Vol 3, No. 1, Juni 2013 Persepsi dan Implementasi Kebijakan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Sebagai Sarana Pembelajaran dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan Pada SMA Negeri Kota Pematang Siantar August Sinaga dan Zainuddin, Pascasarjana Universitas Medan Area dan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Untuk mengetahui pengaruh persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan, (2) Untuk mengetahui pengaruh implementasi Kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan, dan (3) Untuk mengetahui pengaruh persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pematang Siantar pada tahun 2013, populasi berjumlah 236 guru. Sampel Stratified Proportional Random Sampling berjumlah 127 guru dari SMA Negeri Kota Pematang Siantar. Analisis data secara kuantitatif, menggunakan teknikstatistik deskriftif dan statistic inferensial dengan menggunakan studi korelasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat pengaruh positif persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan dengan korelasi yang sangat kuat (nilai 0,63); (2) Terdapat pengaruh positif implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan dengan korelasi yang kuat (nilai 0,48); dan (3) Terdapat pengaruh positif persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran secara bersama-sama terhadap peningkatan kualitas pendidikan dengan korelasi yang sangat kuat (nilai 0,68). Hal ini berarti semakin baik persepsi guru pada kebijakan TIK dan semakin baik implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran, maka akan semakin tinggi peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri di Kota Pematang Siantar. Dengan Koefisien determinan R2 = 0,467 menunjukkan bahwa 46,7% variabel peningkatan kualitas pendidikan dapat dijelaskan oleh variabel persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran, sedangkan sisanya 53,3% belum dapat dijelaskan karena berasal dari variabel lainnya yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini. Kata Kunci : Kebijakan TIK, Persepsi Guru, Sarana Pembelajaran, Peningkatan Kualitas Pendidikan.
Abstract
This study aims to determine (1) To determine the influence of teachers 'perceptions on ICT policies towards improving the quality of education, (2) To determine the effect of implementation of the ICT Policy as a learning tool to improve the quality of education, and (3) To determine the influence of teachers' perceptions on ICT policy and implementation of ICT policies as a learning tool to improve the quality of education. This research was conducted in the city of Siantar in 2013, a population of 236 teachers. Proportional Stratified Random Sampling Samples totaling 127 teachers of SMA City Siantar. Analysis of quantitative data, using teknikstatistik descriptive and inferential statistics using correlational studies. The results showed that: (1) There is a positive influence teachers' perceptions on ICT policies towards improving the quality of education with a very strong correlation (value 17
Vol 3, No. 1, Juni 2013
0.63); (2) There is a positive influence ICT policy implementation as a learning tool to improve the quality of education with a strong correlation (value 0.48); and (3) There is a positive influence teachers' perceptions on ICT policy and implementation of ICT policies as a means of learning together towards improving the quality of education with a very strong correlation (value 0.68). This means more and better perception of teachers on ICT policies and better implementation of ICT policies as a means of learning, the higher the quality improvement of education in high schools in the City Siantar. With determinant coefficient R2 = 0.467 indicates that 46.7% of variables to improve the quality of education can be explained by the perception of teachers on ICT policy and implementation of ICT policies as a means of learning, while the remaining 53.3% can not be explained as coming from other variables not included in this research. Keywords: ICT Policy, Perception Teachers, Learning Support, Education Quality Improvement.
PENDAHULUAN Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau information and communication technology (ICT), serta meluasnya perkembangan infrastruktur informasi global telah mengubah pola dan cara kegiatan yang dilaksanakan di industri, perdagangan, dan pemerintahan serta sosial politik. Perkembangan ekonomi berbasis TIK dan masyarakat informasi (information society) telah memunculkan paradigma baru yang dominan. Kemampuan untuk terlibat secara efektif dalam revolusi jaringan TIK akan menentukan masa depan bangsa. Perkembangan dunia yang semakin mengglobal dipengaruhi oleh perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Globalisasi dan perdagangan bebas menjadikan dunia semakin penuh dengan kompetisi dan networking. Penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi menjadi sangat krusial untuk mampu bertahan dan bersaing. Pendidikan telah dengan cepat merespon perkembangan dengan memasukkan materi Teknologi Informasi dan Komunikasi ke dalam kurikulum. Penerapan aplikasi Teknologi Informasi yang tepat dalam sekolah dan dunia pendidikan merupakan salah satu faktor kunci penting untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia dari bangsa-bangsa lain. Penyempurnaan kurikulum dilakukan sebagai respon terhadap tuntutan perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, tuntutan desentralisasi, dan hak asasi
manusia. Oleh karena itu, bahan kajian yang harus dikuasai oleh siswa disesuaikan dengan semua tuntutan yang ada tersebut. (naskah akademik kajian standar isi TIK, 2007). Pendidikan merupakan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia dan bagian dari pembangunan nasional. Pendidikan diharapkan memberikan kontribusinya untuk mengembangkan generasi penerus bangsa menjadi warga Negara berkualitas yang mampu menghadapi tantangan akademik dan bisnis di masa depan. Pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang modern dan sejahtera. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 1 dinyatakan bahwa konsep pembelajaran adalah suatu interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Konsep mengenai pembelajaran di atas melahirkan suatu model pembelajaran yang dikenal dengan pembelajaran berbasis aneka sumber. Pembelajaran berbasis aneka sumber memungkinkan siswa belajar dari siapa saja, dari mana saja, tentang apa saja. Pembelajaran berbasis aneka sumber memungkinkan terciptanya suatu situasi pembelajaran yang “hidup” dan menarik. Hal ini sejalan dengan tuntutan yang ada di dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Di dalam peraturan ini dinyatakan bahwa, “proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, 18
Vol 3, No. 1, Juni 2013 inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh satuan kelas adalah pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disingkat TIK dalam proses pembelajaran. Belajar Berbasis Aneka Sumber (BEBAS) adalah suatu paradigma baru pada lapis pengalaman belajar. Sampai sekarang pengalaman belajar siswa masih memusat pada peran guru (teacher centered learning), seolah-olah tanpa guru tidak terjadi proses pembelajaran. Dalam perspektif seperti itu, maka Teknologi Pendidikan sebagai salah satu disiplin terapan mempunyai peran yang sangat penting. Disiplin ilmu ini berorientasi pada bagaimana memecahkan masalah belajar dan pembelajaran dengan menggunakan berbagai sumber, baik yang telah tersedia maupun yang sengaja dikembangkan. Kemampuan dan pemahaman guru terhadap TIK dipengaruhi antara lain oleh persepsi. Presepsi guru sebagai hasil proses mental menghasilkan bayangan sehingga ia dapat mengenal obyek dengan jalan asosisiasi pada suatu ingatan lebih lama. Proses mental yang dikembangkan merupakan hal posisitif sehingga guru menyadari keberadaan dan fungsinya sebagai pentransfer nilai, ide dan konsep kepada siswanya. Semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran. Jika dihubungkan dengan kebijakan TIK maka guru akan mengimplementasikan kebijakan TIK dalam melaksnakan tugasnya. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi. Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr.
dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesarbesarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajarmengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Terkait dengan hal di atas implementasi Kebijakan TIK dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas menjadi di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan peserta didik. Demikian pula peserta didik dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain 18
Vol 3, No. 1, Juni 2013 yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Menurut Rosenberg (2001), e-learning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu: (1) e-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar, (3) memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional. Saat ini e-learning telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti: CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dsb. (Seminar internasional, ISSN 1907-2066 : Guru sebagai potensi teknologi informasi dan komunikasi dalam peningkatan Mutu pembelajaran di SMK). Fakta yang ada guru di SMA khususnya di Kota Pematang Siantar berasal dari berbagai macam generasi dari yang tua sampai ke guru yang muda. Guru tersebut merupakan generasi yang sudah mengajar sejak teknologi informasi belum berkembang pesat seperti sekarang sampai yang mengajar sudah ada teknologi informasi yang sudah canggih seperti sekarang. Sebagian besar dari guru tersebut mungkin kesulitan dan merasa tidak nyaman dengan model pembelajaran elektronik. Intensitas guru dalam memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dan dalam kegiatan seorang guru memberikan pelajaran di kelas, guru yang belum mahir menggunakan komputer jarang memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dan cenderung menggunakan model pembelajaran ceramah dengan menggunakan buku-buku teks saja. Hal tersebut terlihat masih banyak dilakukan oleh guru-guru yang berusia tua. Sejalan dengan ini hasil penelitian Milfa (2010) pada SDM lingkungan Dinas
Pendidikan Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa sekitar 80% keefektifan SDM terutama dari kompetensinya masih berada pada taraf cukup dan rendah. Kondisi ini menyebabkan mereka belum memberi kontribusi maksimal terhadap pencapaian tujuan kerja yang diharapkan. Hal ini didukung dengan masih rendahnya hasil Uji Kompetensi Guru bidang kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional, bahwa untuk Provinsi Sumatera dari jumlah peserta 33.940 pendidik, rata-rata benar kompetensi pedagogik 11,42, rata-rata benar kompetensi profesional 29,50. Sedangkan untuk kota Pematang Siantar dari jumlah peserta 6.740 pendidik, rata-rata benar kompetensi pedagogik 11,55 dan rata-rata benar kompetensi profesional 29,58. (LPMP Provinsi Sumatera Utara, 2012). Dari latar belakang tersebut, penulis ingin meneliti persepsi dan implementasi kebijakan pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai sarana pembelajaran dan pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas pendidikan, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Seperti uraian latar belakang masalah, bahwa kebijakan TIK sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kebijakan TIK dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupkan kebijakan yang sangat memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Peningkatan kualitas dapat diartikan sebagai peningkatan atau pertambahan kinerja sehingga menembus batas yang belum pernah dicapai sebelumnya. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas pendidikan berkaitan pertambahan kualitas, kinerja atau unjuk kerja input, proses, output, outcome dan dampak pendidikan. Artinya peningkatan kualitas pendidikan adalah peningkatan kualitas aspek atau dimensi penyelenggaraan pendidikan, atau peningkatan efisiensi internal dan eksternal pendidikan. Selanjutnya kualitas pendidikan berkaitan dengan tingkat pelatihan guru, ukuran kelas, material pembelajaran, pembelajaran bahasa, dan reformasi kurikulum. Dalam hal peningkatan mutu pendidikan dapat dilihat dari dua aspek yaitu proses pendidikan dan produk. Sebagai produk, keluaran pendidikan diukur dari 19
Vol 3, No. 1, Juni 2013 pemahaman siswa atas materi pembelajaran yang telah diikuti dalam suatu periode pembelajaran dan sebagai proses, kegiatan pembelajaran diukur dari kualitas pelayanan dalam proses pembelajaran. Selanjutnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kebijakan TIK, persepsi guru pada kebijakan TIK, implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran, kinerja guru, kepemimpinan kepala sekolah, kompetensi guru, iklim kerja, sikap guru pada kebijakan, kualitas pelayanan, input pendidikan, proses pendidikan, kualitas output pendidikan, tingkat pelatihan guru, ukuran kelas, material pembelajaran, dan reformasi kurikulum. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: apakah kebijakan TIK berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah persepsi guru pada kebijakan TIK berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? Apakah implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah kinerja guru berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? Apakah kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah kompetensi guru berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah iklim kerja berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah sikap guru pada kebijakan TIK berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah kualitas pelayanan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah input pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah proses pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah kualitas output pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah tingkat pelatihan guru berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah ukuran kelas berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? apakah material pembelajaran berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan? dan apakah reformasi kurikulum berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan?”
