KEHIDUPAN KELUARGA PENGACARA SYARI‟AH DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA MEDAN Studi Tentang Kaitan Fungsi Keluarga dengan Profesionalitas Pengacara Syari‟ah Pasca UU No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Azhari Akmal Tarigan Kata Kunci: pengacara, keluarga, UU No. 18 tahun 2003 Sejak tahun 1960-an, keluarga telah dijadikan kajian para pakar. Tentu saja hal ini disebabkan pentingnya posisi keluarga dalam tata kehidupan sosial masyarakat. Keluarga berfungsi sebagai lembaga yang melestarikan nilai-nilai budaya. Bahkan lebih dari itu, keluarga dapat diibaratkan sebagai jembatan yang menghubungkan individu yang berkembang dengan kehidupan social di mana ia sebagai orang dewasa kelak harus memainkan peran dan fungsinya. Setidaknya dengan mengutip Hill dan Hansen pada tahun 1960 tercatat ada 5 jenis kerangka konseptual tentang keluarga yaitu pendekatan fungsional, pendekatan struktural, pendekatan institusional, pendekatan interaksionis dan pendekatan perkembangan. Tentu saja pendekatan di atas bukan satu-satunya jenis pendekatan dalam melihat keluarga. Misalnya, tulisan Nye dan Berardo pada tahun 1966 menguraikan pendekatan yang sedikit berbeda, yaitu pendekatan social-psikologis, pendekatan ekonomi dan pendekatan antropologis.1 Di antara pendekatan yang cukup menarik untuk dikaji adalah pendekatan fungsionalstruktural. Pendekatan ini sebagaimana yang terlihat nanti sengaja penulis pilih untuk meneliti dan menganalisis kehidupan keluarga pengacara syari‟ah, mengandaikan keluarga sebagai sub sistem dari sistem masyarakat. Dalam kerangka pikir fungsional-struktural, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian atau sub sistem yang saling berhubungan. Dalam analisis terhadap sistem ini yang dikaji adalah apakah konsekuensi dari setiap bagian dari sistem untuk setiap bagian lainnya dan untuk sistem sebagai keseluruhan.2 Jika demikian, sosok kepala keluarga memiliki kedudukan yang signifikan dalam menentukan kuwalitas kehidupan keluarganya. Asumsinya, semakin tinggi pendidikan kepala keluarga (terlebih jika ia memiliki profesi modern) maka semakin berkualitas pula keluarga tersebut. Terlebih lagi jika kepala keluarga memiliki pendidikan agama yang tinggi. Lewat pengetahuan agama yang dimilikinya, dipastikan ia akan mampu mengelola keluarganya sesuai dengan tuntunan syari‟ah Islam. Kualitas kepala keluarga akan semakin kuat jika ia juga memiliki profesi yang sangat berkaitan erat dengan kehidupan keluarga. Contohnya adalah para pengacara syari‟ah yang profesinya sebagai advokat dan tentu saja bersentuhan langsung dengan ragam persoalan keluarga di dalam atau di luar pengadilan. Dengan kata lain seorang pengacara professional dipandang mampu mengendalikan kehidupan keluarganya secara lebih baik dan menjadi keluarga yang profesional pula.3
1
T.O Ihrami, “ Berbagai Kerangka Konseptual dalam Pengkajian Keluarga” dalam, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, T.O Ihromi, Penyunting (Jakarta: Obor,2004), h. 269. 2 Ibid., 3 Dalam maknanya yang sederhana, professional adalah orang bekerja sesuai dengan profesi dan keahliannya. Dalam kehidupan keluarga, dikatakan professional jika masing-masing individu dalam sebuah keluarga bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing.
1
Sampai di sini, menarik untuk meneliti kehidupan kelurga pengacara Syari‟ah. Dikatakan menarik, pengacara syari‟ah tidak saja memiliki pengetahuan agama yang baik tetapi mereka kerap bersentuhan dengan persoalan keluarga. Mulai dari masalah perceraian, ruju‟, warisan dan sengketa lainnya. Perpaduan ilmu agama (ilmu syari‟ah) dan profesi sebagai advokat menjadi modal yang cukup kuat untuk membangun keluarga yang tangguh. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Bagaimana Kehidupan keluarga Pengacara Syari‟ah di Lingkungan Pengadilan Agama Medan. 2. Apakah pola kehidupan keluarga yang mereka jalani memberi pengaruh terhadap profesionalitas sebagai Pengacara di Pengadilan Agama. 3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap kehidupan keluarga pengacara Syari‟ah. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kehidupan keluarga pengacara syari‟ah dalam konteks pemenuhan fungsi agama, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. 2. Untuk melihat sejauh mana pengaruh kehidupan keluarga terhadap profesionalitas mereka sebagai pengacara syari‟ah. 3. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kehidupan keluarga pengacara syari‟ah ? Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Lokasi Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian kualitatif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah sosioyuridis. Pendekatan sosio yuridis adalah sebuah pendekatan untuk mengkaji kehidupan keluarga pengacara Syari‟ah pasca lahirnya UU No 18 Tahun 2000 tentang advokat. Adapun lokasi penelitian ini adalah di Kota Medan. Penyebutan Medan sebenarnya megacu pada dua hal. Pertama, Lokasi Pengadilan Agama Medan berada di Medan tepatnya di Jalan. Garu Medan Amplas. Pengacara Syari‟ah yang tidak beracara di Pengadilan Agama Medan tidak termasuk sebagai informan penelitian ini. Kedua, mengacu pada tempat tinggal pengacara. Umumnya pengacara Syari‟ah yang beracara di Medan bertempat tinggal di berbagai wilayah kota Medan, umumnya Medan Amplas dan sekitarnya. 2. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini diperoleh lewat wawancara yang mendalam terhadap informan penelitian. Untuk sisi normatifnya, sebagai bahan hukum primernya akan digunakan UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 3. Subjek dan Informan Penelitian Subjek dan informan penelitian ini adalah pengacara Syari‟ah yang tergabung di dalam APSI (Asosiasi Pengacara Syari‟ah Indonesia Sumatera Utara). Menurut informasi yang penulis terutama, jumlahnya baru mencapai 16 orang. Mereka umumnya beracara di Pengadilan Agama Medan dan Lubuk Pakam dan beberapa pengadilan agama lainnya di
2
