IDENTITAS •
Nama Pasien
: Tn. A
•
Pekerjaan
: Petugas Parkir
•
Usia
: 61 tahun
•
Jenis Kelamin
: Laki-laki
•
Status
: menikah
•
Alamat
: Sawah Gede Joglo, cianjur
•
Tanggal Masuk RS
: 7 Agustus 2012
•
Dirawat diruang
: Samolo 2
AUTO ANAMNESIS Keluhan Utama
: Kuning Pada Mata, badan sejak 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan
: Sesak Nafas, Batuk Berdahak, Keringat Malam, BB menurun
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG •
Os datang ke RS dengan keluhan kuning pada mata, badan sejak 2 hari SMRS. Os diketahui dalam kontak pengobatan TB Paru selama kurang lebih 1 bulan. Os merasa sesak nafas sesak nafas dirasakan terkadang saat pagi, siang, malam hari. Os juga mengeluh batuk berdahak, kadang-kadang demam, dan berkeringat dimalam hari. Os juga merasa akhir-akhir ini BB Os menurun. Sebelumnya Os sudah berobat ke Mantri dan diberi obat suntik(Os tidak tahu) Os merasa ada perbaikan, namun gejala diatas muncul lagi. Os sudah berobat ke dokter , dan diberikan OAT selama 1 bulan, Os merasa badan dan matanya menjadi kuning dan lemas, lesu.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, riwayat penyakit jantung disangkal, Hipertensi disangkal, Diabetes melitus disangkal, Asma disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat penyakit seperti ini pada keluarga disangkal, Hipertensi pada keluarga disangkal, Diabetes melitus disangkal, Asma disangkal 1
RIWAYAT PSIKOSOSIAL •
Pola makan tidak teratur, sering makan terlambat dan sering makan 2x sehari atau 1x sehari. istirahat dirasa pasien kurang, pasien merokok sejak dulu, merokok ±5 batang rokok sehari
RIWAYAT ALERGI
Riwayat alergi obat disangkal.
Riwayat alergi makanan disangkal.
RIWAYAT PENGOBATAN
Belum pernah berobat sebelumnya
PEMERIKSAAN FISIK •
Keadaan Umum
: tampak sakit sedang
•
Kesadaran
: compos mentis
•
Tanda Vital •
Suhu
: 35,8° C
•
Nadi
: 88x/menit regular
•
Pernapasan
: 22x/menit
•
Tekanan darah :90/80mmHg
STATUS GENERALIS •
Kepala
: Rambut hitam, distribusi merata
•
Wajah
: pucat (+)
•
Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)
•
Hidung
: sekret (-/-) septum deviasi (-)
•
Mulut
: bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor(-) gusi berdarah (-)
•
Telinga
: normotia, serumen (-/-)
•
Leher
:Tidak teraba pembesaran KGB, JVP normal
Thorax
Pulmo I:Gerakan dinding dada simetris ,Retraksi sela iga (-) P:Vokal fremitus normal,Nyeri tekan kosta (-/-) 2
P:Bunyi paru : sonor / sonor,Batas paru-hepar: linea midclavikula sinistra ICS 6 A:Vesikuler (+/+) wheezing (-/-), ronki (+/+) •
Cor I: Ictus cordis tidak terlihat P: Ictus cordis teraba di ICS 5 P: Batas kanan jantung à parasternal dextra ICS 4 batas kiri jantung à linea midclavikula sinistra ICS 5 A: Bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, reguler ,Murmur (-), gallop (-)
•
Abdomen I : distensi abdomen (-) A: bising usus (+) normal P:NTE (+) Hepar tidak teraba membesar Lien tidak teraba membesar P: timpani (+) keempat kuadran abdomen
•
Extremitas : akral hangat (+), RCT<2 detik.
