BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pakeliran atau ringgitan adalah istilah bahasa Jawa untuk pengertian suatu pentas atau pertunjukan wayang kulit. Pentas ini menyajikan permainan ringgit wacucal (wayang) oleh dalang pada suatu kelir (layar), dalam lakon atau lampahan (cerita atau kisah) tertentu, dengan iringan gendhing wayangan (bunyi gamelan untuk wayang). Gendhing wayangan ini tidak saja sekedar mengiringi, tetapi juga menghidupkan suasana. Lakon diambil dari kisah Mahabarata atau Ramayana. Pada masa lalu, tahun 1970-an, pakeliran gagrak (gaya) Yogyakarta semalam suntuk, pada umumnya dilaksanakan dalam waktu 9 jam. Pentas wayang semalam suntuk ini terdiri atas 7 jejeran (episode). Tujuh jejeran tidak termasuk adegan terakhir pentas yang disebut Tancep Kayon. Masingmasing jejeran terdiri atas adegan-adegan yang mencakup antara lain jejer (pertemuan), bidhalan (bubaran seusai pertemuan) dan perang. Dalam adegan, dalang menentukan gendhing, memainkan tokoh-tokoh wayang (cepeng-sabet), juga bertutur mengenai tokoh atau suatu keadaan (janturan, kandha, carita), rembag atau dialog antartokoh (pocapan atau anta wacana), melantunkan tembang (sulukan) dan membunyikan keprak dan kecrek. Sulukan terdiri atas suluk, sekar, lagon, adha-adha, dan sendhon untuk membangun dan menghidupkan suasana. Keprak (dikerjakan dengan tangan) dan kecrek (dibunyikan dengan kaki) digunakan untuk menghidupkan gerak wayang dan suasana serta sebagai kode pengendalian bunyi gamelan. Gendhing, cepeng-sabet, dan empat yang lain tersebut dikenal sebagai unsurunsur pentas wayang kulit. Para calon-dalang
untuk keperluan pentas dengan lakon tertentu,
harus menyiapkan seluruh jejeran, seluruh adegan, dan segala sesuatu yang dikerjakan dalang (gendhing, sulukan, cepeng-sabet, dho-dhogan-keprakan,
1
kandha-carita, pocapan). Para calon dalang adalah mereka yang baru saja selesai atau sedang mengikuti pendidikan atau pelatihan pedhalangan (perihal dalang) yang belum (atau sangat sedikit) memiliki pengalaman pentas. Mereka berpegang pada buku dan atau balungan (garis besar cerita wayang) untuk penguasaan cerita dari awal sampai akhir. Balungan tidak mencukupi untuk penyiapan pakeliran karena hanya menulis jejer atau tempat kejadian, masalah, dan perang. Beberapa balungan memang ada yang menuliskan sampai pada adegan, tetapi tidak menjangkau segala sesuatu yang harus dikerjakan dalang (sulukan, dan lain-lain). Untuk keperluan pakeliran, mereka belajar dari rekaman, naskah pentas atau script dan petunjuk dari dalang senior. Sebagai panduan pentas, yakni dokumen yang dipegang saat pentas, balungan tidak memadai, bagi para calon-dalang, sementara script terlalu tebal dan tidak praktis. Beberapa dalang menyiapkan dokumen pentas (balungan pentas) untuk keperluan pentas. Namun, dokumen tersebut bersifat sangat pribadi hanya khusus untuk menutup kelemahan atau kekurangan sehingga tidak terjadi kesalahan pada saat pentas. Upaya penguasaan dan pendalaman lebih lanjut pakeliran suatu lakon, sangat tergantung pada kesempatan melihat pentas, mempelajari rekaman, dan petunjuk langsung dalang senior. Bagi para calon-dalang, pertanyaan yang umum mengenai pentas adalah bagaimana jejer selanjutnya kalau jejer pertama diganti dengan negara yang berbeda dalam cerita tertentu? Bagaimana dengan adegan kelengkapan penyusun jejeran seperti halnya gendhing, rembag, dan perangnya? Pertanyaan seperti ini hanya akan dapat dijawab oleh para dalang senior yang menguasai cerita pentas dan sekaligus memiliki pengetahuan cerita dan teknis pakeliran yang dalam dan luas. Di sisi yang lain, perkembangan ilmu dan teknologi sudah sangat maju. penerapan kecerdasan buatan sebagai bagian Teknologi Informasi sudah sampai pada Computer Aided Instruction, Computer Based Learning, dan e-Learning untuk pendidikan dan pelatihan, Expert System untuk
2
