ANGKA
Walter Sparrow menjalani kehidupan delusional. Bisa jadi beberapa dari kita juga terperangkap pada situasi yang sama. Di dalam film The Number 23[i], Sparrow yang diperankan oleh Jim Carrey percaya bahwa novel yang dibelikan istrinya sebagai hadiah ulang tahunnya mengisahkan dan menujumkan tentang kisah hidupnya. Ia, pelan namun pasti, mulai menemukan hal-hal yang berada di sekelilingnya memiliki unsur angka 23.
Bisa jadi kita juga mengalami keadaan yang mirip, menjalani keyakinan yang senada, dan hidup dengan fantasi yang serupa. Misalnya saat kita mendapat angka 13. Kita mulai meracau dan bergolak di dalam benak bahwa kita bakal mengalami nasib yang sial. Mitos tentang angka 13 sebagai angka sial tak lepas dari mitos yang terbangun sejak 1700 SM dari tidak disebutnya angka 13 di dalam Codex Hammurabi kemudian dikokohkan dengan mitos yang timbul dari kisah tragis dari Perjamuan Terakhir: Yesus (p.b.u.h) dan 12 muridnya[ii],[iii][iv].
Lebih lanjut mengenai kisah angka 13 adalah pengkhususan kepada Jumat tanggal 13 sebagaimana budaya Barat memakunya sebagai hari sial. Jumat tanggal 13 dianggap sebagai hari sial dapat dirunut pada sejarah kekristenan. Pada hari Jumat tanggal 13 bulan Oktober 1307, raja Philip IV dari Perancis yang bermufakat dengan Paus Clement V mengeluarkan perintah penahanan Knights Templar – Para Ksatria Pelindung Yerusalem. Tuduhan yang dijatuhkan kepada ratusan anggota Knights Templar adalah bermacam-macam mulai dari bidah, sodomi, hingga penyalahgunaan kewenangan[v]. Ratusan anggota Knights Templar ini disiksa dan juga sebagian mati dibakar hidup-hidup[vi].
Fobia terhadap angka 13 berlanjut hingga sekarang. Seiring dengan diseminasi hegemoni budaya Barat lewat globalisasi, mitos tentang sial angka 13 ini menyebar ke seluruh dunia. Beberapa gedung di segala penjuru dunia tidak memiliki lantai 13 karena angka ini dianggap membawa sial[vii]. Meskipun demikian, di beberapa negara nampaknya ada pengecualian mengenai sial angka 13 juga Jumat tanggal 13.
Di Indonesia seluruh ‘paket elemen budaya’ Jumat tanggal 13 tidak seluruhnya diserap. Tidak terserapnya seluruh paket ‘keyakinan’ ini mungkin dikarenakan Indonesia sudah memiliki ‘takhayul’ sendiri mengenai hari yaitu (malam) Jumat Kliwon[viii]. Di China, mitos angka 13 tidak laku. China memiliki mitos tentang angka 4 sebagai angka sial. Di dalam budaya China, uniknya angka 13 justru menjadi angka aman. Walau demikian, terdapat fenomena serupa mengenai bangunan beringkat dan mitos angka sial sebagaimana terjadi di Barat. Beberapa gedung tinggi di China tidak memiliki lantai 4 dengan alasan yang sama: mitos mendatangkan sial[ix].
Kisah mengenai fobia terhadap angka 13 dan juga Jumat tanggal 13 di budaya Barat telah menjadi sebuah studi yang serius. Donald Dossey, ahli fobia terkenal, bahkan membuat kajian di Amerika Serikat mengenai paraskevidekatriaphobia atau friggatriskaidekaphobia. Dua istilah yang membuat malas ketik ulang ini adalah fobia yang berkenaan dengan ketakutan terhadap
Jumat
tanggal
13. Paraskevi adalah
bahasa
Yunani
untuk
Jumat
sedangkan frigga adalah sebutan bagi dewa yang merujuk pada penamaan Friday (Jumat) dan dekatria atau triskaideka adalah angka 13.
