ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum, Ricky Rivalino Sitepu Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan Gangguan hati telah lama diketahui memiliki dampak signifikan terhadap aspek psikosomatik. Gejala klinis psikosomatis dari gangguan hati mulai mulai diteliti pada 1950-an menyusul munculnya hepatologi sebagai spesialisasi medis. Gejala-gejala ini pada dasarnya merupakan gangguan mental organik yang merupakan konsekuen dari gangguan metabolik yang berat disertai sirkulasi kolateral portal sistemik. Sebagian besar bentuk penyakit hati kronis mengarah ke sirosis yang dapat mengakibatkan terjadinya ensefalopati hepatik dan bermanifestasi dengan gejala psikosis seperti mania, depresi, apatis, atau kebingungan sebelum akhirnya menjadi delirium. Gangguan psikosomatik juga dapat terjadi akibat pemberian terapi jangka panjang dan pada pasien yang menjalani transplantasi hati. Pendekatan psiokosomatik pada pasien dengan penyakit hati kronis sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup dan juga memfasilitasi pengobatan terhadap gangguan hati. Tulisan ini membahasa hubungan antara aspek psikosomatik pada pasien dengan gangguan hati [1].
Definisi Gangguan Psikosomatik dan Gangguan Hati Gangguan psikosomatik merupakan salah satu gangguan jiwa yang biasa digunakan untuk penyakit fisik yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor kejiwaan atau psikologis. Di kalangan dokter dan masyarakat awam sekalipun, istilah gangguan psikosomatik digunakan ketika faktor kejiwaan menyebabkan gejala fisik, tetapi penyakit fisiknya sendiri tidak ada atau tidak dapat dijelaskan secara medis. Stres dan kecemasan merupakan contoh gangguan psikosomatis yang paling sering dijumpai dan dapat menyebabkan beberapa penyakit fisik seperti gangguan kulit, muscoskeletal (otot, sendi dan saraf), pernafasan, jantung, kemih, kelenjar, mata dan saraf [2]. 1 Universitas Sumatera Utara
Gangguan fungsi hati didefinisikan sebagai peningkatan dari enzim-enzim hati seperti serum glutamic pyruvic transferase (SGPT) dan serum glutamic ocsaloasetic transaminase (SGOT) sebanyak tiga kali lipat dari batas normal. Biasanya disertai dengan gejala-gejala penyakit hati seperti jaundice, urin yang coklat seperti teh, warna feces yang pucat, nyeri abdomen pada bagian kanan atas, dan sebagainya [3].
Prevalensi Gangguan Psikosomatis pada Gangguan Hati Gangguan depresi dan ansietas merupakan gangguan psikosomatis yang paling banyak terjadi di masyarakat. Bahkan di antara kita sesekali dalam perjalanan hidup menempuh spesialis penyakit dalam pernah mengalami depresi sekalipun dalam derajat yang ringan atau setidaknya depresi terselubung. Berdasarkan departemen sosial pada tahun 2011 ada sebanyak 11.6% atau sekitar 24.708.000 dari jumlah penduduk Indonesia yang mengalami depresi dan sebanyak 8.3% mengalami ansietas [4, 5]. Prevalensi gangguan hati di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh virus hepatitis B dan C yaitu sebesar 40-50% dan 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melaporkan prevalensi hepatitis di Indonesia sebesar 0.2%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2008, jumlah kasus baru hepatitis B di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.727 pasien sedangkan hepatitis C mencapai 7.234 pasien [6, 7]. Gangguan psikosomatik pada pasien yang mengalami gangguan hati masih belum diketahui jumlahnya di Indonesia. Meski demikian, penelitian di Eropa oleh Golden et al menyatakan bahwa terdapat sekitar 30% pasien hepatitis C yang mengalami depresi dan 25% diantaranya mengalami ansietas. Sebagian besar dari pasien yang mengalami gangguan psikosomatis tersebut belum terdiagnosis sebelumnya [8].
