Bab 1 Once Upon A Time
Tiba-tiba suasana di suatu kelas menjadi hening. Para siswa kelas IIIf, kelas unggulan kedua dengan jumlah murid tiga puluh orang di sebuah SMP Negeri di kota Banyuwangi, sebuah kota di ujung provinsi Jawa Timur, terlihat serius menunggu soal kuis yang akan dibagikan oleh Pak Wanadi. Pak Wanadi adalah seorang guru bahasa inggris berbadan gendut dengan kumis tipis, berusia 58 tahun di sekolah tersebut. Sebagian siswa yang telah siap terlihat tenang, sebagian lagi terlihat 1
gugup, dan sebagian terakhir terlihat pasrah dengan apa yang akan menimpa mereka selanjutnya. Sebagai guru senior di sekolah tersebut, Pak Wanadi memang dikenal suka memberikan kuis, yang nilainya digunakan sebagai komponen tambahan dalam menyusun nilai raport murid.
Semua murid mulai mempersiapkan kertas jawaban dari tas mereka masing-masing, ada yang merobek dari bagian tengah bukunya, ada pula yang meminta ke teman sebangkunya karena bagian tengah bukunya telah terpakai sehingga tidak bisa dirobek. Di antara mereka juga ada yang telah mulai menuliskan nama dan Nomor Induk Siswa di kertas yang telah mereka persiapkan.
Kuis kali ini telah diumumkan seminggu sebelumnya, dimana saoal-soalnya nanti akan menguji tingkat pemahaman para siswa terhadap materi terakhir yang diberikan pada mereka, yaitu Question Taq. Sebuah 2
topik yang sebenarnya cukup mudah untuk mereka yang telah mempelajari dan menghafalkan patern (rumus)nya. Pak Wanadi mulai berjalan menyusuri bangku deret terdepan. Ia membagikan kertas berisi soal-soal kuis.
“Yang ada di atas meja hanya kertas dan pulpen kalian, yang lainnya taruh di laci masing-masing.” perintahnya. “Kuis ini dikumpulkan tiga puluh menit dari sekarang” katanya lagi.
Seorang murid yang duduk di deret paling belakang, menerima kertas tersebut dan menghitung jumlah soal yang tertulis di sana dengan tangan kirinya, ada dua puluh soal. Dua puluh soal tersebut terdiri dari dua bagian soal yang berbeda, masing-masing bagian berisi sepuluh soal. Bagian soal pertama berisi sepuluh kalimat dimana ada satu bagian dari kalimat-kalimat tersebut yang belum terisi. Sedangkan bagian soal kedua berisi kalimat-kalimat utuh dimana para murid diminta 3
untuk menjelaskan apakah kalimat tersebut salah atau benar, dan jika salah diminta menuliskan jawaban benarnya.
Sang murid menggaruk kepalanya, rambutnya yang dibelah bagian pinggir sedikit tergoyang karena gerakan tangannya. Dengan tangan kirinya, ia mulai menuliskan pulpennya di kertas yang ia pegang.
Setengah jam kemudian waktu untuk mengerjakan soal pun telah berakhir. Tiap-tiap murid mengumpulkan kertas
jawaban
mereka.
Kertas-kertas
tersebut
kemudian dibagikan secara menyilang antara satu banjar dengan banjar yang lain untuk mengoreksi hasilnya secara langsung.
“Tulis jumlah jawaban yang salah di bagian bawah kertas!” Pak Wanadi menginstruksikan para murid dengan suara tegas.
4
Kemudian ia menuliskan jawaban yang benar untuk setiap soal di papan tulis dengan kapur tulis yang telah tersedia di meja guru di bagian depan kelas. Para murid mulai mengoreksi kertas jawaban yang dibagikan pada mereka masing-masing. Setelah proses pengoreksian selesai, semua kertas jawaban dikumpulkan kembali ke Pak Wanadi.
Pak Wanadi meneliti kertas-kertas jawaban tersebut satu persatu, sambil tersenyum. Sebagian besar dari kertas jawaban murid-muridnya bagus, ada beberapa jawaban yang salah namun masih masih dalam tahap wajar. Namun, sampai di satu kertas jawaban, ia mengerenyitkan keningnya. Agak lama ia melihatnya, dari dua puluh soal dalam kertas jawaban tersebut, hanya satu soal yang jawabannya benar, ya hanya satu soal. Rona muka Pak Wanadi berubah, ia memanggil si pemilik kertas jawaban tersebut. “Nara, maju ke depan!” perintahnya.
5