Berdasar studi Dossey, ditemukan banyak sekali orang Amerika Serikat yang memiliki fobia terhadap Jumat tanggal 13. Angkanya sungguh mencengangkan. Di jaman modern ini masih terdapat 21 juta orang Amerika Serikat yang percaya takhayul sial di hari Jumat tanggal 13. 'Kepercayaan' ini bahkan sampai pada kondisi ekstreme. Berdasar temuan Dossey, banyak di antara warga Amerika Serikat membolos bekerja, tidak berani keluar membeli makanan, dan seterusnya dan seterusnya jika bertemu dengan Jumat tanggal 13[x],[xi].
Studi serius tentang takhayul Jumat tanggal 13 di dalam masyarakat modern tidak hanya dilakukan di Amerikat Serikat. Fenomena fobia Jumat tanggal 13 membuat empat orang praktisi-akademisi di bidang Public Health di UK mengadakan penelitian. Hasil penelitian mereka lalu diterbitkan di dalam British Medical Journal. Scanlon dan ketiga rekannya meneliti apakah ‘keyakinan’ mengenai Jumat tanggal 13 memiliki dampak buruk bagi kesehatan dan perilaku masyarakat UK. Paper mereka ini mereka beri judul "Is Friday the 13th bad for your health?"[xii]. Rekomendasi dari temuan mereka adalah sungguh menarik, atau mungkin lucu,
atau mungkin keduanya: pada hari Jumat tanggal 13 disarankan bagi warga UK untuk tetap tinggal di rumah.
Perkara angka memang bisa membuat runyam. Bukan hanya membuat orang menjadi irasional, angka juga bisa membuat kisruh di dalam urusan klaim-mengklaim. Mungkin ada keyakinan semu bahwa angka bersifat netral atau objektif. Atau dalam kasus serupa yang lain, angka dapat dipakai untuk menjustifikasi keberterimaan mayoritas di dalam sebuah klaim: angka yang terbanyak adalah yang benar.
Bicara mengenai klaim dengan angka maka tidak salah apabila kita menengok buku tulisan Darrell Huff, How to Lie with Statistics[xiii]. Di dalam bukunya ini, Huff seolah-olah menandaskan bagaimana klaim kebenaran lewat angka statistik adalah sebuah permainan distorsi realitas yang bisa berbahaya. Huff tidaklah tidak menulis buku itu tanpa argumen yang sahih sebab kemudian buku itu mendapatkan kesepadanan dengan tulisan Mark Twain yang ia nisbahkan kepada ucapan Perdana Menteri Inggris Benjamin Disraeli. Twain meriwayatkan bahwa ia kerap galau jika berhadapan dengan angka-angka. Twain kemudian mengutip ucapan Disraeli mengenai adanya tiga macam kebohongan: kebohongan [kecil], kebohongan sialan [besar], dan statistik [angka][xiv].
Kasus manipulasi angka yang kontroversial adalah kisah otak-atik angka hitung statistik di dalam The China Study. The China Study adalah hasil riset T. Colin Campbell di China mengenai imbas negatif konsumsi produk ternak (susu, daging) bagi kesehatan. Campbell menyimpulkan "lewat angka-angka statistiknya" bahwa penghindaran terhadap produk ternak adalah baik bagi kesehatan manusia[xv].
Kesimpulan yang ditelurkan oleh Campbell mendapatkan banyak sanggahan. Chris Masterjohn, Denise Minger, dan Loren Cordain menunjukkan bagaimana Campbell gegabah dan cenderung manipulatif di dalam membuat kesimpulan dari angka-angka yang dia temukan di lapangan. Tuduhan yang diberikan kepada Campbell -dan memang terbuktikan- adalah adanya manipulasi angka-angka statistik. Campbell juga disindir mengenai ketidakpresisian parameter
asumsi yang ia pakai di dalam mengumpulkan angka-angka yang ia butuhkan di dalam membuktikan hipotesisnya[xvi],[xvii],[xviii].