Pemeriksaan Penunjang Hematologi (tgl 7-08-12) •
Leukosit
: 10.800 µ/L
•
Hemoglobin
: 12,8 gr/dl
•
Hematokrit
: 38,6 gr%
•
Trombosit
: 221 ribu
Pemeriksaan kimia darah (tgl 8-08-12) •
GDP
: 112
•
Ureum
: 50,0
•
Kreatinin
: 0,8 3
•
SGPT
: 117
Pemeriksaan Penunjang Lab Kimia (tgl 11-08-12) •
SGPT
: 126
Hasil pemeriksaan Sputum BTA: Negatif Hasil Foto Rontgen Thoraks : TB paru aktif
DAFTAR MASALAH -
Hepatitis Drug Induced OAT
-
TB Paru
Assesment Hepatitis Drug Induced OAT: -
S: pasien datang dengan keluhan mata dan kulit berwarna kekuningan sejak menggunakan obat OAT selama 1 bulan.
-
O: Tek. Darah pasien 90/80 mmHg, Pulse 88 kali/mnt, RR 22 kali/mnt, Suhu 35,80 C. skelra ikterik (+), kedua tangan tampak kekuningan,malaise, nyeri epigastrium. Pemeriksaan hasil lab SGPT dan SGOT meningkat, HbsAg negatif.
-
A: mata dan kulit ikterik (+),, lemas (+), anoreksia (+), mual (+) tapi tidak disertai muntah, sedang mengkonsumsi OAT.
-
P : cek ulang SGPT SGOT, hentikan sementara pemberian RHZ atau gantikan dengan streptomycin dan etambutol, hp balance, curcuma.
Assesment TB Paru -
Berdasarkan anamnesa, pasien menggunakan OAT selama kurang lebih 1 bulan. Pasien mengeluhkan batuk berdahak, juga mengeluhkan keringat yang banyak pada malam hari tanpa aktivitas, dan nafsu makan menurun. Pada Auskultasi paru didapatkan Rh +/+
-
DD: Bronchitis PPOK Pemeriksaan penunjang: 4
-
Pemeriksaan Sputum BTA à 3 kali negatif : BTA -
-
Pemeriksaan Rontgent Thorax à kesan TB paru aktif.
-
R.Th : BTA ulang, terapi OAT dilanjutkan setelah SGPT sudah normal
-
R.Dx : Spirometri, Uji provokasi bronkus, Analisis gas darah
Hepatotoksisitas Imbas Obat
5
Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Mekanisme Hepatotoksisitas Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen). Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). Implikasi Klinis Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya.
6
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Pada kerusakan hepatosit, ditunjukkan adanya peningkatan aminotransferase dapat meningkat lima kali normal. Sedangkan pada kolestasis, alkali fosfatase dan bilirubin lebih menonjol Diagnosis Dapat ditegakkan berdasarkan keterkaitan kerusakan hati dan pemberian obat serta, diharapkan, pemulihan setelah obat dihentikan, dikombinasi dengan penyingkiran penyebab lain yang mungkin. Pajanan ke suatu toksin atau obat harus selalu dimasukkan dalam diagnosis banding setiap bentuk penyakit hati. Diagnosis berdasarkan International Consensus Criteria,yaitu: 1. Waktu mulai dari minum dan berhentinya minum obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel ( <5 hari atau >90 hari sejak mulai minum obat dan <15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan <30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestasis) dengan hepatotoksisitas obat. 2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (enzim hati turun 50% dari konsentrasi diatas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (enzim hati turun 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat 3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biosi hati 4. Adanya respon positif pada paparan ulang obat yang sama paling tidak kenaikan 2 x lipat enzim hati. Diagnosis Drug Related jika 3 kriteria pertama atau 2 dari 3 kriteria pertama dengan paparan ulang obat positif Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 7
1. Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik) 2. Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik 3. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 45 x lipat. 4. Pada pasien TBC dengan karier HBsAg (+) dan HBeAg (-) yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek (R, H, E dan/atau Z) dengan syarat pengawasan tes fungsi hati dilakukan tiap bulan 5. Sekitar 10% pasien TBC yang mendapat (H) mengalami kenaikan aminotransferase dalam minggu pertama terapi menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat.
