Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan (Studi terhadap Kata-kata Kunci) Azhari Akmal Tarigan ∗ Abstrak Diskursus kepemimpinan yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih siyasah ternyata sangat didominasi oleh pendekatan yang sangat historis, sosiologis dan politis, sehingga seringkali aspek-aspek normatif dan aspek moral al-Qur'an terabaikan. Akibatnya, konsep kepemimpinan yang lahir dalam sejarah dianggap sebagai ajaran Islam yang sebenarnya dan tidak boleh berubah. Lebih jauh dari itu, muatan hukumnya sangat terasa, sehingga isu-isu moral tidak muncul sama sekali. Padahal kalau dikaji, ayat-ayat al-Qur'an tentang kepemimpinan ternyata memiliki spektrum yang sangat luas. Nilai-nilai yang dikembangkannya adalah nilai-nilai yang bersifat universal dan selaras dengan fitrah kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut dapat ditemukan pada kata-kata kunci seperti imam-imamah, ulul amri, khalifahkhilafah, dan qawwam-qawamah. Kata kunci: kepemimpinan, al-Qur'an, imam, ulul amri, khilafah, qawwam. A. Pendahuluan Kendatipun persoalan pertama yang muncul di dalam Islam setelah wafatnya Rasul adalah persoalan kepemimpinan (imamah), namun wacana ini secara spesifik dan luas baru dibicarakan para ulama pada periodeperiode belakangan.1 Pernyataan ini tidaklah dimaksudkan bahwa pada masa awal, wacana kepemimpinan tidak muncul sama sekali, hanya saja kajian-kajiannya masih bersifat parsial dalam lingkup yang terbatas dan belum menyentuh seluruh aspek kepemipinan itu sendiri. ∗
Fakultas Syari’ah IAIN SU Medan. Rais mencatat dalam bukunya, dengan mengutip Ibn Nadim dalam alFihrisat menyebutkan bahwa orang pertama yang berbicara dalam aliran keimamahan adalah Ali ibn Isma’il ibn Maitsam At-Tammar maula Ali ibn Abi Thalib dengan kitab Keimamahan dan al-Istihqaq. Nama lain yang disebut oleh Ibn Nadim adalah Hisyam Ibnul Hakam seorang murid Ja`far al-Shadiq. Karyanya adalah Kitab Keimamahan, Keimamahan alMafdhul, al-Mizan dan al-Radd `ala Mu`tazilah. Kemudian konsep imamah banyak dibicarakan oleh mutakallimin Syi`ah, Khawarij dan Muktazilah seperti Abu Bakar alAsham, Hisyam al-Futhi. Kemudian para muhaddisin atau Ahlu Sunnah. Selanjutnya muncul Syafi`i yang mengaitkan konsep imamah (ulul amri dengan Ijmak). Sayangnya, penulis tidak menemukan karya-karya yang disebut di atas. Setelah Syafi`i, muncullah alMawardi, Abu Ya`la, Ibn Hazm, al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan seterusnya. Lihat Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, terj. Abdul Hayyi Al-Kattani (alNazhriyah al-Siyasah al-Islamiyyah), (Jakarta: GIP, 2001), pp. 59-71. 1Dhiauddin
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1124
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
Barulah pada abad pertengahan, lahir karya-karya fikih politik yang mengkaji kepemimpinan hampir dalam keseluruhan aspeknya. Untuk menyebut beberapa nama, muncullah al-Mawardi seorang yuris mazhab Syafi`i dengan karyanya al-Ahkam al-Sultaniyah, Abu Ya`la seorang yuris mazhab Hanbali dengan karyanya al-Ahkam al-Sultaniyah, dan sederatan nama lainnya. Dari merekalah, pemikir-pemikir Islam belakangan mengembangkan teoretisasi fikih politik (ketatanegraan Islam). Perhatian yang cukup besar diberikan para ulama lewat karyakaryanya menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan di dalam Islam adalah masalah yang serius, baik di kalangan Sunni ataupun Syi`ah. Begitu seriusnya, sisi gelap perjalanan sejarah Islam yang sering disebut dengan skisma (perpecahan) terjadi pada masalah politik. Al-Syahrastani seorang teolog kenamaan pernah menyatakan, “perselisihan terberat yang terjadi di kalangan umat adalah perselisihan tentang keimamahan karena tiada pedang terhunus dalam Islam atas dasar kaedah agama seperti terhunusnya terhadap persoalan keimamahan dalam setiap masa.2” Jika dicermati diskursus kepemimpinan yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih siyasah, sangat didominasi oleh pendekatan yang sangat historis, sosiologis dan politis, sehingga seringkali aspek-aspek normatif dan aspek moral al-Qur'an terabaikan. Akibatnya, konsep kepemimpinan yang lahir dalam sejarah dianggap sebagai ajaran Islam yang sebenarnya dan tidak boleh berubah.3 Lebih jauh dari itu, muatan hukumnya sangat terasa, sehingga isu-isu moral tidak muncul sama sekali. Tanpa bermaksud untuk mengabaikan pendekatan yang historis-politis tersebut, tulisan ini akan menyingkap wawasan al-Qur'an tentang kepemimpinan untuk selanjutnya akan dianalisis dengan mempertimbangkan konteks kekinian. B. Terminologi Kepemimpinan Di dalam karya-karya fikih politik (fiqh siyasah), ditemukan terminologi yang relatif kaya untuk menjelaskan tentang pemimpin dan kepemimpinan. Kata-kata tersebut adalah imam-imamah, ulul amri , khalifahkhilafah, dan qawwam-qawamah.4 Di samping itu, masih terdapat lagi kata
2Dhiauddin
Rais, Teori…, p. 59. dikutip dari al-Milal wa an-Nihal, Juz I, p. 20. yang diperjuangkan oleh HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) untuk menegakkan Khilafah Islamiyah sebagaimana yang diideologikan oleh Taqiuddin Al-Nabhani adalah contoh di mana sebuah konsep yang merupakan produk sejarah dianggap sebagai ajaran atau doktrin Islam. 4Terminologi ini tidak popular kecuali dipakai untuk memperbincangkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan di dalam keluarag. 3Apa