Gejala Psikosomatis Pada Gangguan Hati Gejala psikosomatis dari gangguan hati sangat dipengaruhi dari apakah gangguan hati tersebut bersifat akut atau kronis. Pada gagal hati akut seperti hepatitis fulminan, nekrosis akibat obat atau kerusakan akut pada penyakit hati kronis, gambaran klinis 2 Universitas Sumatera Utara
didominasi oleh tanda-tanda yang jelas dari disfungsi hati. Pasien biasanya mengalami kuning pada tubuh dengan sirkulasi hiperdinamik, demam, septisemia, dan mengalami gangguan perdarahan. Gangguan kesadaran pada pasien seperti delirium menunjukkan adanya ensefalopati hepatikum. Gejala psikologis utama pada penyakit hati kronis diantaranya adalah depresi, anxietas, insomnia, kelelahan dan gangguan kognitif yang progresif [9].
Patofisiologi Gangguan Psikosomatik pada Gagal hati Gangguan psikosomatis seperti depresi dan anxietas biasanya disebabkan perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf otonom vegetative, sistem endokrin dan sistem imun. Hipotesis yang paling banyak dikenal ialah adanya gangguan konduksi impuls melalui neurotransmitter. Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah diketahui berupa amin antara lain serotonin, noradrenalin, dan dopamine [10]. Psikopatologi depresi dan anxietas pada gangguan hati, seperti sirosis, masih tidak sepenuhnya diketahui. Dari sebuah penelitian yang berbasis di Cina didapatkan bahwa tekanan psikologis pada pasien sirosis, seperti depresi, kecemasan, dan insomnia, berkorelasi secara khusus dalam peningkatan kadar aspartat aminotransferase, yang merupakan mediator penting dari proses inflamasi. Hal ini menunjukkan adanya peran peradangan pada sirosis yang menyebabkan depresi. Selain itu, gangguan neurotransmisi serotonergik pada pasien sirosis dapat berkontribusi pada patologi yang mendasari. Hati memainkan peran penting dalam metabolisme serotonin dalam pembentukan dan inaktivasi. Sebuah studi Rusia mengungkapkan bahwa konten serotonin darah menurun pada pasien sirosis yang didiagnosis dengan gangguan depresi. Gangguan dalam homeostasis melatonin juga terlihat pada pasien dengan sirosis. Ketidakteraturan dalam irama dan kurangnya sekresi melatonin dapat menyebabkan gejala gangguan tidur dan mood pada pasien sirosis [11-13].
3 Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Etiologi gangguan psikosomatis pada gangguan hati
Perlu diketahui bahwa kelainan depresi pada gagal hati tidak hanya disebabkan oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis dalam tubuh. Pasien dengan gangguan hati akibat alkohol biasanya memiliki riwayat gangguan psikis. Sangat sulit untuk membedakan apakah depresi pada pasien berkorelasi dengan konsumsi zat beralkohol atau tidak. Pemberian terapi interferon jangka panjang pada pasien hepatitis juga dapat menyebabkan gangguan psikosomatis. Selain itu, gejala sirosis seperti kelelahan dapat merusak 'kualitas hidup’ dan mempengaruh persepsi pasien pada status kesehatannya, sehingga membuat pasien lebih rentan terhadap depresi [14, 15].
Gangguan Psikosomatis Akibat Interferon Keteraturan pengobatan pada hepatitis C merupakan hal yang tidak mudah mengingat lamanya pengobatan dan beberapa efek samping, termasuk anemia, leukopenia, fatigue, anoreksia, insomnia, gangguan kognitif, tiroiditis autoimun, dan gejala kejiwaan. Efek samping yang tak tertahankan merupakan alasan utama pasien menghentikan pengobatan sebelum waktunya. Upaya mengoptimalkan kepatuhan melalui pemantauan dan pengelolaan efek samping obat sangatlah diperlukan [9, 16]. 4 Universitas Sumatera Utara
Depresi akibat IFN Depresi yang diakibatkan oleh pemberian interferon (IFN) dilaporkan terjadi pada 10%-40% pasien. Perbedaan persentase tersebut dipengaruhi oleh desain penelitian, kriteria diagnostik, metode penilaian, dan populasi penelitian. Munculnya depresi juga dipengaruhi oleh dosis dan lamanya pemberian terapi IFN. Gejala depresi biasanya berkembang dalam 12 minggu pertama pengobatan dan sering disertai dengan lekas marah daripada dysphoria atau merasa sedih. Gejala biasanya hilang dalam waktu singkat setelah terapi IFN berakhir. Oleh karena dampaknya yang besar pada kepatuhan pengobatan, upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi pasien yang berada pada risiko besar untuk terjadinya depresi akibat IFN. Beberapa studi telah mengatakan bahwa pasien