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini, yang meliputi : 1. Apakah ada pengaruh positif persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan? 2. Apakah ada pengaruh positif Implementasi Kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan? 3. Apakah ada pengaruh positif persepsi guru pada kebijakan TIK dan Implementasi Kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara bersama-sama ?. TINJAUAN PUSTAKA 1. Hakikat Peningkatan Kualitas Pendidikan a. Kualitas Pendidikan Berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan tidak terlepas dengan mutu pendidikan, karena peningkatan kualitas pendidikan ditentukan oleh peningkatan aspek/indikator dari mutu pendidikan. Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas tentang pengertian mutu pendidikan. Menurut Sallis (2006:51) bahwa konsep mutu dapat dipandang dari segi absolut dan relatif. Dari konsep absolut, langka dan mahal adalah dua nilai penting dalam konsep mutu. Sedangkan dari segi pandang relatif, mutu memiliki dua aspek yaitu kesesuaian dengan spesifikasi dan pemenuhan kebutuhan pelanggan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konsep mutu tidak mudah dibangun, karena berdasarkan dua pengertian mutu ini memberikan makna bahwa mutu tergantung kepada orang yang memberikan penilaian, dengan kata lain mutu menurut seseorang belum tentu sama menurut orang lain. Mutu pendidikan saat ini masih terlihat kurang memuaskan. Ukuran kualitas pendidikan dapat dilihat dari prestasi akademik siswanya, yaitu berupa nilai ujian dan dapat dilihat dari pengaruh hasil belajar terhadap kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dimulai dari peningkatan prestasi akademik atau hasil belajar siswa di sekolah. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh 20
Vol 3, No. 1, Juni 2013 banyak faktor, antaranya adalah faktor guru, yaitu guru yang memiliki keterampilan dalam proses pembelajaran, yang berkaitan dengan kemampuannya memilih sarana pembelajaran dan pemanfaatan TIK sebagai sarana pembelajaranyang dapat memberikan keberhasilan pada siswa. Menurut Voughn (1974:4) bahwa orang mulai memperbincangkan tentang mutu suatu produk atau jasa pada saat produk atau jasa tersebut tidak mampu memberikan pelayanan yang diinginkan oleh masyarakat pengguna. Lloyd Dobbins dan Clare Crawford-Mason dalam Stoner (1995:210) mewawancarai sejumlah penulis mengenai mutu dan mereka memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada orang yang telah berbicara dengan kami dapat menyetujui dengan tepat bagaimana mendefinisikan mutu. Mereka mengutip John Steward, seorang konsultan di McKinsey yang mengatakan bahwa tidak ada sebuah definisi mengenai mutu, mutu adalah perasaaan menghargai bahwa sesuatu lebih baik dari pada yang lain. Perasaan itu berubah sepanjang waktu, dan berubah dari generasi ke generasi, serta bervariasi dengan aspek aktivitas manusia. Deming (1982:175) lebih menekankan mutu kepada aspek yang lebih umum, ia berpendapat bahwa “mutu adalah kesesuaian produk dengan konsumen” sehaingga ia mengatakan bahwa “The customer is the most important part of the production line”. Sedangkan Juran (1993:32) berpendapat bahwa mutu adalah kecocokan penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. American Society for Quality Control (ASQC) sebagaimana dikutip Lindsay dan Petrick (1997:54) mendefinisikan kualitas sebagai berikut, “quality as the totality features and characteristics of a product or service that bears on its ability to satisfy given needs. Selanjutnya menurut Lindsay dan Petrick, kualitas dalam manufaktur mencakup dimensi: performance, features, reliability, comformance, durability, serviceability, aesthetics and perceived quality. Selanjtuknya Lindsay dan Petrick (1997:55), memberikan dimensi kualitas jasa yang mencakup : time, timeliness, completeness, courtesy, consistency, accessibility, accuracy, and responsiveness. Pengertian kualitas yang dikemukakan oleh Landsay dan Petrick ini menunjuk bahwa kualitas menyatakan keseluruhan pemenuhan
ciri yang ditetapkan untuk suatu produk dan jasa. Kualitas produk ditentukan oleh pemenuhan ciri seperti penampilan, karakteristik, kelayakan, kesesuaian, tahan lama, dapat diperbaiki, estetika dan apa yang dipersiapkan terhadap kualitas. Sedangkan dimensi kualitas jasa adalah waktu tunggu, kelengkapan, ketersediaan, konsistensi, kemudahan diperoleh, ketetapan dan kepekaan terhadap kebutuhan pelanggan. Hal ini menyatakan bahwa berkualitas tidaknya suatu barang atau jasa ditentukan oleh persyaratan yang ditetapkan sebagai standar untuk menilai pemenuhan kriteria dari suatu produk atau jasa. Menurut Philip Crosby yang dikutip oleh Kreitner (1999:553), “basic definition of quality is comformance to requirements”, mutu adalah yang sesuai dengan yang diisyaratkan atau yang distandarkan, meluputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi. Sedangkan para peneliti dari Universitas T&T di Texas seperti yang dikutip oleh Certo dalam Kreitner (1999:557) mengatakan, “the following five service quality emerged tangibles, reliability, responsiveness, assurance, and emphaty”. Kualitas didefinisikan sebagai pemenuhan persyaratan. Dalam konteks jasa, persyaratan yang dimaksud dapat mencakup dimensi yang dapat tidaknya dirasakan/ dinikmati pelayanan, memenuhi tidaknya kepatutan dari pelayanan, peka tidaknya terhadap permintaan pelanggan, dilaksanakan tidaknya pelayanan sesuai prosedur dan diberikan tidaknya pelayanan sebagaimana dirinya juga ingin mendapat pelayanan. Menganalisis pengertian dasar kualitas produk dan jasa yang dikemukakan oleh Kreitner, jika dipadankan kepada pendidikan, maka pendidikan itu sendiri dapat dipandang dari dua sisi yaitu produk dan jasa. Dari segi kualitas produk adalah terdapatnya perubahan perilaku kepada input proses setelah mengikuti proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Dari segi pelayanan, siswa, orangtua, masyarakat dan dunia kerja mendapat pelayanan yang memenuhi dimensi jasa. Feigenbaum dalam Nasution (2001:16) mengemukakan bahwa mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full costumer satisfaction) yakni suatu produk dikatakan bermutu apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya pada pelanggan/konsumen. Dalam kamus Bahasa Indonesia Edisi Kedua 21
Vol 3, No. 1, Juni 2013 (1994) mutu didefinisikan sebuah ukuran baik buruk suatu benda, kadar, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan). Menurut Certo (1997:479): “Quality can be defined as how well a product does what it is intended to do-how closly it satisfies the specifications to which it was built. In a broad sense, quality is the degree of excellence on which products or services can be ranked on the basis of selected features or characteristics”. Kualitas dapat didefinisikan sebagai seberapa baik suatu produk memenuhi apa yang diharapkan dari yang dilakukanseberapa dekat pemenuhan harapan itu memuaskan spesifikasi yang ditetapkan. Dalam pengertian yang lebih luas, kualitas adalah tingkat keunggulan yang terdapat pada suatu produk atau jasa yang dapat diurutkan dalam tingkatan berdasarkan ciri atau karakteristik yang dipilih. Dalam hal ini untuk melihat atau menentukan suatu produk atau jasa disebut berkualitas, maka harus ada standar atau ciri/karakteristik yang ditetapkan sebagai acuan penilaian kualitas. Menurut Domingo (1997:9) : “Quality is the goal to end all goals. Somebody once said, “if you chase two rabbits, both will escape” or as Texas Instruments would put it, “More than two objectives is no objective”. Quality enables the company to achieve its other goals. Philip Crosby said, “if we take care of the customers and the employees, everythings else takes care of itself”. Konsep mutu menurut Domingo ini merupakan tujuan sebagai akhir dari berbagai tujuan yang ada. Jika anda mengejar dua kelinci, maka keduanya akan lepas. Atau jika anda memiliki dua tujuan, berarti anda tidak memiliki tujuan. Jika anda memelihara pelanggan dan pegawai, maka semuanya akan terpelihara. Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam mencapa sesuatu harus memiliki sasaran yang jelas dan tunggal sehingga arah kegiatan jelas. Karena dalam mencapai sasaran akhir ini, akan dilalui berbagai sasaran antara yang diperlukan dalam mencapai sasaran akhir. Menurut The American National Standart Institute (ANSI) yang dikutip oleh Landsay dan Petrick (1997:54), kualitas didefinisikan sebagai keseluruhan ciri dan karakteristik suatu produk atau jasa yang berhubungan dengan kemampuan untuk
memuaskan kebutuhan yang ada. Dalam hal ini, kualitas ditentukan oleh ciri/karakter yang terkandung dalam suatu produk atau jasa. Menurut Zeithaml dan Berry yang dikutip oleh Landsay dan Petrick (1997:55), kualitas dalam penyediaan pelayanan mencakup dimensi: (1) waktu, berapa banyak waktu yang harus dihabiskan pelanggan dalam menunggu, (2) penjadwalan, apakah jasa dapt disediakan ketika dijanjikan, (3) kelengkapan, apakah semua hal sudah sesuai dengan pesanan, (4) kejujuran, apakah petugas depan telah melayani pelanggan dengan senyum dan sopan, (5) konsistensi, apakah pelayanan diberikan dengan cara yang sama kepada semua pelanggan, (6) aksesbiliti dan ketenangan, apakah jasa mudah diperoleh, (7) akurasi, apakah pelayanan jasa dilakukan benar pada saat pertama, (8) rasa tanggap, apakah petugas yang memberikanpelayanan bereaksi dengan cepat dan memecahkan masalah yang tak terduga. Kualitas atau mutu suatu jasa ditentukan oleh 8 kriteria, artinya jasa atau pelayanan tersedia dikatakan berkualitas jika ke 8 kriteria tersebut dipenuhi dengan baik. Selanjutnya menurut Landsay dan Petrick (1997:55) penilaian utama terhadap kualitas pekerjaan adalah pelanggan, di mana jika pelanggan belum puas dengan pelayan yang diberikan bahwa pekerjaan pelayanan yang diberikan tidak berkualitas. Dengan demikian, kualitas pelayan mencakup adanya kepuasan pelanggan terhadap pelayanan. Dalam hal ini, suatu jasa disebut berkualitas, jika pelanggan pengguna jasa tersebut merasa puas. Hanya saja perlu dijelaskan mengapa pelanggan merasa puas? Tentunya adanya pemenuhan kriteria yang diinginkan oleh pelanggan dalam suatu pelayanan. Menurut Bounds et al (1994:44), pengertian kualitas membuat orang kesal karena sukar dipahami. Tiap orang membuat definisi kualitas sesuai dengan sudut pandangnya. Dalam pandangan yang mengutamakan kesempurnaan, maka kualitas sebagai kesempurnaan. Namun kelemahan pandangan ini adalah, bahwa kualitas dapat diketahui jika sudah dilihat. Pengertian kualitas di masa mendatang harus lebih pragmatis, lebih objektif dan lebih dapat dilihat. Ia menyatakan bahwa setidaknya ada tiga pandangan tentang kualitas bagi para pimpinan perusahaan yaitu pandangan kualitas yang didasarkan kepada produk, 22
Vol 3, No. 1, Juni 2013 didasarkan kepada manufacturing (pembuatan produk) dan pola pandang pengguna/pelanggan. Selanjutnya Bounds at al (1994:51), mengatakan bahwa kualitas berdasarkan produk (product based) telah memiliki beberapa keunggulan, tetapi tidak mengakomodasikan selera dan preferensi seseorang. Kualitas berdasarkan manufacturing (manufacturing-based) telah menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan, tetapi lebih terfokus kepada internal, pengawasan dan teknik yang digunakan dibandingkan apa yang diinginkan pengguna produk. Sedangkan kualitas dalam pandangan pelanggan terkenal dengan anggapan bahwa kualitas terletak di masa pelanggan lebih utama dibandingkan pemenuhan spesifikasi teknis. Bounds at al (1994:63), mengutip Demings yang mengatakan bahwa kualitas harus diukur oleh interaksi antara tiga peserta yaitu: (1) produk itu sendiri, (2) pengguna dan bagaimana dia menggunakan produk, bagaimana memasangnya, dan bagaimana memeliharanya, apa yang diinginkan dari produk itu, dan (3) petunjuk oenggunan=annya, pelatihan pelanggan dan tukang yang akan memperbaikinya, pelayanan perbaikan dan ketersediaan suku cadang. Untuk menyediakan nialai yang dapat memenuhi ketiga hal di atas, maka para penyedia produk/jasa harus menjamin hal berikut: (1) kualitas rancangan/rancangan ulang (quality of design/redisgn) yang memenuhi kebutuhan pelanggan, (2) pemenuhan kualitas (quality comformance), produk yang dihasilkan memenuhi kriteria produk, dan (3) kinerja kualitas (quality performance), produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan cara pakai yang diinginkan pelanggan. Walaupun argumen yang melatar belakangi mutu tidak tepat sama antara para ahli di atas, pada prinsipnya penerapan mutu memiliki tujuan yang sama yaitu untuk: (1) meningkatkan perbaikan secara terus menerus, (2) meningkatkan nilai suatu produk atau jasa, (3) menjaga kesinambungan antara penghasil dan pengguna produk, dalam kondisi lingkungan yang selalu berubah. Definisi tersebut memiliki kesamaan bahwa (1) mutu mencakup upaya untuk memenuhi harapan/kebutuhan pelanggan, (2) mutu meliputi produk, proses, jasa dan lingkungan,