wilayah hukum Sumatera Utara. Mereka juga sudah beracara di Pengadilan Negeri Medan. Namun dari 16 orang pengacara syari‟ah hanya lebih kurang 10 orang yang aktif.4 4. Analisis Data Analisis data akan diawali dengan pengklasifikasian atau pengelompokan data, selanjutnya apa yang disebut dengan display data dan akhirnya penarikan kesimpulan. Dengan mengutip Miles dan Huberman, data yang sudah diperoleh dari informan akan diolah dengan reduksi data5, display6 data dan penarikan kesimpulan.7 Temuan Penelitian 1. Fungsi Keluarga. Bagaimana kehidupan keluarga pengacara Syari‟ah ? Pertanyaan ini penting karena berkaitan dengan substansi masalah. Di dalam pertanyaan tersebut ada makna yang tersirat, apakah yang dipelajari pengacara Syari‟ah sewaktu mereka kuliah di Fakultas Syari‟ah dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya apakah pengalaman pengacara syari‟ah ketika menangani berbagai kasus atau masalah keluarga memberi pengaruh kepada mereka dalam menata kehidupan keluarganya. Sebagaimana yang diakui salah seorang informan yang berinisial ZW, yang menyatakan pendapatnya bahwa advokat syari‟ah sejatinya terlebih dahulu harus mampu menerapkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah barulah ia memperbaiki keluarga orang lain. Adalah tidak mungkin, seorang advokat yang berjuang mendamaikan (mengislahkan) suami istri yang bertikai dan mengatakan perceraian itu dibenci Allah, namun keluarganya juga berantakan dan diujung tanduk.8 Menariknya ketika mereka diminta pendapatnya tentang fungsi anggota keluarga, umumnya mereka tidak memiliki jawaban yang sama. Informan KH, seorang pengacara yang senior yang juga merupakan da‟i/ustaz berpendapat bahwa setiap anggota keluarga harus memiliki rasa tangungjawab yang sama dalam membangun keluarga. Semua anggota keluarga juga harus bersama-sama dalam mewujudkan keluarga yang harmonis. Berkaitan dengan fungsi anggota keluarga menurutnya ayah harus menjadi panutan, Ibu harus menjadi anutan dan anak harus menjadi ikutan. Pertanyan ini dapat dilihat dalam ungkapan di bawah ini: Karena itu ada falsafah dalam pemikiran saya, dalam sebuah keluarga seorang ayah harus bisa menjadi panutan, dalam arti contoh teladan di rumah tangga, dan ibu itu harus bisa menjadi anutan antara lain itu bisa mengikut dan bisa memberikan bimbingan secara langsung baik kepada siapapun sehingga bisa terhitung sebagai istri shalehah, anak juga seperti itu harus bisa di bimbing, harus bisa menjadi ikutan, ya selain dia harus bisa mengikut dengan aturanaturan yang sudah di buat, dia juga mampu memberikan teladan yang baik juga, baik didalam keluarga apalagi terhadap lingkungan. Jadi saya melihat semuanya harus bisa menjadi contophlah. Maka disitu pulalah peran ayah dan ibu harus bisa mengarahkan anak-anak itu supaya menjadi berakhlaq baik. Jadi anak-anak
4
Informasi jumlah pengacara ini diperoleh dari saudara Zuhro Wardi, salah seorang Pengacara Syari’ah di Kota Medan. Data diperoleh pada tanggal 29 Maret 2009. 5 Yang dimaksud dengan reduksi data adalah proses memilih, memfokuskan, menyederhanakan, mengabstraksikan dan mentransformasikan data yang tertulis dari catatan lapangan atau transkip. 6 Display data adalah data yang telah direduksi selanjutnya diorganisasi dan disusun sampai memungkinkan untuk ditarik sebuah kesimpulan yang sahih. 7 M.B. Miles and A.M. Huberman, Qualitative Data Analysis : An Expanded Sourcebook (Canada: Sage Publication, 1994), h. 21-22. 8 Wawancara dengan ZW pada tanggal 12 Agustus 2009 di Medan Amplas.
3
itu akan baik manakala ayah dan ibu itu punya akhlaq yang baik juga. Kira-kira seperti itu.9 Selanjutnya informan ZW mengatakan bahwa ayah berfungsi untuk mencari nafkah, Ibu mengurus rumah tangga dan anak-anak harus mencontoh ayah-Ibunya dan harus menjadi anak yang patuh. Lebih jelas pernyataan ZW dapat dilihat di bawah ini: Fungsi seorang ayah mencari nafkah, kemudian membimbing istri dan anaknya sejalan dengan sunnah rasul karena seorang ayah adalah arrijalu qawwamuna alannisa’. Seorang ayah harus menjadi pemimpin bagi anak dan istrinya dan harus memberikan contoh yang baik yang bisa membawa anak dan istrinya berjalan bersama dan dia “se iya sekata”, sehingga tercipta “albaiti jannati”,. Seorang ibu harus bisa melayani suaminya, menjaga kehormatan suaminya. Jika suami pulang kerja istri harus berada di rumah, paling tidak dia sudah berdandan, bersih sehingga suaminya itu lebih berkenan ketika melihat istrinya dan anak-anaknya. Fungsi istri dirumah adalah menjaga anaknya, membimbing anaknya ketika suaminya tidak dirumah, kemudian bisa menjaga kehormatannya, supaya tidak menjadi hal-hal buah bibir di masyarakat. Ustad sarjana syari‟ah tapi istri kok seperti itu.” Paling tidak tak seperti itulah dia..10 Hasil penelitian menunjukkan kendati mereka berbeda dalam memahami fungsi keluarga secara konsepsional, namun secara substansi mereka setuju bahwa masing-masing anggota keluarga memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Secara umum bahasa yang digunakan di dalam undang-undang perkawinan No 1/1974 dapat dijadikan pegangan di mana suami disebut sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Keluarga harmonis jika fungsi ini sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga berjalan sebagaimana mestinya,. 2. Relasi dan komunikasi antara Suami-Istri. Di antara persoalan yang menarik dalam kehidupan keluarga adalah berhubungan dengan relasi antara suami dan istri. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana pasangan suami-istri membangun komunikasi, menghadapi masalah-masalah yang timbul di dalam perkawinan. Menurut pengacara KH adalah penting untuk merumuskan visi keluarga ketika hendak menikah. Menurut KH visi yang telah dibangunnya bersama sang istri sejak masa awal perkawinannya adalah kebersamaan. Kebersamaan untuk membangun rumah tangga. Membangun keluarga yang saling mengerti, saling memahami, dan saling memberi dukungan. Fungsi keluarga seperti yang diuraikan KH diamini MS seorang pengacara wanita. Menurutnya dan juga menurut informan lainnya, komunikasi memiliki kedudukan yang sangat penting. Apapun yang akan diputuskan di dalam rumah tangga, sekecil apapun, sebisa mungkin harus dikomunikasikan kepada suami atau istri. MS mencontohkan ketika ingin membeli sesuatu, harus dibangun komunikasi. Selanjutnya jika menghadapi konflik, pertengkaran, sebaiknya itu dilakukan tidak di depan anak-anak karena dapat memberikan pengaruh yang tidak baik. Setiap masalah yang muncul harus diselesaikan secara berdua. Walaupun berkaitan dengan keluarga sendiri. Artinya, keluarga sendiripun tak boleh ikut campur dalam urusan rumah tangga. Beliau mengatakan: ….kalau pihak ketiga tak ada. Mudah-mudahan tak ada. Saya sama abang kayaknya memang dulupun waktu sebelum menikah sama abang itu punya 9
Wawancara dengan KH pada tanggal 18 Agustus 2009 di Patumbak. Wawancara dengan ZW pada tanggal 12 Agustus 2009 di Medan Amplas.