(H)
dilanjutkan
atau
tidak
tetap
akan
terjadi
penurunan
konsentrasi
aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya ± 1% berkembang menjadi hepatitis virus; 50% kasus terjadi pada bulan pertama dan sisanya muncul dalam beberapa bulan kemudian. KOMPLIKASI 1.Peningkatan tekanan di vena porta Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta. 2.Pelebaran vena Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah. 3.Jaundice Terjadi jika ada peningkatan bilirubin. 8
4.Cirrhosis Adalah kondisi hati yan serius dan irreversible.
PENATALAKSANAAN Tidak ada pengobatan spesifik pada hepatitis akibat obat. Pengobatan dapat bersifat simtomatis. Pada kebanyakan kasus drug induced hepatitis adalah dengan menghentikan penggunaan obat. Beberapa orang memberi respon yang baik jika telah dihentikan pemakaian obat. Untuk yang lainya kadang-kadang membutuhkan beberapa bulan untuk kembali normal.
TB PARU Pendahuluan 9
Tuberkulosis paru merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya di dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding pyramid di Mesir kuni pada tahun 2000-4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminology phthisis yang diangkat dari bahasa yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini. Bukti lain dari Mesir pada mummi-mummi yang berasal dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200 SM), Nesperehan (1000 SM), Peru (700), United Kingdom (200300 SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia yang melukiskan adanya Pott’s Disease atau abses paru yang berasal dari tuberculosis, atau terdapatnya lukisan orang-orang dengan bongkok tulang karena sakit spondilitis TB. Baru pada tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman penyebabnya semacam bakteri berbentuk
batang
dan
dari
sinilah
diagnosis
secara
mikrobiologis
dimulai
dan
penatalaksanaannya lebih terarah Apalagi tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat. Sejak abad 19, angka kematian dan kesakitan pertahun dapat diturunkan karena program perbaikan gizi dan kesehatan lingkungan yang baik serta adanya pengobatan lain/tindakan bedah seperti collapse therapy. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan umur 21 tahun dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi oleh Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salisilik (PAS). Kemudian dilanjutkan dengan penemuan ISoniazid yang signifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid tahun 1954 dan Etambutol 1952, Rifampicin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer Etiologi
10
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis,sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberkulosis menjadi aktif kembali. Di dalam jaringan, kuman hidupsebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma magrofag. Magrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. Masa inkubasi kuman adalah 3-6 minggu. Epidemiologi Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada 11
kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas.
Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien tb baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (1550 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:
Diagnosis tidak tepat Pengobatan tidak adekuat Program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, Infeksi endemic HIV Migrasi penduduk Mengobati sendiri (self treatment) Meningkatnya kemiskinan, dan Pelayanan kesehatan yang kurang memadai
Cara Penularan 12
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam percik renik ( droplet nuclei) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon.1 Dari foKus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang kan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
13
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, pada saat system imun selular berkembang, proliferasi kuman terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI). Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijauan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahu-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limfa, dan kelenjar limfe superficial. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetap tidak aktif (tenang/dorman), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut 14
dengan focus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut dengan TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bln setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya oada anak di bawah 5 tahun (balita) terutama di bawah 2 tahun. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologik anatomic, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijauan di dinding vascular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran penyakit tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. TB paru kronik adalah TB pascaprimer (postprimary TB) sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam focus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Perjalanan Alamiah Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,sehingga timbul dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ. 15
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberculin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kontak TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini. 1. Gejala-Gejala Klinis Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah : a. Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. b. Batuk/batuk darah Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakkan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. c. Sesak napas Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. d. Nyeri dada
16
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis . terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. e. Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Tempat kelainan lesi pada TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan di dapatkan juga suara napas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. Pada tuberkulosis yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat lebih menjadi hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik menjadi sangat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan di dapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right arterial gallop, murmur Graham-steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.
17
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatnya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberculin yang positif. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemerikasaan Radiologis Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endotrakial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus atau satu bagian paru. Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), masa cairan dibagian bawah paru (efusi plura/empiema), bayangan hitam radio-lusen dipinggir paru/pleura (pneumotoraks). 2. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru di mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah 18
limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan : 1). Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer ; 2). Gama globulin meningkat ; 3). Kadar natrium darah menurun. Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik. 3. Pemeriksaan Sputum Pemerisaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tetapi kadang tidak mudah untuk mendapatkan sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk ataupun pasien yang batuk nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan untuk meminum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan untuk melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obatan mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi di ambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (bronco alveolar lavage). BTA dari sputum dapat juga diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum. Pemeriksaan sputum untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen sputum yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SewaktuPagi-Sewaktu (SPS), S (sewaktu): sputum dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot sputum untuk mengumpulkansputum pagi pada hari kedua.