dengan dasar subklinis depresi memiliki risiko yang lebih tinggi dalam terjadinya depresi akibat IFN. Sebaliknya, riwayat depresi atau gangguan kejiwaan lainnya belum terbukti menjadi faktor risiko yang signifikan. Mekanisme terjadinya depresi yang diinduksi oleh IFN tidak diketahui tetapi mungkin terkait dengan kemampuannya untuk menginduksi produksi sitokin pro-inflamasi (misalnya, interleukin-6), mengubah sistem serotonergik, atau mengaktifkan sumbu hypothalamic– pituitary–adrenal axis (HPA) [17-22]. Manajemen depresi yang disebabkan oleh IFN memerlukan diagnosis yang cepat, diikuti oleh terapi inisiasi antidepresan. Pemberian antidepresan sebagai profilaksis telah lama dipertimbangkan. Hampir semua studi seperti Gleason et al, Morasco et al, Raison et al dan Kraus et al melaporkan penurunan insiden dan keparahan gejala depresi setelah pemberian profilaksis antidepressan. Studi-studi tersebut juga mendukung untuk memulai terapi antidepresan pada pasien dengan subklinis dasar depresi. Meskipun demikian, pendekatan terapi ini tidak mendukung semua pasien, sebagian karena risiko yang terkait dengan antidepresan (misalnya, perdarahan gastrointestinal). Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) telah menjadi pilihan utama dan telah efektif dan ditoleransi dengan baik. Mirtazapine adalah pilihan bagi pasien dengan insomnia dan/atau anoreksia. Bupropion dan venlafaxine juga pilihan yang biasa digunakan. Triptofan sebagai monoterapi atau terapi tambahan baru-baru ini dilaporkan efektif untuk tiga pasien. Perlu dicatat bahwa gejala depresi mungkin tidak memiliki respon 5 Universitas Sumatera Utara
yang sama terhadap farmakoterapi. Pasien dengan kelelahan dan anoreksia biasanya kurang responsif terhadap terapi [23-26]. Gangguan fungsi kognitif akibat IFN Pasien melaporkan adanya masalah kognitif selama terapi IFN, termasuk kesulitan dengan memori, konsentrasi, dan pemecahan masalah. IFN dapat mempengaruhi sistem frontal-subkortikal sehingga mengganggu memori kerja dan perhatian kompleks. Efeknya tergantung pada dosis, durasi, dan rute pemberian IFN. Mekanisme IFN dalam menyebabkan disfungsi kognitif belum diketahui, meskipun demikian pada pemeriksaan PET scans diketahui terjadi hypometabolism pada korteks prefrontal. MRI menunjukkan aktivasi korteks anterior cingulate, yang dapat menghasilkan kesulitan dalam pengenalan dan pengolahan masalah. Namun, peneliti belum mampu mengidentifikasi bukti obyektif penurunan nilai kognitif dan berhipotesis bahwa gejala hanya bersifat subjektif dan alami. Meski demikian, disfungsi kognitif tidak berkaitan dengan gejala depresi dan biasanya sembuh setelah terapi IFN dihentikan [27-30]. 6.2 Kelelahan akibat IFN Kelelahan adalah efek samping yang paling mengganggu bagi kebanyakan pasien karena
mempengaruhi
aktivitas
sehari-hari.
Kelelahan
akibat
IFN
mungkin
berhubungan dengan perubahan dalam basal ganglia, termasuk nucleus accumbens dan putamen. Beberapa pasien dapat diberikan terapi erythropoietin jika anemia atau suplemen hormon tiroid jika terdapat hipotiroid. SSRI mungkin tidak secara signifikan mengurangi kelelahan akibat IFN, tetapi stimulan seperti modafinil mungkin efektif. Meski demikian, hanya sedikit data yang ada mengenai kelelahan akibat IFN [31, 32]. Pasien dengan risiko tinggi pemberian IFN Perlunya kepatuhan pengobatan dan seringnya terjadi efek samping kejiwaan membutuhkan perhatian yang tinggi pada kemampuan pasien terutama pada mereka yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan dan / atau penyalahgunaan zat. Hal ini agar 6 Universitas Sumatera Utara
dapat menjalani terapi IFN hingga selesai. Kekhawatiran akan ketidakmampuan untuk mematuhi pengobatan dan risiko yang berpotensi tinggi untuk terjadinya efek samping kejiwaan menyebabkan banyaknya pasien yang tidak mendapat pengobatan. Beberapa penelitian yang melibatkan populasi berisiko tinggi menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan adalah hal yang sangat mungkin. Namun beberapa kelompok mencatat tingkat putus obat yang lebih besar dan rendahnya penurunan tingkat penurunan virologi pada pasien dengan risiko tinggi. Saat ini, hampir semua pedoman pengobatan hepatitis merekomendasikan pasien berisiko tinggi untuk melibatkan koordinasi perawatan antara penyedia kesehatan mental dan hepatologi [3, 33, 34].