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1125
sultan-sultaniyah,5 al-mulk, al-ra`, amir (umara’), dan amir al-mu`minin, yang juga sering dimaknai dengan raja dan pemimpin. Kendatipun kata-kata tersebut memiliki arti yang relatif sama, berkisar pada makna pemimpin dan kepala negara, namun jika dilihat dari sisi historisnya, masing-masing terminologi tersebut memiliki sejarah perkembangannya sendiri-sendiri. Walaupun demikian, dalam penggunaannya seringkali terminologi tersebut dipakai secara bersamaan dan mengacu pada makna yang sama pula. Al-Mawardi misalnya memberi judul karyanya al-Ahkam al-Sultaniyah (peraturan kekuasaan/kesultanan). Namun, di dalamnya ia menggunakan dua kata dalam satu tarikan nafas, al-imamah, al-khilafah.6 Tampak dengan jelas bagaimana istilah imamah dan khilafah dipakai secara bersamaan. Ada yang menganalisis penggunaan istilah tersebut adalah bertujuan agar pemikirannya diterima tidak saja di kalangan Sunni tetapi juga di kalangan Syi`ah.7 Terlepas dari analisis yang seperti itu, di awal karyanya, al-Mawardi memandang perlu untuk menegaskan esensi kekhilafahan atau keimamahan yaitu sebagai pengganti misi kenabian dalam upaya memelihara agama dan mengatur dunia. Selanjutnya, kalau karya Abu A`la al-Maududi yang berjudul alKhilafah wa al-Mulk, yang selanjutnya ketika diterjemahkan diberi judul Khilafah dan Kerajaan. Di dalam karya tersebut, ia menjelaskan perbedaan sistem pemerintahan yang bersifat khilafah dengan kerajaan. Khilafah menurutnya adalah sebuah pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan meyakini bahwa khilafahnya itu mewakili sang hakim yang sebenarnya, yaitu Allah s.w.t. Hal ini berbeda dengan kerajaan 5Kata sultan disebut sebanyak 37 kali dalam berbagai surah. Adapun makna kata ini ada dua. 1. al-hujjat sebagaimana terdapat di dalam surah Ghafir, surah al-An`am dan surah al-Namal. 2. al-mulk atau raja sebagaimana yang terdapat di dalam surah Ibrahim. Lihat, al-Husein Ibn Muhammad al-Damaghani, Qamus al-Quran, (Beirut: Dar al-`Alam Li al-Malayin, 1983). Di dalam surah Ibrahim ayat 10 dan 11 kata sultan tidak dimaknai dengan pemimpin tetapi dimaknai dengan bukti yang nyata. Namun penting dicatat, kendati demikian dua ayat yang berada pada surah Ibrahim tersebut sebenarnya berkaitan secara tidak langsung dengan kepemimpinan. Dapat dikatakan bahwa setiap pemimpin dalam upaya untuk meyakinkan orang lain harus memiliki kemampuan untuk membuktikan sesuatu yang disampaikannya. 6al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, (Beirut: Dar al_kutub al-`Ilmiyyah, t.t.), p. 5. 7Wardini Akhmad, “Teori politik Al-Mawardi”, Makalah Seminar Sehari IX Dirasatul Ulya, Medan, 1992, p. 7. Bandingkan dengan Fathurrahman Jamil, “al-Mawardi: Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara”, dalam, Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Yogyakarta: LPMI, 1995), p. 155.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1126
yang bentuknya dapat dilihat dalam model kerajaan yang cenderung otoriter dan tidak demokratis.8 Yang menarik di dalam karyanya tersebut, al-Maududi juga menyebut-nyebut istilah ulul amri dan memberikan penjelasan yang cukup luas tentang konsep ini.9 Tampaknya istilah-istilah tersebut di dalam pemakaiannya sering dipertukarkan antara yang satu dengan yang lain. Namun yang jelas, secara substansial, maknanya mengacu kepada sebuah kepemimpinan yang harus dimiliki untuk tegaknya sebuah negara dalam upaya merealisasikan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Dalam bahasa yang berbeda, baik imamah ataupun khilafah, bahkan bisa juga imarah mengandung pengertian model pemerintahan yang bernuansa agama dan berfungsi untuk menegakkan agama dan mengatur urusan dunia. Berdasarkan konsep-konsep kunci ini, penulis akan menelusuri ayatayat kepemimpinan tersebut di dalam al-Qur'an. Disebabkan keterbatasan tempat, tulisan ini hanya menyoroti simpul imam, ulul amri , khalifah dan qawwam. C. Simpul-simpul Kepemimpinan 1. Simpul Imam Kata imam dan jamaknya a’immah disebut di dalam al-Qur'an sebanyak 12 kali, 7 kali dalam bentuk mufrad (imam) dan 5 kali dalam bentuk jamak (a’immah).10 Ibn Manzur di dalam Lisanul Arab menjelaskan arti imam dalam kata dasar a-ma-ma sebagai al-amm yang berarti tujuan atau maksud. Kemudian dari kata ini terbentuk kata al-amam yang berarti di depan. Imam adalah semua orang yang diangkat menjadi imam oleh suatu kaum, baik mereka di atas jalan yang lurus ataupun mereka yang sesat11 Di dalam Qamus Al-Qur’an karya al-Damaghani, kata ini memiliki lima arti yaitu, 1. al-qa’id ila al-khair (pemimpin/panglima yang membawa kepada kebaikan) seperti yang terdapat di dalam surah al-Baqarah 2. Kitab Bani Adam sebagaimana terdapat di dalam surah al-Isra’. 3, al-lauh almahfuz sebagaimana terdapat di dalam surah Yasin. 4. al-Taurat
8Abu
A`la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, cet VI, (Bandung: Mizan, 1996), pp.