dan (3) mutu dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan. Dari berbagai pengertian kualitas untuk produk dan jasa di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas mengisyaratkan terpenuhinya kriteria tiap ciri produk atau jasa yang diinginkan oleh pelanggan yang menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Dalam konteks pendidikan, kualitas pendidikan dinilai dari kriteria ciri atau aspek pendidikan oleh stakeholder pendidikan. Namun pengadopsian konsep mutu dari produk dan jasa pendidikan tidak serta merta dapat dilaksanakan. Lynton Gray seperti yang dikutip oleh Sallis (2006:62) mengatakan, “manusia tidak sama, dan mereka dalam situasi pendidikan dan pengalaman, emosi dan opini yang tidak bisa disama ratakan. Menilai mutu pendidikan sangat berbeda dari memeriksa hasil produksi pabrik atau menilai sebuah jasa. Ide tentang pelajar sebagai prosuk mengjilangkan kompleksitas proses belajar dan keunikan setiap individu pelajar. Sesuai dengan isi pernyataan ini, penerapan konsep mutu/kualitas dalam industri ke dalam konsep mutu pada pendidikan, harus memandang individu sebagai produk dan juga sebagai pelanggan, dimana kriteria mutu adalah perubahan perilaku dan manfaat kehadirannya dalam masyarakat. Menurut Rencana Aksi Nasional Pendidikan (2007:11), tujuan pendidikan adalah mencapai mutu pendidikan yang berdaya saing global. Artinya, pencapaian akademik siswa Indonesia menyamai atau melampaui pencapaian akademik siswa asing (negara maju). Menilai mutu pendidikan tidak sesederhana menilai mutu produk atau jasa, karena karakteristik input, proses aoutput dan outcome pendidikan berbeda dengan produk dan jasa. Jika dalam kualitas produk dan jasa hanya sekedar pemuasan pelanggan, maka dalam konteks pendidikan jauh dari sekedar memenuhi kebutuhan kepuasan pelanggan, tetapi juga kebutuhan semua stakeholder pendidikan yang saling terkait dengan berbagai sektor pembangunan. Dengan keunikan input, output, proses dan dampak, mutu pendidikan harus mencakup keseluruhan aspek yang terlibat atau berkaitan dengan pendidikan. Menurut Semiawan (2005:2) bahwa kualitas sebenarnnya bisa merupakan konsep 23
Vol 3, No. 1, Juni 2013 mutidimensional yang dapat dikategorisasikan secara umum menjadi kualitas instrinsik dan kualitas ekstrinsik. Kualitas adalah suatu notasi ilmiah yang digunakan alam berbagai pengetahuan yang menunjuk pada suatu produk karya tertentu. Jadi kualitas adalah sistem tentang pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan nilai pada tingkat tertentu yang parameternya ditentukan oleh masyarakat ilmiah tertentu. Skelcher (1992:1) mengungkapkan bahwa mutu (quality) erat kaitannya dengan persamaan (equality). Ia mengatakan bahwa : While the development of service quality involves thinking about the customer as an individual it is also essential to recognize that they are member particular groups, defined in terms of sex, ethic origin, age physical ability or other characteristics. Pernyataan Skelcher tersebut menekankan bahwa mutu tidak saja mengutamakan perlunya kepuasan bagi individu, melainkan juga seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku bangsa, dan lainnya. Ia juga mengatakan bahwa mutu layanan publik termasuk di dalamnya pendidikan harus mampu memberikan pelayanan yang sama bagi setiap anggota masyarakat. Sebagaimana banyak sudut pandang terhadap kualitas produk dan jasa, demikian juga ada banyak sudut pandang yang melihat konsep mutu atau kualitas pendidikan, dari banyak konsep mutu yang disajikan, Global Monitoring report (2004:35) menyimpulkan bahwa: To this end, we might characterize the central dimensions influencing the core proccesses of teaching and learning as follows: Learner characterristic dimension, contextual dimensions, enabling input dimension, teaching and learning dimension and outcomes dimensions. Dimensi utama yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah karakteristik pesrta didik, konteks, input pendukung, unsur pengajaran dan pembelajaran, dan outcome. Karakterisitik siswa: bagaimana orang belajar ditentukan oleh kapasitas dan pengalaman mereka? Assesment yang mengabaikan perbedaan kualitas input akan menghasilkan penilaian kualitas pendidikan yang salah. Karakteristik siswa mencakup latar belakang ekonomi, kesehatan, letak kediaman, latar belakang budaya dan agama
dan jumlah pengetahuan yang diketahui sebelumnya. Juga kemungkinan cacat, suku, gender, dan termasuk keadaan HIV/AIDS. Konteks mengaitkan pendidikan dan masyarakat dan pengaruh satu dengan yang lain. Pendidikan dapat membantu peruabahan masyarakat dengan meningkatkan dan memperkuat ketrampilan, nilai komunikasi, mobilitas (mengaitkan dengan kesempatan personal dan kemakmuran), kemakmuran sesoranga dengan kebebasan. Singkatnya pendidikan mencerminkan kekuatan masyarakat dalam hal nilai dan sikap yang mencerminkan mereka besar. Input adalah nyata bahwa tanpa guru, bahan ajar tidak dapat dilaksanakan proses pengajaran dan pembelajaran. Variabel utama input adalah sumber daya material dan manusia yang mencakup sumber daya material yang disediakan masyarakat dan pemerintah, buku pelajaran, kelas, perpustakaan, fasilitas sekolah dan infra struktur yang lain. Sumber daya manusia mencakup manajer, administrator, pegawai pendukung, pengawas, penyelia, dan yang paling penting guru. Input pendukung (enable inputs), hal lain yang tak kalah penting adalah variabel pendukung terlaksananya kegiatan pembelajaran. Input pendukung merupakan faktor potensial penting yang dimiliki pengaruh tidak langsung pada pembelajaran dan pegajaran adalah kepemimpinan yang kuat, suatu lingkungan yang aman dan menyenangkan, keterlibatan komunitas, dan insentif untuk pencapaian hasil yang baik. Teaching and learning. Dalam gambar dijelaskan bahwa proses pembelajaran dan pengajaran dibungkus tertutup dalam sistem pendukung input dan faktor kontekstual. Pengajaran dan pembelajaran merupakan arena kunci bagi perubahan dan pengembangan manusia. Hal ini merupakan dampak dari kurikulum yang dapat dirasakan, bahwa metode guru bekerja dengan baik atau tidak atau bahwa siswa termotivasi untuk berpartisipasi, dan belajar bagaimana belajar. Sedangkan input langsung dalam proses pengajaran dan pembelajran adalah waktu yang dihabiskan/digunakan siswa di kelas, metode penilaian yang un tuk menilai pencapaian siswa, gaya pengajaran, bahasa pengantar dan strategi pengorganisasian kelas. Outcomes pendidikan harus dinilai dalam konteks tujuan yang ditetapkan. 24
Vol 3, No. 1, Juni 2013 Umumnya dinyatakan dalam pencapaian akademik dalam bentuk hasil tes, yang menggambarkan perkembangan emosi dan kreativitas, perubahan nilai, sikap dan perilaku. Hal lain yang dapat dilakukan dengan membuat penilaian peningkatan pencapaian sosial dan ekonomi, seperti keberhasilan di pasar kerja. Kualitas pendidikan dalam hal ini adalah pemenuhan kriteria penyelenggaraan pendidikan yang memiliki daya saing sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kriteria penyelanggaraan pendidikan adalah ketersediaan karakteristik peserta didik, konteks, input pendukung, unsur pengajaran, dan pembelajaran serta outcome. Gambar : Framework for Understanding Education Quality
INPUT Aptitude Perserver School to adiness Action fasilities
Economic and labor market conditions in the community Sosio cultural and religius factors Aid Strategies
ENABLE INPUTS (Teaching and Learning): Learning time Teaching Method Assesment, feedback, incentive Class Size
Educational knowledge and support infrastructure Public rsources and available for education Completivenes s of the teaching profession National governance and Management strategies
OUTCOMES Literacy numeracy and life skills Creative and emotional skills Values Social benefits
Philosopica l stand point
National standart
Peer effect
Publics expectations
Parental support
Labor market demands
Time available for schooling and homework
Globalization
Sumber :EFA Global Monitoring Report, p35, 2004 (http:globalwarning.com) Menurut para pakar pendidikan Unicef (Education Section Programme Division, United Nations Children’s Fund), (2000:4) : What does quality mean in the context of education? Many definitions of quality in education exist, testifying to the complexity and multifaceted nature of the concept. The term efficiency, effectiveness, equity and quality have often been used synonymously (Adam, 1993). Considerable consensus exists around the basic dimensions of quality education today, however. Quality education includes: (1) learners who are healthy, well-nourished and ready to participate and learn, and supported in learning by their families and communities; (2) Environments that are he althy, safe, protective
and gender sensitive and provide adequate resources and facilities; (3) Content that is reflected in relevant curricula and materials for the acquisition of basic skills, especially in the areas of literacy, numeracy and skills of life, and nowledge in such areas as gender, health, nutrition, HIV/AIDS prevention and peace; (4) processes through which trained teachers use child-centred teaching approaches in wellmanaged classrooms and schools and skilful assesment a political, cultural and economic context. This paper will examine research related to these dimensions. It is important to keep in mind education’s systemic nature, however; (5) these dimensions are interdependent influencing each other in ways that are sometimes unforeseeable. Kualitas pendidikan meliputi kualitas peserta didik, lingkungan pembelajaran, isi proses dan outcomes. Kualitas pendidikan. Sistem persekolahan bekerja dengan anak yang datang ke sekolah, oleh karena itu kualitas kehidupan peserta didik sebelum memasuki sekolah formal sangat dipengaruhi oleh jenis siswa itu sendiri (sehat, kuat, memiliki mental yang baik). Lingkungan pembelajaran. Pembelajaran dapat berlangsung dimana saja, tetapi pembelajaran positif umumnya berlangsung di lingkungan pembelajaran yang berkualitas. Kualitas konten. Kualitas konten menunjuk pada kurikulum yang diajarkan. Dalam tujuan nasional pendidikan, pernnyataan hasil yang menterjemahkan tujuan adalah tujuan yang dapat diukur merupakan titik awal pengembangan dan implementasi kurikulum. Kurikulum harus berfokus kepada siswa, tidak diskriminatif, struktur kurikulum berdasarkan standar, keunikan isi lokal dan nasional. Proses berkualitas, sampai saat ini diskusi tentang kualitas pendidikan yang berfokus pada sistem input. Banyak perhatian diberikan pada proses pendidikan, yaitu bagaimana guru dan administrator dalam menggunakan input untuk membentuk pengalaman pembelajaran siswa. Mereka merupakan faktor kunci dalam menjamin kualitas proses pendidikan. Pelatihan guru tentang pembelajaran profesional dan kompetensi guru, efisiensi sekolah, pengembangan profesional, dukungan berkelanjutan pembelajaran yang berfokus pada siswa, metoda partisipasi aktif, mekanisme sistem umpan balik, kepercayaan bahwa semua siswa dapat belajar dan kondisi 25
Vol 3, No. 1, Juni 2013 tempat guru bekerja. Sedangkan yang administrator adalah dukungan administratif dan kepemimpinan, akses siswa terhadap bahasa pengantar pembelajaran yang digunakan, keragaman proses dan fasilitas. Kualitas outcome, meliputi lingungan, isi dan proses yang ditemui siswa di sekolah menuntun kepada hasil yang bervariasi, sebagiabn diharapkan dan sebagian lagi tidak. Kualitas outcome pelajar adalah ditekankan dan diharapkan mempengaruhi sistem pendidikan. Semuanya itu adalah apa yang siswa ketahui dan dapat lakukan, termasuk sikap dan harapan yang mereka miliki bagi mereka sendiri dan bagi masyarakatnya. Hubungan dari masingmasing dimensi di atas akan menggambarkan pendefinisian kualitas pendidikan seperti gambar berikut: Gambar : Defining Quality In Education LEARNERS AND TEACHERS AS LEARNERS Health and Psychosocial Development Good health and nutrition status Learner confidence and self-esteem Regular attendance for learning Early assesment of disabilities Home Home/school/community partnerships Family support for learning Positive early chilhood experiences
ENVIRONTMENTS Physical Element Access to quality school facilities including weter and sanitation Class size Psychosocial Elements Peaceful, safe environments especially for girls Effective school discipline, health and nutrition policies Inclusive environments Service Delivery Provision of health service
QUALITY OUTCOMES Learning what they need to learn, for learning throughout this Heallthy, well-nourished, and free from exploitation, molence and labour A were of their right and have opportunities to realisthem Able to participate in decisions that effect their lives inaccordance with their evolving capacities Able to respect diversity, practice equality, and resolve differences without violence
CONTENT Materials Comprehensible, gender-sensitive, relevant to schooling Curriculum Based on defined learning outcomes Non discriminatory and student centred Unique local and national content Include literacy, numeracy, lifeskills Include relevant knowledge on gender equity, HIV/AIDS, healthy nutrition and peace Standards Standards and taargets for student learning
PROCESSES
Students
Intervention and sppecial assistance where needed Time on task Access to language used at school Relevant, student centred methods leading to active participation
Teachers
Competence and school efficiency On going professional learning for teachers Positive and gender-sensitive teacher/student relationships Beliief that all students can learn and commitment to student leaning Feedback mechanisms that target learning needs Frequert monitoring and assesment by teachers that leads to further leaning
Supervision and Support
Adjustment in school hours and calenders to support student learning Administrative support and leadership Using technology to decrease rather then Increase disparitless Goverments that are supportive of education systems, espeecially for recurrent budgets
Positive living/working conditions
Sumber: Defining Quaality In Education (Education Section Programme Division, United Nations Children’s Fund) (2000:30) Menurut web Unicef (1990:1) bahwa kualitas pendidikan ditentukan oleh lima dimensi yaitu “what learners bring, environments, content, process, and outcomes”.