Ensefalopati Hepatikum Semua berkontribusi dalam perubahan dalam fungsi otak. Faktor kontributor lainnya termasuk neurosteroids, endogenous benzodiazepine receptor ligands, sitokin inflamasi, manganese, mercaptans, dan asam oktanoat. Diagnosis ensefalopati hatikum merupakan hasil eksklusi penyebab lain perubahan status mental pada pasien dengan penyakit hati yang signifikan (misalnya, infeksi, penyalahgunaan zat, dan perdarahan intrakranial). Tes psikometri seperti Digit Symbol, Line Tracing, Trail-making Test dapat membantu,
terutama
jikat
terjadi
penurunan
kognitif
yang
ringan.
Temuan
elektroensefalogram biasanya menunjukkan perlambatan gelombang otak secara umum dan adanya gelombang triphasic tapi tidak spesifik untuk ensefalopati. Kadar amonia dalam darah biasanya cenderung meningkat tetapi tidak pada semua pasien [35, 36]. Manajemen ensefalopati hatikum meliputi koreksi faktor pencetus seperti infeksi, hiponatremia, asidosis atau alkalosis, sembelit, obat psikoaktif, dan perdarahan GI. Pemberian disakarida nonabsorbable dan nonantibiotik sering dilakukan, namun bukti keefektifannya masih kurang. Benzodiazepine antagonis reseptor flumazenil juga telah digunakan; dua tinjauan sistematik review menyimpulkan bahwa pengobatan ensefalopati dengan flumazenil diproduksi perbaikan gejala yang signifikan. Namun manfaatnya tidak berlangsung lama dan tidak memberikan perbedaan signifikan pada pemulihan atau kelangsungan hidup. Flumazenil juga dapat menimbulkan kejang pada pasien yang memiliki ketergantungan terhadap benzodiazepin. L-acetylcarnitine dan aspartat ornithine 7 Universitas Sumatera Utara
juga dapat diberikan, tapi bukti tidak cukup untuk merekomendasikan penggunaannya [37, 38].
Psikofarmakologi Pada Gangguan Hati Tidak ada obat yang benar-benar berkontraindikasi pada pasien dengan gangguan hati, tetapi beberapa obat memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya toksisitas hati yang signifikan. Perhatian khusus perlu diberikan ketika meresepkan obat psikotropika untuk pasien dengan penyakit hati, mengingat bahwa hati memiliki kapasitas fungsional yang besar dan hanya pada kerusakan hati yang luas dimana resep harus diubah. Prinsipprinsip berikut harus diadopsi: 1. Semakin besar tingkat kerusakan hati semakin rendah dosis awal dan dosis maksimum yang diberikan 2. Tes fungsi hati memberikan indikasi dari gangguan hati tetapi tidak selalu berkorelasi dengan baik dengan kerusakan hati yang telah terjadi 3. Beberapa obat yang memiliki first-pass clearance effect yang menyebabkan sedasi dan konstipasi sehingga dihindari pada gangguan hati yang luas 4. Selalu mulai dengan dosis rendah, meningkatkan dosis perlahan dan memantau tes fungsi hati Penderita gangguan hati yang memiliki ensefalopati juga sangat sensitif terhadap obat sedatif-hipnotik seperti benzodiazepine dan barbiturat. Disfungsi hati mengubah penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi sebagian besar agen psikotropika. Tidak ada uji biokimia tertentu atau penanda yang dapat memberikan tingkat perubahan farmakokinetik pada pasien. Meskipun demikian, skor Child-Pugh Scale (CPS) dapat digunakan untuk memberikan pedoman untuk pemberian dosis obat (Tabel 1). Pada pasien dengan skor CPS A, gagal hati ringan atau sirosis, dapat mentolerir 75%-100% dari dosis awal pemberian obat psikotropika. Pasien dengan skor CPS B, gagal hati sedang atau sirosis, pengurangan dosis awal 50% -75% dari dosis awal sangat dianjurkan. Pemberian dosis tambahan yang lebih kecil dapat diberikan untuk mengimbangi eliminasi waktu paruh obat. Biasanya, pasien dengan skor CPS B sering berhasil diobati hanya 8 Universitas Sumatera Utara