63-64. 9
Ibid., p. 69. surah al-Hijr/15:79, Yasin/36:12, al-Baqarah/2:124, Hud/11:17, alFurqan/25:74, al-Ahqaf/46:12, al-Isra’/17:71, al-Taubah/9:12, al-Anbiya’/21: 73, alQasas/28:5, 41, dan al-Sajadah/32:24. Lihat, Muhammad Fu`ad Abdul Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfaqz al-Qur'an, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t,t.), p. 103. 11Ibn Manzur , Lisanul Arab, Juz XIV, (Mesir: al-Matba`ah al-Amiriya, 1302 H) 10Lihat
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1127
sebagaimana terdapat di dalam surah Hud. 5. al-tariq al-wadih (jalan yang terang) sebagaimana yang terdapat di dalam surah al-Hijr.12 Selanjutnya, al-Isfahani menjelaskan bahwa makna imam adalah mengedepankan seseorang untuk menjadi imam yang selanjutnya perkataan, perbuatan dan tulisannya diteladani baik dalam rangka kebenaran ataupun kebatilan.13 Imam itu, menurutnya, bisa jadi imam bagi kelompok yang berjalan pada kebenaran ataupun bisa juga pada jalan kesesatan. Ada beberapa ayat yang berbicara tentang imam, di antaranya: 1. Surah al-Baqarah/2: 124 ãΑ$uΖtƒ Ÿω tΑ$s% ( ÉL−ƒÍh‘èŒ ÏΒuρ tΑ$s% ( $YΒ$tΒÎ) Ĩ$¨Ψ=Ï9 y7è=Ïæ%y` ’ÎoΤÎ) tΑ$s% ( £ßγ£ϑs?r'sù ;M≈uΚÎ=s3Î/ …絚/u‘ zΟ↵Ïδ≡tö/Î) #’n?tFö/$# ÏŒÎ)uρ * ∩⊇⊄⊆∪ tÏϑÎ=≈©à9$# “ωôγtã
Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, dan saya mohon juga dari keturunanku. Allah berfirman, janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim. Ayat ini bercerita tentang ujian yang diberikan Allah kepada Ibrahim dalam bentuk perintah-perintah (al-awamir) dan larangan-larangan (alnawahi). Ibrahim mampu menunaikannya dengan cara yang paling baik sempurna. Agaknya atas dasar kemampuan inilah, Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam. Al-Maraghi menafsirkan kata imam di dalam ayat tersebut sebagai rasul yang memimpin manusia. Ibrahim mengajak manusia kepada al-hanafiah samhah yaitu keimanan kepada Allah, mentauhidkannya dan melepaskan manusia dari belenggu kemusyrikan.14 Selanjutnya di dalam ayat tersebut, Ibrahim memohon kepada Allah agar keluarga dan keturunannya juga dijadikan sebagai pemimpin dan permohonan tersebut dikabulkan oleh Allah dengan catatan tidak untuk orang yang zalim. 2. Surah Al-Furqan/25:74 ∩∠⊆∪ $Β$tΒÎ) šÉ)−Fßϑù=Ï9 $oΨù=yèô_$#uρ &ãôãr& nο§è% $oΨÏG≈−ƒÍh‘èŒuρ $uΖÅ_≡uρø—r& ôÏΒ $oΨs9 ó=yδ $oΨ−/u‘ šχθä9θà)tƒ tÏ%©!$#uρ
Artinya: Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai 12al-Husein Ibn Muhammad al-Damaghani, Qamus al-Qur'an, (Beirut: Dar al`Alam li al-Malayin, 1983), pp. 44-45. 13al-Raghib al-Isfahani, Mu`jam Mufradat al-Faz al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) p. 20. 14 al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), p. 118.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1128
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orangorang yang bertakwa. Ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya khususnya dari ayat 63-77, sebenarnya bercerita tentang sifat-sifat hamba Allah yang mendapatkan kemuliaan. Salah satu do`a orang yang mendapatkan kemuliaan ialah bahwa ia memohon kepada Allah untuk diberikan istri dan keturunan yang dapat menjadi qurrata a`yun. Departemen Agama menterjemahkan kata ini dengan “penyenang hati”. Zamakhsyari menafsirkan qurrata a`yun dengan doa` yang artinya, “berikanlah kepada kami istri dan keturunan kami, di mana setiap melihat mereka, mereka tetap dalam keta`atan dan kesalehan.15 Semangat dari ayat ini sebenarnya masih memiliki hubungan dengan ayat yang dibahas sebelumnya, yaitu kepemimpinan itu pada hakikatnya adalah pemberian dari Allah. Atas dasar itu pulalah, salah satu do`a orang yang saleh adalah memohon kepada Allah agar ia dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Jelas bahwa pemimpin bagi orang yang bertakwa jauh lebih mudah untuk mengarahkan mereka ke jalan kebenaran. 3. al-Anbiya/21:73 (#θçΡ%x.uρ ( Íο4θŸ2¨“9$# u!$tFƒÎ)uρ Íο4θn=¢Á9$# uΘ$s%Î)uρ ÏN≡uöy‚ø9$# Ÿ≅÷èÏù öΝÎγø‹s9Î) !$uΖøŠym÷ρr&uρ $tΡÌøΒr'Î/ šχρ߉öκu‰ Zπ£ϑÍ←r& öΝßγ≈uΖù=yèy_uρ ∩∠⊂∪ tωÎ7≈tã $oΨs9