19
P (Pagi): sputum dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu): sputum dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan sputum pagi. 4. Tes Tuberkulin Tuberculin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenic yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Ini terjadi karena vasodilatasi local, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberculin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit. Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate strength). Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan berdasarkan indurasi yang timbul, bukan hipermi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam millimeter (mm). Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. Apabila diameter indurasi 10-15mm à uji tuberculin positif kuat Apabila diameter indurasi 5-9 mm à uji tuberculin positif meragukan Apabila diameter indurasi 0-4mm à uji tuberculin negative Uji Tuberculin Positif (+) 1. Infeksi TB alamiah Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten) Infeksi TB dan sakit TB TB yang telah sembuh 2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan) 3. Infeksi mikobakterium atipik Penegakkan Diagnosis
Uji Tuberculin Negarif (-) 1. Tidak ada infeksi TB 2. Dalam masa inkubasi infeksi TB 3. Anergi
20
Diagnosis kerja TB dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, ui tuberculin, dan gambaran sugestif pada foto toraks. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemriksaan apusan langsung (direct smear), dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standart), atau gambaran PA TB. Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (pausibacillary), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobilogiknya positif/ditemukannya kuman TB. Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada menyebabkan banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan system scoring dan alur diagnostic, misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO, Stegen dan Jones, dan UKK Respiratologi PP IDAI Suspek TB Paru Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)
Hasil BTA +++
Hasil BTA
++ -
+ - -
Hasil BTA - - -
Antibiotik Non-OAT
Tidak ada perbaikan perbaikan pemeriksaan dahak mikroskopis
Foto toraks dan pertimbangan dokter Hasil BTA +++
TB
Ada perbaikan perbaikan
Hasil BTA - - -
++ -
Foto toraks dan
+ - -
pertimbangan dokter
BUKAN TB 21
Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat dan dosis OAT Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT Jenis OAT Isoniazid (H) Rifampicin (R) Pyrazinamide (Z) Streptomycin (S) Ethambutol (E)
Sifat
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Bakterisid
Harian 5
3x seminggu 10
Bakterisid
(4-6) 10
(8-12) 10
Bakterisid
(8-12) 25
(8-12) 35 (30-40)
Bakterisid
(20-30) 15
Bakteriostatik
(12-18) 15
30
(15-20)
(20-35)
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
Tahap awal (intensif) o
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. 22
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama o
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu : Kategori 1 : o 2HRZE/4H3R3 o 2HRZE/4HR o 2HRZE/6HE Kategori 2 : o 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 o 2HRZES/HRZE/5HRE
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: o Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3 o Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan : HRZE dan OAT Anak : 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
23
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien Paduan OAT a. Kategori-1 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
Berat Badan
tiap hari selama 56 hari
3 kali seminggu selama 16 minggu
30 – 37 kg 38 – 54 kg 55 – 70 kg ≥ 71 kg
RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
RH (150/150) 2 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT
b. Kategori -2 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel 3. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3 24
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan
Selama 28
Selama 56 hari
RH (150/150) + E(400) selama 20 minggu
30-37 kg
2 tab 4KDT
hari 2 tab
38-54 kg
+ 500 mg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT
4KDT 3 tab
+ 2 tab Etambutol 3 tab 2KDT
55-70 kg
+ 750 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT
4KDT 4 tab
+ 3 tab Etambutol 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin
4KDT
+ 4 tab Etambutol
inj. 5 tab 4KDT
5 tab
5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj.