penyelesaian masalah dan Story Generation System untuk pembangkitan cerita. Penerapan Kecerdasan Buatan dalam obyek tertentu mencapai perkembangan yang luar biasa. Perkembangan ini didukung oleh tersedianya berbagai metode dan tool khusus untuk obyek tertentu tersebut. Penelitian pembangkitan cerita telah dimulai sejak tahun 1960-an. Penelitian yang telah dikerjakan berupaya mengembangkan perangkat lunak yang mampu membangun cerita baru yang menarik dengan bahasa yang indah. Penelitian-penelitian yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun tersebut sangat berbeda dengan penelitian yang dikerjakan ini. Dalam semua penelitian yang telah dikerjakan tersebut, tokoh, karakter, interaksi tokoh, permasalahan dan penyelesaiannya dikerjakan
oleh sistem dalam
menghasilkan cerita baru untuk dinikmati. Dalam penelitian yang dikerjakan ini,
cerita,
tokoh,
karakter,
interaksi
tokoh,
permasalahan
dan
penyelesaiannya telah tersedia melalui bedah cerita oleh peneliti. Penelitian ini berusaha mengembangkan perangkat lunak yang mampu menyusun sebanyak mungkin alur cerita yang berbeda-beda dari suatu judul dan isi cerita yang sama sebagai media belajar. Masing-masing alur cerita disusun berdasar aturan ketat pentas wayang kulit dan dilengkapi dengan unsur pentas untuk dokumen pegangan pentas seorang calon dalang. Penelitian program S-3 di UGM mengenai wayang sangatlah sedikit. Dalam sepuluh tahun terakhir dihasilkan tidak lebih dari 10 doktor yang terkait dengan wayang. Mereka meneliti mengenai metafisika [1], etika [2], sulukan [3], kerawitan [4], tata kelola komunitas [5], tokoh wayang [6], dan wanda [7]. Di Jepang, penelitian wayang yang lain adalah mengenai wayang kulit juga dikerjakan [8]. Namun pada umumnya, penelitian wayang di Jepang adalah penelitian mengenai wayang Jepang (Bunraku) yang berujud boneka. Penelitian antara lain tertuju pada bagaimana wayang yang robot bergerak seperti halnya manusia [9][10] dan pentas untuk penghiburanpenyembuhan [11].
3
Proklamasi UNESCO tahun 2003 perihal wayang sebagai “The Masterpiece of The Oral and intangible Herritage of Humanity” menegaskan keyakinan pecinta wayang bahwa wayang dan juga pentas wayang kulit mengandung pesan dan informasi yang luar biasa besar [12]. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa yang berusia di atas 50 tahun, pentas wayang kulit adalah sumber tuntunan moral bagi kehidupan manusia [13]. Pentas wayang kulit juga berisi perihal tatanan hidup yang memberi gambaran kehidupan manusia, dari lahir, dewasa, hingga mati [14]. Dalam perkembangannya dan berlanjut sampai dengan saat ini, pentas wayang kulit lebih dilihat sebagai tontonan pentas yang mampu memberi hiburan kepada masyarakat, khususnya melalui adegan limbukan dan gara-gara [15]. Pentas wayang kulit sebagai penghiburan dan pendidikan hidup melalui tuntunan, tatanan,dan tontonan adalah sumber informasi. Sumber informasi ini menyampaikan pesan (message) yang mempunyai bobot atau nilai tertentu. Bobot ini cenderung bersifat relatif terhadap pemberi dan penerima informasi [16]. Sampai dengan saat ini penilaian atas pentas wayang kulit selalu atas dasar dari sisi penonton (penerima pesan) dan bersifat kualitatif [17]. Dalam melaksanakan pentas, seorang dalang khususnya calon dalang dan dalang muda berlandaskan dokumen naskah pentas (script). Selain naskah pentas calon dalang dapat menggunakan Balungan ringkas yang hanya menuliskan adegan-adegan pokok seperti halnya Jejeran [18], Balungan dengan keterangan perihal adegan [19], dan Balungan yang memuat keterangan adegan, perangan dan gendhing dengan tanpa sulukan [20]. Dalam pentas wayang kulit, penilaian oleh penonton pada umumnya dikerjakan atas dasar jalinan cerita dan indahnya pentas. Semuanya berlandaskan rasa yang kualitatif. Dalam hal ini, rasa atau perasaan dapat ditangkap sebagai bobot informasi. Claude Elwood Shannon lah yang melahirkan konsep dan rumusan matematis informasi yang menjadi basis teknologi
komunikasi.