Artinya: Kami telah mejadikan mereka itu sebagai pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan telah kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan hanya kepada kamilah mereka menyembah. Pada ayat sebelumnya (72) Allah menjelaskan tentang karunianya kepada Ishaq dan Ya`kub berupa kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah walaupun mereka tidak memintanya. Tidak itu saja Allah menjadikan mereka sebagai orang saleh, sedangkan pada ayat ini Allah menjelaskan, karena kesalehannya, Allah menjadikan mereka sebagai imam (pemimpin) menjadi teladan di dalam agama Allah. Kata a’immah pada ayat ini masih memiliki hubungan dengan ayatayat lain yang berbicara tentang kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan pemberian dari Allah s.w.t. terhadap orang-orang yang saleh. Di dalam surah Ali-Imran 26 Allah s.w.t. berfirman yang artinya, “Katakanlah, Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan, engkau berikan kerajaan 15al-Zamakhsyari,
Tafsir al-Kasysyaf, Vol. III, (Beirut:: Dar al-Kutub al-`ilmiyyah,
1995), p. 288. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1129
kepada orang-orang yang engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orangorang yang engkau kehendaki, engkau muliakan siapa yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang engkau kehendaki…” Ayat ini menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik dan raja atas segala sesuatu termasuk di dalamnya kekuatan, kerajaan, kekuasaan dan sebagainya. Yang menarik, kata yang dipakai adalah tu’ti (berikan) bukan milk (milik). Maknanya adalah bahwa kekuasaan atau kepemimpinan itu merupakan pemberian dari Allah dan karena itulah sifatnya sementara tidak abadi. Jika manusia tidak bersedia menyerahkan kembali apa yang telah diberiakn Allah kepadanya, maka Allah dapat mencabutnya kapanpun ia kehendaki. Demikian penjelasan Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat ini. 4. al-Sajadah/32:24 ∩⊄⊆∪ tβθãΖÏ%θム$uΖÏG≈tƒ$t↔Î/ (#θçΡ%Ÿ2uρ ( (#ρçy9|¹ $£ϑs9 $tΡÍ÷∆ö r'Î/ šχρ߉öκu‰ Zπ£ϑÍ←r& öΝåκ÷]ÏΒ $oΨù=yèy_uρ
Artinya: Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. Pada ayat ini, Allah s.w.t. menceritakan bahwa Nabi Musa a.s. yang telah diberikan Allah kitab sebagai petunjuk untuk Bani Israel. Allah juga menjadikan Musa dan orang-orang dari kaumnya sebagai pemimpin yang memberi petunjuk kepada manusia sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Taurat. Dalam menjalankan misi tersebut mereka tetap sabar dan memiliki keyakinan terhadap ayat-ayat Allah. 2. Simpul Khalifah Kata khalifah yang akar katanya adalah kh-l-f disebut Allah di dalam al-Qur'an sebanyak 127 kali dalam berbagai bentuk derivasinya. Kata khalafa pada mulanya bermakna di belakang. Selanjutnya, kata ini diartikan dengan pengganti karena bisaanya orang yang menggantikan itu berada di belakang. Al-Isfahani menterjemahkan khalafa dengan did al-quddam (kebalikan dari depan) yaitu belakang. Di samping itu, terjemahan lain adalah al-niyabah `an al-ghair, apakah sebab ghaib ataupun mati.16 1. al-Baqarah/2: 30 u!$tΒÏe$!$# à7Ï'ó¡o„uρ $pκÏù ߉šø'ムtΒ $pκÏù ã≅yèøgrBr& (#þθä9$s% ( Zπx'‹Î=yz ÇÚö‘F{$# ’Îû ×≅Ïã%y` ’ÎoΤÎ) Ïπs3Í×‾≈n=yϑù=Ï9 š•/u‘ tΑ$s% øŒÎ)uρ .tβθßϑn=÷ès? Ÿω $tΒ ãΝn=ôãr& þ’ÎoΤÎ) tΑ$s% ( y7s9 â¨Ïd‰s)çΡuρ x8ωôϑpt¿2 ßxÎm7|¡çΡ ßøtwΥuρ
Artinya: Ingatlah ketika Tuahnmu berfirman kepada para malaikat: “sesungguhnya akhu hendak mejadikan seorang kahlifah di muka bumi”. Mereka berkata, mengapa engkau hendak menjadikan 16al-Raghib
al-Isfahani, Mu`jam…, pp. 156-157.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1130
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,pada hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikanmu. Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kami ketahui. Kata khalifah di dalam ayat ini baik menurut al-Maraghi ataupun alQurtubi ditujukan kepada Nabi Adam a.s. sebagai khalifah Allah untuk menegakkan hukum-hukumnya dan perintah-perintahnya di bumi. Alasannya adalah karena Adam merupakan Rasul pertama yang diturunkan di muka bumi ini.17 2. Shad/38:26 È≅‹Î6y™ tã y7‾=ÅÒãŠsù 3“uθyγø9$# ÆìÎ7®Ks? Ÿωuρ Èd,ptø:$$Î/ Ĩ$¨Ζ9$# t÷t/ Λäl÷n$$sù ÇÚö‘F{$# ’Îû Zπx'‹Î=yz y7≈oΨù=yèy_ $‾ΡÎ) ߊ…ãρ#y‰≈tƒ ∩⊄∉∪ É>$|¡Ïtø:$# tΠöθtƒ (#θÝ¡nΣ $yϑÎ/ 7‰ƒÏ‰x© Ò>#x‹tã öΝßγs9 «!$# È≅‹Î6y™ tã tβθ3=ÅÒtƒ tÏ%©!$# ¨βÎ) 4 «!$#