Besarnya jumlah angka dukungan yang digunakan sebagai klaim sebuah kebenaran juga bisa bikin runyam. Mengenai hal ini, patut pula misalnya merujuk kepada ucapan Tariq Ramadan di dalam diskursus mengenai cita-cita muslim dalam menanggapi isu demokrasi dan hidup bersama di masyarakat Barat. Selintas, Tariq Ramadan seakan-akan sekuler namun sejatinya ia tidaklah demikian. Sebagai pendahuluan awal, layaklah mencermati perkataan Tariq mengenai refutasinya tentang kebenaran lewat pendapat dengan angka pendukung terbanyak.
Tariq tahu bahwa politik tidak bisa dilepaskan dari etika dan etika selalu terkait dengan agama[xix]. Di dalam tradisi suara (dengan angka) terbanyak diyakini sebagai sesuatu yang mempunyai jalur legal untuk disebut sebagai kebenaran, problem dapat timbul dan memang potensial untuk selalu muncul di dalam adaptasi setiap muslim. Tariq dalam posisi firm untuk menyatakan bahwa basis yang ia perjuangkan adalah nilai dan etika yang bersandar pada apa yang tertera di dalam skriptur dan bukan serta -merta ikut mengaminkan apa yang dipegang oleh kebanyakan orang: 'kebenaran karena angka pendukung yang besar". Juga perlu dipahami bahwa Tariq tidak lantas memencilkan diri atau mungkin berontak kepada kesepakatan yang dimenangkan oleh 'pendapat dengan angka pendukung terbanyak' jikasanya berbeda atau kontradiktori dengan skriptur. Pada keadaan seperti ini, Tariq belajar beradaptasi dengannya.
Juga menarik untuk mempelajari apa yang diajukan oleh Paul Treanor di dalam tulisannya “Why Democracy is Wrong”. Tulisan Paul ini boleh juga dijadikan referensi mengenai bagaimana keputusan dan cara pandang yang 'terlalu' menyandarkan kepada angka (suara) terbanyak adalah tragis. Mematok sesuatu sebagai baik berdasarkan angka terbanyak pendukung kadang menjerembabkan manusia untuk melacurkan kemanusiaannya[xx]. Di dalam prolog tulisannya, Paul memberikan contoh bagaimana sebuah negara urung mengirimkan bantuan kemanusiaan gara-gara ide pengiriman bantuan tidak mendapatkan angka terbanyak.
Klaim kebenaran berdasarkan superioritas manusia lewat jalur angka dukungan terbanyak adalah sesuatu yang sahih juga bermasalah sebab ia menjadi sesuatu yang sangat labil, begitu menurut Idries de Vries[xxi]. Ide pancang kebenaran lewat angka terbanyak adalah menggelisahkan. Kejadian terkini tentang ini terjadi di dalam denominasi kristen Presbyterian pada tafsir istilah perkawinan. Voting diadakan untuk meratifikasi definisi perkawinan yang ada di dalam skriptur. Hasilnya adalah sebuah definisi baru mengenai perkawinan: asalkan dua orang, meskipun sejenis, tetaplah sah secara skriptur untuk diberkati sebagai perkawinan[xxii].
Kepercayaan kepada angka dukungan terbesar sebagai benar sejatinya menjadi catatan kegelisahan masyarakat post-secular. Mengapa bisa demikian? Sebab di dalam konteks pembenaran sesuatu dilandasi dukungan angka yang terbesar maka hal apapun yang –bahkan berseberangan dengan skriptur dan old wisdom and values- adalah menjadi sah dan legit. Hal inilah yang direnungkan oleh Jurgen Habermas di dalam menyikapi kegamangan mengenai nilai apakah yang bisa dijadikan pegangan bagi kontestasi ide dalam demokrasi yang paling sekuler sekalipun, dalam sebuah masyarakat post-secular[xxiii].
Apapun, klaim menggunakan angka bisa sangat berbahaya – jika dimanipulasi, disalahgunakan, disalahpahamkan, atau disalahyakini. Menggiring awam menggunakan angka bisa berpotensi menimbulkan kerusakan sebab tidak semua paham tentang angka dan makna di balik suatu angka: survei dan statistik. Pun, menyalahgunakan banyaknya jumlah angka pendukung sebagai modal menekan mereka yang jumlah angka pendukungnya sedikit sebagaimana terjadi pada majoritarianisme juga sesuatu yang berbahaya.
