Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan
Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik
Andri Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Abstrak: Konsep biopsikososial merupakan konsep yang diperkenalkan oleh George Engel untuk menggantikan konsep biomedik. Konsep biomedik adalah konsep yang memandang kondisi kesehatan hanya dari sisi biologik dan medik saja. Pendekatan biologik, psikologik, dan sosial adalah pendekatan yang paling cocok untuk keluhan psikosomatik. Keluhan psikosomatik adalah keluhan fisik yang didasari oleh kondisi psikis. Keluhan psikosomatik paling banyak dialami oleh pasien yang menderita gangguan somatisasi, hipokondrik, cemas, dan depresi. Tata laksana untuk pasien dengan keluhan psikosomatik adalah psikofarmaka dan psikoterapi. Hubungan dokter pasien yang baik harus selalu menjadi landasan utama bagi tata laksana keluhan psikosomatik. J Indon Med Assoc. 2011;61:375-9. Kata kunci: psikosomatik, biopsikososial, psikiatri, somatoform
The Biopsychosocial Concept in Psychosomatic Complaints Andri Faculty of Medicine Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Abstract: Biopsychosocial concept introduced by George Engel to replace biomedic concept, which only see medical condition in terms of biological and medical aspects. Biologic, psychologic, and social appproach is a suitable approach for psychosomatic symptoms. Psychosomatic complaints are physical complaints that are based on psychological conditions. Psychosomatic complaints are usually experienced by patients who suffer from somatization disorder, hypochondriasis, anxiety disorders, and depressive disorders. Treatment in patients with psychosomatic complaints consist of combination between psychotherapy and psychopharmatherapy. Good patient-doctor relationship is always the main basis of therapy for psychosomatic complaints. J Indon Med Assoc. 2011;61:375-9.. Keywords: psychosomatic, biopsychosocial, psychiatry, somatoform
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011
375
Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik Pendahuluan Pada tahun 1977 George Engel memperkenalkan suatu konsep baru dalam penanganan gangguan medis yaitu konsep biopsikososial. Konsep biopsikososial adalah suatu konsep yang melibatkan interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial dalam upaya memahami proses penyakit dan sakitnya seseorang yang memandang pikiran dan tubuh sebagai satu kesatuan.1 Pendekatan tersebut membawa pengertian bahwa kondisi sakit bukan saja dari segi medis fisik tetapi juga dari kondisi psikologis yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.1,2 Walaupun sudah sejak 1977 diperkenalkan di Amerika Serikat, konsep biopsikososial masih belum mendapatkan perhatian yang besar dalam pendidikan dokter, terutama di Indonesia. Masih banyak dokter yang lebih terfokus pada faktor fisik. Hal tersebut membuat penanganan pasien terkadang tidak menyentuh sisi kejiwaannya. Sisi kejiwaan dianggap sebagai bagian yang tidak ada hubungannya dalam proses terapi pasien dengan gangguan medis. Konsep Biopsikososial Konsep biopsikososial memberikan suatu gambaran yang menyeluruh tentang munculnya suatu kondisi sakit yang dihubungkan dengan faktor lingkungan dan stres yang terkait di dalamnya. Kondisi lingkungan, dalam hal ini dukungan sosial, dapat juga memberikan perbaikan kondisi. Salah satu contoh penerapan konsep tersebut adalah ilmu kedokteran jiwa.1,2 Kondisi kesehatan jiwa seseorang dapat dilihat sebagai suatu keadaan yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial orang tersebut. Secara biologis, gangguan pada kondisi kesehatan jiwa seseorang diakibatkan karena ketidakseimbangan sistem hormon dan neurotransmiter di otak. Secara psikologis, gangguan kondisi kesehatan jiwa disebabkan oleh mekanisme adaptasi psikis individu yang tidak bekerja dengan baik. Sementara, secara sosial, kondisi gangguan kesehatan jiwa dapat dipicu oleh lingkungan yang tidak