Artinya: Ya Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlahkamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang pedih, karena mereka melupakan hari perhitungan. Jika ayat sebelumnya berbicara tentang kekhalifahan Nabi Adam dan manusia pada umumnya, pada ayat ini Allah berbicara tentang kekhalifahan Nabi Daud. Allah memerintahkannya untuk menghukum sesuatu dengan adil. Di samping itu, sebagai seorang pemimpin, Allah mengingatkan Nabi Daud untuk tidak mengiktu al-hawa, karena dapat memalingkannya dari menegakkan keadilan. 3. Simpul Ulul amri Kata ulul al-amri hanya ditemukan di dua tempat di dalam al-Qur'an yaitu surah al-Nisa’/4:59 dan 83. Kata ulu al-amri bermakna yang memegang kekuasaan atau mereka yang mengurusi segala urusan umum.18 Ada beberapa ayat yang berbicara tentang ulul al-amri, di antaranya: 17
al-Qurthubi, al-Jami`…, Juz I, p. 182. al-Maraghi, Tafsir…, Vol 1, p. 49. kata “ulu” sangat banyak dijumpai di dalam Alquran. Dari kata ini juga terbentuk beberapa istilah seperti ulu al-quwah (orang yang memiliki kekuatan), ulu al-aydi ( orang yang memiliki kekuatan yang dilambangkan dengan kekuatan tangan), ulu ba’sin, ulul al-azmi (orang-orang yang memiliki keunggulan), ulu al-fadli (orang yang memiliki banyak kekayaan) dan yang banyak adalah kata ulu al-albab (16 kali),dan ulu al`ilmi (7 kali). Kemudian kata a-m-r dengan segala bentukannya disebut sebanyak 257 kali, sedangkan kata amr sendiri disebut 176 kali. Namun, jika digabungkan kata ulu al-amri 18Sebenarnya
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1131
1. al-Nisa’/4:59 «!$# ’n<Î) çνρ–Šãsù &óx« ’Îû ÷Λäôãt“≈uΖs? βÎ*sù ( óΟä3ΖÏΒ Í÷∆ö F{$# ’Í<'ρé&uρ tΑθß™§9$# (#θãè‹ÏÛr&uρ ©!$# (#θãè‹ÏÛr& (#þθãΨtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩∈∪ ¸ξƒÍρù's? ß|¡ômr&uρ ×öyz y7Ï9≡sŒ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σè? ÷ΛäΨä. βÎ) ÉΑθß™§9$#uρ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu saling berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul serta hari kemudian. Hal seperti itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Ayat ini kendatipun berbicara tentang ulil amri, namun tampaknya yang menjadi kata kuncinya adalah ketaatan itu sendiri, yaitu ketaatan kepada Allah, Rasul dan ulil amri yang diterjemahkan sebagai penguasa yang memegang segala umur (urusan umat). Kendati demikian, pertanyaan yang menarik adalah, atas dasar apa ulil amri itu ditaati. Tafsiran yang umum diberikan para ulama adalah selama ia juga taat kepada Allah dan Rasul atau selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul.19 2. al-Nisa’/4:83 çµyϑÎ=yès9 öΝåκ÷]ÏΒ ÌøΒF{$# ’Í<'ρé& #†n<Î)uρ ÉΑθß™§9$# ’n<Î) çνρ–Šu‘ öθs9uρ ( ϵÎ/ (#θãã#sŒr& Å∃öθy‚ø9$# Íρr& ÇøΒF{$# zÏiΒ ÖøΒr& öΝèδu!%y` #sŒÎ)uρ ∩∇⊂∪ WξŠÎ=s% āωÎ) z≈sÜøŠ¤±9$# ÞΟçF÷èt6¨?]ω …çµçGuΗ÷qu‘uρ öΝà6øŠn=tã «!$# ã≅ôÒsù Ÿωöθs9uρ 3 öΝåκ÷]ÏΒ …çµtΡθäÜÎ7/ΖoKó¡o„ tÏ%©!$#
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarnnya akan dapat mengetahuinya, kalaulah tidak karena rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan kecuali sebagian kecil saja diantara kamu. Kendatipun di dalam ayat ini ada kata ulil amri namun maknanya tidak secara khusus merujuk kepada pemimpin. Wahbah al-Zuhaily memahami ulil amri sebagai orang-orang cerdas (zawi al-ra`y) dari golongan sahabat besar/utama (akbar al-sahabat).20
hanya disebut 2 kali sebagaimana yang telah disebut di atas. Lihat Dawam Rahardjo, Ensiklopdei …, pp. 466-467. 19 M. Quraish Shihab, Tafsir…, p. 483. 20 Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir: Fi al-Aqidah wa al-Syari`ah wa al-Manhaj,Juz V (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), p. 174. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1132