10
4
komitmen. Kita kalau bisa pernikahan sekali dan untuk seumur hidup. Tapi kalau kendala-kendala mungkin ya. Pihak keluarga dari suami ada lah, mau juga kadang-kadang campur. Cuma enggak kita pedulikan. Kita, siapapun orang lain selain kita berdua ini tidak ada yang bisa mencampuri. Ya.. mudah-mudahan sudah empat tahun ini saya menikah, Alhamdulillah lah tak pernah terjadi pertengkaran, apalagi menjurus ke hal-hal yang aneh-aneh. Mudah-mudahan beginilah terus langgeng..11 Pengacara BS, juga memiliki pendapat yang sama. Kunci agar hubungan suami-istri berjalan dengan baik tetap saja pada komunikasi. Tegasnya saling terbuka. Jika menghadapi masalah, pengacara BS lebih ketat lagi dengan mengatakan, tak boleh masalah yang muncul itu berlarut-larut. Setidaknya dalam tempo 24 jam harus sudah selesai. Ada kesan dari pernyataan BS, jika masalah di dalam rumah tangga dibiarkan berlarut-larut, dapat mengundang campur tangan pihak ke tiga. 3.Pendidikan Anak Adalah sebuah kenyataan yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut bahwa usia perkawinan pengacara syari‟ah relative muda. Akibatnya mereka memiliki anak-anak yang masih kecil-kecil. Bahkan pengacara yang dipandang senior sekalipun anak mereka baru duduk dibangku SD. Dengan demikian bisa dimengerti jika pengacara yang angkatan 2000an, anak mereka rata-rata masih berada di TK. Artinya dalam konteks seberapa besar mereka memerankan fungsinya sebagai ayah atau Ibu dalam hal pendidikan, belum tergambar sepenuhnya. Kendati demikian, ada sisi-sisi yang menarik untuk dikemukakan bagaimana pengacara syari‟ah menerapkan pendidikan buat anak-anaknya. Pengacara KH, misalnya mencoba menerapkan pola pendidikan yang demokratis terhadap anak-anaknya. Ia berusaha untuk melihat dan memperhatikan bakat dan minat anak-anaknya dan sebisa mungkin berupaya untuk memberi ruang dan fasilitas untuk dapat berkembang sebagaimana mestinya. Kata kunci pendidikan anak, menurut KH adalah keteladanan itu sendiri. Pengacara ZW juga mengemukakan pandangan yang sama yaitu pentingnya keteladanan. Pengacara BS mengakui, belum banyak hal yang dapat dilakukan kepada anak-anak dalam rangka membentuk mereka menjadi anak-anak yang shaleh dan berprestasi. Untuk saat ini yang paling mungkin dilakukannya adalah melakukan pembiasaan-pembiasaan terhadap anak-anaknya agar taat pada ajaran-ajaran agama.12 Ada hal yang menarik dari MSS tentang bagaimana sejatinya mendidik anak-anak di dalam kehidupan rumah tangga. Untuk lebih jelasnya menarik mencermati ungkapan MSS seperti berikut ini. Ada dua sistem yang diterapkan di dalam keluarga kami: secara formal sejak awal kami sudah mendidik anak-anak itu yang hari ini ada 2 orang laki-laki di dunia pendidikan yang bernuansa keagamaan dari RA sampai Madrasah Ibtidaiyyah. Selain itu dirumah kebetulan Istri saya itu cenderung profesinya sebagai keguruan. Jadi istri saya menghidupkan suasana belajar itu di rumah. Multi fungsilah. Anak-anak diberi kebebasan bergaul dan ditegur kalau memang pantas ditegur.13 Aturan sejak dini telah kami tetapkan dan menjadi kesepakatan berdua., 11
Wawancara dengan MS pada tanggal 3 September 2009 di Patumbak.
12
Kesimpulan wawancara dengan BS pada tanggal 15 September 2009 di Medan.
13
Wawancara dengan MSS pada tanggal 29 September 2009 di Patumbak.
5
selesai maghrib sampai shalat isya selesai tidak boleh ada TV hidup kecuali malam hari libur. Jadi antara maghrib dan ISya selain mengaji, belajar semua di situ, setelah itu boleh nonton TV sampai sekarang. Dari ungkapan di atas jelas terlihat bahwa MSS telah memiliki pola-pola tertentu dalam mendidik anak-anaknya. Pola yang diterapkannya di rumah tangganya bukanlah hasil dari proses otoritarianisme, melainkan hasil dari sebuah kesepakatan bersama antara suami dan istri. 4.Pengaruh Kehidupan keluarga Terhadap Profesionalitas Pengacara. 4.1. Pengaruh Pendidikan Sesuatu yang mengejutkan bahwa pembentukan jati diri mereka sebagai pengacara syari‟ah tidak sepenuhnya dibentuk di almamater atau di fakultas di mana mereka menuntut ilmu. Tidaklah mengherankan jika seluruh pengacara syari‟ah kembali kuliah di berbagai fakultas hukum hanya untuk memperoleh gelar SH (sarjana hukum). Mereka tidak terlalu perduli apakah mereka kuliah di PTS yang berkualitas atau tidak. Yang penting mereka mendapatkan gelar SH untuk selanjutnya disematkan di belakang namanya. Gelar SH bukan saja gelar seorang praktisi hukum atau untuk menyamakan status dengan praktisi hukum lainnya, tetapi lebih dari itu menunjukkan bahwa keilmuan di fakultas Syari‟ah tidak memadai –untuk tidak mengatakan tidak mendukung sama sekali profesi mereka sebagai pengacara. Seolah mereka ingin mengatakan, lulusan syari‟ah hanya sebagai syarat untuk melamar menjadi advokat. Untuk selanjutnya, apakah untuk memperoleh sertifikat atau izin beracara, keilmuan syari‟ah dipandang tidak memadai. Pengacara KH menegaskan bahwa keilmuan yang ada di fakultas Syari‟ah sama sekali tidak mendukung profesinya sebagai advokat. Pembentukannya sebagai advokat lebih ditentukan oleh pendidikannya di fakultas Hukum dan pelatihan-pelatihan yang diikuti. Berbeda dengan KH, ZW memiliki pendapat tersendiri. Pada prinsipnya beliau mengaku keilmuan syari‟ah mendukung profesinya sebagai advokat. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga Islam. Pengacara BS juga menyatakan kuliah di syari‟ah sangat mendukung profesi mereka sebagai advokat. Tidak kalah menariknya adalah pernyataan pengacara MS yang mengaku pengaruh perkuliahan di fakultas Syari‟ah terhadap profesi mereka tidak lebih hanya 20 %. Sebuah persentase yang menurut hemat saya sangat kecil. Lebih jelas beliau mengatakan sebagai berikut. Kalau jujur mungkin 20% la. Jadi begitu dulu di putuskan mau jadi pengacara, iyakan testing kan itu dulu sekitar 5 - 6 bulan lah tahun 2008. Proses -proses iakan memang saya itu dulu berminat. Kalau nanti saya lulus jadi pengacara umum dulu. Jadi begitu berfikirnya. Jadi belajar sendirilah. Membuka bukubuku umum, waktu praktek di pengadilan ini ilmu yang di bawa di syari‟ah ini nol. 20 % lah teringatlah istilahnya itupun definisi-definisi doing….14 Perbedaan para pengacara dalam melihat pengaruh pendidikan di almamaternya sebenarnya didasarkan pada sudut pandang yang berbeda. Ada pengacara yang melihat pengaruh pendidikan formal secara utuh dan ada yang melihatnya secara parsial. Intinya, dari sisi materi hukum, pendidikan di fakultas Syari‟ah tentu sangat penting dan memberi pengaruh kepada mereka dalam menjalankan profesinya sebagai pengacara. Namun dari sisi hukum acara – inilah yang paling penting bagi pengacara- pendidikan di syari‟ah sangat kurang. Pada hal sebagai seorang peraktisi, kemahiran beracara menjadi niscaya. 14
Wawancara dengan MS pada tanggal 3 September 2009 di Medan.