Rumusan
4
matematis
informasi
inilah
yang
mewujudkan keberhasilan indahnya pentas dalam data statistis yang kuantitatif dan obyektif. Permasalahan relativitas bobot informasi antara yang disampaikan sumber dan yang diterima penonton seperti tersebut di atas dipecahkan oleh Shannon dengan pendekatan statistis. Data statistis yang diperlukan adalah besarnya peluang unsur-unsur yang muncul dalam kejadian. Rumusan Shannon menyebutkan bahwa semakin kecil peluang yang muncul, semakin besar bobot informasinya [21]. Dalam pentas wayang kulit unsur-unsur kejadian adalah unsur-unsur pentas yang meliputi gendhing, sulukan, keprakan, kanda–carita, anta–wacana, dan cepeng-sabet [22]. Disamping Pengembangan Sistem Pembangkitan Cerita sebagai tujuan pertama penelitian, penelitian ini juga bertujuan menemukan model penghitungan bobot informasi untuk penilaian naskah pentas. Dengan demikian suatu naskah dapat diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya sebelum pentas dilaksanakan.
1.2. Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah tersebut di atas, dapatlah dirumuskan adanya empat masalah sebagai berikut: 1. Bahwa sampai saat ini, dalam calon-dalang melaksanakan pentas, belum tersedia dokumen dengan sistematika tertentu yang dapat dipegang sebagai panduan pentas. 2. Penulisan dokumen panduan pentas tidaklah mudah. Diperlukan suatu sistem sehingga panduan ini dapat dikerjakan oleh calon-dalang dengan bantuan komputer. 3. Dalam pendalaman atas pentas lakon tertentu, para calon-dalang
sangat
tergantung pada para dalang senior. Buku dan rekaman tidak mungkin memberi jawaban atas keinginantahuan calon-dalang untuk hal-hal tertentu di luar yang terekam dan tertulis. Diperlukan suatu sistem berbasis kecerdasan (Sistem Pembangkitan Cerita) yang dapat berfungsi sebagai media belajar, khususnya simulator untuk menyajikan contoh-contoh urutan adegan pentas suatu lakon tertentu.