nyaman, serta penuh dengan tekanan dan ketakutan.1,2 Ketiga faktor tersebut akan berkontribusi secara sinergis dalam terjadinya gangguan kesehatan jiwa seseorang. Dengan mengetahui kondisi tersebut maka penatalaksanaan gangguan kesehatan jiwa juga melibatkan ketiga faktor di atas. Biologis dengan menggunakan obat, psikologis dengan menggunakan psikoterapi, sosial dengan menggunakan dukungan dan modifikasi sosial.2 Keluhan Psikosomatik Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari. Dokter umum juga seringkali mendapati pasien dengan keluhan psikosomatik. Kepustakaan melaporkan lebih dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang tidak mempunyai penyebab objektif dari keluhannya itu. Keluhannya bisa dari kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri 376
punggung, napas pendek, hingga berbagai keluhan yang melibatkan organ tubuh.3-6 Keluhan psikosomatik sebaiknya dikaji dengan pendekatan biopsikososial. Dalam praktik sehari-hari, keluhan tersebut dapat diatasi dengan kemampuan komunikasi yang baik dari dokter yang merawat. Rasa tertarik dokter terhadap keluhan pasien, empati, dan apresiasi terhadap pasien, serta mem-berikan kepastian pengobatan sering membuat pasien dengan keluhan psikosomatik menjadi lebih baik. Sayangnya hal itu seringkali tidak dilakukan dengan baik dan menyebabkan pasien berpindah-pindah dokter untuk mencari jawaban akan keluhannya. Pasien seperti itu sering dikenal dengan sebutan “pasien sulit” yang sering menimbulkan rasa frustasi pada pasien dan juga dokter.4-6 Keluhan yang juga sering disebut Medically Unexplained Physical Symptoms (MUPS) sebenarnya merujuk pada suatu kondisi gangguan kejiwaan yang tergabung dalam golongan besar gangguan somatoform. Gangguan somatoform mempunyai beberapa sub-gangguan yaitu, gangguan somatisasi, gangguan hipokondriasis, gangguan nyeri, gangguan citra tubuh, dan gangguan konversi. Masingmasing mempunyai ciri khas tersendiri. Gangguan yang paling sering ditemui dalam praktik klinik adalah gangguan somatisasi dan hipokondriasis.5-7 Gangguan Somatisasi Gangguan somatisasi didiagnosis sesuai dengan pedoman Diagnostic Statistic Manual (DSM) IV-Text Revision (TR) dengan kriteria berikut: (1) riwayat keluhan fisik yang sering terjadi selama beberapa tahun yang dimulai sebelum usia 30 tahun dengan hendaya yang nyata walaupun pengobatan telah dilakukan, (2) dalam suatu masa sakit harus ada empat gejala/gangguan yang setidaknya di empat fungsi yang berbeda; setidaknya terdapat dua gejala sistem gastrointestinal, setidaknya satu keluhan seksual selain nyeri berhubungan badan misalnya disfungsi ereksi yang terjadi kadang-kadang, setidaknya satu gejala pseudoneurologi yang tidak terbatas pada nyeri misalnya kelemahan, kebutaan, kejang, dan amnesia. Untuk semua keluhan tersebut, pemeriksaan medis fisis secara objektif gagal untuk menemukan penyebab fisis keluhan yang dialami, ataupun jika memang terdapat kondisi penyakit, keluhan yang dilaporkan oleh pasien melebihi apa yang sebenarnya terjadi pada penyakit tersebut. Kondisi di atas perlu diingat bukanlah merupakan bagian dari sindrom Munchaunsen (factitious disorder) atau malingering.5-7 Menurut literatur dari negara-negara barat, gangguan somatisasi lebih banyak terjadi pada perempuan, namun pada praktiknya sering ditemukan sama banyak antara perempuan dan laki-laki. Kepribadian pasien yang biasanya erat kaitannya dengan gangguan somatisasi adalah kepribadian histrionik. Pasien dengan gangguan tersebut secara dramatis memperlihatkan kebutuhan yang berlebihan untuk mencari pertolongan, terkadang tanpa berpikir panjang menyetujui J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011
Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik semua pertolongan yang ditawarkan untuk mengatasi “penyakit”nya. Dalam wawancara yang menanyakan tentang lamanya keluhan pasien, biasanya mereka menjawab sepanjang hidupnya.5-8 Gangguan Hipokondriasis Gangguan hipokondriasis didiagnosis sesuai dengan pedoman diagnosis gangguan jiwa DSM IV-TR, dengan kriteria sebagai berikut: (1) adanya preokupasi atau pikiran yang terus menerus mengenai suatu kondisi penyakit yang serius berdasarkan kesalahan mengintepretasikan gejala, walaupun pada pemeriksaan klinis dan penunjang tidak ditemukan adanya dasar untuk keluhan tersebut, (2) keluhan tersebut bukanlah keluhan yang bersifat waham somatik atau sesuatu yang berhubungan dengan citra tubuh seperti pada kondisi gangguan citra tubuh, (3) preokupasi tersebut menyebabkan distres dan disfungsi pada pasien, (4) durasi keluhan minimal enam bulan, dan (5) preokupasi tersebut bukanlah keluhan tambahan dari kondisi gangguan cemas, gangguan depresi berat, atau sub gangguan somatoform yang lain.4,5 Berbeda dengan gangguan somatisasi, gangguan hipokondriasis hanya mengeluhkan satu ‘penyakit’ yang dirasakan berat. Keluhan itu terus dikeluhkan walaupun berbagai macam pemeriksaan telah membuktikan tidak adanya penyebab fisis yang mendasarinya.8-10 Penatalaksanaan Non-Farmakoterapi Etiologi fisik gangguan somatisasi dan hipokondrik tidak diketahui. Oleh karena itu, pendekatan untuk tata laksana pasien yang mengalami gangguan tersebut adalah dengan mencari dasar gangguan jiwa yang dialami pasien. Gangguan cemas dan depresi merupakan dua diagnosis yang biasanya mendasari gangguan somatisasi maupun hipokondrik pasien. Walaupun untuk keadaan saat ini keluhan depresi dan cemas sering ditemukan sudah tidak lagi memenuhi kriteria diagnosis, namun biasanya dari riwayat pasien ditemukan adanya suatu gangguan depresi dan cemas di masa lalu.11 Tata laksana pasien dengan kondisi somatisasi dan hipokondrik sebenarnya lebih bertumpu pada upaya psikoterapi dan psikoedukasi. Tiga pilar utama dalam penanganan kasus somatisasi dan hipokondrik adalah (a) hubungan dokter pasien yang kuat di antara keduanya, (b) edukasi pasien tentang sebab dan asal mula keluhan somatik, serta (c) dukungan dan bantuan yang menenangkan pasien.11 Hubungan dokter pasien yang kuat adalah pilar utama dan terpenting dalam penanganan pasien dengan keluhan somatisasi. Pasien yang datang ke psikiater biasanya sudah mengalami berbagai macam pengalaman yang kurang menyenangkan dengan dokter sebelumnya. Salah satu hal yang sering diungkapkan pasien adalah kekesalan mereka J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011
pada dokter-dokternya terdahulu yang mengatakan bahwa keluhan mereka itu tidak benar, dibuat-buat, atau “semua itu ada di kepala”.11 Fokus utama hubungan antara dokter dan pasien adalah bahwa dokter (psikiater) percaya bahwa gejala dan penderitaan yang dialami pasien adalah benar. Kepercayaan terhadap pasien akan memperlihatkan bahwa dokter mempunyai minat terhadap kondisi pasien dan niat yang tinggi untuk membantu masalahnya. Dokter harus mendapatkan riwayat medis dan latar belakang psikososial pasien secara lengkap. Penilaian pasien harus secara jelas dan luas mengenai riwayat kondisi fisik medis dan pemeriksaan apa saja yang telah dilakukan. Dengan melakukan hal tersebut, dokter dapat membina hubungan dokter-pasien yang baik, dan kemudian mengonfirmasi diagnosisnya, serta menegaskan hubungan sebab akibat yang mungkin terjadi antara gejala yang dialami dengan stres psikososial yang pernah atau masih dialami pasien. Ketika diagnosis ditegakkan dan hubungan dokterpasien terbina baik, dokter dapat mulai merencanakan terapi terbaik untuk pasiennya.11 Langkah kedua dalam penanganan adalah edukasi pasien. Pasien perlu dijelaskan secara detil mengenai apa yang membuatnya mengalami kondisi demikian. Keluhan somatik adalah keluhan yang dikenal di dalam dunia medis. Untuk itu dokter yang menangani pasien seperti ini perlu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang konsep biopsikososial, patofisiologi gangguan kejiwaan, neuropsikiatri, ilmu perilaku, dan psikoneuroimunologi sebagai salah satu cabang ilmu terbaru yang mendukung penjelasan tentang faktor stres psikososial dan hubungannya dengan