6
4.2. Pengaruh kehidupan Keluarga. Pengacara BS mengatakan bahwa pengaruh kehidupan keluarga terhadap profesionalitas seorang pengacara tetap ada kendati kecil. Beliau menggunakan istilah ”mendukung namun tak terlalu berpengaruh”. Pengacara MS mengakui ada pengaruh yang cukup besar kehidupan keluarga pengacara dengan profesinya sebagai advokat. Pengacara lain juga mengatakan pengaruh kehidupan keluarga sangat mendukung profesi mereka sebagai pengacara. Hal ini diakui oleh ZW, KH, AB, dan S. Adalah sangat menarik mencermati ungkapan MSS yang mengatakan suasana keluarga membantu profesi. MSS mengutarakan sebuah kata-kata hikmah yang berbunyi: “Dibalik kesuksesan seorang laki-laki pasti ada perempuan hebat yang berada di belakangnya”. Bahkan menurutnya, jika seorang pengacara gagal mengelola rumah tangganya dipastikan ia tidak akan dapat menjadi pengacara professional. Bagaimana ia mampu membantu kliennya yang sedang menghadapi persoalan keluarga sedangkan keluarganya sendiri bermasalah.
5. Persepsi Masyarakat Terhadap kehidupan Keluarga Pengacara.
Advokat atau pengacara disebut sebagai pekerjaan mulia atau profesi yang mulia (officium mobile). Dikatakan mulia karena pengacara membantu orang lain dari berbagai kesulitan khususnya berkaitan dalam masalah hukum. Terlebih-terlebih pengacara syari‟ah yang umumnya lebih banyak bersentuhan dengan masalah konflik keluarga. Pengacara selalu berupaya bagaimana kliennya memperoleh layanan jasa hukum yang profersional. Disebabkan profesinya membantu orang lain, pengacara selalu dihormati. Tentu saja pernyataan ini tidak menafikan bahwa tidak sedikit pengacara yang nakal. Jasa pengacara tidak saja diperlukan dalam konteks urusan pengadilan. Dalam tingkat tertentu, pengacara kerap memberi bantuan hukum di luar pengadilan. Tegasnya pengacara sering dijadikan tempat bertanya dan berkonsultasi dalam masalah hukum. Lebih-lebih berkaitan dengan hukum keluarga. Misalnya masalah percerain atau juga warisan. Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa masyarakat merasa senang jika dilingkungannya ada pengacara. Tak obahnya keberadaan seorang ustaz, kehadiran pengacara dipahami sebagai sebuah keberkahan. Sebabnya karena masyarakat memperoleh tempat bertanya dan tempat mengadukan berbagai persoalan kehidupan. Bagi masyarakat pengacara bukan saja kelompok manusia terdidik, tetapi juga ”dewa penolong” dari berbagai persoalan hukum yang mungkin dihadapi sehari-hari. Ditinjau dari sisi kemampuan berinteraksi, pengacara juga memiliki kemampuan lebih dalam membangun relasi dan komunikasi dengan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan dalam menjalankan profesinya, pengacara selalu berhadapan dengan klien yang memiliki peroblema hukum. Disebabkan karena banyak mendengar, pengacara relatif lebih peka terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Kemampuan mendengar yang baik ditambah sikap yang empatik, menjadikan pengacara relatif lebih disenangi masyarakat. Bagi pengacara syari‟ah, bagaimana berinteraksi dengan masyarakat sebenarnya tidak lagi menjadi soal. Perpaduan terhadap penguasaan ilmu-ilmu agama dengan keterampilan hukum membuat pengacara syari‟ah disenangi masyarakat. Bahkan sebagian pengacara syari‟ah juga berprofesi sebagai ustaz atau da‟i. Dari enam informan di dalam penelitian ini ternyata 3 di antaranya berprofesi sebagai ustaz atau muballigh. Sedangkan dua yang lainnya, kendati tidak berprofesi sebagai ustaz, tetapi mereka juga aktif di kelompok majlis ta‟lim (kaum ibu) atau perwiridan (kaum bapak). Pembahasan 1. Analisis Kehidupan Keluarga Pengacara Syari’ah.