4KDT
+ 5 tab Etambutol
≥71 kg
2 tab 2KDT
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c. OAT Sisipan (HRZE) Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 4. Dosis KDT Sisipan : (HRZE) Berat Badan 30 – 37 kg 38 – 54 kg 55 – 70 kg ≥ 71 kg
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas 25
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 5. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak Tipe Pasien TB Pasien baru
Uraian
Hasil BTA Negatif
BTA positif dengan pengobatan
Tahap lanjutan dimulai. Dilanjutkan dengan OAT
Akhir tahap
sisipan selama 1 bulan. Jika
Intensif Positif
kategori 1
Tindak Lanjut
setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan.
Sebulan sebelum Akhir
Negatif Positif
OAT dilanjutkan. Gagal, ganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal.
Pengobatan
26
Negatif dan Akhir Pengobatan (AP)
minimal satu pemeriksaan
Sembuh.
sebelumnya negative Positif
Pasien baru
Negatif
BTA neg & foto toraks mendukung
Positif
pengobatan
Kategori 2 mulai dari awal. Berikan pengobatan tahap lanjutan sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap.
Akhir intensif
TB dengan
Gagal, ganti dengan OAT
Ganti dengan Kategori 2 mulai dari awal.
kategori 1
Teruskan pengobatan dengan Negatif
tahap lanjutan.
Akhir Intensif Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif,
Pasien BTA Positif
positif
teruskan pengobatan tahap
dengan
lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk
pengobatan
untuk uji kepekaan obat. Lanjutkan pengobatan hingga
kategori 2
Negatif Sebulan sebelum Akhir Pengobatan
Positif
Negatif
selesai. Pengobatan gagal, disebut kasus kronik, bila mungkin lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik. Sembuh.
27
Pengobatan gagal, disebut kasus
Akhir Pengobatan
Positif
(AP)
kronik, jika mungkin, lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik.
Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:
Lacak pasien
Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Tindakan-1 Tindakan-2 Lacak pasien Bila hasil BTA Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis
Diskusikan dan negatif atau Tb extra selesai paru : Bila satu atau lebih Lama pengobatan
Lanjutkan
hasil BTA positif
sebelumnya kurang
pengobatan sampai
lanjutkan
dari 5 bulan *) Lama pengobatan
seluruh dosis selesai Kategori-1:
pengobatan
sebelumnya lebih
mulai kategori-2
sementara
dari 5 bulan
cari masalah
Periksa 3 kali dahak (SPS) dan
menunggu
Kategori-2: rujuk, mungkin
hasilnya
kasus kronik.
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)
Periksa 3 kali
Bila hasil BTA
dahak SPS
negatif atau Tb extra bila gejalanya semakin parah perlu
Diskusikan dan paru: cari masalah
Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan
atau biakan) Bila satu atau lebih Kategori-1
Mulai kategori-2
hasil BTA positif
28
Kategori-2
Rujuk, mungkin kasus kronik.
Hentikan pengobatan sambil menunggu hasil Keterangan : *) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.
EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA Tabel 6. Efek samping ringan OAT Efek Samping Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri Sendi
Penyebab Rifampisin Pirasinamid
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni (urine)
INH Rifampisin
Penatalaksanaan Semua OAT diminum malam sebelum tidur Beri Aspirin Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien.
Tabel 7. Efek samping berat OAT Efek Samping
Penyebab
Gatal dan kemerahan kulit
Semua jenis OAT
Tuli
Streptomisin
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Ikterus tanpa penyebab lain Bingung dan muntah-muntah
Penatalaksanaan Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *). Streptomisin dihentikan. Streptomisin dihentikan, ganti
Hampir semua
Etambutol. Hentikan semua OAT sampai
OAT Hampir semua
ikterus menghilang. Hentikan semua OAT, segera
(permulaan ikterus karena obat) OAT lakukan tes fungsi hati. Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol. Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin. Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: 29
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.
Pengobatan TB pada keadaan khusus a)
Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB
pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya 30
proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. b) Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c)
Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). d) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal
Precaution
(Kewaspadaan
Keamanan
Universal)
Pengobatan
pasien
TB-
HIVsebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV). e) Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. f)
Pasien TB dengan kelainan hati kronik 31
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. g)
Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. h) Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. i)
Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti: • Meningitis TB • TB milier dengan atau tanpa meningitis • TB dengan Pleuritis eksudativa • TB dengan Perikarditis konstriktiva
32