dengan pemberian 50% dari dosis konvensional obat psikotropika. Penderita disfungsi hati dengan skor CPS C, kegagalan hati berat atau sirosis, perlu dilakukan titrasi obat, bersama dengan pemantauan ketat untuk mencegah memburuknya status kognitif akibat pemberian obat psikotropika potensial [26, 39]. TABEL 1. Skor Child-Pugh Scale Faktor
1 Poin
2 Poin
3 Poin
Serum bilirubin (ilmol/L)
34
35-50
51
Serum albumin (g/dL)
>3.5
3.0-3.5
<3.0
Prothrombin time (s)
<4
International normalized ratio (INR)
<1.7
1.7-2.3
Asites
Tidak ada
Ringan, medically controlled
Moderate-severe, poorly controlled
Ensefalopati
Tidak ada
Stage 1-2
Stage 3-4
Skor Total
5-6
7-9
Child-Pugh Scale score
A
B
4-6
>6 >2.3
10-15 C
Skor merupakan hasil gabungan kelima faktor
TABEL 2. Dosis Obat Psikotropika pada Gagal Hati [40] Dosis Psikotropika pada Derajat Gagal Hati Golongan Psikotropika
Dosis Awal Ringan
Sedang
Berat
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor Fluoxetine
20 mg
20 mg
15 mg
10 mg
Sertraline HCl
50 mg
50 mg
35-40 mg
25 mg
Escitalopram
10 mg
10 mg
7.5 mg
5 mg
25 mg
25 mg
15-20 mg
10-15 mg
25 mg
25 mg
12.5 mg
Kontra indikasi
Tetrasiklik Maproptiline HCl Trisiklik Amitriptilin Monoamine oxidase inhibitor
9 Universitas Sumatera Utara
Phenelzine
15 mg
Kontra indikasi
Kontra indikasi
Kontra indikasi
Tranycyclopine
10 mg
Kontra indikasi
Kontra indikasi
Kontra indikasi
50 mg
50 mg
30-40 mg
25 mg
0.5-1 mg
0.5-1 mg
0.5 mg
0.25 mg
Clobazam
5 mg
2.5 mg
1.25 mg
Kontra indikasi
Estazolam
1 mg
1 mg
0.5 mg
0.25 mg
Lorazepam
1-3 mg
1-3 mg
1 mg
0.5 mg
Diazepam
5-10 mg
5-10 mg
5 mg
2 mg
10 mg
5 mg
2.5 mg
Kontra indikasi
Antidepresi golongan lain Bupropion Benzodiazepine Alprazolam
Hipnotik/sedatif Zolpidem
Dikutip dari MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi 2016
Antidepresi Obat antidepresan memiliki sifat hepatotoksik, efek sampingnya berupa peningkatan enzim hati dan meskipun jarang dapat menyebabkan nekrosis luas dan gagal hati fulminan. Golongan monoamine oxidase inhibitor dan trisiklik memiliki kemungkinan lebih besar untuk menyebabkan kerusakan hati dibanding antidepresan baru. Kebanyakan trisiklik memiliki first-pass clearance yang dan efek samping yang tinggi, seperti mengantu, dan lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan hati. Selective serotonin reuptake inhibitor merupakan golongan antidepressant yang dapat lebih ditolerir pada gangguan hati dibandingkan golongan lainnya. Dosis alternatif harian fluoxetine telah direkomendasikan untuk diberikan pada pasien depresi dengan gagal hati. Sementara dosis terapeutik yang lebih rendah telah direkomendasikan untuk citalopram dan paroxetine. Sebuah studi mengatakan bahwa paroxetine adalah pilihan paling aman, tapi ini perlu diimbangi dengan risiko adanya sindroma withdrawal. Venlafaxine, mirtazapine dan reboxetine aman diberikan jika dosis awal tidak lebih dari 10 Universitas Sumatera Utara
50% dari dosis biasa. Monoamine oxidase inhibitor memiliki sifat yang lebih hepatotoksik dibandingkan golongan antidepresan lainnya dan dapat memicu koma. Golongan ini umumnya berkontraindikasi. Jika monoamine oxidase inhibitor diperlukan atas dasar klinis maka harus diberikan dengan dosis awal dikurangi sepertiga atau setengah dan dibarengi dengan pemberian moclobemide [41-43]. Anxiolitik dan hipnotik Gangguan hati mengganggu metabolisme diazepam dan chlordiazepoxide, dengan memperpanjang waktu paruh dari metabolism obat. Oleh karenanya dapat memicu ensefalopati dan koma. Golongan benzodiazepin yang menjadi pilihan diantaranya lorazepam, temazepam dan oxazepam dan diberikan dalam dosis rendah. Metabolisme pada obat ini tidak menunjukkan adanya perubahan. Sedangkan eliminasi dari zolpiclone berkurang pada gagal hati. Dosis 3.75 mg dapat diberikan secara hati-hati dengan dosis total tidak boleh melebihi 7,5 mg. Demikian pula zolpidem harus digunakan dalam dosis yang dikurangi. Obat ini berkontraindikasi pada gagal hati berat [44, 45].