7
Menurut Giddens, keluarga adalah „sekelompok orang yang mempunyai kaitan langsung hubungan kerabat (kin) yang di dalamnya terdapat orang-orang dewasa yang bertanggungjawab dalam pengasuhan anak‟ (Giddens, 2001:173). Bailon dan Maglaya (1978) :Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya15. Sementara menurut yang lainnya, keluarga didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang satu sama lain memiliki hubungan keturunan, pernikahan atau adopsi (Parsell, 1987:295, Kornblum, 2000:502, Macionis, 2000:299) memiliki kerjasama dalam pemenuhan Keluarga merupakan komunitas terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. 16. Ahli lain mengatakan bahwa keluarga adalah dua individu atau lebih yang hidup dalam satu rumah tangga. Duvall dan Logan (1986) : Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga. Berangkat dari definisi di atas ada beberapa kata kunci yang penting diperhatikan untuk memahami konsep keluarga. Kata kunci yang dimaksud adalah, adanya hubungan antara dua orang atau lebih, di dalam sebuah wilayah yang disebut rumah tangga, saling berinteraksi dan bekerja sama, dan setiap anggota memiliki fungsinya masing-masing. Pada kajian awal dari penelitian ini telah dikemukakan bahwa pisau analisis yang digunakan adalah teori fungsional structural. Teori ini menggambarkan bahwa keluarga diibaratkan dengan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub sistem dengan fungsinya masing-masing. Adapun yang menjadi sub sistem dari keluara (sebagai sistem) adalah ayah, Ibu dan anak yang terkadang juga disebut sebagai anggota keluarga. Jika masing-masing sub sistem menjalankan fungsinya, yang terjadi adalah kehidupan yang harmonis, damai dan sejahtera. Dalam bahasa Al-Qur‟an anggota keluarga yang berhasil menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya adalah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sebaliknya jika fungsi tidak berjalan yang terjadi adalah konflik dan benturan.17 Konflik itu umumnya terjadi antara suami-istri, dan bisa juga antara anak dan orang tua.18 Kaitannya dengan fungsi, Abu Ahmadi membagi fungsi keluarga menjadi lima fungsi, 19 yaitu : Pertama, Fungsi Biologis. Dengan fungsi ini diharapakan agar keluarga dapat menyelesaikan persiapan-persiapan perkawinan bagi anak-anaknya. Karena dengan perkawinan akan terjadi proses kelangsungan keturunan. Dan pada hakikatnya terdapat semacam tuntutan biologis bagi kelangsungan hidup keturunan, melalui perkawinan. Kedua, Fungsi Pemeliharaan. Bahwa keluarga harus dapat menjalakan fungsinya sebagai pemelihara satu sama lain. Baik pemeliharan diri dari berbagai macam gangguan keamanan dan penyakit, juga yang tak kalah penting adalah pemeliharan jiwa dari pengaruh buruk yang ditimbulakan lingkungan. Ketiga, Fungsi Ekonomi, yaitu Kebutuhan mendasar dalam keluarga adalah kebutuhan makan dan minum, pakaian dan tempat tinggal. Berhubung dengan fungsi penyelenggaraan kebutuhan pokok ini, maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras agar setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum, cukup pakaian dan tempat tinggal. Keempat, Fungsi Keagamaan, yakni Keluarga diwajibkan untuk menjalankan dan mendalami 15
Ibid. bisa juga dilihat dalam “Sosiologi Keluarga; Sebuah Pengantar”. T. Ihromi dalam www. Sosiologionline.com 16 Baca, William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta; Bumi Aksara, 2004 (cet keempat), h 2-5. lihat juga di www. sosiologionline.com. 17 Kajian lebih luas tentang teori Struktur Fungsional dapat dilihat pada George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2000) h. 117 18 Lihat kembali, bagian awal penelitian ini khususnya pada halaman…. 19 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar ( Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 13
8
serta mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam pelakunya sebagai manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam rangka terwujudnya masyarakat madani. Kelima, Fungsi Sosial Dengan fungsi ini keluarga berusaha unuk mempersiapakan anak-anaknya bekal-bekal selengkap mungkin dengan memperkenalakan nilai-nilai dan sikap-sikap yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan-peranan yang diharapkan akan mereka jalankan kelak bila sudah dewasa20. Lain halnya dengan Friedmann (1992) menjelaskan bahwa Fungsi afektif keluarga adalah: Pertama, memberikan kenyamanan emosional anggota, membantu anggota dalam membentuk identitas dan mempertahankan saat terjadi stress. Kedua, Fungsi sosialisasi, yaitu, Keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap, dan mekanisme koping, memberikan feedback, dan memberikan petunjuk dalam pemecahan masalah. Ketiga, Fungsi reproduksi. yaitu, Keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan keturunan. Keempat, Fungsi fisik, yaitu Keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk untuk penyembuhan dari sakit.21 Fungsi keluarga menurut BKKBN (1992): Pertama, Fungsi keagamaan : memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini. Kedua, Fungsi sosial budaya : membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. Ketiga, Fungsi cinta kasih : memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga. Keempat, Fungsi melindungi : melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.22 Kelima, Fungsi reproduksi : meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga. Keenam, Fungsi sosialisasi dan pendidikan : mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya, menyekolahkan anak, bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik. Ketujuh., Fungsi ekonomi : mencari sumbersumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang dan Fungsi pembinaan lingkungan.23 Sedangkan menurut Yaumil C. Agoes Akhir, setidaknya ada delapan fungsi keluarga. 1. Fungsi keagamaan yang mendorong dikembangkannya keluarga dan seluruh anggotanya menjadi insane-insan agamis yang penuh iman dan taqwa. 2. Fungsi social budaya yang memberikan kepada keluarga dan seluruh anggota kekayaan budaya bangsa dan motivasi luhur untuk memelihara kehidupan. 3. Fungsi cinta kasih dalam keluarga yang memberikan landasan yang kokoh untuk hubungan antar keluarga. 4. Fungsi perlindungan atau proteksi yang menumbuhkan rasa aman dan kehangatan. 5. Fungsi reproduksi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan. 6. fungsi sosialisasi dan pendidikan yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik anak keturunan. 7. Fungsi ekonomi yang menjadi unsure pendukung kemampuan kemandirian keluarga. 8. fungsi pembinaan lingkungan memberikan kepada keluarga kemampuan untuk menempatkan diri secara serasi, selaras dan seimbang.24 20
Ibid. www. Pembinaan keluarga secara psikologis. www.psikologikeluarga.com. (1 Oktober 2009) 22 Ibid. 23 Ibid. lihat juga di psikologi keluarga. www.psikologionline.com. (1Oktober 2009) 24 Yaumil C. Agoes Akhir, “Pembangunan Keluarga Sejahtera Sebagai Wahana Pembangunan Bangsa” dalam, Prisma, No. 6, 1994, LP3ES, Jakarta, h. 6-7. 21
9