Ayat ini sebenarnya bercerita tentang tindakan buruk yang dilakukan oleh orang-orang munafik secara terang-terangan. Seringkali orang munafiq menyebarluaskan berita atau tepatnya isu-isu baik yang berhubungan dengan keamanan ataupun ketakutan, berkaitan dengan peperangan ataupun bukan untuk menimbulkan kekacauan dan kesalahpahaman. Seandainya mereka mau bertanya kepada Rasul dan ulil amri, dipastikan tidak akan terjadi kekacauan di tengah-tengah masyarakat.21 4. Simpul Qawwam Adapun kata qawwam yang akar katanya adalah q-w-m dalam bentuk jamak disebut dalam al-Qur'an sebanyak 3 kali, yaitu surah al-Nisa`/4: 34 dan 135 dan surah al-Maidah/5:8. Arti dasar kata ini sangat banyak sebagaimana yang disebutkan oleh al-Damaghani, di antaranya adalah menyempurnakan, menghadap, aman, lurus, berhenti, mengajak, menjadikan, juru bicara, ketenangan, dan lain-lain.22 Berkenaan dengan kata qawwam ini menarik mencermati penjelasan Quraish Shihab yang menyatakan bahwa seseorang yang melaksanakan tugas atau apa yang diharapkan darinya dinamai qa’im. Kalau ia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamakan qawwam. Jadi menterjemahkan qawwam dengan pemimpin sebenarnya tidak menjelaskan hakikat yang dikandung oleh kata ini.23 Al-Isfahani menyebut tiga makna qiyam. Pertama, qiyamnya seseorang baik karena tanpa usaha atau ditundukkan (taskhir) ataupun karena usaha (ikhtiyar). Kedua, qiyam dalam pengertian al-mura`ah li al-syai` wa al-hifz (menjaga dan memelihara sesuatu) dan ketiga, qiyam `ala al-azmi `ala al-syai (melaksanakan sesuatu dengan penuh keteguhan).24 Tampaknya ketika menjelaskan ayat ini, al-Isfahani menggolongkannya kepada pengertian yang pertama bi al-ikhtiyar (dengan usaha).25 Jadi makna qiyam dalam konteks ayat tersebut adalah seorang laki-laki yang selalu berusaha 21Ibid,
p. 176 dan bandingkan dengn M. Qurasih Shihab, Tafsir..,, Vol. 2, p. 530. al-Husein Ibn Muhammad al-Damaghani, Qamus al-Qur'an, (Beirut: Dar al`Alam li al-Malayin, 1983), pp. 391-394 Tentu saja makna-makna yang telah disebut di atas memiliki kaitan dengan kepemimpinan seperti keharusan seorang pemimpin untuk menyempurnakan segala urusan, memberi rasa aman, lurus dalam makna istiqamah pada kebenaran, mengajak masyarakat untuk berbuat baik, memiliki kreasi dan inovesi, menjadi juru bicara untuk keadilan dan yang paling penting memberikan ketenangan terhadap rakyatnya di bawah kepemimpinannya. 23M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut`ah sampai Nikah Sunnah dari Bisa Lama Sampai Bisa Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), p. 333. 24al-Raghib al-Isfahani, Mu`jam …, p. 431. 25Ibid. 22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1133
untuk perempuan dalam maknanya yang luas, seperti memberinya nafkah, menjaganya, melindunginya dan hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan wanita. Kendatipun al-Isfahani memakai pengertian al-ikhtiyar untuk surah al-Nisa’ ayat 34, namun menurut penulis, pengertian kedua yang bermakna al-hifz dan al-mura`ah lebih tepat dan banyak dipakai oleh mufasir. Surat al-Nisa’/4: 34 4 öΝÎγÏ9≡uθøΒr& ôÏΒ (#θà)x'Ρr& !$yϑÎ/uρ <Ù÷èt/ 4’n?tã óΟßγŸÒ÷èt/ ª!$# Ÿ≅āÒsù $yϑÎ/ Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’n?tã šχθãΒ≡§θs% ãΑ%y`Ìh9$# ∅èδθÝàÏèsù ∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ÉL≈©9$#uρ 4 ª!$# xáÏ'ym $yϑÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M≈sàÏ'≈ym ìM≈tGÏΖ≈s% àM≈ysÎ=≈¢Á9$$sù $wŠÎ=tã šχ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 ¸ξ‹Î6y™ £Íκön=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& ÷βÎ*sù ( £èδθç/ÎôÑ$#uρ ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ ∩⊂⊆∪ #ZÎ6Ÿ2
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Paling tidak ada tiga hal yang membuat ayat ini menarik diperbincangkan dan kerap disalahpahami. Pertama, ayat ini adalah ayat yang menyangkut bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan itu dibangun. Kedua, ayat ini dijadikan sebagai dalil atas superioritas laki-laki atas perempuan. Ketiga, ayat ini juga dipakaikan sebagai dalil untuk menolak kepemimpinan wanita. Biasanya, untuk mendampingi ayat ini dikemukakan juga hadis Abi Bakrah yang berbunyi, lan yanfala qaumum…26 26
Diskursus kepemimpinan wanita di Indonesia pernah menjadi masalah yang controversial, tepatnya menjelang pemilu 2004 lalu ketika Megawati dicalonkan kembali menjadi Presiden RI. Jauh sebelumnya, isu ini juga pernah muncul ketika Megawati untuk yang pertama kalinya terpilih menjadi Presiden RI menggantikan Abdurrahman Wahid. Menarik untuk dianalisis, penolakan terhadap Megawati didasarkan pada argumentargument keagamaan baik yang bersumber dari al-Qur'an ataupun Hadis. Tidak kalah menariknya adalah mencermati wacana di kalangan ulama pada saat kongres umat Islam SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1134