Hepatitis Imbas Obat/Drug-Induced Liver Injury Kerusakan hati yang diakibatkan obat dapat berupa meningkatnya transaminase tanpa adanya gejala hingga kasus kegagalan hati fulminant yang jarang terjadi. Setiap kasus berbeda dengan lainnya sehingga tidak dapat diprediksi. Berkembangnya hepatitis imbas obat (HIO) tidak bergantung dari banyaknya dosis dan durasi pemberian obat yang diberikan. Kerusakan pada hati biasanya berkurang setelah obat dihentikan, tapi ini bisa memakan waktu hingga satu tahun. Faktor risiko kerusakan hati yang diakibatkan obat diantaranya termasuk obesitas, malnutrisi, polimorfisme genetik, penyalahgunaan alkohol, dan usia. Wanita lebih rentan untuk terjadinya kerusakan hati yang fulminant akibat obat. Pasien dengan riwayat gangguan hati yang sudah ada sebelumnya tidak memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya HIO tetapi memiliki jumlah hati yang sehat yang lebih sedikit jika terjadi HIO. Ada tiga tipe kerusakan hati yang diinduksi obat yaitu: hepatoseluler, kolestasis, dan campuran. Kerusakan hepatoseluler menyebabkan 11 Universitas Sumatera Utara
elevasi yang signifikan pada serum glutamic pyruvic transferase (SGPT) bersamaan dengan alkali fosfatase. Sedangkan kerusakan hati kolestasis biasanya terjadi peningkatan yang lebih signifikan pada alkali fosfatase. Hampir semua obat psikotropika memiliki risiko terjadinya hepatotoksisitas, tapi risikonya sangat rendah. Bagi sebagian besar pasien yang sedang mengkonsumsi obat, pemantauan fungsi hati secara rutin tidak dianjurkan karena HIO masih bersifat idiosinkrasi. Karena tidak jelasnya kerusakan hati yang dapat berlanjut ke kondisi yang fulminan, pemberhentian obat disarankan pada pasien yang memiliki peningkatan SGPT hingga tiga kali diatas normal. Selain itu peningkatan bilirubin, peningkatan International normalization ratio (INR), gejala gangguan hati (misalnya, nyeri kuadran kanan atas, urin gelap, pruritus, sakit kuning, mual, anoreksia) juga merupakan indikasi untuk pemberhentian obat [43, 46-48].
Kesimpulan Terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan pada aspek psikosomatis pada pasien dengan gangguan hati oleh karena berbagai perubahan fisiologis terkait dengan disfungsi hati yang dapat memengaruhi keadaan pasien. Terapi berkepanjangan pada pasien dengan gangguan hati terkadang harus dibarengi dengan pemberian agen psikotropika. Dosis pemberian obat psikotropika pun harus disesuaikan dengan beratnya disfungsi hati yang dialami penderita.
12 Universitas Sumatera Utara
Daftar Pustaka 1.
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14.
15.
16.
17.
18. 19. 20.