Pada kajian awal dari penelitian ini telah dikemukakan bahwa pisau analisis yang digunakan adalah teori fungsional struktural. Teori ini menggambarkan bahwa keluarga diibaratkan dengan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub sistem dengan fungsinya masing-masing. Adapun yang menjadi sub sistem dari keluara (sebagai sistem) adalah ayah, Ibu dan anak yang terkadang juga disebut sebagai anggota keluarga. Jika masing-masing sub sistem menjalankan fungsinya, yang terjadi adalah kehidupan yang harmonis, damai dan sejahtera. Dalam bahasa Al-Qur‟an anggota keluarga yang berhasil menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya adalah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sebaliknya jika fungsi tidak berjalan yang terjadi adalah konflik dan benturan.25 Konflik itu umumnya terjadi antara suami-istri, dan bisa juga antara anak dan orang tua.26 Berangkat dari analisis para pakar di atas berkaitan dengan fungsi keluarga, peneliti cenderung untuk memodifikasinya ke dalam empat fungsi utama yaitu: Pertama, berkaitan dengan fungsi keagamaan. Kedua, fungsi sosialisasi dan pendidikan. Ketiga, fungsi perlindungan dan reproduksi. Keempat, fungsi sosial-ekonomi. Keempat fungsi inilah yang akan peneliti gunakan untuk melihat apakah keluarga pengacara syari‟ah telah menjalankan fungsinya sebaik mungkin. Pertama, Fungsi keagamaan. Informasi yang dapat ditangkap dari berbagai informan jelas terlihat bahwa pengacara syari‟ah berupaya untuk menjadikan keluarganya sebagai keluarga yang taat dalam menjalankan perintah agama. Untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, keta‟atan terhadap agama menjadi mutlak. Hal ini terlihat pada upaya yang dilakukan pengacara syari‟ah untuk melatih anak-anaknya sejak awal untuk melaksanakan ibadah shalat baik itu secara sendiri-sendiri ataupun berjama‟ah. Tidak kalah menariknya, dikalangan mereka juga muncul kesadaran, pendidikan agama akan berhasil jika orang tua mampu menunjukkan keteladanan mereka di hadapan anak-anaknya. Beberapa informan mengatakan bahwa mereka juga kerap mengajak anak-anaknya untuk melaksanakan shalat berjama‟ah. Bahkan ada pasangan pengacara yang ketika suaminya di luar atau sebaliknya tetap saling mengingatkan untuk shalat. Komunikasi yang dilakukan bukan sekedar bertanya apakah sudah makan atau belum, tidak hanya menanyakan tempat atau posisi, namun mereka juga saling bertanya apakah sudah shalat atau belum. Setidaknya hal ini dapat dijadikan indikator bahwa fungsi keagamaan sudah berjalan dengan baik. Kedua, fungsi sosialisasi dan pendidikan yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik anak keturunan. Fungsi pendidikan dalam konteks ini dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, pendidikan informal atau pendidikan di rumah tangga. Kedua, pendidikan formal yang di mulai dari PG (play group), TK, SD, SMP dan seterusnya. Kaitannya dengan pendidikan di rumah tangga, informasi yang diperoleh ternyata para informan telah menjalankan fungsi ini sebaik-baiknya. Sejak awal, para orang tua sebagai informan telah menjelaskan bahwa mereka menanamkan kepada anak-anaknya pentingnya untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama, ta‟at dalam beribadah dan berakhlak mulia. Tentu saja lewat contoh-contoh yang sederhana. Tidak kalah menariknya para informan juga telah menerapkan sebuah sistem reward dan punishment. Bagi yang berprestasi diberikan penghargaan sedangkan yang bersalah akan diberi hukuman. Para informan juga telah menciptakan suasana yang demokratis di dalam rumah tangga mereka masing-masing. Semua anggota keluarga di beri kesempatan untuk bicara, mengkoreksi, mengkritik dan menyatakan kehendaknya. Beberapa informan sejak awal telah membangun sikap keterbukaan dan demokrasi di keluarganya masing-masing. 25
Kajian lebih luas tentang teori Struktur Fungsional dapat dilihat pada George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2000) h. 117 26 Lihat kembali, bagian awal penelitian ini khususnya pada halaman….
10
Adalah penting untuk diperhatikan, keluarga pengacara syari‟ah juga memberi ruang yang cukup buat anak-anaknya agar dapat bergaul dan bersosialisasi. Mereka umumnya tidak membatasi anak-anaknya harus bergaul dengan siapa. Hanya saja mereka kerap mengingatkan untuk mengikuti teman-teman yang perangainya atau akhlaknya buruk. Di samping itu, mereka juga membuat aturan-aturan tertentu. Misalnya dilarang bermain-main ketika sudah masuk waktu maghrib sampai shalat Isya. Ketiga, Fungsi perlindungan dan reproduksi. Fungsi ini sesungguhnya in heren dalam kehidupan keluarga pengacara. Ada informasi yang sama disampaikan para informan kendati menggunakan bahasa yang berbeda bahwa suami memiliki kewajiban untuk melindungi keluarganya. Wujudnya terlihat dalam dua bentuk. Fisik dan non fisik. Secara fisik, setiap pasangan selalu berusaha untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi pasangannya. Komunikasi yang dilakukan secara intens, berimplikasi setiap pasangan merasa diperhatikan oleh pasangannya. Adapun secara fisik, terlihat dengan kesungguhan para pengacara untuk menyediakan rumah yang layak dan pantas bagi keluarganya. Kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan menjadi kewajiban suami. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa istri juga dapat membantu suaminya. Sedangkan Fungsi reproduksi -termasuk fungsi yang signifikan di dalam kehidupan keluargajuga berjalan dengan baik. Informan mengaku berbahagia dengan pasangannya. Di samping itu, mereka setuju bahwa keberadaan anak tidak saja menjadi sebuah kemestian bagi sebuah pasangan tetapi juga sangat menentukan kebahagian keluarga. Seluruh informan ternyata telah memiliki anak. Pengacara KH memiliki tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Selanjutnya ZW seorang putra yang masih duduk di bangku SD, BS memiliki putri 1 orang dan masih SD. MS memiliki dua orang anak dan yang paling kecil berusia 4 bulan. Kaitannya dengan fungsi reproduksi, fungsi cinta kasih dalam keluarga juga berjalan cukup baik di keluarga pengacara syari‟ah. Fungsi cinta kasih tidak saja sebagai perekat ikatan batin yang sudah in heren di dalam keluarga melainkan dapat dijadikan landasan yang kokoh untuk membangun hubungan antar keluarga. Informasi yang dapat ditangkap dari para informan adalah mereka menyadari hal yang paling untuk memelihara hubungan antara suami-istri adalah terbangunnya komunikasi yang terbuka dan penuh kejujuran. Seluruh informan di dalam penelitian ini mengakui bahwa perkawinan yang mereka lakukan semuanya berawal dari apa yang belakangan di sebut dengan pacaran. Walaupun masingmasing mereka memiliki pola pacaran yang berbeda. Keinginan masing-masing pihak untuk menjaga perkawinan mereka agar tetap utuh sangat jelas terlihat, misalnya dengan membangun komunikasi dan keterbukaan. Bahkan ada pasangan yang memiliki komitmen untuk menjadikan pernikahan mereka sebagai yang pertama dan terakhir. Keempat, Fungsi sosial-ekonomi. Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa keluarga pengacara syari‟ah terbagi ke dalam dua bentuk. Ada pengacara yang istrinya hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun ada pula yang keluarga pengacara suami dan istri samasama bekerja. Para informan selama ini tidak ada kendala yang signifikan dalam pembagian peran, kendati ada pasangan pengacara yang kedua-duanya sama-sama bekerja. Terlepas dari dua pola ini, sesungguhnya fungsi ekonomi berjalan dengan baik. Suami memenuhi kewajiban utamanya untuk memberikan nafkah kendatipun istrinya bekerja. Istri tetap difungsikan untuk mengelola keuangan keluarga. Di samping itu, mereka juga memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak saja bersifat primer tetapi juga sekunder. Misalnya, pengacara syari‟ah umumnya sudah memiliki kendaraan roda empat. Mereka juga mampu untuk memberikan hadiah buat anak-anaknya yang berprestasi. Tidak kalah menariknya, selama wawancara berlangsung, tidak ditemukan keluhan yang bersifat ekonomi, seperti penghasilan yang tidak
11
memadai. Sedankan dalam konteks sosial, keluarga pengacara syari‟ah umumnya terlibat sangat aktif di masyarakat. Mereka terlibat dalam berbagai aktifitas kemasyarakat terlebihlebih di dalam berbagai majlis ta‟lim dan pengajian. Bahkan beberapa di antara pengacara syari‟ah terdapat dua orang pengacara yang berprofesi sebagai ustaz. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam table berikut ini: No
Fungsi Keluarga
Berjalan
1
Fungsi Agama
Berjalan cukup baik
2
Fungsi sosialisasi dan Pendidikan.