Angka memang bisa dijadikan landasan membuat keputusan namun terkadang tidaklah pas untuk menyandarkan diri hanya kepada angka di dalam membuat keputusan. Ambil contoh, tidaklah pas misalnya mencari pertolongan dari Tuhan lewat mandi di tujuh mata air atau sumur di tengah malam oleh sebab pitulungan (Jw. = pertolongan) mempunyai bunyi sama dengan pitu (Jw. = tujuh). Ujung-ujungnya malah masuk angin. Atau bisa juga berkelakar bahwa pitulungan memang datang kemudian dalam bentuk kerokan. Ambil contoh lain, tidaklah pas semisal membuat klaim bahwa pasti Tuhan sudah memberi tanda mengenai
kemenangan sepasang kandidat capres dan cawapres gara-gara angka yang keluar dari sebuah pertandingan sepakbola pada hari pemungutan suara seakan-akan meramalkan demikian.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pemungutan suara pilpres 2014 di Indonesia barusan diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014. Pada hari itu, angka hasil pertandingan Brasil melawan Jerman adalah 1-7. Beberapa orang misalnya mengaitkan dua hal tersebut sebagai sebuah tanda dari Tuhan. Ada yang menyebut bahwa angka 1-7 adalah tanda bahwa 7okow1, salah satu kandidat, akan memenangkan pilpres karena di dalam namanya ada angka 7 dan 1. Ada juga yang mengaitkannya dengan bakal menangnya kandidat nomor 1, atau Prabowo, karena diyakini bahwa presiden ke-7 Indonesia adalah yang berlabel urut 1. Juga ada yang mengaitkan angka 1-7 sebagai keniscayaan kemenangan Prabowo, salah satu kandidat, garagara 17 adalah tanggal kelahiran Prabowo dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
Praktik yang demikian itu tidaklah tepat karena kemudian menjadikan seseorang terjerembab kepada takhayul. Bahkan semisal hasil nujuman lewat angka ini terbuktikan pun, adalah tidak pas memegangi keyakinan yang demikian. Ada drawbacks-nya.
Bagi sebagian agama, berpercaya membuat keputusan pada yang demikian adalah buruk: mencederai iman. Sejatinya ada pesan yang dalam mengenai berpantang mengikuti nujumannujuman seperti ini: biar bekerja dengan akal bukan mengkorelasikan sesuatu yang absurd, agar menjadi insan yang memakai akal di dalam membuat perhitungan tindakan. Menurut skriptur, bekerja keras memakai akal dalam mewujudkan sesuatu tentu tanpa melupakan doa adalah ciri khas manusia beriman. Atau dengan kata lain: tidak terjebak kepada numerologi sebagaimana kisah Walter Sparrow.
Sparrow terjebak di dalam keyakinannya mengenai angka. Saat ia mendapati bahwa satu angka kebetulan sesuai menujumkan sesuatu. Ketika Sparrow mempercayainya maka bencana pun mulai terjadi atas hidupnya. Ia hidup di dalam bayang-bayang angka 23. Kehidupan yang seperti ini sungguh bukanlah kehidupan manusia sesungguhnya. Sparrow lupa bahwa setiap angka bisa muncul kapan saja. Ia juga khilaf mendapati bahwa angka sama yang terus saja muncul dalam
hidupnya
adalah
‘realitas
yang
dibangunnya
sendiri’
dengan
mengesampingkan angka-angka lain yang keluar, yang berseliweran di sekitarnya dalam kehidupannya.
Lagian, soal angka 13, bukankah di final Piala Dunia 2014 justru Jerman yang menampilkan pemain dengan nomor punggung 13-lah yang mengalahkan Argentina yang tidak memainkan pemain no 13-nya?
Demikian.