5
4. Sampai dengan saat ini belum ditemukan model untuk membuat penilaian atas kualitas naskah pentas dengan pendekatan kuantitatif dan objektif yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi maju.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tiga tujuan sebagai berikut: 1. Menuangkan cerita pertunjukan wayang kulit dalam suatu struktur pengetahuan
dan
aturan
sebagai
dasar
Pengembangan
Sistem
Pembangkitan Cerita. 2. Mengembangkan Sistem Pembangkitan Cerita penyusun Balungan+ cerita Arjunawiwaha untuk keperluan pertunjukan pentas wayang kulit yang juga memiliki fungsi sebagai simulator untuk pembelajaran dan pendalaman pakeliran gagrak Yogyakarta. 3. Menemukan model untuk penilaian naskah pentas seperti halnya Balungan+dengan pendekatan kuantitatif dan objektif yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi maju.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian mencakup enam hal sebagai berikut: 1. Menutup salah satu dari berbagai celah ketertinggalan seni pertunjukan wayang
kulit
dalam
pemanfaatan
teknologi
informasi
Sistem
Pembangkitan Cerita untuk usaha pelestarian seni tradisional. 2. Dimilikinya model penilaian naskah pentas seperti halnya Balungan + dengan pendekatan kuantitatif dan objektif yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi maju. 3. Keberhasilan pengembangan model Sistem Pembangkitan Cerita ini akan membuka peluang dibangunnya Sistem Pembangkitan Cerita penyusun Balungan+ untuk berbagai macam cerita pentas wayang kulit. 4. Dengan Sistem Pembangkitan Cerita ini, seorang calon-dalang yang baru saja selesai mengikuti pelatihan di sanggar-sanggar atau pendidikan di sekolah
pedalangan
akan
mampu
6
menyusun
Balungan+
cerita
Arjunawiwaha pertunjukan wayang kulit dengan mudah yang sebelumnya harus dikerjakan secara manual. 5. Sistem
yang tersedia
dapat digunakan sebagai simulator
untuk
pembelajaran dan pendalaman cerita Arjunawiwaha pentas wayang kulit gagrak Yogyakarta. 6. Tersedia model penghitungan bobot dan entropi informasi untuk penilaian suatu naskah pentas.
I.5. Batasan Penelitian Jangkauan pentas wayang kulit seperti pada judul mempunyai cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut: 1. Pentas
wayang adalah
pentas
dengan
acuan buku
Pedalangan
Ngayogyakarta Jilid I, Gegaran Pamulangan Habirandha. 2. Jenis dan jumlah jejeran, adegan, gendhing,dan sulukan dibatasi. 3. Sesuai kebutuhan calon-dalang, Balungan+ yang dihasilkan berbahasa Jawa.
1.6. Keaslian Penelitian Penelitian penerapan teknologi informasi pada bidang seni budaya telah lama dikerjakan. Capaian luar biasa telah dinikmati oleh seni pertunjukan film dan musik. Semua produksi film dan musik pasti terbantu komputer. Tidak demikian halnya dengan seni pertunjukan wayang kulit, sudah puluhan tahun pentas wayang kulit hanya terbatas memanfaatkan alat pencahayaan listrik dan tata suara. Hadirnya dua alat tersebut merupakan bantuan yang luar biasa bagi dalang dan memperingan beban kerja dalang [22]. Pemanfaatan komputer belum banyak dikenal dalam pentas wayang kulit. Penelitian bidang seni tradisional, khususnya wayang dengan pendekatan teknologis dan teknis tidak banyak dikerjakan. Sampai dengan
7
saat ini, Disertasi satu-satunya di UGM yang terkait dengan wayang dan teknologi adalah karya Prasetya yang selesai dikerjakan pada tahun 2012 [5]. Pada umumnya penelitian wayang lebih terkait pada filsafat, sosial, sastra, dan budaya. Penelitian wayang yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara dikerjakan oleh Iva Aryani [23], Widodo Usman [24], dan Nurman Diana [25]. Penelitian tokoh wayang bersumber pada dokumen berbahasa Jawa Kuno dikerjakan untuk tokoh wayang Palasara [26] dan Wisnu [27]. Dalam Seminar Wayang for Humanity yang diselenggarakan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM pada tahun 2013, untuk menyambut Konggres Wayang II di Yogyakarta disajikan 16 makalah mengenai wayang dan yang terkait dengan wayang. Salah