Berjalan dengan baik.
3
Fungsi Perlindungan dan reproduksi.
Berjalan dengan baik.
4
Fungsi Sosial Ekonomi.
Berjalan dengan baik.
Tidak Berjalan
Indikator Shalat Berjama‟ah, membaca Al_Qur‟an dan memberikan keteladanan. Reward dan punishment berjalan. Memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan temannya. Menyalurkan bakat. Memberi hadiah sesuai dengan kebutuhan. Suasana yang nyaman di dalam kehidupan rumah tangga. Komunikasi yang terbangun sangat mesra. Menyiapkan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Memiliki anak-anak. Terpenuhi kebutuhan primer bahkan sekunder. Tidak ada keluhan dalam masalah ekonomi. Terlibat aktif di dalam majlis ta‟lim dan persoalan kemasyarakatan. Pengakuan tetangga akan peran keaktifan mereka di masyarakat.
Memastikan berjalannya fungsi-fungsi keluarga menjadi sebuah keharusan. Inilah sesungguhnya ukuran yang dapat digunakan untuk melihat apakah sebuah keluarga itu masuk ke dalam kategori apa yang disebut Al-Qur‟an sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Jika fungsi tidak berjalan (disfungsi) yang terjadi adalah konflik dan benturan, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat membawa kepada kehancuran keluarga. Di samping itu, keluarga yang menjalankan fungsi-fungsi di atas akan menjadi masyarakat yang permanent dan eternal. Masyarakat seperti ini akan terbangun secara perpetual, sakral dan religius. Masyarakat seperti ini dimaksudkan sebagai masyarakat ideal yang terpola untuk menyelesaikan permasalahan yang tak pernah usai (continual and endless problem) yaitu persoalan kemanusiaan, keadilan, cinta kasih dan semua persoalan duniawi yang dilandasi norma religi. Pola masyarakat seperti ini dibangun di atas tatanan keluarga yang membentuk miniatur masyarakat yang pre-eminence dan ascendancy, sebab pola ini merupakan dasar terbentuknya masyarakat ideal. Tatanan masyarakat seperti ini ialah masyarakat yang
12
kuat di atas sususnan keluarga yang kuat pula, yaitu masyarakat yang disusun di atas pilar-pilar keluarga agamis, sehingga menghasilkan struktur sosial yang agamis pula.27 Sebaliknya keluarga yang tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, akan menjadi masyarakat yang temporal dan sekuensial. Masyarakat seperti ini cenderung irreligious, masyarakat yang cenderung hanya memikirkan hal-hal yang bersifat sesaat dan duniawi. Akibatnya keuarga seperti ini tidak memiliki ketahanan terhadap segala macam benturan. Inilah masyarakat yang lemah karena terdiri dari keluarga yang lemah pula.28 Kaitannya dengan profesionalitas pengacara syari‟ah, harus diakui, pendidikan di fakultas Syari‟ah tidak sepenuhnya mendukung profesi mereka sebagai advokat. Kendati ada pengakuan dari sisi materi hukum, para informan mendapatkan banyak hal dari fakultas Syari‟ah, namun dari sisi keterampilan hukumnya nyaris tidak ada sama sekali. Kendati di fakultas Syari‟ah ada mata kuliah hukum acara namun SKS-nya sangat sedikit, untuk mengatakan sekedar ada. Terlebih-lebih di jurusan AS (al-ahwal al-syaksiyah) yang fokusnya pada hukum keluarga, sejatinya lebih memberi perhatian yang serius dalam persoalan ini. Adalah ironis, alumni yang telah lulus difakultas Syari‟ah, “tidak terlalu percaya diri” untuk menjadi advokat sehingga mereka harus kuliah lagi di fakultas hukum, kendati hanya untuk sebuah gelar SH. Lagi-lagi ini menunjukkan gelar S.Ag, Drs (IAIN) bahkan SH.I belum mampu membangun kepercayaan diri alumni. Saran dari informan menunjukkan perlunya memberi muatan yang lebih besar terhadap mata kuliah keterampilan hukum. Dari sisi pengajar, sejatinya fakultas Syari‟ah tidak hanya mengandalkan para hakim, sebagaimana yang berlangsung selama ini, tetapi juga memberi kesempatan kepada para pengacara dari alumni untuk berkiprah. Setidaknya mereka dapat memotivasi mahasiswa fak. Syari‟ah untuk melirik profesi ini sebagai profesi yang menjanjikan. Tidak kalah menariknya saran dari salah seorang informan, sudah saatnya mahasiswa fakultas Syari‟ah mengenal profil pengacara Syari‟ah di Sumatera Utara. Gunanya untuk memotivasi mereka agar memberi perhatian terhadap perofesi yang mulia ini sehingga tidak terjebak hanya ingin menjadi PNS, Dosen, pengulu, KUA, dan hakim. Profesi advokat tidak saja menjanjikan dari sisi financial tetapi juga dari sisi prestise di dalam kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, advokat sesungguhnya adalah lading pengabdian untuk menegakkan dan mempertahankan kebenaran dan keadilan. Sesungguhnya, profesionalitas mereka sebagai pengacara dibentuk oleh upaya mandiri dalam meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan dalam bidang hukum. Misalnya dengan banyak membaca buku-buku hukum umum ataupun kembali kuliah di fakultas hukum. Lebih dari pengalaman di lapangan membentuk semakin mematangkan mereka di dunia kepengacaraan. Penutup Kesimpulan Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat. Keluarga juga merupakan cikal bakal terbentuknya sebuha komunitas yang disebut dengan masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, baik tidaknya sebuah masyarakat sangat tergantung dengan baik tidaknya sebuah keluarga. Oleh sebab itu, pembentukan keluarga terlepas apakah lewat sebuah pendidikan dan pelatihan yang terprogram ataupun berdasarkan usaha sendiri menjadi sebuah keniscayaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa profesi sebagai pengacara yang banyak menghadapi berbagai persoalan 27
M.F. Zenrif, Realitas dan Metodologi Penelitian Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an : Teori dan Praktik, (Malang: UIN Malang Press, 2006) h. 23-25. 28 Ibid.,
13