======================
End Notes
[i] Joel Schumacher. 2007. The Number 23. USA: New Line Cinema
[ii] Julia Greenberg. 13 Januari 2012. Friday the 13th: History, Origins, Myths, and Superstitions of the Unlucky Day. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://www.ibtimes.com/friday-13th-history-origins-myths-superstitions-unlucky-day-395108
[iii] Claire Suddath. 13 Februari 2009. A Brief History of Friday the 13th. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://content.time.com/time/nation/article/0,8599,1879288,00.html
[iv] Ciaran O’Keeffe. 13 September 2013. Friday the 13th: Where does our fear of this ‘unlucky’ day really come from?. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://www.mirror.co.uk/news/weird-news/friday-13th-fear-unlucky-day-2270760
[v] Ciaran O’Keeffe, Ibid.
[vi] Stephen Howarth. 1982. The Knights Templar. New York: Barnes and Noble. hlm. 11-14, 261, 323.
[vii] Lihat endnote 3
[viii] Selintas mungkin ada kemiripan kata Jumat di dalam kedua mitos ini: mitos Barat dan mitos Indonesia. Jika kita kaji lebih jeli maka akan kita dapati perbedaan antara malam Jumat dengan hari Jumat. Pada malam Jumat, takhayul dimulai sejak Kamis malam dan berakhir pada Jumat subuh. Pada mitos Barat, konsep ‘hari sial’ dimulai pada hari Jumat dan bukan pada Kamis malam.
[ix] David Makofsky (ed. S. Forsyth). 2012. Bad Luck Numbers in China. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://www.brighthubeducation.com/learning-chinese/72881-superstitions-and-bad-luckrelating-to-numbers-in-china/
[x] David Emery. Why Friday the 13th Is Unlucky, Paraskevidekatriaphobia: Friday the 13th Origins, History, and Folklore. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://urbanlegends.about.com/cs/historical/a/friday_the_13th.htm [xi] lihat endnote 2
[xii] Scanlon TJ et.al. 1993. Is Friday the 13th bad for your health?. BMJ. 1993 Dec 1825;307(6919):1584-6
[xiii] Darrell Huff. 1954. How to Lie with Statistics. New York: W.W. Norton & Company Inc.
[xiv] Mark Twain (ed. Michael J. Kiskis). 1990. Mark Twain’s Own Autobiography: The Chapters from The North American Review (Wisconsin Studies in American Autobiography). Madison, Wis: University of Wisconsin Press.
[xv] T. Colin Campbell (with Thomas M. Campbell II). 2004. The China Study: Stratling Implications for Diet, Weight Loss, and Long-term Health. Dallas: BenBella Books.
[xvi] Chris Masterjohn. n.d. The Truth about The China Study. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://www.cholesterol-and-health.com/China-Study.html
[xvii] Denise Minger. 7 Juli 2010. The China Study: Fact or Fallacy?. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://rawfoodsos.com/2010/07/07/the-china-study-fact-or-fallac/
[xviii] Loren Cordain (dalam Chris Kresser). n.d. Rest in peace, China Study. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://chriskresser.com/rest-in-peace-china-study
[xix] Tariq Ramadan, Yasmin Alibhai-Brown, Anas Altikriti, Alan Johnson (intv. Mehdi Hasan). 3 April 2014 (transkrip). Head to Head – Has political Islam failed?. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://www.aljazeera.com/programmes/headtohead/2014/03/transcript-tariq-ramadan201432820219269232.html
[xx] Paul Treanor. 13 Mei 2006. Why Democracy is Wrong. Web. Diakses dari:
http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html
[xxi] Idries de Vries. 27 Februari 2012. A Critique of Natural Law Theory. Web. Diakses 11 Juli 2014 dari:
http://www.newcivilisation.com/home/2358/ideas-philosophy/a-critique-of-natural-lawtheory/
[xxii] Gene Veith. 20 Juni 2014. “Presbyterians (USA) vote to allow gay marriages”. Web. Diakses dari:
http://www.patheos.com/blogs/geneveith/2014/06/presbyterians-usa-vote-to-allow-gaymarriages/
[xxiii] Jurgen Habermas. 18 Juni 2008. Notes on a post-secular society Pertama terbit di Jerman dalam Blätter für deutsche und internationale Politik, April 2008 dan awalnya ditulis sebagai materi kuliah tanggal 15 Maret 2007 di the Nexus Institute of the University of Tilberg, Netherlands. Web. Diakses dari:
http://www.signandsight.com/features/1714.html