satu makalah, dan ini satu-satunya, cakupan penelitiannya menyangkut dua bidang ilmu, yakni ilmu teknik dan ilmu budaya. Makalah tersebut ditulis oleh Bagas Pujilaksono [28]. Makalah memaparkan perihal jenis instrumen gamelan dari sisi bahan dan proses pembuatannya, yakni instrumen yang dari logam, rebab, siter, dan kendang. Di berbagai belahan dunia, penelitian pembangkitan cerita cenderung mengejar ditemukannya metode yang mampu menulis cerita, sehebat karya manusia, yakni cerita yang penuh dengan makna dan pesan serta indah dari sisi bahasa. Penelitian bersama yang dikerjakan Callaway dari Centro per la Ricerca Scientifica e Technologica, Via Sommarive, Trento Italy dan James C. Lester dari Department of Computer Science, North Carolina State University, Raleigh, USA, menunjukkan kecenderungan di atas. Penelitian tersebut mengusulkan metode pembangkitan cerita yang bersifat deklaratif, dengan proses perbaikan bahasa di tingkat kalimat dan di tingkat paragraf [29]. Empat peneliti, Pablo Gervas dkk dari Facultad de Informatica, Universidad Computense de Madrid Spain meneliti pembangkitan cerita berbasis cerita-cerita yang sudah ada. Penelitian ini menggunakan Case-
8
Based Reasoning (CBR) untuk memperoleh plot dan menyusun teks berdasar plot dengan Natural Language Generator yang berbasis template [30]. Masalah utama dalam pembangkitan cerita adalah masalah semantik cerita, makna cerita. Untuk mengatasi hal tersebut, tiga peneliti dari University of New South Wales, Australia, meneliti pembangkitan plot cerita berbasis komputasi. Algoritma yang digunakan berdasar evolutionary algorithan yang berupa algoritma genetik (genetic algorithm) [31]. Peneliti yang lain, Neil Mc. Intyre dan Mirella Lapata dari School of Informatics, University of Edinburgh, UK menyatakan bahwa hambatan dalam pembangkitan cerita adalah terletak pada penyediaan basis pengetahuan cerita. Basis pengetahuan ini setiap kali harus diganti atau diperbarui untuk setiap kali pembangkitan cerita yang berbeda [32]. Hasil penelitian ini mengusulkan metode pembangkitan cerita yang bersifat data driven dan menggunakan algoritma genetik untuk pembuatan plot. Semua metode pembangkitan cerita di atas adalah dalam rangka menghasilkan cerita baru dengan tokoh baru, permasalahan baru, dan alur cerita yang baru. Hal tersebut sangatlah berbeda dengan penelitian yang dikerjakan ini yakni dengan cerita, tokoh, masalah dan penyelesaian yang sama untuk menghasilkan berbagai alur cerita yang berbeda dengan mengikuti ketentuan pentas yang ketat dan dilengkapi dengan unsur-unsur pentas sebagai dokumen pegangan calon dalang dalam melaksanakan pentas. Penelitian penyusun Balungan +, ini merupakan awal dari penerapan pembangkitan cerita untuk katagori cerita seni, yakni seni wayang yang telah diakui kualitas ceritanya oleh UNESCO. Dalam penelitian ini yang dihasilkan adalah Balungan+ sedangkan narasi dalam pertunjukkan dikerjakan oleh dalang. Dalam semua penelitian pembangkitan cerita yang telah dikerjakan, tokoh, karakter, interaksi tokoh, permasalahan dan penyelesaiannya dikerjakan oleh sistem dalam menghasilkan cerita baru untuk dinikmati. Dalam penelitian pembangkitan Balungan + ini, tokoh, karakter, interaksi tokoh, dan lain-lain telah tersedia melalui bedah cerita yang dikerjakan
9
peneliti. Sistem membangkitkan sebanyak mungkin Balungan+ yakni alur cerita dari cerita Arjunawiwahayang disusun berdasar aturan-aturan pentas wayang kulit gagrak Yogyakarta, untuk media belajar. Kasus cerita Arjunawiwaha dalam penelitian ini, termasuk cerita wayang yang sangat khusus, seperti halnya cerita Dewaruci yakni dalam bobot makna dan pesan cerita. Dalam alur cerita juga sangat khusus karena melibatkan tiga kelompok peran, yakni tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh dewata. Keberhasilan penelitian ini, akan membuka peluang lahirnya Sistem Pembangkitan Cerita penyusun balungan tema cerita yang lain dalam tema yang umum, seperti