Artinya kualitas pendidikan ditentukan oleh apa yang peserta didik bawa, lingkungan, isi, proses, dan outcome. Learning brings, siswa membawa banyak hal saat memasuki pendidikan seperti bahasa, budaya, dan pengalaman awalnya. Siswa dan orang muda yang memiliki fisik dan sosial yang sehat dan bertumbuh dengan seimbang, siap belajar merupakan hal yang menguntungkan dari pendidikan. Sekali siswa memasuki pendidikan dengan pencapaian akademik, keluarga dan masyarakat memiliki peran kunci dalam menjamin siswa menghadiri kelas secara teratur. The learning environment, lingkungan pembelajaran adalah suatu dimensi penting dari kualitas pendidikan. Kualitas lingkungan pembelajaran mencakup kecukupan ketersediaan fasilitas seperti bangunan sekolah dimana siswa memiliki akses pelatihan fisik yang sama, fasilitas sanitasi yang memadai dan sehat, air yang sehat dan pelayanan kesehatan. Kecukupan ini mencakup ukuran kelas yang memadai, sehingga siswa dapat mengajar semua siswa, selanjutnya pada saat yang sama siswa dapat belajar, serta kebijakan sekolah yang mempromoosikan kesehatan fisik dan mental. Lingkungan pendidikan harus aman dan tempat yang siswa dapat merasa bebas untuk belajar. Suatu lingkungan pembelajaran yang berkualitas adalah suatu tempat dimana siswa merasa bebas belajar, dimana mereka memiliki sumberdaya belajar yang cukup, suatu lingkungan/suasana dimana siswa dapat bebas belaajr, dalam pembelajaran siswa dapat merasa senang dan bangga oleh karena memiliki lingkungan yang positif. Suatu lingkungan pembelajaran memberikan waktu keapada siswa dan ruang untuk mencipta. Ruang sekolah dan lingkungan sekolah yang aman, damai dan tempat yang teratur dimana semua siswa dapat menghabiskan waktu dalam kegiatan pembelajaran. Content, mencakup kurikulum dan material pembelajaran yang sesuai, yang dikembangkan berdasarkan tujuan pendidikan nasional. Suatu kurikulum yang relevan adalah kurikulum yang memiliki dua sisi tentang apa yang terjadi dalam masyarakat dan sebuah untuk menjadikan negara dan dunia yang lebih baik, lebih mendapatkan kedamaian masa depan semua bangsa. Material kurikulum harus menjamin 26
Vol 3, No. 1, Juni 2013 bahwa peserta didik dapat membaca, menggunakan angka, keterampilan hidup di dalam kehidupan nyata. Juga termasuk pengetahuan tentang hak, gender, kesehatan, pencegahan HIV/AIDS dan kedamaian. Kualitas konten adalah yang sesuai dengan tingkat pembelajaran, dan bahasa yang siswa dan guru bersama-sama mengerti. Pemerintah harus mengadopsi kurikulum yang relevan, berfokus pada siswa, dan tidak diskriminatif dan dirancang mudah dipahami oleh guru. Process, pendidikan yang berkualitas mencakup tersedianya guru yang terlatih serta profesional dalam pembelajaran dan pengembangan, terkelola dengan baik, akrab terhadap siswa dan tidak diskriminatif di kelas dan di sekolah, mengajar sesuai dengan keahliannya, menggunakan metoda yang berfokus kepada partisipasi siswa, mahir dalam mengevaluasi dan memfasilitasi siswa, dan mampu menggunakan teknologi yang tepat. Para peserta didik harus diajar dalam bahasa yang memungkinkan mereka dapat mengikuti pembelaajran. Kegiatan pembelajaran harus didasarkan pada suatu kepercayaan bahwa semua siswa dapat belajar. Sistem pendidikan dan masyarakat harus mendukung kehidupan dan kondisi kerja yang baik. Penyelia harus menyediakan dukungan administratif dan kepemimpinan. Outcomes, pendidikan harus menghasilkan siswa yaang sehat yang dapat membaca dan menulis, mampu menerima atau memahami matematika, ilmu pengetahuan alam, teknologi dan ketrampilan untuk kehidupan. Selanjutnya menurut education Thailand Quality (2001:76) kualitas pendidikan di Thailand dievaluasi dari (1) pencapaian siswa, dilihat dari pencapaian siswa terhadap standar nilai yang ditetapkan, (2) kualifikasi guru, dilihat dari tingkat pendidikan, rasio guru di tiap kelas. Perbandingan guru-ruangan kelas adalah penting dalam konteks mutu pendidikan. Jika perbandingan guru-ruang kelas kurang satu, maka tidak cukup guru untuk mengajar di kelas (sekolah dasar) dan mata pelajaran (sekolah menengah) yang akan mempengaruhi mutu pendidikan. Dalam hal efisiensi pendidikan, isu diarahkan kepada efisiensi internal dan eksternal. Indikator efisiensi internal adalah perbandingan siswaguru, siswa putus sekolah dan dopout. Dalam
hal efisiensi eksternal dilihat dari relevansi pendidikan dengan dunia kerja. Sekolah sebagai sistem tersusun dari komponen-komponen baku yang saling terkait untuk mencapai tujuan, yaitu konteks, input, proses, konten dan outcome. Konteks termasuk kemajuan ipteks, nilai dan harapan masyarakat, dukungan pemerintah, tuntutan globalisasi dan otonomi, tuntutan pengembangan diri, dan sebagainya. Input mencakup harapan sekolah (visi, misi, tujuan), kurikulum, ketenagaan, peserta didik, sarana prasarana, dana peraturan perundangundangan termasuk regulasi sekolah, struktur organisasi yang disertai deskripsi tugas dan fungsi, dan sistem administrasi. Proses mencakup proses belajar mengajar, manajemen sekolah, dan kepemimpinan sekolah. Output mencakup kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, dan inovasinya. Khusus yang berkaitan dengan kualitas dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi belajar peserta didik, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam prestasi akademik (ulangan umum, UN, lomba karya ilmiah, dan lomba-lomba akademik lainnya) dan prestasi non akademik (keagamaan, karakter/kepribadian, keolahragaan, kesenian, keterampilan vokasional, kepramukaan, dan sebagainya). Outcome adalah dampak tamatan setelah kurun waktu agak lama. Outcome pendidikan meliputi kesempatan melanjutkan sekolah, kesempatan kerja, pengembangan diri, dan pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mengetahui outcome sekolah harus melakukan penelusuran tamatan. Menurut Padnamabhan (2001): Both external efficiency and internal efficiency are important for improving teh education system. Internal efficiency refers to the number of students who pass from one grade to the other and complete the cycle in the prescribed period. External efficiency is the effectiveness of education in the labour market. Kedua efisiensi internal dan eksternal penting bagi peningkatan sistem pendidikan. Internal efisiensi menunjuk kepada jumlah siswa yang lulus dari satu jenjang pendidikan kepada jenjang pendidikan dan penyelesaiannya dalam periode waktu yang 27
Vol 3, No. 1, Juni 2013 ditetapkan. Eksternal efisiensi adalah efektivitas pendidikan di dalam dunia usaha. Eksternal efisiensi bertujuan untuk menghasilkan keterampilan yang dapat dijual dalam proporsi yang tepat sehingga tenaga kerja yang dicari mampu mengaplikasikan keterampilan mereka dengan gaji yang seimbang dengan kebutuhan hidup. Menurut William Loxley (http:www.adb.org) kriteria efisiensi internal dan eksternal di tiap jenjang berbeda, kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel . Efisiensi internal dan eksternal School Internal External Efficiency Level Efficiency Efficiency of schooling Basic High Pass Good Citizenship Education rates, Literacy/Numeracy Drop-out Prevention Secondary Cost Market-based skills Education effective wage employment and above approaches on-job training to service delivery of education Dari tabel tersebut dijelaskan bahwa efisiensi internal dan eksternal pendidikan menyatakan kualitas pendidikan dilihat sisi input, output dan outcome pendidikan. Namun, input dan output pendidikan tidak terlepas dari proses, sedangkan outcome akan memberi dampak. Dengan demikian efisiensi internal ditentukan oleh input, proses dan output, sedangkan efisiensi ekternal ditentukan oleh outcome dan impact pendidikan. Selanjutnya efisiensi diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output pendidikan (pencapaian belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output pendidikan (Coombs & Hallak, 1987). Efisiensi internal biasanya diukur dengan biaya efektivitas. Menurut Agus (2003) setiap penil;aian biaya efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya
masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan komulatif (individual, sosial, ekonomi, dan non-ekonomi) yang didapat setelah pada kurun waaktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal. Inovasi adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses dan output agar dapat sukses dalam menanggapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan internal dan eksternal sekolah. Inovasi selalu memberikan nilai tambah terhadap input, proses, dan output yang ada. Dengan demikian mutu pendidikan dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi efisiensi pendidikan dan dari tersedianya input, proses, output, outcome dan dampak yang memenuhi pencapaian tuntutan tujuan pendidikan nasional. Mutu pendidikan dari sisi efisiensi pendidikan adalah efisiensi internal (input, proses, output) dan eksternal (outcome dan dampak) pendidikan dalam memenuhi tujuan pendidikan nasional. Kualitas pendidikan adalah tersedianya input, proses dan outcome yang memenuhi pencapaian tuntutan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional terdapat pada Bab II pasal 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkannya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Input pendidikan meliputi siswa, guru, material (sarana dan prasarana), kurikulum, lingkungan, pengawasan dan dukungan. Proses pendidikan mencakup metoda pembelajaran, sistem penilaian, dan manajemen. Outcome meliputi, ketrampilan hidup, baca, dan hitung; kreativitas dan keterampilan emosional; nilai; dan manfaat sosial. Sedangkan output adalah tingkat kelulusan siswa, tinggal kelas, drop out. Nilai kelulusan siswa melewati standar nasional 28
Vol 3, No. 1, Juni 2013 atau internasional merupakan cerminan outcome. Dalam penelitian ini input, proses, output dan outcome dapat menjadi indikator untuk mengatakan bahwa kualitas pendidikan tergolong tinggi atau rendah. Tujuan pendidikan tercapai atau tidak dinyatakan oleh kualitas outcome pendidikan. Namun standar nilai skolastik evaluasi pendidikan harus menjadi cermin outcome. Sehingga jika semua komponen input dan proses pendidikan telah dipenuhi, maka output konsisten dengan outcome pendidikan. b. Peningkatan Kualitas Pendidikan Kata peningkatan menunjukkan kepada adanya pertambahan tingkat, jumlah, ukuran, kedaan, dan lain-lain dari suatu posisi ke posisi yang lebih tinggi. Dalam konteks mutu, berarti adanya pertambahan nilai mutu pendidikan. Menurut Bounds (1994:77), Quality improvement is the means of rising quality performance to unprecedented levels (breakingthrough). Peningkatan kualitas dapat diartikan sebagai peningkatan atau pertambahan kinerja sehingga menembus batas yang belum pernah dicapai sebelumnya. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas pendidikan berkaitan pertambahan kualitas, kinerja atau unjuk kerja input, proses, output, outcome dan dampak pendidikan. Artinya peningkatan kualitas pendidikan adalah peningkatan kualitas aspek atau dimensi penyelenggaraan pendidikan, atau peningkatan efisiensi internal dan eksternal pendidikan. Selanjutnya menurut Ken Gannicott dan David Throsby (1998:217), kualitas pendidikan berkaitan dengan tingkat pelatihan guru, ukuran kelas, material pembelajaran, pembelajaran bahasa, dan reformasi kurikulum. Dalam hal peningkatan kualitas pendidikan dalam penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu proses pendidikan dan produk (outcome). Sebagai produk, keluaran pendidikan diukur dari pemahaman siswa atas materi pembelajaran yang telah diikuti dalam suatu periode pembelajaran dan sebagai proses, kegiatan pembelajaran diukur dari kualitas pelayanan dalam proses pembelajaran. 2. Hakikat Persepsi Guru pada Kebijakan TIK
a. Kebijakan TIK UU RI 11/2008 dan Permendiknas 38/2008 merupakan sebuah kebijakan pemerintah (public policy). Menurut Dye (1976:1) kebijakan publik adalah studi tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut. Menurut William N. Dunn (2003:132) kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihanpilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau pemerintah. Selanjutnya pendapat Eulia dan Prewit dalam Jones (1984:47) mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Jones menambahkan bahwa suatu kebijakan dapat dikatakan kebijakan publik atau tidak dapat dilihat dari komponen kebijakan tersebut, yaitu (a) Intention, yaitu niat atau tujuan sebenarnya dari suatu tindakan; (b) Goals, yaitu tujuan atau kedaan akhir yang hendak dicapai; (c) Plan or proposal, yaitu rencana atau usulan untuk mencapai tujuan; (d) Program, yaitu program yang disyahkan untuk mencapai tujuan kebijakan; (e) Decisions or choices, yaitu keputusan atau pilihan atas tindakan-tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan, mengembangkan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program; dan (f) Effect, yaitu dampak atau pengaruh yang dapat diukur. Dari beberapa pendapat di atas , secara umum dapat di kategorikan menjadi dua pendapat, yaitu pertama, pendapat yang lebih menekankan kepada kebijakan sebagai seluruh tindakan yang dilakukan pemerintah dalam mengatur urusan publik. Sedangkan pendapat kedua, lebih menekankan kebijakan publik sebagai aspek pelaksana kebijakan (policy implementation). Dalam hal ini Dye (1978:10) lebaih cenderung mendukung pendapat yang pertama, ia mendefinisikan kebijakan publik seabgai “whatever governments choose to do or not to do”. Selanjutnya Nakamura dan Smallwood (1980:31) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi kepada para pembuat kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan publik berada pada tiga 29