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
D. Al-Qur'an dan Kepemimpinan: Sebuah Analisis Kesan yang dapat penulis tangkap setelah melakukan kajian sederhana terhadap ayat-ayat kepemimpinan, adalah ternyata penjelasan Alquran tentang tema ini tidak tunggal dan seragam. Masing-masing simpul memiliki wawasan tersendiri yang berbeda namun mengacu pada hakikat yang sama. Ketika menelaah simpul imam, tampak bahwa kata-kata imam dan a’immah cenderung dipahami dengan kepemimpinan yang diperaktikkan para nabi-nabi dan disamping itu bermakna al-qudwah. Kenabian, kepemimpinan dan keteladanan adalah makna yang tercakup di dalam lafaz imam (a’immah). Walaupun ayat-ayat tersebut, sebagian besar menunjuk nama-nama tertentu, namun tidaklah dimaksudkan hanya untuk nama-nama itu saja. Penyebutan nama-nama nabi seperti Ibrahim, Ishaq, Ya`kub dan Musa, misalnya adalah sebagai contoh karena kepemimpinan erat kaitannya dengan al-qudwah. Sulit membayangkan kepemimpinan tanpa ada keteladanan. Dari Nabi Ibrahim, setiap pemimpin harus meneladani ketulusan dan ketabahannya dalam menjalankan perintah dan berbagai ujian dari Allah. Dari nabi Ishaq dan Ya`kub, pesannya adalah setiap pemimpin harus belajar untuk memulai dari diri sendiri untuk menunjukkan keteladanan itu sendiri. Hanya dengan cara itulah, orang lain akan mengikuti pemimpin tersebut. Dari kepemimpinan Nabi Musa, siapa saja yang akan menjadi pemimpin harus memiliki kesabaran, kekuatan dan keyakinan akan ayat-ayat Allah. Dengan demikian, ayat-ayat kepemimpinan yang terungkap lewat kata kunci imam (a’immah), paling tidak ada dua pesan yang dapat ditangkap. Pertama, kepemimpinan itu membutuhkan keteladanan, tidak saja dalam makna setiap pemimpin harus menjadi teladan bagi orang lain, tetapi ia juga harus memiliki contoh seperti menjadikan nabi-nabi sebagai teladan kepemimpinannya. Kedua, setiap pemimpin harus meyakini bahwa pada hakikatnya kepemimpinan itu sendiri adalah “pemberian dari Allah” dalam rangka mengajak manusia sesuai dengan ajaran-ajarannya. Untuk melakukan itu semua, setiap pemimpin harus memiliki sifat-sifat tertentu seperti, keta`atan, ketulusan, kesabaran, dan keyakinan dalam menjalankannya. Dari simpul khalifah, kesan yang ditangkap adalah kaitan kepemimpinan dengan dunia di luar dirinya, khususnya yang berkenaan dengan pengelolaan dunia ini. Penggunaan kata khalifah berkenaan dalam melahirkan fatwa kepemimpinan wanita. Lihat Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan, 2005), pp. 291-313. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1135
dengan pengelolaan wilayah dan juga menyangkut bagaimana mejalankan kekuasaan itu sendiri. Seorang khalifah dengan menggerakkan seluruh potensi yang dimilikinya dan dimiliki rakyatnya, harus mampu mengelola alam demi kemakmuran mereka bersama. Tegaslah bahwa tugas khalifah untuk memakmurkan bumi. Pada saat yang sama, dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang khalifah harus tetap bersikap lurus, menegakkan keadilan. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat subjektif (al-hawa al-nafs), keluarga dan orang-orang terdekatnya dalam memberikan keputusan. Keadilan merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Melalui simpul ulul amri, kesan yang dapat ditangkap bahwa kepemimpinan itu hanyalah melanjutkan tugas-tugas Allah dan Rasul untuk menciptakan dunia ini sesuai dengan pola yang dikehendaki oleh Allah s.w.t. Oleh sebab itu, ada garis kontinuitas antara kepemimpinan Rasul dengan kepemimpinan yang dijalankan oleh manusia. Penyimpangan terhadap garis itu, membuat sang pemimpin kehilangan faktor yang membuatnya harus ditaati. Tidak kalah menariknya, untuk menciptakan dunia ini sesuai dengan pola yang telah ditetapkan Allah, maka kepemimpinan yang bersifat individual dipandnag tidak relevan lagi. Yang paling tepat adalah kepemimpinan yang bersifat kolektif, memberi kesempatan setiap orang untuk mengembangkan kepemimpinannya sesuai dengan keahliannya masing-masing. Melalui simpul qawwam, kesan yang ditangkap adalah kesetaraan