terjadinya keluhan somatik pasien.11 Langkah ketiga adalah selalu memberikan kepastian kepada pasien. Pasien dengan gangguan somatisasi dan hipokondrik seringkali tetap selalu memperhatikan tentang keluhan somatiknya dari waktu ke waktu. Suatu waktu dalam masa kehidupannya, keluhan somatiknya akan berulang dan inilah saat dokter diuji dalam memberikan dukungan kepastian tentang keadaan yang sebenarnya. Hubungan yang kuat antara dokter dan pasien menjadi hal yang sangat penting untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pasien. Pasien harus diberikan pemahaman bahwa segala hal yang dianggap sebagai faktor penyebab kondisinya telah dinilai. Tujuan jangka panjangnya adalah mengubah diskusi pasien mengenai keluhannya menjadi diskusi tentang kehidupan pasien sehari-hari. 11 Farmakoterapi Walaupun keluhan somatik pasien dengan gangguan somatisasi dan hipokondrik paling baik diterapi dengan psikoterapi, pada praktiknya sering ditemukan dasar dari keluhan somatik tersebut adalah gangguan cemas dan depresi. Gangguan cemas yang paling sering dialami oleh pasien dengan keluhan somatik adalah gangguan panik dan 377
Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik gangguan cemas menyeluruh. Hampir semua gejala kecemasan melibatkan sistem saraf otonom sehingga menimbulkan gejala khas, seperti palpitasi, nafas pendek, mual atau perasaan tidak nyaman di perut, serta mulut kering. Hal tersebut yang membuat dokter langsung berpikir untuk memberikan obat anti cemas golongan benzodiazepin ketika menemukan kasus keluhan somatik di tempat praktiknya.11,12 Obat golongan benzodiazepin sangat efektif mengatasi cemas. Efeknya yang beragam tergantung jenis obat membuat obat tersebut paling sering diresepkan para dokter di Amerika Serikat untuk mengatasi keluhan kecemasan akut. Namun, penggunaan obat tersebut banyak menimbulkan penyalahgunaan, toleransi, dan ketergantungan. Hal itu disebabkan oleh penggunaan benzodiazepin dalam jangka waktu panjang, tanpa dosis yang tepat dan tanpa pengawasan dokter.11,12 Beberapa obat golongan benzodiazepin yang sering digunakan dalam pengobatan keluhan cemas adalah alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Alprazolam dan clonazepam telah lama dipakai sebagai obat untuk gangguan panik karena efektif dan cepat mengatasi gejala serangan panik. Dosis alprazolam yang digunakan untuk pengobatan gangguan cemas panik lebih besar daripada pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Rentang dosis yang biasa digunakan dalam praktik sehari-hari adalah 0,5 mg sampai 1,5 mg untuk kondisi gangguan panik dengan dosis terbagi. Walaupun demikian, obat tersebut harus digunakan dengan dosis efektif terendah agar tidak menimbulkan ketergantungan dan reaksi putus zat.11,12 Menurut pedoman pengobatan terkini American Psychiatric Association (APA) dan Food Drug Administration (FDA), gangguan panik yang sering menjadi dasar keluhan psikosomatik diobati dengan antidepresan golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) yaitu sertralin dan paroxetin. Walaupun demikian, terdapat juga obat golongan trisiklik yang efektif untuk mengobati gangguan cemas panik. Imipramin adalah salah satu obat dari golongan trisiklik yang merupakan pilihan utama. Namun, obat tersebut sulit ditemukan selain harganya yang agak tinggi11,12 Selain imipramin, terdapat beberapa obat golongan trisoklik lain yang dapat dipakai untuk kondisi gangguan panik, salah satunya adalah amitriptilin. Amitriptilin dapat digunakan dengan dosis antara 12,5-50 mg. Obat tersebut merupakan antidepresan trisiklik yang sangat murah dan banyak terdapat di pusat pelayanan primer di Indonesia. Penatalaksanaan di Pelayanan Primer Dokter di pelayanan primer harus dapat mengenali keluhan psikosomatik dan memahami gangguan jiwa yang terkait dengan keluhan psikosomatiknya. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al.13 melaporkan bahwa 28,5% pasien yang berkunjung ke puskesmas memenuhi kriteria diagnosis psikosomatik. Hal tersebut memperlihatkan bahwa keluhan psikosomatik merupakan kasus yang cukup banyak ditemukan di pelayanan primer. 13 378