Vol 3, No. 1, Juni 2013 lingkup kebijakan, yaitu perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian (evaluasi) kebijakan. Hal ini didukung oleh Bromley (1989:33) yang dikenal dengan aliran public policy (public policy school), melihat proses kebijakan sebagai suatu hirarki yang secara umum terdapat tiga tingkat proses peprubahan kelembagaan yaitu: (a) tingkat kebijakan (policy level), (b) tingkat organisasi (organization level), dan (c) tingkat operasional (operational level). Proses kebijakan dapat dilihat pada gambar berikut Dalam sistem negara demokrasi seperti Indonesia, policy level ini dipresentasikan oleh lembaga legislatif dan yudikatif, sedangkan organizational level oleh lembaga ekskutif, dan operational level adalah unit-unit operasional yang ada di masyarakat seperti perusahaan, organisasi, lembaga pendidikan dan lain-lain. Gambar : The Policy Proccess as a Hierarchy. (Bromley, 1989:33) Policy Level
Institusional Arrangement
Organizational Level
Institusional Arrangement
Operational Level
Pattern of Interaction
Outcomes Assesment
Sejalan dengan pendapat Nugroho (2004:74) bahwa proses tentang bagaimana siklus skematik dari kebijakan publik, yang mana terdapat tiga kegiatan pokok, yaitu: (a) perumusan kebijakan, (b) implementasi kebijakan, dan (c) Evaluasi kebijakan. Siklus skematik dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar : Siklus Skematik Kebijakan Publik (Nugroho, 2004:74) Perumus an Kebijaka n Publik Out Out put com e
Isue/Masalah Publik
Implementasi Kebijakan Publik
Evaluasi Kebijaka Apabila dikaitkan dengan n Publikpenelitian ini,
maka penelitian ini sebatas pada operational level yaitu kebijakan yang dilaksanakan oleh sekolah dalam hal ini guru yang berperan atau merupakan wahana dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan proses kebijakan (formulasi implementasi) yang mengakomodasikan kegiatan teknis. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) (bahasa Inggris: Information and Communication Technologies; ICT) adalah payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi komunikasi adalah dua buah konsep yang tidak terpisahkan. Jadi Teknologi Informasi dan Komunikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media. Istilah TIK muncul setelah adanya perpaduan antara teknologi komputer (baik perangkat keras maupun perangkat lunak) dengan teknologi komunikasi pada pertengahan abad ke-20. Perpaduan kedua teknologi tersebut berkembang pesat melampaui bidang teknologi lainnya. Hingga awal abad ke-21 TIK masih terus mengalami berbagai perubahan dan belum terlihat titik jenuhnya. Kebijakan TIK adalah kebijakan dari pemerintah yang mengatur tentang TIK mulai 30
Vol 3, No. 1, Juni 2013 dari pemanfaatannya, sampai pada efek yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut. Kebijakan TIK terkait dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 (UU RI 11/2008) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi dengan perangkat komputer. Saat ini kemajuan teknologi dan informasi berjalan dengan sangat cepat. Adanya internet memungkinkan setiap orang mudah untuk mengakses informasi dan bertransaksi dengan dunia luar. Bahkan internet dapat menciptakan suatu jaringan komunikasi antar belahan dunia sekalipun. UU ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi diantaranya dalam penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Hal tersebut adalah sebuah langkah maju yang di tempuh oleh pemerintah dalam penyelenggaraan layanan informasi secara online yang mencakup beberapa aspek kriteria dalam penyampaian informasi. UU ini memiliki tujuan seperti yang termuat dalam pasal 4 dinyatakan bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: (a) mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; (b) mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (c) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; (d) membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan (e) memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. Selanjutnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 38 tahun 2008 (Permendiknas 38/2008) tentang Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Teknologi Informasi dan Komunikasi
Departemen yang selanjutnya disebut TIK Departemen adalah teknologi informasi dan komunikasi berbasis elektronika yang digunakan oleh Departemen untuk melakukan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi. Dalam pasal 2 disebutkan TIK Departemen Pendidikan Nasional meliputi Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) dan LAN (Local Area Network). Jardiknas merupakan jaringan TIK nasional yang digunakan oleh Departemen guna keperluan komunikasi data administrasi, konten pembelajaran, serta informasi dan kebijakan pendidikan. Jardiknas menghubungkan simpul yang terdiri atas zona kantor, zona perguruan tinggi, zona sekolah, dan zona perorangan. Sedangkan LAN Departemen adalah jaringan intranet yang menghubungkan titik pusat Jardiknas ke setiap simpul di gedung-gedung kantor pusat Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya dalam pasal 8 Permendiknas ini disebutkan bahwa jenis konten terdiri atas konten administrasi (eadministrasi), konten pembelajaran (epembelajaran) serta konten informasi dan kebijakan pendidikan. Terkait dengan keberadaan guru, maka TIK akan berhubungan dengan tugas seorang guru baik dalam administrasi yang berkaitan dengan tugas guru maupun dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Hal yang sangat penting dari peraturan di atas adalah penggunaan TIK oleh guru baik penggunaannya dalam administrasi (eadministrasi) maupun penggunaannya dalam proses pembelajaran (e-pembelajaran). b. Persepsi Guru Persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan maupun lewat penciuman. Aspek perasaan dan penghayatan disini dirasa kurang tepat sebagai alat penerima informasi dari lingkungan, tetapi perasaan dan penghayatan merupakan kelanjutan dari proses informasi yang diterima melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman ataupun alat perasa. Penginderaan merupakan aspek awal dalam menerima informasi yang kemudian dipersepsikan pada berbagai indera 31
Vol 3, No. 1, Juni 2013 seperti mencium, mendengar, melihat, meraba sesuatu objek, peristiwa, ide atau kegiatan. Gambaran di atas sejalan dengan pendapat Stephen P. Robbins (1996:125) tentang persepsi. Ia menyatakan bahwa : “Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Menurut The New Encyclopaedia Britannica (1993), persepsi adalah "the process where by sensory stimulation is translated into organized for meaningful experience”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1994) persepsi merupakan pandangan yang diberikan berasaskan kepada idea sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Selanjutnya dalam kamus/Dictionary information (2005:1) persepsi sebagai (1) tindakan perasaan, pengetahuan melalui perasaan atau intelek penangkapan melalui organ tubuh, atau pikiran, tentang apa yang tergambar, juga berkaitan dengan ketajaman, keperihatian, kesadaran, (2) kemampuan menerima, kemampuan atau bagian khas, keadaan jasmanai seseorang bagaimana seseorang itu memiliki pengetahuan melalui perantara atau alat organ tubuh, tindakan memnangkap obyek atau kualitas melalui perasan. Travers dan Robert (1982: 29) menegaskan pengertian persepsi sebagai proses dimana organisme hidup memelihara hubungan dengan lingkungan. Hubungan ini dipertahankan melalui sistem kompleks organ perasa dan suatu oto yang memiliki organ perasa yang dapat diarahkan untuk menerima informasi dari bagian-bagian lingkungan tertentu, yang disebut sebagai keterbukaan yang cepat (immediate exposure) terhadap sumber informaasi di lingkungan tersebut. Persepsi merupakan proses bagaimana organisme menafsirkan dan mengorganisasikan sensasi untuk menumbuhkan suatu pengalaman bermakna di dunia. Sensasi biasanya didasarkan hasil rangsangan indera penerima dengan segera, relatif tidak terproses di mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Dengan kata ain persepsi lebih menggambarkan pengalaman pokok seseorang tentang dunia dan secara khusus melibatkan pemrosesan lebih lanjut terhadap masukan indera. Selanjutnya Radessay (2005:1) menyatakan bahwa sensasi dan
persepsi tidak mungkin dipisahkan, sebab keduanya bagian proses yang berkelanjutan. Organ perasaan menterjemahkan energi phisik dari lingkungan menjadi impuls listrik yang diproses oleh otak. Proses persepsi menterjemahkannya sebagai objek kejadian, orang, dan situasi. Hal ini memberi makna bahwa tanpa kemampuan mengoorganisasi dan menerjemahkan sensasi, hidup akan tampak tidak bermakna. Seseorang yang tanpa kemampuan perseptual tidak akan mampu mengenal wajah, memahami bahasa, atau menghindari bahaya. Pendapat lain dikemukakan oleh H. Muh. Said dan Junimar Affan yang menyatakan bahwa : “Persepsi adalah proses yang membeda-bedakan rangsang yang masuk untuk selanjutnya diberikan maknanya dengan bantuan beberapa faktor”. Sejalan dengan itu Sarlito dalam Munir (2010:11) mengemukakan persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Sedangkan alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Lebih luas lagi tentang pengertian persepsi sebagaimana dipaparkan oleh Filley. Menurut Filley dalam Endang (http://endang965.wordpress.com) ada tiga komponen utama dari proses persepsi. Ketiga komponen itu sebagai berikut : (a) Seleksi, merupakan proses psikologis yang sangat erat dengan pengamatan atau stimulus yang diterima dari luar. Rangsangan (stimulus) dari luar yang mencapai indera kita terbatas, baik mengenai jenis, maupun mengenai intensitasnya. Namun sebagian kecil stimulus yang mencapai kesadaran kita, karena adanya proses penyaringan, disamping faktor intensitas perhatian yang diberikan; (b) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang, Interpretasi tergantung kepada berbagai faktor, seperti pengalaman, sistem nilai, motivasi, kepribadian dan kecerdasan; (c) Reaksi, interpretasi dari persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku. Informasi yang diterima individu mengenai objek, peristiwa, kegiatan atau ide, kemudian diorganisikan dan dinterprestasikan sehingga melahirkan pendapat atau pandangan. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menginterprestasikan informasi yang 32
Vol 3, No. 1, Juni 2013 diterimanya tentang objek, peristiwa, ide atau kegiatan tertentu, diantaranya pengalaman, motivasi, kecerdasan dan intensitas perhatian yang diberikan. Informasi-informasi tentang suatu objek, peristiwa atau kegiatan dapat diterima melalui proses pengamatan, pendengaran, perabaan maupun melalui penciuman. Informasi yang diterima diseleksi oleh individu sesuai dengan kepentingan utama masing-masing, dan dipahami menurut kebiasaan masing-masing individu. Persepsi seseorang pada hakekatnya dibentuk oleh budaya karena ia menerima pengetahuan dari generassi sebelumnya. Ini mengartikan bahwa persepsi berkaitan dengan komunikasi. Melalui komunikasi orang dapat memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh tersebut digunakan untuk memberi makna terhadap fakta, peristiwa, dan gejala yang dihadapinya. Persepsi sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesankesan indera individu tersebut agar memberikan makna bagi individu itu sendiri. Dipertegas oleh Sutopo dalam Munir, AM. (2010:11) persepsi selalu berkaitan dengan pengalaman dan tujuan seseorang pada waktu terjadinya proses persepsi tersebut. Hal tersebut merupakan tingkah laku selektif dan bertujuan, ia juga merupakan proses pencapaian makna. Dalam persepsi pengalaman merupakan faktor penting dalam menentukan hasil persepsi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa persepsi itu adalah kesan atau pandangan seseorang terhadap obyek tertentu. Suatu proses dengan mana seseorang memilih, mengorganisir dan menginterprestasikan informasi yang dikumpulkannya dengan maksud untuk mengerti dunia sekitarnya. Sebagai cara yang unik dimana setiap orang melihat, mengorganisir dan menginterprestasikan sesuatu. Suatu proses mengenal dan mengerti orang lain. Sebagai interpretasi dari informasi yang diterima melalui pancaindera, suatu arti yang dikuatkan pada informasi yang diterima melalui panca indera. Kenyataan di atas berlaku juga bagi guru-guru dalam menerima informasi tentang kebijakan TIK. Informasi tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk pendapat atau pandangan. Pendapat atau pandangan tersebut merupakan konstruksi dari masingmasing guru.