De Bona, M., et al., The impact of liver disease and medical complications on quality of life and psychological distress before and after liver transplantation. Journal of hepatology, 2000. 33(4): p. 609-15. Ismail, R. and K. Siste, Gangguan Depresi. Dalam Elvira, Silvia D., Hadisukanto, Gitayanti, Buku Ajar Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2010. Ghany, M.G., et al., Diagnosis, management, and treatment of hepatitis C: an update. Hepatology, 2009. 49(4): p. 1335-74. Pardede, C.M., KARAKTERISTIK PENDERITA PERCOBAAN BUNUH DIRI DENGAN RACUN DI RSUD DR. PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2006-2011. Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi, 2012. 1(01). Sofyani, S. and M.J. Simbolon, Hubungan Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Kejadian Sakit Perut Berulang Pada Remaja. 2012. Profil Kesehatan 2008, 2009, Departemen Kesehatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia. 2007 [cited 2016 6 Maret]. Golden, J., A.M. O'Dwyer, and R.M. Conroy, Depression and anxiety in patients with hepatitis C: prevalence, detection rates and risk factors. General hospital psychiatry, 2005. 27(6): p. 4318. Loftis, J.M., A.M. Matthews, and P. Hauser, Psychiatric and substance use disorders in individuals with hepatitis C: epidemiology and management. Drugs, 2006. 66(2): p. 155-74. Duman, R., Pathophysiology of depression: the concept of synaptic plasticity. European psychiatry, 2002. 17: p. 306-310. Ko, F.Y., et al., Physiologic and laboratory correlates of depression, anxiety, and poor sleep in liver cirrhosis. BMC gastroenterology, 2013. 13: p. 18. Alekseeva, A.S., et al., Serotonin metabolism parameters in patients with chronic hepatitis and liver cirrhosis. Bulletin of experimental biology and medicine, 2008. 146(5): p. 577-9. Culafic, D.M., et al., Plasma and platelet serotonin levels in patients with liver cirrhosis. World journal of gastroenterology, 2007. 13(43): p. 5750-3. Bianchi, G., et al., Psychological status and depression in patients with liver cirrhosis. Digestive and liver disease : official journal of the Italian Society of Gastroenterology and the Italian Association for the Study of the Liver, 2005. 37(8): p. 593-600. Fritz, E. and J. Hammer, Gastrointestinal symptoms in patients with liver cirrhosis are linked to impaired quality of life and psychological distress. European journal of gastroenterology & hepatology, 2009. 21(4): p. 370-5. Nelligan, J.A., et al., Depression comorbidity and antidepressant use in veterans with chronic hepatitis C: results from a retrospective chart review. The Journal of clinical psychiatry, 2008. 69(5): p. 810-6. Schafer, A., et al., Methodological approaches in the assessment of interferon-alfa-induced depression in patients with chronic hepatitis C - a critical review. International journal of methods in psychiatric research, 2007. 16(4): p. 186-201. Capuron, L. and A. Ravaud, Prediction of the depressive effects of interferon alfa therapy by the patient's initial affective state. The New England journal of medicine, 1999. 340(17): p. 1370. Raison, C.L., et al., Depression during pegylated interferon-alpha plus ribavirin therapy: prevalence and prediction. The Journal of clinical psychiatry, 2005. 66(1): p. 41-8. Reichenberg, A., J.M. Gorman, and D.T. Dieterich, Interferon-induced depression and cognitive impairment in hepatitis C virus patients: a 72 week prospective study. AIDS, 2005. 19 Suppl 3: p. S174-8.