Keterampilan untuk mendiagnosis keluhan psikosomatik sebagai dasar diagnosis gangguan kesehatan jiwa merupakan hal yang seharusnya tidak terlepas dari keterampilan dokter di pelayanan primer. Walaupun kompetensi dokter umum dalam ilmu psikiatri hanya mengobati kasuskasus insomnia, namun kemampuan mendiagnosis kondisi yang berhubungan dengan keluhan psikosomatik perlu ditingkatkan. Rujukan ke spesialis kedokteran jiwa memang terkadang perlu dilakukan. Namun jika di daerahnya tidak terdapat praktik psikiatri di rumah sakit umum atau institusi rumah sakit jiwa, maka dokter umum dapat mengobati sesuai dengan pedoman tata laksana terbaru. Ringkasan Dokter harus menggunakan pendekatan biopsikososial dalam tata laksana pasien walaupun bukan pasien dengan kondisi gangguan jiwa. Hal tersebut disebabkan bahwa keluhan fisik pasien sering mempunyai latar belakang kondisi kesehatan jiwa. Tata laksana pasien dengan gangguan somatisasi dan hipokondriasis maupun keluhan somatisasi dengan dasar gangguan kejiwaan seharusnya berlangsung secara menyeluruh baik dari segi farmakoterapi dan psikoterapi. Jika rujukan ke tingkat spesialis tidak dapat dilakukan, dokter umum di pelayanan primer dapat memberikan obat sesuai pedoman tata laksana terbaru. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Waldstein SR, Neumann SA, Drossman DA, Novack DH. Teaching psychosomatic (biopsychosocial) medicine in United States medical schools: Survey findings. Psychosomatic Medicine. 2001;63:335-43. Novack DH, Cameron O, Epel E, Ader R, Waldstein SR, Levenstein S, et al. Psychosomatic medicine: The scientific foundation of the biopsychosocial model. Academic Psychiatry. 2007;31:388401. Simon GE, Gureje O. Stability of somatization disorder and somatization symptoms among primary care patients. Arch Gen Psychiatry. 1999;56:90-5. Khan AA, Khan A, Harezlak J, Tu W, Kroenke K. Somatic symptoms in primary care: Etiology and outcome. Psychosomatics. 2003;44:471–8. Interian A, Allen LA, Gara MA, Escobar JI, Diaz-Martinez AL. Somatic complaints in primary care: Further examining the validity of the patient health questionnaire (PHQ-15). Psychosomatics. 2006;47:392-8. Bronheim HE, Fulop G, Kunkel EJ, Muskin PR, Schindler BA, Yates WR, et al. The academy of psychosomatic medicine practice guidelines for psychiatric consultation in the general medical setting. Psychosomatics. 1998;39:S8-30. Feder A, Olfson M, Gameroff M, Fuentes M, Shea S, Lantigua RA, et al. Medically unexplained symptoms in an urban general medicine practice. Psychosomatics. 2001;42:261-8. Hoehn-Saric R, McLeod DR, Funderburk F, Kowalski P. Somatic symptoms and physiologic responses in generalized anxiety disorder and panic disorder an ambulatory monitor study. Arch Gen Psychiatry. 2004;61:913-21. Henningsen P, Zimmermann T, Sattel H. Medically unexplained physical symptoms, anxiety, and depression: A meta-analytic
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011
Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik review. Psychosomatic Medicine. 2003;65:528-33. 10. Allen LA, Escobar JI, Lehrer PM, Gara MA, Woolfolk RL. Psychosocial treatments for multiple unexplained physical symptoms: A review of the literature. Psychosomatic Medicine. 2002;64:939-50. 11. Yutzy SH. Somatization. In: Blumenfield M, Strain JJ, penyunting. Psychosomatic Medicine. 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 538-43.
12. Schatzberg AF, Cole JO, DeBattista C, editors. Manual of Clinical Psychopharmacology. 7th ed. Virginia: American Psychiatric Publishing; 2010. 13. Hidayat D, Ingkiriwang I, Andri, Asnawi E, Widya RS, Susanto DH. Penggunaan metode dua menit (M2M) dalam menentukan prevalensi gangguan jiwa di pelayanan primer. Maj Kedokt Indon. 2010;60(10):448-54. ZD/FS/MS
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 9, September 2011
379