c. Persepsi Guru pada Kebijakan TIK Salah satu dasar pengkajian persepsi atau pandangan guru pada kebijakan TIK menurut Willson, B (1995:236) adalah pendekatan konstruktif untuk program pendidikan yaitu siswa boleh bekerja bersama-sama dan saling mendukung sesamanya seperti menggunakan alat yang beragam dan sumber informasi dalam arah pencapaian tujuan pembelajaran dan aktivitas pemecahan masalah. Sebagaimana yang diketengahkan oleh Schuell (1987) bahwa persepsi guru adalah setiap konsep serta anggapan yang dipegang oleh seseorang itu terhadap sesuatu ilmu sains, cara limit itu disampaikan dan bagaimana sesuatu ilmu baru itu ditemui adalah kesemuanya yang diperoleh dari pembelajaran dan pendidikan. Sehingga, apa yang diajarkan dan cara pembelajaran ilmu itu perlu dipedomani. Kenyataan ini menggambarkan bahwa cara pemahaman konsep yang berbeda di dalam diri seorang pendidik itu turut mempengaruhi dan mewarnai cara pengajaran yang disampaikannya. Oleh karena itu pandangan serta konsep di dalam diri seorang guru itu memainkan peranan yang sangat penting di dalam pelaksanaan pendidikan. Berdasarkan uraian di atas pengkajian persepsi guru pada kebijakan TIK adalah ditinjau dari sudut pandangan guru tentang kebermanfaatan TIK, baik kebermanfaatannya dari sisi e-administrasi, maupun kebermanfaatannya dari sisi e-pembelajaran. Berdasarkan hal ini tampak persepsi guru tentang kebijakan TIK merupakan faktor yang vital di dalam peningkatan kompetensi guru di bidang TIK. Keberhasilan guru memadukan TIK dalam pembelajaran menunjukkan tingkat kompetensi yang dimiliki seseorang guru di bidang TIK. Dalam penelitian Chris Cope (2005:1) dikemukakan bahwa guru yang menerima kebijakan TIK sebagai teknologi pembelajaran dan sebagai alat dalam konteks pembelajaran cenderung melakukan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa yaitu pedekatan pembelajaran perubahan konseptual dan cenderung mendorong siswa menggunakan pendekatan pembelajaran yang mendalam. Dengan demikian secara konseptual yang dimakksudkan dengan persepsi guru tentang Kebijakan TIK adalah pandangan guru tentang nilai TIK dan manfaat TIK yang 33
Vol 3, No. 1, Juni 2013 dirasakan guru dalam pembelajaran, berkomunikasi, dan memenuhi kebutuhan tugas pribadi dan profesi guru. 3. Hakikat Implementasi Kebijakan TIK sebagai Sarana Pembelajaran a. Kebijakan TIK sebagai Sarana Pembelajaran Menurut Van Meter & Van Horn, (1975:460) Pada kebanyakan kasus, kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara sedikit demi sedikit (incremental) biasanya akan mendapat banyak dukungan; atau sebaliknya, jika kebijakan menghendaki perubahan yang radikal maka pertentangan antar actor juga akan tinggi sehingga akan menghambat implementasi. Oleh karenanya jika menginginkan kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan perubahan marginal yang terjadi secara incremental. Perubahan pada komunikasi manusia sebagai hasil teknologi baru menurut Johan (2013) meliputi: (a) Sistem komunikasi baru memiliki tingkat interaktivitas tertentu, seperti percakapan dua orang atau tatap muka. Interaktivitas adalah kemampuan sistem komunikasi baru untuk berbicara kembali kepada pengguna atau hampir seperti seorang individu yang berpartisipasi dalam percakapan; (b) Media baru juga demassified yaitu bahwa sebuah pesan khusus dapat ditukar dengan setiap individu dalam khalayak yang besar. Menyamakan individualisasi seperti media baru untuk komunikasi tatap muka interpersonal, kecuali bahwa mereka tidak bertatap muka; dan (c) Teknologi komunikasi baru juga sinkron, yang berarti mereka memiliki kemampuan untuk mengirim atau menerima pesan pada waktu yang tepat bagi seorang individu. Teknologi adalah desain untuk tindakan instrumental yang mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab-akibat yang terlibat dalam mencapai hasil yang diinginkan. Teknologi biasanya memiliki dua aspek yaitu aspek perangkat keras (terdiri dari materi atau benda-benda fisik) dan aspek perangkat lunak (terdiri dari basis informasi untuk perangkat keras). Kedua aspek tersebut penting untuk penggunaan praktis komputer, tetapi karena perangkat keras lebih terlihat oleh pengamat kasual, maka kita akan berpikir teknologi utama adalah perangkat keras.
TIK sebagai suatu aktifitas yang memanfaatkan sebuah sistem untuk mengolah dan atau memodifikasi serta memindahkan informasi dari satu media ke media yang lain. Dalam makna yang luas yang artinya dapat diterapkan ke berbagai aspek kehidupan. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan adalah komputerisasi pada sebuah institusi sekolah. Dimana semua hal yang terkait baik itu berupa data kesiswaan, staf pengajar, tata usaha serta yang lainnya terintegrasi ke dalam sebuah jaringan. Masing-masing divisi bisa saling terhubung serta mengakses semua informasi dengan mudah. Selain itu, pengaplikasian sistem online di internet bisa menjadi alternatif baru yang strategis. Dengan metode ini, semua informasi penting tentang civitas akademika termasuk didalamnya adalah yang berhubungan aktifitas belajarmengajar dapat diakses dengan mudah dan fleksibel. Teknologi komunikasi dalam masyarakat modern seperti Amerika Serikat. Teknologi komunikasi adalah peralatan perangkat keras, organisasi, struktur dan nilainilai sosial yang digunakan individu untuk mengumpulkan, memproses dan bertukar informasi dengan individu lainnya. Selanjutnya, yang lebih penting adalah sifat dan bagaimana fungsi media baru bagi sebagian besar orang untuk bertukar informasi. Pada kenyataannya teknologi komunikasi baru tidak hanya ditandai dengan adanya teknologi tunggal baru seperti mikrokomputer dan satelit, tetapi menggabungkan elemen-elemen dari jenis komunikasi baru seperti menggunakan satelit untuk memberikan berbagai wid dari programming untuk sistem televisi kabel. Contoh teknologi komunikasi baru yaitu telekonferensi jaringan, elektronik sistem, papan buletin computer, dan televisi kabel interaktif. Menurut George Ritzer dan Douglas J.Goodman (2008:679) bahwa, “Baudrillard lebih kagum pada kekuasaan dan kelebihan dari bujukan dengan kehampaan makna, sifat main-main, kedangkalan, tidak masuk akal, dari pada dunia yang ditandai oleh produksi”. Dengan pernyataan ini dapat diketahui bahwa dalam komunikasi massa kekuatan bujukan (strategi membujuk) yang digunakan komunikator terhadap khalayak melalui media massa memiliki pengaruh atau peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan 34
Vol 3, No. 1, Juni 2013 suatu informasi yang hendak disebarkan. Sehingga dalam hal ini kekuatan hasil atau kualitas produksi bukanlah menjadi penentu bagi khalayak untuk terpengaruh terhadap produk tertentu. 2. Implementasi TIK sebagai sarana pembelajaran Di atas telah dijelaskan bahwa perilaku pemanfaatan media internet sebagai sumber belajar memiliki tujuan yang ingin di capai yaitu untuk meningkatkan prestasi belajar dan meningkatkan mutu pendidikan. Internet sebagai teknologi informasi selalu memberikan informasi bagi setiap penggunanya. Saat ini teknologi informasi bekembang sangat pesat sehingga dapat dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas, karena teknologi informasi dapat mempermudahkan pekerjaan kita. Guru sebagai tenaga pengajar juga tidak lepas memanfaatkan internet sebagai sumber informasi dan sumber pengetahuan baru dalam hal materi maupun informasi yang up to date. Dampak yang ditimbulkan dengan pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yaitu, guru-guru mengakui dengan adanya internet saat ini telah merubah anak untuk menjadi lebih kritis dan kreatif tidak hanya berpegang pada materi pelajaran yang ada di buku teks. Mereka dapat mengembangkan topik yang diberikan dengan ide-ide baru yang sangat menarik. Proses pembelajaran di kelas menjadi hidup karena tidak hanya guru yang ceramah didepan kelas, sudah ada interaksi antara siswa dan guru. Guru sekarang tidak harus banyak berbicara tetapi guru hanyalah seorang yang membangkitkan dan menggali kemampuan siswa. Guru merasa senang dalam setiap proses pembelajarannya karena suasana kelas menjadi lebih hidup. Penggunaan komputer dan internet dapat mengurangi beban tugas guru dan siswa karena setiap tugas dapat dikerjakan dengan cermat, teratur, dan sistematik. Internet sangat bermanfaat bagi guru dan siswa dalam menghadapi kemajuan informasi dan teknologi di era globalisasi. Pemaduan teknologi belajar di kelas diperkenalkan dan didukung oleh para pelaku pendidikan dari Department of Education (1998:46), sebab suatu pemaduan yang berhasil akan menuju ke peningkatan kualitas pendidikan. Berhasil atau tidaknya pemaduan
ini di dalam pembelajaran tidak terlepas dari persepsi guru tentang penggunaan TIK. Guru yang menerima makna belajar sebagai akumulasi informasi lebih cenderung memandang pembelajaran sebagai transfer informasi. Guru seperti ini merupakan guru yang cenderung menggunakan pendekatan berpusat pada guru dimana guru melemparkan informasi ke siswa dan menggunakan teknik penilaian yang menganjurkan dan menguji belajar hafalan. Sebaliknya menurut Prosser & Trigwell (1999:67) guru yang memandang makna belajar sebagai pemahaman konseptual lebih cenderung menggunakan pendekatan pembelajaran sebagai pemfasilitasan pemahaman konseptual. Guru seperti ini merupakan guru yang cenderung menggunakan suatu pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa dimana kebebasan belajar ditunjukkan melalui diskusi, debat, dan saling bertanya di antara sesama siswa, dan penilaian yang menunjukkan pemahaman konseptual. Menurut Trigwell et al (1999:37) bahwa pendekatan belajar berhubungan dengan pendekatan guru untuk membelajarkan. Guru yang menggunakan suatu perubahan yang konseptual atau pendekatan pembelajaran berfokus kepada siswa cenderung membelajarkan siswa dengan menggunakan suatu pendekatan yang mendalam untuk belajar. Pendekatan belajar mendalam mempunyai perhatian untuk mencari makna situasi belajar melalui aspek yang berkaitan dengan isi. Didukung oleh Cope, C. (2005:35) bahwa dengan pendekatan belajar yang mendalam ada kemungkinan perubahan keonseptual dan pemahaman yang lebih dalam yang merupakan suatu peningkatan hasil belajar. Penelitian Prosser & Millar (1989:513) tentang pendekatan belajar mendalam menemukan hubungan yang kuat antara hasil belajar dengan perubahan konseptual. Sebaliknya menurut Ramsden, P. (1988:13) bahwa guru yang menggambarkan suatu transfer informasi yaitu pendekatan pembelajaran berpusat pada guru cenderung membelajarkan siswa dengan menggunakan pendekatan belajar permukaan. Pendekatan belajar permukaan berfokus pada pengingatan aspek-aspek isi yang memisahkan perhatian untuk mengingat isi dalam situasi penilaian. Perhatian untuk mencari makna isi sedikit, 35
Vol 3, No. 1, Juni 2013 dan kemungkinan perubahan konseptual yang berarti hanya sedikit. Penjelasan tentang hubungan antar pendekatan guru dan siswa telah diusulkan dan didukung secara empirik oleh temuan peneliti sebelumnya. Konteks belajar yang ditentukan oleh guru merupakan praktek implementasi dari persepsi guru tentang belajar dan pembelajaran, dan pendekatan untuk membelajarkan. Siswa yang menggunakan pendekatan belajar mendalam cenderung bernilai kebebasan dalam belajar, sedangkan siswa yang menggunakan pendekatan belajar permukaan cenderung memiliki nilai yang berbeda dan persepsi yang berbeda. Selanjutnya dinyatakan ada dua hal yang berbeda yang merupakan bukti dalam persepsi ini, yaitu: (1) teknologi menjadikan pengajaran dan belajar lebih mudah melalui akses yang lebih baik ke informasi yang lebih banyak, dan (2) teknologi membantu belajar melalui pemotivasian siswa dan menjadikan proses belajar dapat lebih menyenangkan. Proses pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi internet memerlukan bimbingan dari pengajar untuk memfasilitasi pembelajaran dengan efektif. Menurut Daryanto (2011) guru dapat memberikan kesempatan yang sebesarbesarnya dan menciptakan kondisi bagi pembelajar untuk mengembangkan cara-cara belajarnya sendiri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat dari pembelajar. Perkembangan teknologi informasi yang semula berbasis client server menjadi berbasis web yang di proses disisi client telah melahirkan sikap penerimaan atau penolakan dari user dalam proses penggunaannya. Oleh karenanya perlu diketahui bagaiman sikap dan perilaku yang dirasakan pengguna terhadap teknologi informasi yang digunakan. Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:26), merumuskan bahwa, “Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar”. Teknologi informasi dan komunikasi atau yang biasa disingkat TIK itu sangatlah berperan penting buat kehidupan manusia. Selain sebagai sebuah Media Informasi, mempercepat komunikasi, TIK juga dapat membantu meringankan urusan-urusan kita dalam menyelesaikannya. Di bidang pendidikan, Teknologi mempunyai peran yang sangat penting antara lain: (a) Munculnya