13 Universitas Sumatera Utara
21. Asnis, G.M. and R. De La Garza, 2nd, Interferon-induced depression in chronic hepatitis C: a review of its prevalence, risk factors, biology, and treatment approaches. Journal of clinical gastroenterology, 2006. 40(4): p. 322-35. 22. Malek-Ahmadi, P. and R.C. Hilsabeck, Neuropsychiatric complications of interferons: classification, neurochemical bases, and management. Annals of clinical psychiatry : official journal of the American Academy of Clinical Psychiatrists, 2007. 19(2): p. 113-23. 23. Gleason, O.C., et al., Preventing relapse of major depression during interferon-alpha therapy for hepatitis C--A pilot study. Digestive diseases and sciences, 2007. 52(10): p. 2557-63. 24. Kraus, M.R., et al., Therapy of interferon-induced depression in chronic hepatitis C with citalopram: a randomised, double-blind, placebo-controlled study. Gut, 2008. 57(4): p. 531-6. 25. Morasco, B.J., et al., A randomized trial of paroxetine to prevent interferon-alpha-induced depression in patients with hepatitis C. Journal of affective disorders, 2007. 103(1-3): p. 83-90. 26. Crone, C.C., G.M. Gabriel, and A. DiMartini, An overview of psychiatric issues in liver disease for the consultation-liaison psychiatrist. Psychosomatics, 2006. 47(3): p. 188-205. 27. Kraus, M.R., et al., Neurocognitive changes in patients with hepatitis C receiving interferon alfa2b and ribavirin. Clinical pharmacology and therapeutics, 2005. 77(1): p. 90-100. 28. Pawelczyk, T., et al., Pegylated interferon alpha and ribavirin therapy may induce working memory disturbances in chronic hepatitis C patients. General hospital psychiatry, 2008. 30(6): p. 501-8. 29. Juengling, F.D., et al., Prefrontal cortical hypometabolism during low-dose interferon alpha treatment. Psychopharmacology, 2000. 152(4): p. 383-9. 30. Fontana, R.J., et al., Cognitive function does not worsen during pegylated interferon and ribavirin retreatment of chronic hepatitis C. Hepatology, 2007. 45(5): p. 1154-63. 31. Capuron, L., et al., Anterior cingulate activation and error processing during interferon-alpha treatment. Biological psychiatry, 2005. 58(3): p. 190-6. 32. Martin, K.A., et al., Modafinil's use in combating interferon-induced fatigue. Digestive diseases and sciences, 2007. 52(4): p. 893-6. 33. Robaeys, G. and F. Buntinx, Treatment of hepatitis C viral infections in substance abusers. Acta gastro-enterologica Belgica, 2005. 68(1): p. 55-67. 34. Schaefer, M., et al., Hepatitis C treatment in "difficult-to-treat" psychiatric patients with pegylated interferon-alpha and ribavirin: response and psychiatric side effects. Hepatology, 2007. 46(4): p. 991-8. 35. Haussinger, D. and F. Schliess, Pathogenetic mechanisms of hepatic encephalopathy. Gut, 2008. 57(8): p. 1156-65. 36. Butterworth, R.F., Pathophysiology of hepatic encephalopathy: The concept of synergism. Hepatology research : the official journal of the Japan Society of Hepatology, 2008. 38 Suppl 1: p. S116-21. 37. Sundaram, V. and O.S. Shaikh, Hepatic encephalopathy: pathophysiology and emerging therapies. The Medical clinics of North America, 2009. 93(4): p. 819-36, vii. 38. Als-Nielsen, B., L.L. Gluud, and C. Gluud, Benzodiazepine receptor antagonists for hepatic encephalopathy. The Cochrane database of systematic reviews, 2004(2): p. CD002798. 39. Albers, I., et al., Superiority of the Child-Pugh classification to quantitative liver function tests for assessing prognosis of liver cirrhosis. Scandinavian journal of gastroenterology, 1989. 24(3): p. 269-76. 40. Medica, C., MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, 2016, Edisi. 41. Bergstrom, R., et al., The effects of renal and hepatic disease on the pharmacokinetics, renal tolerance, and risk-benefit profile of fluoxetine. International clinical psychopharmacology, 1993. 42. Livingston, M.G. and H.M. Livingston, Monoamine oxidase inhibitors. Drug safety, 1996. 14(4): p. 219-227.
14 Universitas Sumatera Utara
43. Lucena, M.I., et al., Antidepressant-induced hepatotoxicity. Expert opinion on drug safety, 2003. 2(3): p. 249-62. 44. Kaplan, S. and M. Jack, Pharmacokinetics and metabolism of anxiolytics, in Psychotropic Agents1981, Springer. p. 321-358. 45. Shapiro, S., et al., Clinical effects of hypnotics: II. An epidemiologic study. JAMA, 1969. 209(13): p. 2016-2020. 46. Hussaini, S.H. and E.A. Farrington, Idiosyncratic drug-induced liver injury: an overview. Expert opinion on drug safety, 2007. 6(6): p. 673-84. 47. Russo, M.W. and P.B. Watkins, Are patients with elevated liver tests at increased risk of druginduced liver injury? Gastroenterology, 2004. 126(5): p. 1477-80. 48. Navarro, V.J. and J.R. Senior, Drug-related hepatotoxicity. The New England journal of medicine, 2006. 354(7): p. 731-9.
15 Universitas Sumatera Utara