halnya tema cerita kelahiran, jumenengan (kenaikan tahta), tumurunnya (anugerah) wahyu dan pusaka. Pengembangan Sistem Pembangkitan Cerita penyusun Balungan + pentas wayang jenis lain seperti halnya wayang golek menak Yogyakarta, wayang golek Sunda, dan wayang kulit Bali memerlukan usaha keras dan di luar penelitian ini. Hal ini karena adanya perbedaan sangat besar dalam basis pengetahuan cerita, tata cerita, dan aturan pentas seperti halnya adegan, gendhing, dan sulukan. Bahan penelitian ini adalah pentas klasik wayang kulit gagrak Yogyakarta. Pentas ini adalah seperti halnya pentas klasik yang umum diselenggarakan pada tahun 1990-an sampai saat ini. Adegan Gupit Mandragini di Gapuran jejer pertama sudah tidak ditampilkan. Sub adegan Limbuk–Cangik yang merupakan bagian dari adegan Gupit Mandragini lah yang sekarang umum disajikan [22]. Ini adalah salah satu contoh perubahan adegan dalam pentas. Dalam jejer pertama mengandung dan memuat falsafah, metafisika, dan mitologi [33]. Hal yang sangat penting dalam memberi bobot atau kualitas wayang ini sangat rawan untuk dihilangkan karena banyaknya adegan dan panjangnya waktu jejer pertama. Pemahaman dan penuangan dalam struktur pengetahuan dan aturan pentas klasik inilah yang menjadi salah satu tujuan penelitian, seiring dengan perkembangan dan perubahan dalam pentas wayang yang terus berlangsung. Usaha ini merupakan
10
perlindungan dan pemanfaatan pentas klasik wayang dalam usaha pelestarian budaya. Pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran di lembaga pendidikan formal sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, pada umumnya telah memanfaatkan teknologi komputer. Pembelajaran dalam penguasaan pentas wayang sangatlah tertinggal dalam memanfaatkan teknologi komputer. Bila hal ini terus berlangsung, seni pentas wayang akan semakin ditinggal generasi muda yang menginginkan komputer sebagai media pembelajaran. Salah satu tujuan penelitian ini adalah menyediakan perangkat lunak Sistem Pembangkitan Cerita sebagai media pembelajaran seni pertunjukan wayang kulit berbasis komputer. Penilaian kualitas pentas wayang, selama ini selalu dilaksanakan atas dasar subjektivitas penilai dan pendekatan kualitatif. Penilaian berdasar keindahan pentas dan lengkapnya
jalinan alur
cerita. Dalam
era
perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi yang pesat saat ini, sudah saatnya penilaian atas karya seni seperti halnya pentas wayang kulit dapat dikerjakan atas dasar objektivitas dengan pendekatan kuantitatif. Dalam penyampaian pesan atau informasi, dikenal adanya sifat relatif antara informasi yang dikirim oleh pihak sumber dengan informasi yang diterima oleh pihak yang dituju. Shannon, ahli teori informasi dan teori komunikasi mampu memecahkan masalah relativitas informasi dengan memperkenalkan nilai atau isi atau bobot informasi dengan pendekatan objektif dan kuantitatif. Dengan rumusan
Shannon,
informasi dipihak
pengirim dan pihak penerima, nilai atau bobot informasinya sama [21]. Penelitian ini berusaha mengembangkan model penghitungan bobot informasi atas naskah Balungan +. Pengembangan penghitungan bobot informasi digunakan untuk penilaian atas kualitas Balungan+ hasil Sistem Pembangkitan Cerita. Bobot informasi Balungan + dihitung berdasar unsur pentas yang tertulis di Balungan+ yang mencakup sulukan, cepeng sabet, dan gendhing.
11
Penelitian yang dikerjakan ini, yang mencakup Pengembangan Sistem Pembangkitan Cerita Balungan +, pentas wayang gagrak Yogyakarta dan cerita Arjunawiwaha serta penilaian hasil menggunakan bobot informasi, tentulah berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain. Sepengetahuan peneliti, penelitian Pengembangan Sistem Pembangkitan Cerita penyusun Balungan + pentas wayang kulit gagrak Yogyakarta studi kasus cerita Arjunawiwaha dengan bahasa pemrograman LISP dan hasilnya dinilai secara objektif dan kuantitatif berdasar bobot informasi, belum pernah dikerjakan.
12