media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber ilmu dan pusat pendidikan. Dampak dari hal ini adalah guru bukannya satu-satunya sumber ilmu pengetahuan; (b) Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Dengan kemajuan teknologi terciptalah metode-metode baru yang membuat siswa mampu memahami materi-materi yang abstrak, karena materi tersebut dengan bantuan teknologi bisa dibuat konkrit; (c) Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka. (http://artikelterkait.com/manfaat-teknologiinformasi-dan-komunikasi.html). Seorang guru yang sudah mahir menggunakan komputer dan dapat memanfaatkan internet beliau tidak hanya menggunakan internet untuk kepentingan mencari materi pelajaran dan untuk sumber belajar saja tetapi juga untuk kepentingan pribadi guru tersebut dan untuk berkomunikasi baik dengan rekan sejawat maupun dengan siswa-siswinya. Di dalam pembelajarannya pun guru yang sudah sering memanfaatkan internet menggunakan metode yang sanggat beragam, hampir setiap guru muda yang pengetahuan tentang IT-nya sudah luas sekarang ini senang menggunakan metode pembelajaran dengan menggunakan blog atau justru menggunakan E-Learning. Dari pengamatan dalam aktivitas kesehariannya banyaknya guru muda yang sekarang ini memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dan menggunakannya sebagai media dalam setiap pembelajaranya menggantikan pola pembelajaran ceramah yang dulu dilakukan. Berbagai tindakan yang dipilih oleh guru tersebut merupakan tindakan sosial yang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan yang sadar yang kesemuanya akan berhubungan dengan tujuan dan alat yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan meningkatkan kualitas pendidikan yang ada saat ini. Tindakan guru memanfaatkan internet untuk mencari sumber refrerensi dalam menambah pengetahuan dan sebagai modal dalam mengajar merupakan keseharian yang dilakukan guru. Menurut Munir (2010) bahwa perilaku guru dalam pemanfaatan media internet dapat di analisis bahwa tanpa mereka sadari sebenarnya mereka telah didominasi atau dikontrol oleh kode produksi atau media yang 36
Vol 3, No. 1, Juni 2013 membujuk mereka untuk menggunakan internet sebagai sumber belajar. Padahal sebenarnya apa yang diproduksi oleh internet bila kita sadari juga telah diproduksi oleh sumber belajar lain seperti buku, televisi, radio, maupun surat kabar dan fakta-fakta yang terjadi dilingkungan sekitar kita. Guru yang paham tentang TIK dan mengerti bagaimana yang terbaik penggunaan di kelas, akan membuat perencanaan pembelajaran secara efektif dengan menggunakan sumber TIK. Akses di ruangan kelas dapat diandalkan sebagai faktor kritis di dalam menentukan apakah guru merencanakan untuk dan menggunakan TIK dalam pembelaajran, selain itu akses di ruang kelas bukan hanya mementingkan komputer tetapi untuk teknologi yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran. Akses di rumah penting bagi guru untuk memadukan teknologi ke dalam kelasnya dan memiliki kesempatan untuk bekerja dalam libngkup teknologi atau belajar ketrampilan teknologi baru. Tingkat pemahaman guru yang memiliki sumber teknologi sendiri merupakan salah satu faktor di dalam menentukan bagaimana guru mampu mengimplementasikan TIK dengan berhasil ke dalam aktivitas pembelajarannya. Dalam hal ini seorang guru yang mampu mengimplementasikan TIK dalam pembelajaran mengindikasikan guru tersebut berkompeten di bidang TIK. Dengan demikian secara konseptual yang dimaksud dengan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran adalah perilaku guru dengan kompetensi yang dimilikinya dalam memadukan TIK dalam pembelajaran, berkomunikasi, dan untuk memenuhi kebutuhan tugas pribadi dan profesi guru. Selanjutnya guru akan mengimplementasikan TIK dalam tugasnya sehari-hari dan selalu melakukan akses, baik di ruang kelas maupun di rumah. PEMBAHASAN 1. Persepsi guru pada kebijakan TIK berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Berdasarkan uji kecenderungan data variabel persepsi guru pada kebijakan TIK menunjukkan yang berada pada kategori tinggi dengan rentang skor ≥ 99 sebesar 22%
dan kategori sedang dengan rentang 66 sampai 98 sebesar 78%. Dengan demikian, secara keseluruhan responden dalam penelitian ini memiliki kecenderungan persepsi guru pada kebijakan TIK kategori sedang. Kenyataan ini menyatakan fakta yang harus diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh semua personil sekolah di SMA Negeri kota Pematang Siantar untuk mendengarkan persepsi guru pada kebijakan TIK yang nantinya kebijakan TIK dapat mendukung kinerja guru untuk mencapai peningkatan kualitas pendidikan. Jika ditinjau kembali pendapat Stephen P. Robbins (1991:125) persepsi adalah suatu proses dengan mana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan sensorik untuk memaknai lingkungannya. Hal ini senada dengan Travers dan Robert (1982:29) bahwa persepsi sebagai proses dimana organisme hidup memelihara hubungan dengan lingkungan. Hubungan ini dipertahankan melalui sistems kompleks organ perasa dan suatu otot yang memiliki organ perasa yang dapat diarahkan untuk menerima informasi dari bagian-bagian lingkungan tertentu, yang disebut sebagai keterbukaan yang cepat (immediate exposure) terhadap sumber informasi di lingkungan tersebut. Dalam kaitannya dengan guru, persepsi guru pada kebijakan TIK adalah ditinjau dari sudut pandangan guru tentang kebermanfaatan TIK untuk mendukung profesional tugasnya. Pengaruh positif dan signifikan persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan, hal ini memberikan gambaran bahwa persepsi guru menyatakan bahwa semakin baik persepsi guru pada kebijakan TIK maka akan semakin tinggi kebijakan TIK mendukung kinerja guru tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan. Persepsi guru pada kebijakan TIK adalah kesan atau pandangan guru terhadap kebijakan TIK, yang merupakan suatu proses dimana guru memilih, mengorganisisr dan menginterprestasikan informasi yang dikumpulkannya dengan maksud untuk mengerti dunia sekitarnya. Sebagai cara yang unik dimana setiap guru melihat, mengorganisisr dan menginterprestasi kebijakan TIK tersebut. Sehingga dengan pengkajian tentang persepsi guru pada kebijakan TIK adalah ditinjau dari sudut 37
Vol 3, No. 1, Juni 2013 pandangan guru tentang kebermanfaatan TIK dalam tugas guru. Persepsi guru pada kebijakan TIK sangat penting dalam lingkungan sekolah karena landasan bagi pembelajaran yang efektif dan produktif. Dengan persesi guru pada kebijakan TIK yang baik diharapkan terciptanya kinerja guru yang lebih baik yang akan mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Persepsi guru pada kebijakan TIK yaitu bagaimana guru memandang atau mengartikan kebijakan TIK dan kebermanfaatannya dalam tugas. Bila seorang guru berpandangan positif tentang kebijakan TIK maka seorang guru akan berupaya untuk dapat menerima dan memadukan kebijakan TIK dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dalam proses pembelajaran, baik tugas dalam e-administrasi maupun tugas dalam epembelajaran. Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa hasil penelitian yang telah diuji secara umum terdapat pengaruh positif antara variabel bebas dengan variabel terikat. Uji kecenderungan data variabel peningkatan kualitas pendidikan yang berada pada kategori tinggi dengan rentang skor ≥ 96 sebesar 40% dan kategori sedang dengan rentang 64 sampai 95 sebesar 60%. Hasil temuan ini dapat dirincikan bahwa: terdapat pengaruh yang positif antara persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar. Hubungan korelasi antara variabel tersebut sebesar 0,63 tergolong kategori tinggi. Besarnya sumbangan relatif antara persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar sebesar 70,20% dan sumbangan efektif sebesar 32,81%. Besarnya sumbangan relatif dan efektif dari persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan sangat berarti. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi persepsi guru pada kebijakan TIK akan semakin tinggi peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar. Berdasarkan hasil temuan pada nilai rata-rata dalam indikator variabel persepsi guru pada kebijakan TIK terdapat nilai tertinggi 112 sedangkan nilai rata-rata 92,58. Artinya indikator tersebut perlu dipertahankan atau lebih ditingkatkan sehingga peningkatan kualitas pendidikan
kedepannya semakin tinggi yang didukung oleh persepsi guru pada kebijakan TIK di SMA Negeri kota Pematang Siantar. 2.
Implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar.
Berdasarkan uji kecenderungan data variabel implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran yang berada pada kategori tinggi dengan rentang skor ≥ 96 sebesar 40% dan kategori sedang dengan rentang 64 sampai 95 sebesar 60%. Dengan demikian, secara keseluruhan responden dalam penelitian ini memiliki kecenderungan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran dengan kategori sedang. Kenyataan ini menyatakan fakta yang harus diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh kepala sekolah di SMA Negeri kota Pematang Siantar untuk memperhatikan dan mengambangkan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran yang nantinya dapat terlaksana secara efektif untuk mencapai peningkatan kualitas pendidikan. Menurut Bates (1995:45) Keuntungan/manfaat kegiatan pembelajaran melalui internet ini adalah: (1) dapat meningkatkan kadar interaksi pembelajaran antara peserta didik dengan guru atau instruktur (enhance interactivity), (2) memungkinkan terjadinya interaksi pembelajaran dari mana dan kapan sajay (time and place flexibility), (3) berpotensi menjangkau pesrta didik dalam cakupan yang luas (potential to reach a global audience), (4) mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi pembelajaran (easy updating of content as well as archivable capabilities). Dipertegas dalam Education Review Office (2006:3) guru dapat mengakses informasi untuk memenuhi kebutuhan aktivitas pembelajaran memerlukan perangkat teknologi informasi baik di sekolah ataupun rumah. Demikian juga penggunaan teknologi informasi di sekolah mempunyai banyak potensi. Salah satu potensi penggunaan teknologi informasi di sekolah adalah dalam pengembangan guru, dengan cara berbagi (sharing) dengan sumber kependidikan lain. 38
Vol 3, No. 1, Juni 2013 Pembahasan mengenai pengaruh positif dan signifikan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar sebesar 0,48 (termasuk dalam kategori cukup), hal ini memberikan gambaran bahwa implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran maka peningkatan kualitas pendidikan akan semakin tinggi. Implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran adalah perilaku guru dengan kompetensi yang dimilikinya dalam memadukan TIK dalam pembelajaran, berkomunikasi, dan untuk memenuhi kebutuhan tugas pribadi dan profesi guru. Selanjutnya guru yang memiliki persepsi positif terhadap kebijakan TIK, maka akan mengimplementasikan TIK dalam tugasnya sehari-hari dan selalu melakukan akses, baik di ruang kelas maupun di rumah. Hal ini berarti guru akan melakukan proses pembelajaran, berkomunikasi dan memenuhi kebutuhan tugasnya ssehari-hari, serta selalu mengakses dengan mengimplementasikan kebijakan TIK untuk dapat mencapai efisiensi pendidikan. Kualitas pendidikan dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi efisiensi pendidikan dan dari tersedianya input, proses, output, outcome dan dampak yang memenuhi pencapaian tuntutan tujuan pendidikan nasional. Kualitas pendidikan dari sisi efisiensi pendidikan adalah efisiensi internal (input, proses, output) dan eksternal (outcome dan dampak) pendidikan dalam memenuhi tujuan pendidikan nasional. Kualitas pendidikan adalah tersedianya input, proses dan outcome yang memenuhi pencapaian tuntutan tujuan pendidikan nasional. Apabila guru dapat mengimplementasikan kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran, maka guru tersebut akan berupaya untuk dapat memadukan TIK dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dalam proses pembelajaran, baik di runag kelas maupun di rumah. Selanjutnya dengan mengimplementasikan kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran maka proses pembelajaran akan lebih baik yang selanjutnya akan memperbaiki output dan berdampak pada kulitas outcome serta meningkatkan efisiensi pendidikan. Akhirnya dengan peningkatan efisiensi pendidikan maka akan meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasarkan pemikiran logis ini maka dapat diduga implementasi kebijakan TIK seabgai sarana pembelajaran mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan. Pada pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa hasil penelitian yang telah diuji secara umum terdapat hubungan signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Uji kecenderungan data variabel peningkatan kualitas pendidikan yang berada pada kategori tinggi dengan rentang skor ≥ 96 sebesar 40% dan kategori sedang dengan rentang 64 sampai 95 sebesar 60%. Hasil temuan ini dapat dirincikan bahwa: terdapat pengaruh antara implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar. koefisien korelasi antara implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan sebesar 0,48 termasuk dalam kategori koefisien korelasi yang cukup. Besarnya sumbangan relatif implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar sebesar 29,80% dan sumbangan efektif sebesar 13,92%. Besarnya sumbangan relatif dan efektif dari implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar cukup berarti. Hal ini berarti bahwa semakin baik implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran akan semakin tinggi peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar. Berdasarkan hasil temuan pada nilai rata-rata dalam indikator variabel implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terdapat nilai tertinggi 110 sedangkan nilai rata-rata 92,08. Artinya indikator tersebut perlu dipertahankan atau lebih ditingkatkan sehingga peningkatan kualitas pendidikan kedepannya semakin tinggi dengan adanya implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran yang baik di SMA Negeri kota Pematang Siantar. 3.
Persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan 39
Vol 3, No. 1, Juni 2013 Persepsi guru pada kebijakan TIK merupakan faktor penting dalam tercapainya peningkatan kualitas pendidikan. Persepsi guru pada kebijakan TIK berhubungan dengan kecenderungan pemahaman kebijakan TIK dalam mendukung keprofesionalan tugasnya, sehingga tercipta kinerja yang lebih baik, yang akhirnya akan meningkatkan kualitas pembelajaran. Demikian halnya dengan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran karena semakin baik implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran akan meningkatakan kulitas pendidikan. Menurut Unicef (2000:4) kualutas pendidikan adalah pemenuhan kriteria penyelenggaraan pendidikan yang memiliki daya saing sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kriteria penyelenggaraan pendidikan adalah ketersediaan karakteristik peserta didik, konteks, input pendukung, unsur pengajaran dan pembelajaran, dan outcome. Selanjutnya peningkatan kualitas pendidikan menurut Bounds (1994:44) peningkatan kualitas pendidikan diartikan sebagai peningkatan mutu atau pertambahan kinerja sehingga menembus batas yang belum pernah dicapai sebelumnya. Berdasarkan indikator pada variabel peningkatan kualitas pendidikan dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi efisiensi pendidikan dan dari tersedianya input, proses, output, outcome dan dampak yang memenuhi pencapaian tuntutan tujuan pendidikan nasional. Kualitas pendidikan dari sisi efisiensi pendidikan adalah efisiensi internal (input, proses, output) dan eksternal (outcome dan dampak) pendidikan dalam memenuhi tujuan pendidikan nasional. Kualitas pendidikan adalah tersedianya input, proses dan outcome yang memenuhi pencapaian tuntutan tujuan pendidikan nasional. Apabila guru memiliki persepsi positif terhadap kebijakan TIK maka guru akan dapat mengimplementasikan kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran dengan baik, selanjutnya guru tersebut akan berupaya untuk dapat memadukan TIK dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dalam proses pembelajaran, baik di runag kelas maupun di rumah. Akhirnya proses pembelajaran akan lebih baik yang selanjutnya akan memperbaiki output dan berdampak pada kualitas outcome serta meningkatkan efisiensi pendidikan. Dengan peningkatan efisiensi pendidikan
maka akan meningkatkan kualitas pendidikan. Berdasarkan pemikiran logis ini maka dapat diduga bahwa persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran secara bersama-sama akan mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan. Pada penelitian ini adanya korelasi antara variabel persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar sebesar 0,683 yang termasuk pada kategori koefisien korelasi yang tinggi. Dengan demikian secara khusus persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran berdampak positif terhadap keprofesionalan guru dalam melaksanakan tugasnya di SMA Negeri kota Pematang Siantar. Pada pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa hasil penelitian yang telah diuji secara umum terdapat pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat. Hasil temuan ini dapat dirincikan bahwa terdapat pengaruh antara persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar. Indikatorindikator pada variabel persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran perlu dipertahankan atau lebih ditingkatkan sehingga peningkatan kualitas pendidikan kedepannya semakin tinggi di SMA Negeri kota Pematang Siantar. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh antara persepsi guru pada kebijakan TIK terhadap peningkatan kualitas pendidikan dengan korelasi yang sangat tinggi (nilai 0,63) dengan sumbangan relatif sebesar 70,20%. Hal ini berarti semakin baik persepsi guru pada kebijakan TIK maka peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar akan semakin tinggi. 2. Terdapat pengaruh antara implementasi kebijakan TIK sebagai sarana 40
Vol 3, No. 1, Juni 2013
3.
pembelajaran dengan korelasi yang cukup (nilai 0,48) dengan sumbangan relatif sebesar 29,80%. Hal ini berarti semakin baik implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran maka peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar akan semakin tinggi. Terdapat pengaruh persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran secara bersama-sama terhadap peningkatan kualitas pendidikan dengan korelasi yang sangat tinggi (nilai 0,683). Hal ini berarti semakin baik persepsi guru pada kebijakan TIK dan semakin baik implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran maka peningkatan kualitas pendidikan di SMA Negeri kota Pematang Siantar akan semakin tinggi. Koefisien determinan R2 = 0,467 menunjukkan bahwa 46,7% variabel peningkatan kualitas pendidikan dapat dijelaskan oleh variabel persepsi guru pada kebijakan TIK dan semakin baik implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran, sedangkan sisanya 57,3 % lagi belum dapat dijelaskan karena berasal dari variabel lainnya yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini.
Implikasi
Implikasi dari hasil penelitian antara lain: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi guru pada kebijakan TIK mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Adanya hubungan tersebut di analisis dari uji kecenderungan terlihat masih kurang yaitu sebesar 78% berada pada kategori sedang. Hal ini memberikan penjelasan dan penegasan bahwa persepsi guru pada kebijakan TIK merupakan elemen yang penting yang dapat dikembangkan oleh guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dimana pada sub indicator persepsi guru pada kebijakan TIK ada yang sangat perlu diperhatikan untuk peningakatan kualitas pendidikan, yaitu (1) sebaiknya kepala sekolah melaksanakan sosialisasi tentang
kebijakan TIK kepada guru-guru dilingkungan sekolah, (2) Kepala sekolah membuat kebijakan tentang kinerja berbasis TIK, (3) Kepala sekolah bekerja sama dengan pengawas sekolah untuk melakukan pembinaan dan kontrol terhadap guru terkait dengan kinerja berbasis TIK 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Adanya pengaruh tersebut di analisis dari uji kecenderungan terlihat masih kurang yaitu sebesar 70% berada pada kategori sedang. Hal ini memberikan penjelasan dan penegasan bahwa implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pendidikan merupakan elemen yang penting yang dapat ditingkatkan lebih baik oleh guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dimana pada sub indikator implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran ada128 yang sangat perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu (1) Sebaiknya kepala sekolah menyediakan fasilitas TIK baik hardware maupun software untuk mendukung implementasi kebijakan TIK, (2) Melaksanakan pelatihan peningkatan kompetensi pendidik di bidang TIK, 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif secara bersama-sama antara persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Artinya semakin tinggi persepsi guru pada kebijakan TIK dan implementasi kebijakan TIK sebagai sarana pembelajaran maka semakin tinggi peningkatan kualitas pendidikan sebesar 46,7%. Hal ini bermakna bahwa 46,7%. Dari variasi yang terjadi pada peningkatan kualitas 41
Vol 3, No. 1, Juni 2013
pendidikan dapat diprediksi oleh kedua variabel bebas. DAFTAR PUSTAKA -------.2012. Profil Pendidik Sumatera Utara. Sumatera Utara : LPMP Provinsi Sumatera Utara. --------.2007.Rencana Aksi Nasional: Pendidikan Untuk Semua. Jakarta: Forum Koordinasi Nasional. --------.2001. Education Quality in Thailand Year of 2000/2001. (http://Thailandedu.org) --------.1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. --------.2012. Profil Pendidik dan Tenaga Kependidikan Provinsi Sumatera Utara. Medan: LPMP Prov. SU. Agus, Dharma. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. (http://www.ed.gov/databased/ERIC_D igest/ed301969.htm). Arikunto, Suharsimi. 1990. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara. Bendigo. 2005. Secondary Teacher’s Perceptions and Use of Learning Technologies. (http://ironbark.bendigo.latrobe.edu.au /staff/cope/findings4.html). Bounds, Greg. 1994. Beyond Total Quality Management. Singapore: McGraw Hill, Inc. Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interest and Institutions. New York: Basil Blackwell. Certo, Samuel. 1997. Modern Management. New Jersey: Prentice Hall. Cope, Chris. 2005. Educationaly Critical Aspects of The Experience of Learning About The Concept of An Information System. Dissertation. Australia: La Trobe Univ. (http://ironbark.bendigo.latrobe.edu.au /staff/cope/chris-cope.html). Daryanto. 2011. Media Pembelajaran. Bandung: PT. Sarana Tutorial Nurani Sejahtera Deming, W. Edwards. 1979. Out of Crisis. Cambridge: Massachussett Institute of Technology. Department of Education. 1998. Learning Technologies: Teacher Capabilities Guide. Australia-Melbourne: Community Information Service.
Domingo, Rene T. 1997. Quality Means Survival. Singapore: Prentice Hall. Dye, T.R. 1976. What Governments Do, Why They Do it, What Different it Makes. Tuscaloosa Ala: University of Alabama Press. Dye, T.R. 1978. Understanding Public Policy. New Jersey:Englewood Prantice Hall. EFA Globalwarning. 2004. Global Monitoring Report. http//:globalwarning.com Endang. 2001. sikap guru pada proses pembelajaran, persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, dan persepsi guru terhadap lingkungan kerja. Tesis. (http://endang965.wordpress.com/thes is/4-persepsi-guru-kepemimpinankepala-sekolah-lingkungan-kerja-sikapguru). Johan, Ridho Harda. 2013. http://ridhohardajohan.blogspot.com/1 8-2-2013. Jones, Ch.O. 1984. An Introduction to The Study of Public Policy. Terjemahan Ricky Istamto. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Juran, Joseph M. 1993. Quality Planning and Analysis Third Edition. New York: McGraw Hill Inc. Ken Ganicott dan David Throsby. 1998. Education for The Twenty-First Century: Issues and Prospect. Diedit oleh Jacques Delors. Paris: Unesco. Lind say, William M dan Petrick, Joseph A. 1997. Total Quality and Organization Development. St. Lucie Press. Martin, R.E. & K. Lundstrom.1988. Attitudes of Vocational Home Economics Teacher Toward Computers. Nevada: Journal of Vocational Education Research, 13 (1). Milfayetty, Manullang. 2010. Efektivitas Personal (Analisis Knowledge, Skill, dan Ability SDM Pemprovsu). Medan: PPs Unimed. Munir. 2010. Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Teknologi Informasi Dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta Munir, Ahmad Misbakhul. 2010. Tesis: Hubungan Antara Persepsi dan Sikap Terhadap Lingkungan Hidup dengan Partisipasi Dalam Kebersihan Lingkungan Sekolah. Surakarta: UNS. Nakamura, R.T. and F. Smallwood. 1980. The Politic of Policy Implementation. New York: St. Martin’s Press. 42
Vol 3, No. 1, Juni 2013 Nasution, M.N. 2001. Manajemen Mutu Terpadu (total Quality Management). Jakarta: Ghalia Indonesia. Noor Adzhar Zain. 2000. Penilaian Program Peralihan Kemahiran Hidup (Pilihan B) Tingkatan Satu di Wilayah Persekutuan. Tesis Sarjana Pendidikan. Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia Nugroho, Riant D.. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia. Padmanabhan, C.B.. 2001. Internal Efficiency of Primary Education. (http://www.blonnet.com/2001/12/11 /stories/041188edu.htm.) Permendiknas Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Princeton Research Associates. Inc. 1993. National Education Association Communications Survey. Report of Finding. Nevada: ERIC Document Reproductionb Service No. ED 360953. Prosser, M. & R. Millar. 1989. Journal: The How and What of Learning Physics. Firlandia: European Journal of Psychology in Education. Prosser, M. & Trigwell, K. 1999. Understanding Learning and Teaching: The Experience in Higher Education. Philadelpia-PA: Society for Research into Higher Education & Open University Press. Radessay. 2005. Perception. (http://www.radessay.com). Ramsden, P.. 1988. Studying Learning: Improving Teaching Improving Learning. London: Kogan Page. Robert Kreitner. 1999. Management. New Delhi: AITBS Publisher & Distributors. Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi, Konsep-Kontroversi-Aplikasi, Jilid 1, Jakarta: PT Prenhallindo. Said, Muh., Junimar Affan. 1990. Psikologi Dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Jemmars. Sallis, Edward. 2006. Total QualityManagement in Education.alih bahasa Ahmad Ali Riyadi et al. Yogyakarta: Ircisod. Satori, Djam’an. 1980. Administrasi Pendidikan, Publikasi Fip IKIP Bandung Stoner, James A.F., R. Edward Freeman, and Daniell L & Gilbert, Jr. 1996. Manajemen. Alih Bahasa oleh Alexander Sundoro. Jakarta: Prenhallindo.
Sudarsono. 2005. Konsep-Konsep Utama Penelitian Kwantitatif. Makalah Disampaikan Dalam Rangka Penyegaran Metodologi Penelitian Bagi Mahasiswa S2 Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta: UNY. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. ________. 2005. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Susan M. Gay. 2005. Teaching With Technology: A Case Study of Teacher’s Perception of Implementing Computers Into The Classroom. (http://www.cci.unl.edu/default.html). Sutrisno Hadi. 2000. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Thompson, B., Earle Newton, Workeyle Brathwaite. 2006. Education Sector Enhancement Programme Case Study Schools. (http://www.uwichill.edu.bb/local). Travers, M.W. and Robert. 1982. Essential of Learning: The New Cognitive Learning for Students of Education 5th ed.New York: Macmillan Publishing Co. Inc. Trigwell, K., M. Prosser & F. Waterhouse. 1999. Relations Between Teacher’s Approaches to Teaching and Student’s Approaches to Learning. Nevada: Higher Education. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Unicef. 2000. Defining Quality in Education. A paper presented by UNICEF at the meeting of the International Working Group on Education Florence, Italy, Working Paper Series. United Nations Children’s Fund: Education Section Programme Division.
43
Vol 3, No. 1, Juni 2013
Unicef. 1990. Quality Education for All. (www.unicef.at/fileadmin/medien/pdf/ qualityeducationeng.pdf) Voughn, Richard C. 1974. Quality Control. Iowa: Iowa State University Press. William N. Dunn. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Alih Bahasa Samodra Wibawa dkk. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. William Loxley. ADB The Views Expressed in This Papar are Those of The Author and Not Necessaryly Those of The ADB, The Board of Directors, or The Governments They Present. (http://www.adb.org). Willson, B.. 1995. Constructivist Learning Environments: Case Studies in Instructional Design. Washington: Educatiopnal Technology Publication.
44