tentang keluarga sebagaimana yang dihadapi kliennya, membuat setiap pengacara berkaca untuk melihat ke dalam diri dan keluarganya. Dari proses pembelajaran itulah, mereka bertekad untuk menjadikan keluarganya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Penelitian ini ingin menjawab Tiga pertanyaan yang sangat penting yaitu, Bagaimana Kehidupan keluarga Pengacara Syari‟ah di Lingkungan Pengadilan Agama Medan. Selanjutnya, apakah pola kehidupan keluarga yang mereka jalani memberi pengaruh terhadap profesionalitas sebagai Pengacara di Pengadilan Agama. Masalah yang terakhir adalah bagaimana pandangan masyarakat terhadap kehidupan keluarga pengacara Syari‟ah. Selanjutnya penelitian ini menyimpulkan bahwa: Pertama, Berangkat dari pendekatan struktural fungsional, keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah adalah keluarga yang menyadari fungsi dan tugasnya di dalam rumah tangga. Keluarga yang bahagia memastikan bahwa setiap anggotanya telah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Para pakar sosiologi keluarga telah merumuskan fungsifungsi keluarga. Kendati mereka menggunakan bahasa yang berbeda, namun secara substansi mereka sepakat pada empat fungsi pokok yaitu, fungsi keagamaa, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi perlindungan dan reproduksi dan fungsi sosial-ekonomi. Penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga pengacara syari‟ah tidak saja menyadari fungsi keluarga tetapi telah memperaktekkannya di dalam kehidupan rumah tangga mereka. Kendati memiliki pola yang berbeda bagaimana keluarga pengacara syari‟ah membangun dan memelihara relasi suami-istri, mendidik anak dan sebagainya, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa keluarga pengacara syari‟ah adalah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Bahkan lebih dari itu, mereka berhasil menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya. Kedua, Kendati UU No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menempatkan pengacara sebagai profesi mulia (officium nobile). Oleh sebab itu, pengacara dituntut memiliki kepribadian terbaik dengan segala sifat-sifat terpuji. Di samping itu, mereka juga dituntut untuk mematuhi kode etik dan juga profesional dalam menangani berbagai kasus yang dilimpahkan kepada mereka. Idealnya profesionalitas mereka sebagai pengacara dibentuk oleh pendidikan mereka selama menuntut ilmu di fakultas Syari‟ah dan juga dibentuk oleh lingkungan keluarga. Akan tetapi penelitian ini menunjukkan bahwa profesionalitas mereka sebagai pengacara banyak dibentuk oleh pergulatan mereka dengan dunia peraktis. Pengaruh pendidikan kendati ada namun tidaklah signifikan. Demikian juga dengan pengaruh kehidupan keluarga yang dirasakan penting namun bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Terlepas dari itu, mereka sepakat, pengacara yang baik dan profesional bermula bagaimana ia menata kehidupan kelaurganya. Adalah tidak mungkin pengacara mampu menangani perkara rumah tangga dengan baik, jika ia sendiri mengalami masalah dengan keluarganya sendiri. Sejatinya setiap pengacara syari‟ah tidak boleh mengalami apa yang disebut dengan spilit personality (keterpecahan pribadi). Ketiga, salah satu tujuan fakultas pendidikan di fakultas Syari‟ah adalah agar alumninya mampu dengan keunggulan teoritis dan praktis memasuki berbagai lapangan kerja. Pasca undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang advokat, jelas terlihat bahwa menjadi pengacara sesungguhnya adalah lapangan pekerjaan yang sangat menjanjikan. Salah satu hal yang sangat mendukung keberhasilan seorang pengacara menjalankan profesinya adalah kepercayaan yang diberikan masyarakat kepadanya. Nilai profesi ini juga ditunjukkan sejauh mana persepsi masyarakat terhadap kehidupan keluarga pengacara syari‟ah itu sendiri. Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar kediaman pengacara memberikan pandangan dan sikap yang positif terhadap kehidupan keluarga pengacara. Mereka menilai kehidupan keluarga pengacara syari‟ah sangat baik, santun, damai dan aktif dalam bermasyarakat. Pertanyaannya adalah, apa sesungguhnya yang membentuk pandangan
14
masyarakat yang positif tersebut ? Setidaknya ada tiga faktor. Pertama, keluarga pengacara khususnya suami dan istri pengacara syari‟ah terlibat secara aktif di dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, seperti majlis ta‟lim dan pengajian. Kedua, Sikap positif, responsif dan empati yang ditunjukkan pengacara syari‟ah setiap kali dihadapkan dengan berbagai persoalan yang diajukan masyarakatnya kepada mereka. Ketiga, yang juga sangat menentukan, di samping sebagai pengacara, mereka juga berprofesi sebagai ustaz, penceramah dan da‟i. Hal ini menjadikan mereka mudah bergaul dan ikut memperngaruhi kehidupan masyarakat. Rekomendasi 1. Dalam rangka menyahuti UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Fakultas Syari‟ah IAIN.SU harus berbenah diri dengan melakukan reformulasi kurikulum hukumnya. Mahasiswa harus terampil tidak saja dalam mengkomunikasikan materi hukum yang beragam tetapi juga harus memiliki kemampuan peraktik hukum. Mereka harus cakap beracara. Terutama mahasiswa yang berada pada jurusan al-ahwal al-syakhsiyyah, yang sedari semual dipersiapkan untuk menguasai ilmu-ilmu hukum khususnya yang berkenaan dengan hukum perdata dan hukum acaranya. 2. Mahasiswa Fakultas Syari‟ah perlu mendapatkan penjelasan atau sosialisasi tidak saja berkaitan dengan UU No 18 Tahun 2003 tetapi juga berkaitan dengan keadvokatan sebagai sebuah profesi. Sejatinya, advokat adalah lahan pengabdian alumni syari‟ah yang tidak boleh dipandang enteng. Di antara cara yang paling efektif adalah melibatkan pengacara syari‟ah yang nota bene alumni syari‟ah untuk menjadi dosen dan tenaga pengajar peraktik di fakultas Syari‟ah. 3. Advokat syari‟ah yang terlibat di dalam APSI (Asosiasi Pengacara Syari‟ah), harus dilibatkan dalam proses perumusan mata kuliah dan materi perkuliahan yang berhubungan dengan hukum acara. Di samping itu, diharapkan mereka juga diharapkan dapat memotifasi mahasiswa untuk berminat menjadi advokat lewat berbagai pelatihan yang digelar. Penulis: Dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Sumatera Utara, sedang melaksanakan studi S.3 pada program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara. Pustaka Acuan Ahmadi, Abu Ilmu Sosial Dasar, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1999. Akhir, Yaumil C. Agoes, “Pembangunan Keluarga Sejahtera Sebagai Wahana Pembangunan Bangsa” dalam, Prisma, No. 6, 1994, LP3ES, Jakarta. Goode, William J. Sosiologi Keluarga, Jakarta; Bumi Aksara, 2004 (cet keempat). Huberman, M.B. Miles and A.M., Qualitative Data Analysis : An Expanded Sourcebook, Canada: Sage Publication, 1994. Ihrami, T.O., “ Berbagai Kerangka Konseptual dalam Pengkajian Keluarga” dalam, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, T.O Ihromi, Penyunting, Jakarta: Obor,2004. _________, “Sosiologi Keluarga; Sebuah Pengantar”. dalam www. Sosiologionline.com Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2000. www. Pembinaan keluarga secara psikologis. www.psikologikeluarga.com. (1 Oktober 2009) www.psikologionline.com. (1Oktober 2009) Zenrif, M.F. Realitas dan Metodologi Penelitian Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an : Teori dan Praktik, Malang: UIN Malang Press, 2006.
15
16