menyangkut relasi laki-laki dan perempuan dalam ikatan rumah tangga. Kesetaraan itu adalah pemberian Allah yang asli kepada laki-laki dan perempuan. Kesetaraan itu tidak menjadikan posisi seseorang lebih tinggi dari yang lain. Hanya saja kesetaraan meniscayakan adanya pembidangan fungsi. Justru ketika fungsi-fungsi ini dijalankan dengan baik, maka kesetaraan tersebut akan melahirkan keseimbangan dalam kehidupan keluarga. Keseimbangan itu sendiri merupakan bagian dari fitrah manusia. Sebaliknya, hidup yang tidak seimbang adalah kehidupan yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan kita sendiri. Di atas segala-segalanya, kepemimpinan itu adalah anugerah dari Allah s.w.t. kepada manusia. Kepemimpinan adalah contoh yang paling nyata di mana Allah memberikan sebagian apa yang dimilikinya kepada hamba-hambanya yang dikehendaki. Jika demikian, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang diperebutkan, karena walaupun ia berhasil mendapatkannya, jika kepemimpinan itu tidak dikehendaki oleh Allah, tidak ada susahnya bagi Allah untuk mengambilnya kembali.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
1136
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
E. Penutup Kajian terhadap ayat-ayat kepemimpinan, membawa kepada kesimpulan bahwa kepemimpian di dalam al-Qur'an memiliki spektrum yang sangat luas. Nilai-nilai yang dikembangkannya adalah nilai-nilai yang bersifat universal dan selaras dengan fitrah kemanusiaan. Oleh sebab itu, menjadi tugas pemikir Islam untuk menterjemahkan nilai-nilai kepemimpinan tersebut ke dalam bentuknya yang paling kongkrit, agar memiliki nilai praktis dan selanjutnya dapat diterapkan di masyarakat.
Daftar Pustaka Abdul Baqi, Muhammad Fu`ad, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfaqz al-Qur'an, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t. Akhmad, Wardini, “Teori politik al-Mawardi”, Makalah Seminar Sehari ke IX Dirasatul Ulya, Medan, 1992. al-Damaghani, al-Husein Ibn Muhammad, Qamus al-Qur'an, Beirut: Dar al`Alam li al-Malayin, 1983. al-Husein Ibn Muhammad al-Damaghani, Qamus al-Qur'an, Beirut: Dar al`Alam li al-Malayin, 1983. al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Vol. 1, Beirut: Dar al-Fikr, 2001. al-Maududi, Abu A`la, Khilafah dan Kerajaan, cet VI, Bandung: Mizan, 1996. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t. al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Ansari, al-Jami` li Ahkam al-Qur'an, Vol I Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t. al-Raghib al-Isfahani, Mu`jam Mufradat al-Faz al-Qur'an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawa`i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min alQur’an, Juz I, Beirut: Muassasah Manahil al-`Irfan, t.t. al-Tabari, Ibn Jarir, Jami` al-Bayan `an Ta’wil ayat al-Qur’an, Juz IVX, Beirut: Dar al-Fikr, 1988. al-Tabataba’i, Sayyid Husein Muhammad, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Vol I, Beirut: Muassasah al-A`lami, 1991. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Azhari Akmal Tarigan: Wawasan Al-Qur'an tentang Kepemimpinan…
1137
Ibn Manzur, Lisanul Arab, Juz XIV, Mesir: al-Matba`ah al-Amiriya, 1302 H. Jamil, Fathurrahman, “Al-Mawardi: Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara”, dalam, Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Yogyakarta: LPMI, 1995. Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005. Ra’is, Dhiauddin, Teori Politik Islam, terj. Abdul Hayyi al-Kattani (alNazhriyah al-Siyasah al-Islamiyyah), Jakarta: GIP, 2001. Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Quran al-Hakim al-Masyhur bi Tafsir alManar, Juz V, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999. Shihab, M. Quraish, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut`ah sampai Nikah Sunnah Dari Bisa Lama Sampai Bisa Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2005. _______, Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, II, III, IV, Jakarta: Lentera Hati, 2004. Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1977. _______, Tafsir al-Kasysyaf, Vol. III, Beirut: Dar al-Kutub al-`ilmiyyah, 1995.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010