntukan membiayai pengeluaran rutin, seperti untuk belanja pegawai dan hanya sedikit yang digunakan untuk Belanja Modal. Sejalan dengan pendapat tersebut, Meianto et.al (2014) menyatakan
7
bahwa penerimaan daerah Dana Alokasi Khusus salah satunya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana oleh Pemerintah Daerah saat ini sangat penting untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maka seharusnya jumlahnya lebih besar dari yang ada saat ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini akan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi Belanja Modal (Pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2012-2014). Sehingga dalam penelitian ini rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1.
Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Modal di Jawa Timur?
2.
Apakah Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal di Jawa Timur?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1.
Untuk menguji secara empiris pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal di Jawa Timur.
2.
Untuk menguji secara empiris pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal di Jawa Timur.
8
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, seperti: 1.
Kontribusi Praktis Memberikan informasi yang dapat dijadikan masukan, terutama bagi pihakpihak yang terkait dan berkepentingan dengan masalah yang diteliti yaitu tentang pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dalam memprediksi Belanja Modal.
2. Kontribusi Teoretis Dapat dijadikan sebagai bahan referensi atau bukti empiris mengenai pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran. Dan dapat memberikan tambahan referensi terutama penelitian yang berkaitan dengan APBD. 3.
Kontribusi Kebijakan Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana pengaruh Pendapatan Asli daerah dan Dana Perimbangan dalam memenuhi Belanja modal di Jawa Timur. Dan juga sebagai masukan dalam melaksanakan kebijakan pembangunan kedepannya.
1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian merupakan pembatasan atas suatu pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar arah pembatasan dalam penulisan penelitian ini tidak
9
mengalami kesimpangsiuran serta terhindar dari pembahasan yang terlalu luas dan tidak mengarah pada tujuan semula. Agar penulisan penelitian dapat mudah dipahami oleh pembaca, penulis hanya meneliti tentang pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. Maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada obyek penelitian di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur yaitu 29 kabupaten dan 9 kota.